SAFM - BAGIAN DUA PULUH EMPAT
Cuaca Jakarta cukup panas hari ini. Mika sedang bermalasan duduk selonjor di atas sofa. Dia baru saja selesai membereskan dan membersihkan rumah. Sedikit capek tapi Mika sudah terbiasa melakukan itu semua.
Keadaan rumah sangat sepi, hanya ada suara jarum jam. Dia tidak berniat menyalakan televisi. Pikirannya sedang melayang pada kejadian tiga hari yang lalu. Saat Ziyan tiba-tiba memeluk dirinya di kampus. Mika masih memikirkan tingkah aneh Ziyan. Walaupun kadang menyebalkan tapi Mika belum pernah melihat sisi Ziyan yang seperti itu. Rapuh.
Mika mendesah. Ini sudah tiga hari. Seharusnya adik tirinya akan kembali hari ini kalau tidak terlambat lagi, seperti dulu ketika dia pergi ke Singapura. Mika tidak berniat untuk menunggunya malam ini, karena dia sendiri harus pergi bekerja. Mencoba untuk melupakan sejenak pikirannya pada Ziyan, Mika harus fokus untuk bekerja malam ini. Dia tidak ingin pikirannya terpecah karena Ziyan.
Dan selama tiga hari ini pun, adik tirinya tidak pernah menghubunginya. Padahal Mika sudah mencoba beberapa kali untuk mengirim pesan tapi tidak satu pun pesannya yang dibalas. Dia juga telah meneleponnya tapi sama tetap saja nihil. Ziyan tidak mengangkat panggilan telepon darinya satu kali pun. Malah di hari ketiga, ponsel Ziyan benar-benar tidak bisa dihubungi. Pemuda jangkung itu mematikan ponselnya. Entah sengaja atau bukan, tapi itu membuat perasaan Mika jadi sedikit khawatir.
Hari sudah sore, Mika segera membereskan gitar dan menentengnya. Dia bergegas keluar dari rumah. Tidak lupa mengunci pintu kemudian masuk ke dalam Pajero kesayangannya.
Tangannya menstarter mobil. Semenit kemudian mobil putih tersebut telah melesat meninggalkan rumah bergaya minimalis yang ditinggali oleh Mika dan Ziyan.
****
Mika melirik alroji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Dia segera membereskan gitar dan bergegas meninggalkan kafe. Malam ini karena pengunjung yang cukup padat sehingga membuat dirinya sedikit terlambat untuk pulang. Wajar saja ini adalah malam minggu.
"Kau sudah mau pulang?" tanya Rio ketika berpapasan dengan Mika.
"Tentu saja."
"Bukankah di rumahmu sedang tidak ada orang?"
"Ziyan akan pulang malam ini."
Rio hanya ber'oh' ria mendengar perkataan Mika. Pemuda berkulit putih tersebut menepuk bahu Rio kemudian meninggalkan sang manajer.
Rio tidak berniat untuk menghalangi Mika atau sekadar menggodanya. Dia tahu bahwa pemuda berponi tersebut tentu lelah malam ini. Mika butuh istirahat, pikirnya.
Jalanan Jakarta masih saja padat, walaupun sudah tengah malam. Mika mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tubuhnya terasa lelah tapi dia tidak sedang terburu-buru. Mika juga bukan tipe orang yang suka mengebut.
Hampir satu jam dia telah sampai di rumahnya di kawasan Jakarta Selatan. Mika segera memarkirkan mobilnya. Turun dengan membawa serta gitarnya.
Tubuhnya terpaku sebentar. Matanya menangkap suatu objek. Ada seseorang yang tengah duduk bersandar di depan pintu rumahnya dengan keadaan tertunduk dan kaki berselonjor.
Karena pencahayaan yang kurang, Mika tidak bisa langsung mengenali sosok tersebut. Dia kemudian berjalan perlahan. Mengamati dari dekat.
"Astaga, Ziyan," pekik Mika segera menghampiri tubuh Ziyan.
"Zi, bangun." Mika mencoba membangunkan Ziyan dengan menepuk-nepuk pipi pemuda tersebut.
Ziyan hanya bergumam tidak jelas sambil menggelengkan kepala.
Mika mendesah pelan kemudian meletakkan gitarnya. Dia bangkit lalu membuka pintu. Setelah pintu terbuka dia berjongkok kembali. Meraih tangan kanan Ziyan dan menaruhnya di pundaknya. Mika mencoba membantu Ziyan untuk berdiri walaupun susah payah.
Mika dapat memastikan bahwa adik tirinya tersebut sedang mabuk dari bau alkohol yang begitu menusuk hidungnya.
Akhirnya dengan susah payah Mika dapat membopong Ziyan sampai di ruang tamu. Setelah itu merebahkan tubuh adik tirinya di atas salah satu sofa ruangan tersebut.
Mika berdiri. Mengatur napasnya kemudian keluar untuk mengambil gitar lalu mengunci pintu rumahnya.
Tangannya meletakkan gitar tersebut di atas karpet. Matanya kembali fokus pada objek yang sedang tertidur di atas sofa.
"Ziyan, bangun." Mika mencoba kembali untuk membangunkan Ziyan. Tapi hanya gumaman tidak jelas yang didapatnya.
Pemuda berponi tersebut berpikir sejenak. Apa yang harus dilakukannya sekarang. Haruskah dia membawa Ziyan ke kamarnya atau meninggalkannya di ruang tamu saja. Mika dilema. Tidak tega juga jika meninggalkan pemuda jangkung itu, tidur di sofa ruang tamu. Namun, dia akan kewalahan jika harus membopongnya naik ke lantai atas.
"Zi.... Ayo kita naik." Akhirnya Mika memutuskan untuk membawa adiknya tersebut naik.
Namun, tidak diduga Ziyan malah mendorongnya dengan keras, hingga membuat Mika terjatuh di atas lantai.
"Pergi!"
"Pergi! Wanita jalang!"
" Jangan ganggu hidupku lagi! "
Ziyan meracau tidak jelas membuat Mika bingung. Siapa yang dia sebut wanita jalang? Di rumah ini tidak ada siapa-siapa kecuali mereka berdua.
"Zi, kamu tidak apa-apa?" tanya Mika setelah bangkit dan menghampiri Ziyan kembali. Tidak terdengar balasan dari mulut Ziyan. Pemuda jangkung tersebut kembali tak sadarkan diri.
Mika mendesah pelan. Dengan susah payah dia membantu Ziyan untuk berdiri dan memapahnya berjalan. Walaupun sambil terseok-seok akhirnya mereka sampai di kamar Ziyan.
Mika langsung saja membaringkan tubuh Ziyan, dengan sedikit kasar karena ternyata adik tirinya tersebut cukup berat juga. Dia mengatur napasnya kemudian menuju kamar mandi. Sedetik kemudian dia kembali dengan handuk yang telah dibasahi oleh air.
Pertama-tama Mika membuka sepatu Ziyan, lanjut dia membuka jaket kulit yang dikenakan oleh adiknya tersebut. Lalu tangannya mulai mengusap wajah Ziyan dengan handuk yang dibawanya tadi.
"Kenapa kau jadi seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Mika lirih setelah selesai mengelap wajah dan leher Ziyan. Berharap adiknya dapat tidur nyenyak malam ini.
"Jangan tinggalkan aku...," gumam Ziyan lirih tapi Mika masih bisa mendengarnya dengan jelas.
"Tidurlah," ucap Mika sambil menyelimuti tubuh Ziyan dengan selimut.
Tiba-tiba sebuah gerakan menangkap pergelangan tangannya. Mika terkejut, adiknya sedang memegang erat tangan kanannya.
"Kenapa Papa berbohong selama ini?" tanya Ziyan membuat Mika mengerutkan keningnya. Mungkin Ziyan bermimpi bahwa dirinya adalah Hendra, Papanya.
"Zi, sadar, aku Mika." Mika menepuk pipi Ziyan dengan satu tangannya yang bebas.
"Papa, kenapa harus berbohong?" Ziyan meracau tidak jelas lagi.
"Aku benci Papa!" Ziyan berteriak sambil terus memegang tangan Mika membuat kakaknya tersebut kesakitan.
"Ziyan... Lepaskan!"
Bukan dilepas malah Ziyan menarik lengan Mika sampai tubuh kakaknya terjatuh di atas tubuhnya sendiri. Sedetik kemudian kedua lengan Ziyan telah memeluk erat tubuh Mika yang berada di atasnya.
"Ziyan lepas!" protes Mika.
"Aku takut," gumam Ziyan.
Mika mendongak untuk melihat wajah Ziyan. Mata adiknya masih terpejam. Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Mika dapat merasakan hembusan napas Ziyan yang panas.
"Berjanjilah, kau tidak akan meninggalkanku?" pinta Ziyan masih dengan mata terpejam.
Mika terkejut dengan permintaan Ziyan. Dia bingung harus menjawab apa. Dirinya tidak tahu apa yang telah terjadi pada adik tirinya tersebut. Pulang dalam keadaan mabuk dan berbicara tidak jelas.
Mika hendak membuka mulut tapi dia merasakan napas Ziyan yang mulai teratur. Pelukannya pun mulai mengendur. Dengan perlahan-lahan dia melepaskan tangan Ziyan dari tubuhnya. Menyelimutinya kembali sebelum bangkit untuk meninggalkan adiknya tersebut.
Matanya mengamati Ziyan untuk beberapa saat, sebelum melangkah keluar dari kamar dan menutup pintu. Dia masih bingung dan penasaran dengan apa yang terjadi pada Ziyan.
Kenapa sepulang dari Bali, adiknya mabuk? Mika masih bingung. Dalam otaknya penuh dengan setuju tanda tanya. Mungkin dia akan bertanya besok, setelah Ziyan benar-benar telah bebas dari pengaruh alkohol. Mika sangat lelah hari ini. Dia butuh beristirahat juga.
*****
Ps ; alhamdulillah bisa nulis juga. Selamat menunaikan ibadah sahur bagi yang menjalankan.
Happy reading
Vea Aprilia
Ta, 1 Juni 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top