SAFM - BAGIAN EMPAT

Di luar sedang turun hujan ketika Mika duduk di dalam perpustakaan kampusnya. Sesekali dia membenarkan letak kacamata yang dia pakai. Laki-laki berkulit putih tersebut memang suka memakai kacamata ketika membaca.

Sepertinya dia sudah sedikit melupakan perdebatan dengan saudara tirinya tadi malam. Pagi ini dia sangat terburu-buru tapi Mika sempat melihat pintu kamar di sebelah kamarnya masih tertutup rapat. Mika tak acuh dan segera berangkat ke kampus karena dia sudah terlambat.

Mika membenarkan letak kacamatanya kembali ketika tidak sengaja dia melihat seorang pemuda yang mirip dengan saudara tirinya. Ralat—itu memang dia. Mika mengernyitkan dahi hingga kedua alisnya saling bertautan. Untuk apa pemuda itu berkeliaran di dalam kampusnya? Mika bergumam dalam hati. Jangan bilang kalau pemuda berkulit sedikit cokelat tersebut pindah ke kampus yang sama dengan dirinya. Ini bencana batin Mika.

Sepertinya ada yang salah. Kenapa pemuda jangkung itu berjalan ke arahnya. Mika mengerjapkan matanya.

"Tidak perlu kaget seperti itu. Ini memang aku." Ziyan telah duduk di hadapan Mika.

Mika mendengkus. Dia benar-benar tidak menyukai pemuda yang tengah tersenyum padanya saat ini.
Dengan gerakan cepat Mika menutup bukunya dan membereskan peralatan tugasnya.

"Kenapa kau terburu-buru sekali?" tanya Ziyan heran.

Mika tidak mengindahkan Ziyan dan masih sibuk dengan buku-bukunya. Seolah dia tidak melihat dan mendengar pemuda di hadapannya itu bicara.

"Tunggu?"

Ziyan menarik tangan Mika. Pemuda yang berumur lebih tua tersebut memilih untuk duduk kembali karena dia sadar sedang berada di perpustakaan. Mika tidak ingin membuat keributan di sana.

"Apa yang kau lakukan di sini?"  Akhirnya Mika membuka suara. Walaupun pelan.

"Tentu saja kuliah."

Mika melebarkan matanya. Dia tidak salah dengar bukan? Sepertinya dia butuh ke dokter THT untuk memeriksakan pendengarannya. Dua hari ini, dia terlalu sering mendengar hal yang mengejutkan. Oh,ya satu lagi dia juga butuh memeriksakan jantungnya karena mungkin terlalu banyak menahan marah.

Mika menatap Ziyan malas. "Kalau begitu kau bisa kuliah dan aku boleh pergi bukan?"

"Tunggu, Kak?"

Ziyan kembali menarik tangan Mika agar duduk. Dengan berat hati Mika pun duduk kembali.

Tapi tunggu, apa tadi? Pemuda di hadapannya itu memanggilnya 'kakak'? Mika benar-benar harus memeriksakan telinganya.

"Kau panggil aku apa?" Mika bertanya dengan nada tidak suka.

"Kakak."

Mika menghela napas berat. Dia menatap pemuda di hadapannya yang masih bisa tersenyum. Jengah. Wajahnya terlihat manis jika tersenyum hingga memperlihatkan kedua lesung pipinya, tapi Mika tidak akan luluh hanya karena melihat senyum di wajahnya.

"Aku ingin menumpang mobilmu, nanti, setelah kuliah selesai."

Apa? Mika menajamkan telinganya.

Menumpang mobilnya?

Ibunya telah menjadi ibu pemuda itu. Kemudian kemarin dia sudah berbagi rumah, kasur, kamar mandi, handuk, peralatan mandi dan yang paling parah jatah makan malamnya. Lalu sekarang dia juga ingin Mika berbagi mobil dengannya. Tidak.

Ini sudah keterlaluan, batinnya. Mika akan benar-benar menendang pemuda di hadapannya tersebut saat ini juga.

Ziyan menjentikkan jarinya di depan wajah Mika yang terlihat sedang melamun.

"Satu jam lagi kelas selesai." Ziyan menambahkan sambil melihat alroji di tangannya.

"Aku tidak pernah bilang kalau aku setuju untuk memberikanmu tumpangan," ucap Mika sarkastik.

"Setuju atau tidak aku akan tetap menumpang." Ziyan tersenyum lagi.

Astaga. Pemuda ini benar-benar menguji kesabarannya.

"Di mana mobilmu?"  tanya Mika.

Seingatnya tadi pagi dia masih melihat BMW berwarna hitam terparkir di depan rumahnya. Dan itu bukan mobilnya. Mika yakin kalau itu adalah mobil Ziyan.

"Di bengkel," jawabnya singkat.

"Kau bisa pulang dengan naik taksi, busway atau ojek online. Sampai kapan pun, aku tidak sudi berbagi mobil denganmu. Sudah cukup aku berbagi rumah, kamar mandi dan jatah makanku padamu."

Mika hendak berdiri tapi ucapan Ziyan membuatnya menghentikan gerakannya.

"Aku kecopetan."

Kecopetan? Mika seolah tidak percaya tapi sejenak kemudian terdengar pemuda berkacamata tersebut tertawa walaupun lirih. Kalau dia tidak ingat sedang di perpustakaan, Mika akan dengan keras menertawakan kecerobohan dan kebodohan Ziyan.

Mika menatap wajah Ziyan yang terlihat sedikit galau dengan musibah yang dialaminya.

"Tertawalah sepuasmu." Ziyan membuang wajahnya.

Mika memandangi wajah Ziyan yang sulit untuk diartikan. Dia menghentikan tawanya tapi masih meninggalkan senyuman mengejek.

"Mungkin kau terkena karma karena sudah tinggal dan makan di rumahku seenaknya."

Ziyan menunjukkan wajah kurang bersahabat pada kakak tirinya tersebut. Bukannya merasa simpati malah dirinya semakin diejek. Benar-benar sial. Sudah mobilnya mogok, lalu ketika sedang menunggu taksi dia kecopetan. Lalu sekarang Mika sedang mengejeknya. Benar-benar hari kesiapan baginya.

"Tampaknya kau sangat bahagia melihatku menderita." Ziyan melipat kedua tangannya di depan dada.

"Tentu saja. Aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk menertawakan kebodohanmu." Mika semakin melebarkan senyum mengejek.

"Terserah... Yang pasti kau harus menungguku untuk pulang agar aku bisa menumpang mobilmu," tegas Ziyan sebelum dia beranjak dari kursinya.

"Aku tidak pernah mengiyakan untuk memberikanmu tumpangan," balas Mika tidak mau kalah.

Mereka berdua kini saling melemparkan tatapan membunuh.

"Kau lihat saja. Jangan panggil aku Ziyan kalau tidak bisa menumpang mobilmu," gertaknya.

"Terserah, yang pasti aku lebih senang kau pulang dengan berjalan kaki."

Ziyan masih menatap wajah Mika yang tidak berhenti menyunggingkan senyum mengejek.

"Ternyata kau semakin cantik jika tersenyum seperti itu."

"Kau...."

Ziyan tersenyum kemudian melambaikan tangannya. "Sampai jumpa satu jam lagi, Cantik."

Mika seperti tersihir, hingga tanpa sadar bahwa Ziyan telah berlalu dari hadapannya.

"Dasar gila!"

***

Mika sedang berjalan menuju mobilnya, ketika dia melihat sosok yang tidak asing sedang bersandar pada Pajero putih kesayangannya. Dia berhenti sejenak kemudian berdecak. Mika benar-benar harus mencurahkan seluruh kesabaran yang dia miliki untuk menghadapi pemuda berkulit cokelat tersebut.

"Minggir." Mika menyikut perut Ziyan agar menyingkir dari pintu mobilnya.

"Aku tidak akan menyingkir jika kau tidak mau memberikanku tumpangan." Ziyan masih keukeuh dengan sikapnya.

Mika sudah mulai jengah. Dia capek. Mata kuliah hari ini cukup menguras tenaga dan pikirannya. Dia ingin segera pulang dan mengistirahatkan tubuhnya. Tapi sepertinya rencana Mika harus tertunda karena ada manusia bar-bar yang menghalangi untuk masuk ke dalam mobil.

"Sekali lagi aku bilang minggir!" Nada suara Mika naik dua oktaf. Dia semakin bertambah geram menghadapi pemuda di hadapannya tersebut.

"Kalau aku minggir, kau pasti akan meninggalkanku." Ziyan masih tidak mau minggir dari Pajero milik Mika.

"Baiklah kalau begitu."

Mika mengambil dompetnya dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu rupiah. Dia menyerahkan uang tersebut dia atas telapak tangan Ziyan kemudian mendorong pemuda tersebut agar minggir. Mika segera masuk dan mengunci kembali mobilnya dari dalam.

Ziyan masih tertegun dengan perlakuan Mika padanya. Belum sempat Ziyan tersadar dari rasa terkejut, Mika membuka kaca mobilnya dan berbicara.

"Uang itu cukup untuk naik bus atau ojek."

Mika melambaikan tangannya. Kemudian segera memacu Pajero putih miliknya meninggalkan Ziyan yang masih berdiri di tempatnya.

Ziyan meremas uang tersebut. Sial, batinnya.

"Rupanya kau ingin bermain-main dengan seorang Ziyan Ariezka Malik."
Ziyan menendang batu yang berada di sekitarnya dan mengumpat sendiri.
Hari ini benar-benar hari yang sial untuknya.

*****

Ps; Kasih masukan, saran dan kritik. Vote dan komentar sangat dibutuhkan 😂😂😂

Happy reading

Vea Aprilia 😍

Ta, 2 May 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top