Tujuh Belas
minggu lalu aku sama sekali nggak sempat nulis karena nyelesaiin urusan kantor, dan anak tiba-tiba sakit. Jadi sama sekali nggak bisa ngerjain hobi ini. Jadi aku akan sangat menghargai seandainya pembaca tidak komen hanya untuk meminta update-an. Selain itu, komen apa aja boleh, malah dianjurkan. Hehehe. Oh ya, seperti biasa ini minim editan, jadi buat grammar nazi, ini bukan tempat yang nyaman untuk kalian sih. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaess.
**
"Mbak Prita cantik banget!" Orlin menatap takjub saat Prita turun dari kamarnya. Matanya yang membelalak menandakan kekaguman itu.
"Kamu minta naik gaji?" Mau tidak mau, Prita kembali melihat gaun yang melekat di tubuhnya. Dia merancang gaun ini sendiri. Bagian tersulitnya adalah menemukan penjahit yang bisa mewujudkan sketsa yang dibuatnya menjadi gaun, karena dia tidak punya cukup waktu untuk menjahitnya sendiri. Sedikit menyesakkan saat menyadari bahwa dia sudah cukup lama tidak bersentuhan dengan mesin jahit. Rasanya dia semakin menjauh dari apa yang menjadi impiannya sejak kecil. Kembali ke tanah air merampas banyak hal darinya. Ya, sebagian besar memang karena ketololannya sendiri. Tidak adil menimpakan kesalahan kepada kedua orangtua yang memintanya pulang. Seandainya dia tidak melibatkan dirinya pada masalah, dia pasti sudah memulai butiknya sendiri. Tidak harus membuang begitu banyak waktu untuk mengalihkan perhatian banyak orang dari kasus yang pernah menimpanya. Dan tentu saja tidak tersandera di kantor ayahnya seperti sekarang.
Saat Orlin menyebutkan nama Mbak Juwi sebagai penjahit andal, Prita sempat skeptis. Cerita Orlin tentang kemampuan Mbak Juwi memotong rambut ala mangkuk sama sekali tidak bisa meningkatkan kredibilitas perempuan itu. Ditambah lagi dengan melihat bentuk rambut Orlin saat sebelum di-make over. Tetapi karena tidak punya rekomendasi lain akibat kehidupan sosialnya yang tidak terlalu bagus, Prita harus mencoba pilihan itu. Dia bisa saja minta tolong kepada salah seorang desainer yang mengerjakan pakaian ibunya, tetapi Prita terlalu gengsi untuk melakukannya. Dia bukan tipe orang yang akan meminta bantuan untuk hal seperti itu. Menyerahkan sketsanya kepada desainer lain unuk diwujudkan menjadi sebuah gaun rasanya memalukan. Dia akan terlihat seperti pemalas. Sangat tidak baik untuk citra dirinya yang memang sudah buruk di mata banyak orang.
Dan yang menakjubkan adalah, keahlian Mbak Juwi dalam jahit-menjahit ternyata jauh lebih mumpuni daripada kemampuannya memotong rambut. Gaun hijau tua mengilap itu persis seperti keinginan Prita. Melekat erat di tubuhnya sampai di paha, sebelum melebar di bawah dengan potongan asimetris. Dia sengaja memilih model gaun yang konservatif, meskipun tidak yakin itu akan membuat wartawan yang meliput berita acara ulang tahun perusahaan akan melewatkan detail bahwa anak Johny Salim yang tampak sopan adalah orang yang pernah dianggap bertanggung jawab terhadap kematian salah seorang artis terkenal di Indonesia. Kaum hedonis, pemuja budaya barat dengan sex bebasnya.
"Gaji saya sudah cukup, Mbak." Orlin mengembalikan fokus Prita yang terpecah oleh pikiran yang mendadak hinggap di benaknya. "Ini pujian dari hati kok. Tulus, tanpa pamrih"
Prita mencebik dan ganti memperhatikan penampilan asistennya itu. Dia yang memilihkan gaun untuk Orlin. "Kamu juga cantik banget malam ini."
"Make up, Mbak. Ini kan kerjaan make up. Mbak salon yang ngerjain tadi jago banget."
"Kamu harus melakukan sesuatu dengan kepercayaan diri kamu." Prita memberi isyarat supaya Orlin mengikutinya ke depan. "Ada orang yang sebenarnya nggak cantik, tapi mereka kelihatan menarik banget karena tahu persis bagaimana membawa diri sehingga kelihatan menonjol. Bikin orang yang melihat mereka tahu kalau orang-orang itu lebih daripada sekadar kemasan yang membungkusnya. Kamu manis, dan kepercayaan diri yang bagus akan bikin kamu kelihatan bersinar."
"Sulit, Mbak," gerutu Orlin, tidak seperti bicara kepada majikannya. "Mbak Prita bisa bilang gitu karena Mbak nggak pernah merasa berada di tempat saya. Sejak kecil, saya sudah berdiri di pojokan karena teman-teman saya memperlakukan saya seperti itu saat tahu saya anak panti. Sulit punya kepercayaan diri yang bagus saat selalu merasa diingatkan asal saya."
"Waktu kamu kecil mungkin sulit, tapi sekarang kamu sudah mandiri. Kamu nggak menadahkan tangan sama orang lain. Mengapa kamu harus terus menempatkan diri kamu di bawah? Hidup kamu itu tentang kamu sendiri, bukan untuk membenarkan persepsi orang-orang tentang kamu. Kamu nggak berutang apa-apa sama mereka, jadi berhenti menganggap orang lain lebih penting daripada diri kamu."
"Tapi, Mbak...."
"Jangan bilang aku nggak tahu rasanya jadi kamu!" potong Prita cepat. "Setelah kasus Bernard, saya juga tahu bagaimana rasanya dihakimi ratusan juta orang yang bahkan nggak kenal saya. Bohong banget kalau bilang saya nggak terpengaruh, karena sampai sekararang, rasa nggak nyaman itu masih tetap ada, meskipun nggak kayak pertama dulu. Tapi apa saya harus terus meratap dan mengasihani diri sendiri? Bodoh banget kalau iya. Saya nggak hidup untuk memenuhi ekspektasi mereka bahwa saya hanya anak Johny Salim yang nggak bisa apa-apa selain menghambur-hamburkan uang. Pikiran mereka itu urusan mereka sendiri, sama sekali bukan standar yang harus saya tetapkan dalam hidup saya."
"Mbak Prita sama sekali nggak sama dengan apa yang koran dan telivisi bilang!' Orlin tampak emosional saat mengatakannya. "Mereka nggak tahu apa yang mereka tulis dan omongin. Mereka nggak kenal Mbak Prita."
Prita menepuk-nepuk lengan atas Orlin. "Nah, akhirnya kamu bisa nangkap juga. Orang lain berhak menganggap kamu nggak selevel dengan mereka, tapi pilihan untuk mengiyakan atau menolak pendapat itu ada di tangan kamu. Kamu nggak mesti berkoar-koar dan bilang ke mereka kalau kamu mampu, cukup dengan mempertahankan diri kamu saat beradu kepentingan dengan mereka. Nggak membiarkan mereka mengambil keuntungan dan mengintimidasi karena anggapan bahwa kamu nggak sebaik mereka."
Orlin hanya menarik napas Panjang-panjang, tidak terlihat berminat untuk mengatakan apa-apa tentang kuliah Panjang lebar Prita soal kepercayaan diri.
**
Prita sudah berangkat lebih awal ke tempat perhelatan ulang tahun Salim Grup supaya bisa bertemu dengan Uchy, jadi dia sedikit sebal saat melihat Erlan sudah lebih dulu berada di sana. Laki-laki itu sepertinya tidak yakin kalau acara ini akan sukses tanpa pengawasannya.
"Gimana, Mbak?" tanya Prita setelah berada di dekat Uchy dan Erlan. Dia berusaha tidak melihat Erlan. Menganggapnya tidak ada.
"Nggak ada masalah, Mbak. Kami sudah terbiasa mengurus acara kayak gini kok. Sekarang ada beberapa kementrian yang juga memakai jasa kami saat menyelenggarakan kongres yang skalanya internasional, jadi ini sama sekali bukan masalah."
"Senang mendengarnya, karena di mata sebagian orang, saya sama sekali nggak kompeten, meskipun bermitra dengan Mbak Uchy."
Kalaupun tahu dirinya disindir Prita, Erlan sama sekali tidak menunjukkannya. Dia hanya menatap Prita dengan pandangan malas dan tidak peduli seperti biasa. Tatapan yang membuat Prita melupakan niat mengabaikannya, karena dia sudah mencibir ke arah laki-laki itu, lengkap dengan mata menyipit sebal.
Uchy tertawa, tidak menangkap sindiran Prita untuk Erlan. Dia tampaknya lebih tertarik pada penampilan Prita. "Mbak Prita cantik banget."
"Sulit untuk nggak cantik kalau jadi anak Johny Salim, Mbak. Ntar saya malah di-bully karena nggak memanfaatkan uang Papa untuk operasi plastik kalau sampai kelihatan jelek."
Tawa Uchy tidak mereda. "Nggak akan ada yang bisa menuduh Mbak Prita cantik karena operasi. Pak Johny dan Bu Yura nggak mungkin punya anak jelek. Mbak Prita mirip banget sama foto Bu Yura waktu masih muda."
"Pengisi acaranya sudah hadir semua, Mbak?" Prita mengalihkan percakapan dari basa-basi soal penampilannya.
"Sudah dong. Lagi persiapan di belakang panggung tuh. Felis Aliandra malah datang duluan dibandingkan yang lain. Saya sudah beberapa kali kerja bareng dia, dan profesionalitasnya nggak diragukan. Nggak pernah terlambat, dan nggak punya permintaan yang aneh-aneh kayak artis lain."
Prita sontak menoleh kepada Erlan saat Uchy menyebut nama Felis Aliandra, tetapi ekspresi laki-laki itu tetap datar saja. Tidak ada perubahan apa pun, seolah dia sama sekali tidak kenal siapa itu Felis Aliandra, apalagi pernah punya hubungan asmara dengannya.
"Felis Aliandra itu cantik banget," Prita mencoba memancing. Mungkin saja nama itu bisa membuat Tuan Robot tampak lebih manusiawi saat merona dan salah tingkah. "Menurut kamu gimana?" todong Prita terang-terangan kepada Erlan.
Kali ini Erlan menatap Prita lebih lama daripada biasanya, meskipun masih dengan ekspresi bosan. "Kamu ngajak aku ngomongin artis? Memang sangat bermanfaat."
Prita mengabaikan nada sarkastis itu. "Aku hanya pura-pura tanya kok. Tentu saja menurut kamu Felis Aliandra pasti cantik banget."
"Pak Erlan, Mbak Prita, saya ke belakang panggung dulu." Uchy mulai bicara di telepon, dan berlalu tanpa menunggu Erlan atau Prita menanggapi. Dia meninggalkan keduanya begitu saja.
Prita baru saja hendak melanjutkan serangannya kepada Erlan, saat melihat Ardhian juga sudah berada di situ. Laki-laki itu kebetulan melihat ke tempat Prita dan Erlan berdiri. Dia tersenyum, melambai, dan berjalan mendekat.
Prita bisa membayangkan dirinya meringis lebar. Dua laki-laki dalam kehidupan Felis Aliandra beberapa detik lagi akan bertemu. Pasti menyenangkan menjadi saksi pertemuan itu.
"Cantik banget," Ardhian menyapa lebih dulu, masih dengan senyum lebar. "Ini hanya pernyataan, bukan rayuan. Gue punya tunangan yang lebih cantik dari lo, dan dia nggak jauh dari sini." Dia melihat Erlan sebelum mengulurkan tangan. "Apa kabar, Pak Airlangga?"
Erlan menerima uluran tangan itu. "Baik. Terima kasih." Dia tidak ikut tersenyum.
Prita memutuskan melepas peluang menyerang Erlan menggunakan Felis Aliandra. Ardhian pasti tidak suka mendengar tunangannya dihubung-hubungkan dengan mantan pacar yang ditikungnya.
"Kita duduk satu meja?" Ardhian terdengar berharap. "Membosankan duduk bareng orang-orang tua." Dia mendekatkan kepala kepada Prita, tetapi tidak berbisik saat mengatakan, "Tapi jangan bilang itu sama bokap. Bisa-bisa gue dicoret dari daftar pewaris."
Prita tertawa mendengar candaan itu. Erlan yang diliriknya tampak sibuk dengan ponselnya. Entah benar-benar memeriksa pesan, atau hanya berusaha terlihat sibuk supaya tidak perlu terlibat dalam percakapan.
"Maaf, tapi gue harus duduk semeja dengan orang-orang tua yang membosankan." Prita duduk bersama orangtuanya dan Erlan. "Lo boleh ngadu sama mereka gue ngomong gini. Orangtua gue nggak punya pilihan soal pewaris itu. Tapi kita bisa WhatsApp-an kalau nanti beneran bosan."
Ardhian ikut tertawa. "Ya, gue pasti ngirimin lo pesan kalau mulai ngantuk ntar."
Prita menoleh merasa sikunya dipegang Erlan, tetapi laki-laki itu tidak menatapnya. "Kita sebaiknya ke meja sekarang." Erlan malah melihat Ardhian. "Sampai nanti."
"Kamu duluan saja," ujar Prita setengah berbisik, sopan. Dia tidak mau beradu urat leher dengan Erlan di depan Ardhian. Kesempatan seperti itu lebih baik dilakukan saat mereka sedang berdua. "Aku ngobrol sama Ardhian dulu. Aku akan nyusul kalau Papa-Mama sudah datang."
"Mereka akan segera datang." Erlan mengeratkan genggamannya di siku Prita, seolah mengisyaratkan kalau dia tidak menerima alasan apa pun untuk menolak perintahnya.
Prita memutuskan mengalah. Dia lantas menoleh kepada Ardhian sebelum mengikuti Erlan yang mulai melangkah. "Minggu besok gue sama Becca ketemuan. Lo boleh gabung kalau nggak sibuk."
"Gue pasti datang!" jawab Ardhian. "Nanti kabarin aja di mana kita ketemuan."
**
Kantor udah mulai lowong, jadi ini akan fast update kalau vomen cukup. Jangan tanya berapa vomennya karena aku nggak akan ngasih tahu setelah tempo hari diomelin pembaca karena katanya aku serakah dengan vomen yang aku tetapkan. Jadi, asal aku update, itu artinya vomen udah cukup. gitu aja. Jadi kalau mau cepetan baca update, cukup vote dan komen aja. Kalau cepet nyampe, update bisa 2 hari sekali atau malah tiap hari. kalian yang menentukan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top