WE LoVE
Isi perutnya tampak.
Kenyataan itu menerjang alam bawah sadar Maja, matanya seketika melihat ribuan bintang, aroma kematian mengasamkan liur yang menggenang dalam mulutnya. Namun Hadrian akan menghajarnya habis-habisan kalau dia muntah sekarang. Jadi dia bersimpuh di samping si pemuda Praja, mengenggam tangan yang licin oleh darah itu erat-erat dan mulai melantunkan rupa surgawi.
Kematian, kehidupan, kelahiran,
Untuk insan paling mulia ...,
Di balik zirah sewarna lumut, napas berdengih si pemuda memandangi paras elok Maja. Seorang dewi, pemuda itu berpikir. Aku telah menyelamatkan seorang dewi. Dia melepaskan rasa sakit yang meledak-ledak pada perut bagian bawah dengan mengikuti lantunan sayup wanita yang baru saja dia hindarkan dari petaka. Pemuda itu begitu terpaku pada dua hal itu hingga urung menyadari Maja yang memelototi urat-urat kehitaman menonjol di sepanjang pelipisnya.
Neptun.
Maja ingat sekarang. Nama pemuda sekarat ini. Neptun. Pemuda kering kerontang yang dijual pada hierarki Hadrian oleh keluarganya sendiri demi jatah ransum yang tak seberapa.
... kami lantunkan rupa surgawi,
Tenggorokan Maja tersekat saat matanya bersinggungan dengan mata berkabut Neptun. Ketika pemuda itu menyentuhkan dahinya yang banjir keringat dingin pada dahi Maja, wanita berbibir ranum itu segera tahu bahwa Neptun sudah dekat. Karena itu Maja mengeraskan lantunannya.
Dengan melodi ini, kita akan selalu di bawah bimbingan cahayanya ...
Tanah di bawah lutut Maja bergetar, sekilometer dari tempat Maja awan jamur membumbung ke angkasa diiringi suara dentuman menggelegar. Sementara empat Praja di sekelilingnya serempak menamengi Maja dari guguran bebatuan yang berasal dari langit-langit gua, bertukar pandang gelisah ingin segera menjauhkan Putri Bintang mereka dari gua rentan itu, perhatian Maja terpaku pada keheningan di rongga dada Neptun, pada kekosongan mutlak di mata kelabu si pemuda, pada guratan pembuluh nadi hitam yang kini merayapi hidung bengkok Neptun.
Masih ada dua paragraf lantunan Rupa Surgawi. Dan Neptun tak mampu menyelesaikannya ... gara-gara kau lamban, Maja! Dasar anak sulung tak becus!
"Saatnya pergi, Putri Maja."
Maja beringsut tanpa diminta untuk kali kedua, mengambil tamengnya yang tadinya digunakan sebagai bantalan kepala Neptun ke balik punggung. Keempat Praja yang menemaninya dari awal perjalanan dimulai memandangi Putri Bintang mereka dengan hati berdenyut tanpa mampu mengibakan kata-kata penghiburan. Sebab mereka diprogram bukan untuk itu.
Tak ada satupun dari mereka yang mempertanyakan tindakan sang Putri ketika dia mengejutkan mereka dengan menggendong mayat Neptun. Tak ada satupun dari keempat Praja menggelak ketika Maja menaungi kepala mereka dengan warna sekelabu logam mulia. "Aku tak mau Hadrian melihat ini."
Ketika gema suara terakhir lenyap di lorong terjauh gua, bak digerakkan oleh tali tak kasat mata, keempat Praja menekankan telunjuk ke pelipis, tepat pada lingkaran sebesar kelingking bayi di atas kulit sana. Warna biru berputar-putar sekejap pada pantulan mata keempat Praja.
Sekejap tapi hal itu sudah mencukupi bagi Maja.
Untuk saat ini. Maja memperingati diri sendiri selagi menekankan mayat Neptun ke dadanya, merunduk saat melewati liang gua, cahaya senja yang tiba-tiba membanjir membutakan pengelihatannya sebelum pemandangan hutan porak poranda, hitam dan berasap di sana-sini jadi satu-satunya hal yang dilihat oleh Maja. Lembaran nano di bawah telinga Maja bergerak secara otomatis melindungi indera Maja dari polutan beracun.
Malam itu kendati Maja sampai dengan selamat di pos persembunyian, hanya menderita luka-luka fisik yang tak seberapa, gambaran soal kematian Neptun terus membayang-bayangi bahkan dalam tidurnya yang tak sampai sejam lamanya sebab dalam mimpi Maja kini, bukan hanya Neptun seorang yang mengais-ngais betisnya meminta pengampunan, Maja melihat ribuan tangan dan wajah yang dia kenali maupun hanya sempat dia perhatikan melalui siaran langsung eksekusi bulanan di Kyto.
Biarpun ingin, Maja menahan kantuknya dengan melakukan apa saja.
Setelah menyingkirkan sampah berupa kaleng sarden dan buntalan-buntalan kusut kertas dari meja di samping dipan bambunya, Maja memaksa pikirannya supaya bekerja.
Dia menjambret mantelnya yang teronggok menyedihkan di lantai tanah, setelah membolak-balikkan beberapa kali untuk mendapatkan sisi yang diinginkan, Maja mengeluarkan benda yang dia butuhkan dari saku mantel paling bawah.
Sebuah buku bersampul hitam hanya lebih besar beberapa senti daripada telapak tangan Maja. Hadiah dari nenek buyutnya. Dulu di kamarnya buku itu dibiarkan Maja bersesakan di antara puluhan buku seni perang dan perpolitikan sebelum kekasih Maja mendekorasi sampulnya, mengatakan--dengan nada jenaka--bahwa nenek buyut Maja tahu bagaimana masa depan pada akhirnya jadi lautan digital nan rentan.
Kekasih Maja tak sepenuhnya salah. Server inti Kyto sudah bukan milik pribadi lagi. Jadilah, buku hitam berbercak-bercak putih jadi formula rahasia Maja untuk mengakali Hardian dari melihat terlalu banyak.
Maja membalikkan sampul buku cepat-cepat, sengaja menghindari setengah halaman yang dia isi bersama orang yang telah mencuri hatinya. Maja membuka salah satu halaman yang sengaja dia lipat sebagai pengingat, menelusuri hati-hati dengan jemarinya, mata sewarna besinya bergerak luwes membaca setiap susunan huruf, mencoret tugas yang dibebankan padanya dimulai saat dia membungkuk untuk diberi berkat bersama lima Praja terlatih. Ibaratkan misi sebelumnya yang tak tertahankan memuakkannya, tugas kali ini diselesaikan Maja lebih cepat seminggu dari perkiraan. Namun dengan Bayaran hidup salah satu Praja yang melayaninya tanpa pamrih.
Neptun.
Membakar habis sarang pemberontak di timur kemudian membunuhi yang tak berguna, menggiring otak dari aksi percuma ke bangsal penyiksaan. Menghadiri rapat aliansi berkedok pesta perayaan dimulainya era baru di Erho seraya memberi pujian, ancaman dan janji-janji melalui pidato yang sudah dipersiapkan secara seksama oleh Hadrian rasanya tak sebanding dengan apa yang terjadi pada Neptun.
Kematian Neptun kini sudah tentu tersebar luas di Kyto. Peti kosong datang diikuti surat resmi yang ditandatangani sendiri oleh Hadrian. Surat itu seperti sebagaimana surat-surat yang lampau hanya berisi ucapan terima kasih dan semoga putera atau puteri anda mendapat tempat di tanah surgawi--tiba di depan pintu apartemen keluarga Neptun.
Hanya dengan memikirkan penghinaan semacam itu, Maja sontak gemetar dari ujung kepala sampai kaki.
Berani-beraninya mereka berbuat begitu! Tega-teganya mereka!
Sementara di sini, tak sampai dua jam yang lalu Maja menggali tanah dengan tangannya sendiri tanpa bantuan siapa-siapa untuk memberi tempat peristirahatan yang sudah sepantasnya diterima Neptun, bahkan dia sendiri masih membaui darah pada telapak tangannya tak peduli seberapa keraspun Maja menggosok demi menyingkirkan bau anyir itu. Saking marahnya Maja tak menyadari tangannya yang mencoret daftar terakhir hingga nyaris melubangi kertas kekuningan itu.
Maja berhenti hanya gara-gara melihat goresan tinta setipis surai sutra, kian jelas saat didekatkan pada lentera minyak.
Kata-kata di atas kertas itu sederhana. Singkat. Nyaris susah dimengerti malahan. Namun begitu, Maja memantikan lenteranya, memakai mantel, mengeratkan cantelan tamengnya di balik bahu dan berderap keluar tenda.
Keempat Praja yang mulanya duduk membisu mengelilingi arang bekas api ungun bergegas mengikuti Maja tanpa bertanya-tanya.
Tak ada waktu lagi. Harus berangkat sekarang.
Besok sebelum fajar menyingsing, sepasukan Praja akan berderap untuk menjemput Maja. Menggiringnya kembali ke istana, untuk dipamerkan, dijadikan alat tukar, sekaligus senjata di ruang jagal pada sel-sel bau pesing sebab Hadrian tak sudi mengotori tangannya sendiri dengan memukuli tubuh manusia sampai bonyok.
Sudah cukup! Dia berucap demikian puluhan, ratusan kali. Namun baru sekarang Maja menanggapi peperangan lama dalam kepalanya.
Maja merasakan jantungnya bertalu-talu bak tabuhan genderang perang, berdentum hingga ke telinganya. Merasa takut sekaligus berani. Membungkuk di atas SyncRotor yang melaju kencang di belantara kering kerontang meninggalkan kepulan debu hitam serta kehidupannya yang melelahkan jauh di belakang.
Cari aku, Maja.
Sementara sebuah nama memenuhi kepala Maja. Nama dari orang yang teramat dia sayangi dulunya, sekaligus rindukan. Nama yang kini jadi tujuan akhir SyncRotor Maja.
Candra.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top