SAFM - BAGIAN DUA PULUH ENAM


"...Argghh!" Mika mengerang. Dia tidak suka dengan situasi seperti ini.

Sudah satu minggu sejak kejadian Papa dan Mama-nya datang. Namun, sejak kejadian itu,  sikap Ziyan berubah seratus delapan puluh derajat. Adiknya itu lebih banyak diam. Hanya menjawab seadanya jika ditanya oleh Mika.

Tidak ada seorang yang menjahili atau menggodanya lagi. Tidak ada lagi yang suka menonton film kartun lagi. Mereka tinggal berdua tapi Mika merasa seperti sendirian lagi.

Ziyan seolah berubah menjadi asing baginya. Menjadi lebih dingin tak tersentuh. Entah apa yang sebenarnya terjadi dia tak pernah tau.  Shakina dan Herman pun kembali setelah makan malam itu. Padahal sebelumnya mereka mengatakan akan menginap.

Di antara mereka berempat, hanya Mika yang sepertinya tidak tahu masalah dalam keluarganya sendiri. Seolah mereka menyembunyikannya dari Mika.

"Kau mau pergi?" tanya Mika ketika melihat Ziyan sedang memakai jaket kulitnya.

Dia hanya membalas dengan anggukan.

"Apakah kau akan pulang untuk makan malam?" tanya Mika lagi.

"Entahlah," jawab Ziyan tak acuh seraya melangkah pergi meninggalkan Mika yang masih terpaku di ruang tamu.

"Aneh." Mika bergumam sendiri setelah kepergian Ziyan.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Mika menggeleng bingung.

Dia kemudian bergegas keluar untuk pergi ke kafe. Mika butuh hiburan sekaligus menenangkan pikirannya yang sedang dilanda kebuntuan.

****

"Ada masalah?" tanya Rio menepuk pundak Mika dari samping.

"Entahlah," jawabnya lesu.

"Ayolah. Kau bisa cerita 'kan?" Kini Rio duduk di kursi kosong di sebelah Mika. Mereka duduk di kursi bar.

"Aku sendiri juga tidak tahu apa yang terjadi. Semuanya membuatku bingung." Mika mendesah. Wajahnya terlihat frustrasi.

"Apa ini tentang adikmu?" tebak Rio langsung.

Mika mengangguk.

"Woah... Sejak kapan kau peduli padanya?" goda Rio.

Mika mendelik tidak suka.

"Oke... Oke...." Rio mengangkat kedua tangannya ke atas.

Ini bukan waktu yang tepat untuk menggoda Mika. Karena pemuda itu nampak serius sekali.

"Memang kenapa dengan dia?" tanya Rio masih penasaran.

"Entahlah aku tidak tahu. Rasanya dia jadi berubah." Mika menghela napas.

"Maksudmu berubah jadi Power Ranger atau Satria Baja Hitam?"

Sekali lagi Mika mendelik tapi kali ini dibarengi dengan dengkusan tidak suka. Please, ini serius Man.

Rio hanya cengengesan. Dia benar-benar tidak tahu betapa galaunya hati Mika saat ini.

"Bagaimana kalau kau bernyanyi saja?"  tawar Rio tiba-tiba.

"Apa boleh?" tanya Mika terkejut sekaligus ragu.

"Tentu saja."

Rio menatap Mika, tanda bahwa ucapannya itu serius.

Kafe milik Rio ini adalah kafe dengan konsep live music in the night. Jadi di siang hari hanya ada musik dari audio saja. Tidak heran kalau Mika sedikit terkejut. Karena juga, sejak tadi Rio menggodanya, jadi dia merasa kalau Rio tidak sedang sungguh-sungguh waktu mengucapkan hal tersebut.

"Kau serius?" tanya Mika mencoba meyakinkan kembali.

"Kalau kau tidak mau, ya sudah...."

"Baiklah." Mika dengan cepat memotong perkataan Rio.

"Bagus. Itu baru Mika yang selalu bersemangat."

Mika tersenyum simpul. Dia butuh pelampiasan saat ini. Mungkin dengan bernyanyi, bisa sedikit melupakan tentang teka-teki dalam keluarganya.

Mika duduk di tengah panggung sambil memegang gitarnya. Dan detik berikutnya lagu All of Me dari John Legend mengalun merdu dari bibirnya. Jari lentiknya pun memetik gitar dengan indah. Pemuda itu seolah hanyut dalam setiap lirik lagu tersebut. Dan entah kenapa dalam pikirannya terlintas kilasan-kilasan kebersamaan dirinya bersama Ziyan dalam beberapa bulan ini. Terlihat jelas saat-saat mereka bertengkar dan bercanda.

Lagu yang dinyanyikannya pun telah usai. Mika tertegun sejenak. Tepuk tangan dari beberapa pengunjung seolah tidak terdengar olehnya. Dia larut dalam pikirannya sendiri. Kenapa tiba-tiba dia teringat peristiwa bersama Ziyan.

Detik berikutnya Mika segera bangkit dan meninggalkan panggung. Tanpa menghiraukan panggilan Rio, dia segera keluar dari kafe dan menuju mobil kesayangannya. Dan dengan sekejap mobil itu pun sudah melesat jauh meninggalkan pelataran kafe milik Rio.

****

Mika sampai di rumah dan segera masuk ke dalam. Langkahnya dengan terburu-buru naik ke lantai atas. Dan pemuda itu dikejutkan oleh sesuatu yang tidak terduga.

"Kau mau ke mana?" tanya Mika terkejut setelah melihat Ziyan sedang mengemasi barang-barang miliknya.

Ziyan tidak menjawab. Seolah menulikan telinganya. Dia masih sibuk menyusun pakaiannya ke dalam koper besar miliknya.

"Aku tanya, kau mau ke mana?" Kali ini Mika sudah mendekat ke arah Ziyan dengan suaranya yang sedikit ditinggikan.

Merasa perkataannya tidak diacuhkan. Dia segera menarik tangan Ziyan agar fokus padanya.

Ziyan pun menatap tajam ke arah Mika seolah berkata 'ini bukan urusanmu'.

Detik berikutnya Ziyan melepaskan pegangan tangan Mika pada lengannya dan kembali pada aktivitas yang sempat terhenti.

"Baiklah kalau kau tidak mau memberitahuku. Kalian semua sama saja. Menyembunyikan masalah seolah aku ini bukan bagian dari keluarga ini."

Gerakan tangan Ziyan terhenti ketika mendengar perkataan Mika. Dia kemudian meremas pakaian yang telah tersusun rapi di dalam koper.

"Kau, Mama dan Papa-mu. Kalian semua sama saja." Mika tertawa pahit.

"Baiklah lakukan semaumu. Aku tidak akan mencegah atau pun bertanya lagi. Toh... Dari awal aku memang menginginkan kau pergi dari rumah ini."

Mika berbalik. Matanya terpejam. Hatinya mengumpat. Dia merutuki kebodohannya, kenapa bisa mulutnya mengatakan hal tersebut pada Ziyan. Seharusnya dia mencegahnya, bukan?

"Maafkan aku karena selama ini telah merepotkanmu."

Kaki Mika terhenti saat mendengar perkataan Ziyan. Tubuhnya sedikit bergetar tapi dia tidak berbalik.

"Aku akan pergi, dan mungkin akan lama. Kau bisa tinggal di rumah ini dengan tenang kembali."

Mika masih diam di tempatnya. Tubuhnya masih enggan untuk berbalik. Namun, ada sesuatu yang seolah mengiris hatinya mendengar perkataan Ziyan. Mika mengepalkan telapak tangannya. Matanya pun terpejam.

"Aku senang bisa tinggal bersamamu, walaupun hanya enam bulan saja. Kau tahu aku dulu selalu berharap mempunyai saudara, dan aku bersyukur karena aku mempunyai saudara seperti dirimu. Walaupun kita tidak dilahirkan dari rahim yang sama."

Dengan gerakan pelan Mika berbalik. Dia bisa melihat sorot mata keputus- asaan di sana. Seolah Ziyan sedang memikul beban berat di pundaknya.

"Kenapa?" tanya Mika dengan suara tercekak.

"Maaf. Mungkin ini akan lebih baik untuk kita bersama."

Ziyan berjalan mendekat. Kedua tangannya memegang pundak Mika lalu detik berikutnya, tubuh kakaknya sudah berada dalam pelukannya.

"Maafkan aku, karena sudah banyak menyusahkanmu."

Mika masih diam. Ini terlalu mendadak untuknya. Semua ini seperti sebuah mimpi buruk baginya. Memang dulu dia sangat menginginkan kepergian Ziyan tapi setelah beberapa waktu dia jadi terbiasa dengan keberadaan pemuda itu. Malah dia akan merasa rindu jika jauh darinya. Ah... Mika, ternyata hatimu tidak bisa berbohong.

"Kenapa?" tanya Mika lirih.

"Maaf. Aku tidak bisa cerita sekarang."

Ziyan merenggangkan pelukannya. Dia menatap lekat-lekat wajah Mika.

"Jangan cengeng. Kau seperti perempuan yang akan ditinggal kekasihmu saja." Ziyan tersenyum.

Mika tidak memberikan ekspresi marah atau apapun. Dia masih terkejut dengan semua ini. Ternyata  perasaan tidak enak saat di kafe berhubungan dengan semua ini.

"Berjanjilah untuk menjaga Mama dan Papa-mu yang sekarang. Mereka orang yang baik," pinta Ziyan sungguh-sungguh.

"Kenapa?" tanya Mika lagi. Mungkin hanya kata itu yang terngiang dalam otaknya.

"Dan juga, kau harus berjanji untuk hidup bahagia tanpa aku."

Mika menatap tidak suka.

Ziyan kembali memeluk tubuh Mika.

"Maafkan aku."

*****

Ps ; jangan bakar saya please. Maaf update lama karena saya dalam keadaan tidak terlalu sehat jadi saya tidak bisa fokus untuk nulis. Dan alhamdulillah sudah agak baikan.

Satu part lagi tamat ya 😄

Happy reading

Vea Aprilia
Ta,  jumat, 16 Juni 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top