Tiga Puluh Tujuh

Laptop yang biasa aku pakai menulis baru diinstal dan aku lupa password, jadi agak susah buat update. ini aja terpaksa harus copy file dan di-update di laptop lain. Ribet banget. Kalau laptop yang satu belum bisa mengakses akun watty, terpaksa update agak tersendat. Repot ngerjain di 2 laptop berbeda. Dan aku nyamannya nulis di laptop yang satu. 

Buat yang part-nya nggak beraturan karena bagian yang baru di-repost, sila hapus ceritanya dari wattpad, refresh dan add lagi, ya. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss

**

Tidak banyak hal yang bisa membuat fokus Erlan terpecah saat dia sedang mengerjakan sesuatu. Sejak dulu sudah seperti itu. Berbagai pencapaian yang membawanya ke posisinya sekarang adalah bukti nyata betapa dia sangat fokus.

Namun, akhir-akhir ini dia sangat mudah terdistraksi pada satu hal. Ya, hanya satu hal, tetapi rasanya mengganggu. Sangat mengganggu. Hal yang dulu dia pikir tidak akan dia alami atau mampir dalam benaknya. Perempuan. Lebih tepatnya lagi, satu orang perempuan. Prita Salim.

Bagaimana mungkin perempuan yang awalnya dia anggap hanya sekadar boneka cantik manja yang kebetulan adalah anak dari atasannya menjadi begitu berharga? Erlan benar-benar tidak bisa mengerti hal itu.

Kesan pertamanya saat melihat Prita secara langsung biasa saja. Ya, perempuan itu memang cantik, tetapi ada begitu banyak perempuan cantik lain yang pernah dilihatnya. Mungkin karena kekayaan orangtua Prita, Erlan berasumsi bahwa perempuan itu hanya hidup untuk bersenang-senang. Perjalanan waktu membuktikan bahwa dugaannya salah.

Entah sejak kapan, Erlan menyadari bahwa dia mulai suka dan menikmati membuat Prita kesal. Cemberutan dan pelototan perempuan itu adalah hiburan tersendiri, terlebih lagi karena Prita hanya bereaksi seperti itu kepadanya. Saat berhadapan dengan orang lain, Prita sangat sopan dan nyaris tanpa emosi. Sikap yang membuat orang lain yang mencoba mendekatinya langsung sungkan. Orang-orang seperti keluarga Johny Salim tahu persis bagaimana bersikap sopan, tetapi tetap tak tersentuh.

Mungkin dia seharusnya tidak mengiakan saat Prita mengajak "jalan bareng", pikir Erlan. Karena keadaan mulai salah dan tak terkendali sejak saat itu. Kedekatan fisik membuat perasaannya kepada Prita merimbun liar. Untuk pertama kalinya dia jadi peduli tentang apa yang perempuan itu pikirkan tentang dirinya. Biasanya Erlan tidak peduli dengan pendapat orang lain kalau itu tidak berhubungan dengan pekerjaan. Dia tidak bisa bersikap begitu terhadap Prita. Sekarang penting baginya untuk tahu apa yang disukai dan tidak disukai Prita dari sikapnya. Dia ingin Prita menyukainya seperti dia menyukai perempuan itu. Hubungan yang semula dia anggap permainan itu telah menjadi sangat serius.

Tidak, itu tidak benar. Sejak awal, Erlan tahu itu bukan permainan. Dia hanya ingin percaya bahwa hubungan mereka hanya permainan karena Prita yang mengatakan hubungan itu bukan sesuatu yang serius. Erlan tahu kalau dirinya tidak akan terlibat permainan apa pun, yang disodorkan siapa pun kalau dia tidak menginginkannya. Dan permainan dengan Prita jelas sangat dia inginkan. Dia menyukai kedekatan mereka, keberadaan Prita di sekitarnya. Erlan tidak mau dan tidak bisa kehilangan itu, jadi dia mengambil kesempatan yang disodorkan Prita tanpa berpikir panjang. Alam bawah sadarnya sejak detik pertama tahu itu. Dan dia baru bersedia mengakuinya secara sadar saat Prita menginginkan permainan mereka berakhir karena sudah merasa bosan.

Tidak, Erlan tidak akan membiarkan Prita mengakhiri hubungan mereka begitu saja. Seperti yang sudah diakuinya kepada perempuan itu, apa yang terjadi di antara mereka bukan lagi sekadar permainan. Masalahnya, bagaimana cara meyakinkan Prita? Perempuan itu jelas menghindarinya. Telepon dan pesan-pesannya tidak dijawab. Orlin yang dia mintai tolong supaya membujuk Prita untuk menemuinya juga tidak berhasil.

Siapa pun yang pertama kali mengutarakan teori bahwa perempuan adalah makhluk tidak terbaca adalah orang genius. Prita tampak baik-baik saja beberapa hari lalu. Dia masih mengomel soal ketidaknyamanannya dipantau melalui CCTV, dan boom...! Malam hari dia lantas memutuskan untuk mengakhiri permainan mereka. Benar-benar tidak memberikan tanda-tanda yang bisa dijadikan petunjuk bahwa dia akan segera mendepak Erlan.

Terkadang, saat Erlan mengingat-ingat kembali untuk mencari celah yang mungkin dia lewatkan, dia merasa Prita juga tidak lagi menganggap permainan mereka hanya sekadar permainan. Cara perempuan itu menatapnya, memeluknya, atau membalas ciumannya jelas tidak seperti permainan. Atau dia saja yang bodoh? Dia memang tidak punya pengalaman dengan perempuan, kan? Prita jelas jauh lebih berpengalaman dalam urusan asmara. Kekesalan Erlan lantas membuncah hanya dengan memikirkannya.

Apakah keadaan bisa berubah kalau dia akhirnya mengakui perasaannya kepada Prita? Tetapi kalau perempuan itu memutuskan menerimanya, maka itu juga berarti bahwa hubungan mereka akan memasuki level baru. Level yang sangat serius dan melibatkan kedua orangtua Prita. Dan pada akhirnya, Prita akan menjadi bagian dari hidupnya. Selamanya.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin dia menempatkan Prita di tempat yang sama dengan ibunya? Bagaimana kalau suatu saat monster di dalam dirinya keluar dan dia kemudian menjadikan Prita sebagai sasaran?

Erlan menggeleng-geleng. Memikirkan hal ini benar-benar menguras emosi. Pilihannya adalah maju mengungkapkan perasaan dengan risiko menempatkan Prita di posisi ibunya atau melepaskan Prita sama sekali. Menerima permainan mereka sudah berakhir dan dia tidak akan mengganggu anak bosnya itu lagi. Pilihan yang sama-sama tidak menyenangkan.

Sekarang keputusannya tergantung pada seberapa besar keinginannya untuk mengambil salah satu opsi itu. Berjuang untuk mendapatkan Prita dengan segala risiko, atau kehilangan dia. Tidak, Erlan tidak bisa mengambil opsi terakhir itu. Dia tidak bisa membayangkannya. Berada jauh dari Prita selama beberapa hari ini tanpa bisa menghubunginya saja sudah terasa berat.

Mungkin saja kekhawatirannya tentang monster dalam dirinya hanya ketakutan yang tidak perlu, kan? Dia tidak mungkin sanggup untuk menyakiti Prita. Dia bisa saja mengakui mimpi buruknya kepada Prita, dan mereka bisa mencari pertolongan orang yang ahli untuk mengatasi hal itu.

Mengapa dia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya? Erlan mengenyit saat pikiran itu melintas. Dengan atau tanpa Prita, dia seharusnya dia mencoba bicara dengan seseorang yang ahli tentang berbagai hal yang mengganggunya. Perasaan yang sudah dibawanya sejak masa kanak-kanak. Hanya saja, dulu, bicara dengan seseorang tentang hal itu tidak masuk dalam pilihan yang bisa diambil. Laki-laki tidak membicarakan perasaan dan ketakutannya dengan orang lain. Itu pertanda kelemahan. Tetapi sekarang, memikirkan soal ego akan membuatnya kehilangan kesempatan dengan Prita.

Konsentrasi Erlan terbelah saat ponselnya berdering. Dia segera mengangkatnya. Pak Johny meminta dia ke ruangannya sekarang. Erlan mengantongi ponselnya dan bergegas meninggalkan ruang kantornya sendiri.

Ada Yura Salim di situ saat Erlan masuk ke dalam ruangan bosnya setelah mengetuk pintu. Dari raut perempuan itu yang cemberut, Erlan tahu ada yang membuatnya tidak puas, tetapi dia tidak berniat ikut campur, meskipun tidak biasanya Ibu Yura muncul di kantor suaminya dengan ekspresi seperti itu.

"Mama pulang saja dulu," kata Johny Salim kepada istrinya. "Kita akan ngomogin itu di rumah. Urusan Prita nggak usah diomongin di kantor. Papa ada kerjaan yang harus didiskusikan dengan Erlan."

"Ini kesempatan bagus, Pa." Yura Salim tampak belum ingin beranjak. "Tadi aku baru ketemu Ibu Kusuma. Dia serius soal Prita dan Ardhian."

Punggung Erlan seketika terasa dingin. Dia tidak suka apa yang dia dengar. Benar-benar tidak suka. Apakah itu alasan mengapa Prita mengakhiri permainan mereka? Ardhian juga kemarin datang di butik Prita, kan? Dia sempat melihatnya di aplikasi pemantau CCTV.

"Bukannya Prita sudah menolak dan bilang nggak mau dijodohkan dengan Ardhian?" jawaban Johny Salim tetap saja tidak membuat Erlan lega. Dia masih waspada.

"Kalau kita membujuk, Prita pasti luluh," Yura berkeras. " Dulu dia juga nggak mau dijodohin, tapi akhirnya manut juga. Prita tahu kita sayang banget sama dia, dan kita hanya mau yang terbaik untuk dia."

Johny Salim mengusap punggung istrinya. "Mama jangan terburu-buru. Sekarang sebaiknya pulang dulu. Kantor bukan tempat yang tepat untuk ngomongin tentang masa depan anak tunggal kita."

Erlan memutuskan mengambil kesempatan itu untuk bicara. Sekarang atau tidak sama sekali. "Maaf kalau saya ikut campur, Bu, tapi saya rasa Ibu memang nggak perlu terburu-buru meninjaklanjuti soal Prita dan Ardhian."

Yura berbalik menatap Erlan dengan rasa tertarik yang tidak berusaha dia sembunyikan. "Kamu juga pikir gitu?"

Erlan tahu dia tidak akan bisa berbalik dan mengubah keputusannya saat akhirnya dia mengatakan, "Saya tahu kalau saya tidak sebaik Ardhian dilihat dari sisi mana pun, terutama dari silsilah keluarga, tapi kalau Bapak dan Ibu berkenan memberi saya kesempatan untuk memperbaiki hubungan saya dengan—"

"Tentu saja kami akan memberi kesempatan!" potong Yura sebelum Erlan menyelesaikan kalimatnya. "Ardhian sama sekali bukan pilihan kalau ada kamu." Dia menatap suaminya sambil tersenyum lebar. "Aku bilang juga apa, Papa saja yang nggak percaya. Mereka pasti ada apa-apanya. Orlin saja yang nggak mau ngaku saat ditanya. Dia pasti sudah diancam Prita supaya tutup mulut."

Erlan yang tidak menyangka akan mendapat tanggapan seperti itu terdiam sesaat sebelum melanjutkan, "Saya dan Prita ada sedikit masalah yang harus diselesaikan. Saya ingin menyelesaikannya sendiri, jadi saya harap Bapak dan Ibu—"

"Jangan khawatir," potong Yura lagi. "Anggap saja kami nggak tahu apa-apa tentang hubungan kalian. Biarkan Prita berpikir begitu. Ibu sangat pintar untuk urusan pura-pura nggak tahu meskipun penasaran." Dia memeluk Erlan. "Ibu senang banget kamu akhirnya nggak ke mana-mana."

Erlan berdiri kaku, tidak tahu tahu harus melakukan apa. Seharusnya dia memang membalas pelukan Yura, tetapi dia tidak bisa melakukannya. Menunjukkan kedekatan dengan seseorang tidak pernah terasa mudah.

Saat itulah dia tahu bahwa keputusannya mengakui hubungannya dengan Prita kepada Johny dan Yura Salim adalah hal yang tepat. Dia tidak pernah canggung berdekatan dengan Prita. Dia suka saat perempuan itu berada dalam jangkauannya. Jadi, dia memang tidak akan melepaskannya.

Johny Salim menepuk punggung Erlan sambil tersenyum. Meskipun dia tidak mengatakan apa-apa, Erlan tahu itu artinya penerimaan. Sekarang tinggal bagian yang paling sulit. Berhadapan dengan Prita sendiri. Hari ini tidak ada hal penting yang harus diselesaikan. Dia bisa pulang cepat, jadi bisa ke butik Prita sebelum buruannya itu bisa menghindar.

Erlan sedang merapikan tas kerjanya saat Bastian muncul. Asistennya itu terlihat ragu-ragu saat mengatakan, "Ada seseorang yang mencari Bapak. Katanya dia ayah Bapak."

**

Aku sedang merevisi You Belong To Me yang akan segera terbit untuk menggantikan Ben dan Becca yang batal terbit awal tahun karena revisi yang alot. Jadi Ben belum akan terbit dalam waktu dekat. YOU BELONG TO ME akan terbit secara Self Publish (SP) jadi nggak akan masuk toko. Yang berminat ikutan mengadopsi sila menghubungi @belibuku di akun Wattpad, atau @belibuku.wattpad di akun instagramnya. Novel ini  hanya akan dicetak sesuai pesanan masuk, jadi pastikan nama  kamu udah ada dalam daftar. Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top