SAFM - BAGIAN DUA PULUH LIMA
"Papa... Mama...."
Mika sedikit terkejut dengan kedatangan kedua orang tuanya. Pasalnya mereka tidak memberitahu sebelumnya, kalau akan datang ke Jakarta. Mika pun baru pulang dari kampus.
"Apa kabar, Sayang?" sapa Shakina sambil memeluk Mika.
"Baik, Ma."
"Sudah lama kita tidak bertemu, bukan?" Kali ini Herman yang bersuara.
"Benar. Sejak pernikahan kalian."
"Mama tidak memberitahu kalau akan datang ke Jakarta." Alis Mika terangkat satu, seolah meminta penjelasan.
"Maaf, Sayang. Ini mendadak." Shakina melirik pada suaminya.
"Oh, ya, mana adikmu?" tanya Shakina.
"Dia belum pulang. Mungkin sebentar lagi."
Mika menatap keduanya dengan aneh. Ada sesuatu yang sepertinya mereka sembunyikan. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan Ziyan.
Dia sendiri, sejak kemarin malam Ziyan mabuk, belum berbicara sepatah kata pun. Adiknya itu seperti menghindar darinya. Tiba-tiba saja Mika merasa Ziyan berubah menjadi lebih dingin tak tersentuh. Apa mungkin Ziyan mabuk gara-gara ada masalah dengan ayah kandungnya?
"Kamu pasti capek, istirahatlah. Mama akan menyiapkan makan malam."
Shakina tersenyum manis. Sedikit aneh menurut Mika. Ibunya tersebut seperti menyembunyikan sesuatu. Namun, Mika tidak membantah, dia mengangguk dan pergi menuju kamarnya.
*****
Makan malam yang canggung. Hanya ada suara sendok dan garpu saling beradu. Belum ada yang bicara lagi setelah Shakina mempersilakan mereka berempat untuk makan. Wanita itu melirik suaminya. Matanya melihat ada kegundahan di sana. Walaupun laki-laki itu hanya diam saja dan menyantap makanannya, tapi Shakina tahu, suaminya tersebut sedang dilanda kegalauan.
Matanya kemudian beralih pada dua pemuda yang duduk di depannya. Ada Mika yang lebih dekat dengan Herman kemudian Ziyan di sisi kakaknya. Dia lebih fokus untuk menatap Ziyan. Pemuda itu tampak lebih pendiam dari terakhir mereka bertemu. Shakina dapat melihat ada perasaan yang aneh di sana. Ketika dia sedang sibuk mengamati Ziyan tiba-tiba Mika berdehem hingga membuatnya terkejut dan langsung tersenyum canggung.
Sekarang ganti Mika yang melirik ketiga orang dalam ruangan tersebut secara bergantian. Ada apa ini, kenapa jadi seperti permainan petak umpet? Apa yang sebenarnya terjadi? Kepala Mika penuh dengan sejuta pertanyaan baru. Belum lagi dengan pertanyaan tentang perihal kejadian Ziyan mabuk tempo hari. Sepertinya mereka bertiga menyembunyikan rahasia yang hanya dirinya sendiri yang tidak tahu.
"Bagaimana kabar kuliah kamu?" Herman mulai berbicara. Matanya tertuju pada Ziyan. Namun, pemuda itu seperti sengaja tidak mengindahkan pertanyaan ayahnya.
Mika yang berada di tengah-tengah merasa sedikit bingung. Dia melirik Ziyan yang masih diam sambil mengaduk makanannya dengan malas. Jelas sekali dia tidak menyukai makan malam kali ini. Walaupun ini pertama kali bagi mereka dapat makan malam bersama.
"Zi..." Mika menyenggol lengan Ziyan, tapi dia hanya mendapatkan lirikan sebentar. Kemudian pemuda berlesung pipi tersebut meneruskan aktivitasnya yang sedang mengaduk makanan.
"Mungkin dia lelah, Sayang." Shakina mencoba memberikan penjelasan pada suaminya.
Herman meletakkan peralatan makannya kemudian berdiri membuat Mika dan Shakina terkejut kecuali Ziyan. Pemuda itu masih tak acuh.
"Mau kemana, Sayang?" tanya wanita berumur empat puluh lima tahun tersebut.
"Ziyan, ikut Papa!"
Tegas dan jelas.
Kemudian Herman meninggalkan mereka bertiga.
Terdengar suara hembusan napas dari arah Ziyan. Pemuda itu lantas meletakkan sendok dan garpunya kemudian bangun. Setelah itu dengan langkah malas dia mengikuti sang ayah masuk ke dalam sebuah kamar.
Mika menatap aneh pada ayah dan anak tersebut. Kemudian matanya beralih pada ibunya, yang masih melihat suami dan putranya masuk ke dalam kamar.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Ma?" tanya Mika akhirnya membuka mulutnya.
Shakina tersentak. Dia kemudian menatap putra semata wayangnya dengan tatapan sendu.
"Maafkan, Mama, tapi ini adalah urusan ayah dan anak. Kita tidak berhak ikut campur." Shakina mencoba memberikan pengertian.
Mika menghela napas. "Baiklah."
Dia bukannya menyerah, hanya saja, mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk mengetahui semuanya.
Di sisi lain Ziyan sedang menatap kecewa pada sang ayah. Laki-laki yang dia sayangi dan cintai. Laki-laki yang memeluknya ketika sang ibu meninggalkannya. Laki-laki yang begitu berharga dalam hidupnya. Namun, kenyataan yang dia dapat saat ini membuat hatinya terluka. Bukan hanya itu, dia juga malu.
"Kenapa Papa harus berbohong selama ini?" tanya Ziyan akhirnya setelah sekian lama diam.
"Kau sudah tahu semuanya?" Herman tidak menjawab pertanyaan Ziyan tapi malah balik bertanya.
Hening. Herman membalikkan badannya dan melihat anak laki-lakinya yang sedang diam menunduk. Pria setengah abad tersebut tahu bahwa anaknya sedang kecewa padanya.
"Maafkan, Papa," ucap Herman dengan suara yang sedikit bergetar.
"Kenapa Papa melakukan semua ini?"
Ziyan menengadahkan wajahnya untuk melihat sang ayah.
"Karena aku mencintaimu."
"Tapi aku bukan anak kandungmu!" teriak Ziyan dengan nada frustrasi.
"Aku tidak pernah peduli kamu anak siapa, tapi yang perlu kamu tahu bahwa aku sungguh-sungguh menyayangimu."
Herman melangkah maju dan memegang pundak Ziyan dengan kedua tangannya.
"Aku tidak pantas mendapatkannya. Aku hanya anak yang dilahirkan dari rahim wanita murahan." Ziyan terisak sambil melepaskan pegangan tangan Herman dari pundaknya.
"Kau boleh marah dan kecewa saat ini tapi sampai kapanpun, aku tetap ayahmu. Laki-laki yang akan selalu melindungi dan menyayangimu."
Setelah mengucapkan kalimat tersebut Herman kemudian melangkah pergi meninggalkan Ziyan sendiri. Pemuda itu pun luruh di atas lantai. Tubuhnya bergetar. Kedua tangannya mengepal. Wajahnya memerah, menggambarkan bahwa ada kekecewaan besar di sana.
Beberapa hari yang lalu setelah kedatangan ibunya, hidup Ziyan sedikit kacau. Ditambah lagi ketika dia sampai di pulau Bali. Pemuda itu terus-menerus diteror dengan berbagai macam pesan dan telepon. Dan semua itu dari Sarah, ibunya.
Dari semua pesan yang diterimanya ada salah satu yang mengatakan kalau dia bukan anak kandung Herman. Dan itu langsung membuat Ziyan shok. Dia kaget luar biasa. Antara percaya dan tidak akhirnya dia menghubungi sang ibu untuk meminta kejelasan atas apa yang yang baru saja dia terima. Sang ibu malah meracuninya dengan cerita masa lalunya. Bagaimana dia bisa menikah dengan Herman dan mengandung Ziyan. Tanpa pikir panjang pemuda itu langsung menutup teleponnya walaupun sang ibu belum selesai bicara. Dan setelah itu dia mematikan ponselnya. Itu sebabnya Mika tidak dapat menghubunginya.
Ziyan terlalu kalut dalam masalahnya sendiri.
Dia benar-benar tidak menyangka ayah yang selama ini dia cinta dan sayangi serta hormati ternyata bukanlah ayah kandungnya. Dia kecewa pada kenyataan yang ada. Dia marah pada ibunya yang benar-benar ular berbisa yang memanfaatkan keadaan untuk menjebak Herman agar menikahinya setelah tahu dia hamil.
Dia malu pada dirinya sendiri. Tak seharusnya dia mendapatkan semua ini. Kasih sayang Herman bahkan sampai hak asuh atas dirinya setelah ayah dan ibunya bercerai. Memang, Herman lah yang berjuang sekuat tenaga agar hak asuh Ziyan jatuh di tangannya.
Dirinya hanya sampah. Bahkan dia tidak tahu siapa ayah kandungnya sendiri.
Ziyan masih terduduk di atas lantai. Dia tidak menyadari kalau sejak tadi ada seseorang yang sedang mengamatinya. Orang itu adalah Mika.
Mika menuju ruangan tempat Ziyan dan Herman tadi berbicara setelah melihat sang ayah keluar. Namun, dia terkejut ketika mendapati adiknya sedang terduduk di atas lantai. Kakinya ingin melangkah tapi diurungkan karena dia mendengar suara isakan.
Mika hanya bisa menatapnya dari jauh. Sebenarnya apa yang terjadi?
*****
Ps: Maaf kalau update lama, saya baru saja berlibur ke pulau pribadi a.k.a pulau kapuk 😀 alias kasur, selama satu minggu saya drop 😢
Typo bertebaran.
Happy reading
Vea Aprilia
Ta, Selasa 6 Juni 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top