Tiga Puluh Satu

Minim editan karena baru kelar ditulis. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss.....

**

"Ada Erlan di bawah."

Prita mengangkat kepala dari buku sketsa dan menatap ibunya yang baru masuk ke kamarnya dan duduk di ranjang. "Ya...?" Minggu pagi seperti ini biasanya Erlan datang untuk menjemput ayahnya. Mereka akan menghabiskan waktu di lapangan golf.

"Katanya mau ketemu kamu." Yura menatap Prita dengan pandangan ingin tahu. "Ada apa sih di antara kalian? Tadi malam di acara Becca kelihatan kaku gitu. Nggak biasanya. Jadi kelihatan kayak pasangan lagi berantem."

Prita menutup buku sketsanya. "Siapa yang berantem? Mama kenal Erlan lebih lama daripada aku. Apa dia kelihatan kayak orang yang bisa diajak berantem? Lempeng gitu. Yang ada orang malah gondok sendiri kalau mau ngajak dia berantem. Aku sudah coba berkali-kali bikin dia kesal. Hasilnya? Nol besar!"

"Orlin bilang hubungan kalian akhir-akhir ini baik banget." Yura tidak mau menyerah. "katanya, Erlan selalu datang di butik kalau kamu dan Orlin nginap di sana."

Ibunya curiga. Itu tidak bagus. "Bukannya malah Mama yang nyuruh Erlan ikut tinggal di butik? Untung saja dia waras, jadi nggak mau. Kalau mau, orang pasti berpikir kami kumpul kebo di sana."

"Hush...!" Omel Yura sambil melotot. "Kumpul kebo apaan? Orang kumpul kebo itu pasangan yang belum menikah. Kamu dan Erlan kan nggak punya hubungan apa-apa." Dia lalu mengulang dengan nada berharap, "kalian beneran nggak lagi PDKT?"

"Kalau beneran ada apa-apa antara aku dan Erlan, aku nggak mungkin merahasiakannya dari Mama." Kalau hubungan mereka benar-benar jelas, tentu saja. Tidak seperti sekarang.

"Jadi kenapa Erlan datang nyari kamu pagi-pagi kayak gini? Biasanya dia kan janjian sama Papa kamu kalau weekend gini."

"Harusnya Mama tanya sama Erlan, bukan sama aku." Prita melepas jepit rambut. Dia kemudian menyisir rambut dan mengucirnya. "Mama nggak sekalian ikut turun dan nanyain?"

Yura mencebik. "Erlan itu beneran baik, Sayang. Kasih dia kesempatan kalau dia memang berusaha mendekati kamu. Kalian memang pernah gagal bertunangan, tapi nggak berarti kalian nggak bisa mulai dari awal lagi. Kita sudah pernah ngomongin ini."

Prita mendesah. Bukan Erlan yang harus diberi kesempatan, tetapi laki-laki itulah yang seharusnya membuka hati untuknya. "Aku sudah bilang supaya jangan berharap, Ma." Prita membuka pintu dan keluar kamar. Dia membiarkan ibunya mengekori menuruni tangga dan menggabungkan diri dengan Erlan di ruang tengah. Prita tidak bisa berbuat apa-apa saat ibunya mengabaikan tatapan protesnya.

"Saya mau ngajak Prita keluar, Bu," kata Erlan kepada Yura.

"Boleh... Tentu saja boleh," jawab Yura cepat. "Daripada dia tinggal di rumah juga, kan?"

Prita nyaris memutar bola mata. Ibunya sangat murah memberikan izin kalau Erlan yang memintanya. "Aku sedang malas keluar." Dia tahu Erlan mau bicara setelah semalam Prita menolak ikut dengannya dan tetap pulang bersama orangtuanya.

"Kamu nggak malas," sambut Yura. "Tentu saja kamu mau keluar."

"Yang tahu aku mau pengin keluar atau enggak itu bukan Mama, tapi aku sendiri." Ini namanya pengkhianatan. Bahkan ibunya berdiri di sisi Erlan.

"Kita nggak akan lama kok," kali ini Erlan bicara sambil menatap Prita.

"Lama juga nggak apa-apa kok," Yura lagi-lagi menyela. "Santai saja. Weekend memang waktu untuk keluar rumah."

"Aku ganti baju dulu." Prita memutuskan mengalah. Bicara dengan Erlan di sini, di bawah pengawasan ibunya bukan pilihan pintar.

Ketika mereka akhirnya dari rumah, Prita tahu ibunya masih berdiri di teras sampai mobil yang dikemudikan Erlan melewati pintu gerbang yang lumayan jauh dari rumah.

"Kamu bikin Mama curiga," kata Prita membuka percakapan, masih sambil mengawasi spion. "Seharusnya kamu menelepon saja. Kita bisa ketemu di butik."

"Kamu nggak mengangkat teleponku dari kemarin." Erlan terus menatap ke depan, mengawasi arus lalu lintas yang tidak terlalu padat.

"Kirim pesan juga bisa, kan?" Yang tentu saja belum pasti juga dia balas.

"Lebih cepat langsung ke rumah kamu."

"Tapi itu bikin Mama curiga dan berharap," ulang Prita.

"Ini bukan yang pertama kalinya aku menjemput kamu di rumah."

"Tapi ini yang pertama kalinya tujuan kamu menjemputku nggak jelas di mata Mama. Biasanya kita keluar bersama karena persiapan pembukaan butik tempo hari. Kali ini kesannya kamu menjemputku untuk urusan yang sifatnya pribadi."

"Aku minta maaf," ucapan Erlan melenceng dari apa yang sedang mereka bicarakan. "Aku minta maaf karena harus tinggal di Makassar lebih lama. Aku tetap tinggal untuk menyelesaikan urusan di sana karena tahu aku bisa kembali tepat waktu untuk acara Ben dan Becca. Aku hanya nggak memperhitungkan delay."

Prita sudah memikirkan soal kemarahannya kemarin. Rasanya dia memang terlalu berlebihan. Dia bertingkah seperti kekasih yang ngambek. Dengan jenis hubungannya dan Erlan yang seperti sekarang, sikap seperti itu akan tampak menggelikan. Kalau saja Erlan lebih peka, laki-laki itu pasti akan tahu kalau dia sudah melibatkan hati dalam permainan mereka. "Nggak usah dibahas lagi. Sudah lewat juga, kan?"

"Aku nggak mau kamu marah," sambut Erlan.

"Aku nggak marah." Prita menatap Erlan. Wajah laki-laki itu tampak lebih tegas dilihat dari satu sisi seperti ini. Rahangnya lebih persegi, dan hidungnya lebih mancung. "Kemarin aku hanya kesal. Kamu tahu kalau aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan sejak kecil, jadi ya, egoku lumayan terusik saat ada orang yang sudah berjanji malah terancam membatalkan janjinya padaku." Itu tidak benar. Prita marah karena menganggap Erlan tidak menjadikan dirinya sebagai prioritas. Bagi laki-laki itu, pekerjaan tetaplah hal yang paling penting.

"Itu nggak akan terjadi lagi," kata Erlan. Nadanya lebuh tegas. Yakin.

"Tentu saja," balas Prita. "Aku akan menahan diri supaya nggak meminta kamu melakukan apa pun lagi untukku."

"Maksudku, lain kali aku akan berusaha menepati janji yang aku buat padamu."

Prita melihat rute familier yang diambil Erlan. "Kita ke apartemen kamu?" tanyanya sengaja mengalihkan percakapan.

"Iya. Nggak apa-apa, kan?"

Prita mengedik. "Aku hanya belum sarapan tadi. Apa restoran di sekitar apartemen kamu sudah ada yang buka jam segini?"

Kali ini Erlan menoleh. "Kamu mau makan apa?"

"Kalau jam segini pilihannya nggak banyak, kan?"

"Aku bisa bikin nasi goreng kalau kamu mau." Tawaran Erlan itu di luar dugaan Prita.

"Memangnya kamu bisa masak?" tanya Prita tidak percaya. Orang seperti Erlan tidak terlihat bersahabat dengan kompor dan wajan.

"Aku sudah pernah cerita kalau aku besar di panti asuhan, kan? Tentu saja aku bisa memasak. Kamu akan bisa melakukan banyak hal kalau lama tinggal di panti."

Kehidupan Erlan pasti sulit saat masih kecil. Prita ingin tahu berapa umur Erlan saat orangtuanya meninggal dan laki-laki itu mulai hidup di panti asuhan. Tetapi mungkin saja Erlan tidak nyaman membicarakannya. Prita tidak ingin merusak suasana yang mulai membaik.

"Boleh deh. Kapan lagi aku bisa makan nasi goreng buatan kamu kalau bukan hari ini?" Ya, selagi dia masih bisa berada di dekat Erlan, dia akan memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan laki-laki itu. "Tapi kalau mau masak, kita harus belanja dulu, kan?"

"Kalau hanya nasi goreng, masih ada bahannya sih."

"Kamu nggak kelihatan kayak orang yang suka masak," Prita mengemukakan pikiran yang tadi hinggap di benaknya. "Kamu masih sering masak?"

"Sekarang sudah jarang sih, paling pas weekend saja." Pandangan Erlan tetap lurus ke depan. Fokusnya sudah kembali pada arus lalu lintas. "Lebih sering makan di luar karena lebih praktis."

"Aku nggak bisa masak," Prita mengakui terus-terang. "Waktu di luar, ada orang yang membersihkan rumah dan memasak. Dia datang 3 kali seminggu. Aku cuman harus bilang mau makan apa, dan dia akan masak dan menyimpannya dalam kulas. Aku hanya perlu panasin di microwave saja. Manja banget, ya?"

"Kamu anak Pak Johny dan Bu Yura, jadi sama sekali nggak aneh kalau kamu nggak bisa masak."

"Mama menganggap belajar etika itu jauh lebih penting daripada kemampuan memasak."

Percakapan mereka mengalir. Prita bisa merasakan kalau Erlan lebih santai daripada biasanya. Kalimatnya juga tidak terlalu pendek-pendek lagi. Lebih responsif.

Ketika mereka akhirnya tiba di apartemen Erlan, laki-laki itu menyuruh Prita duduk di stool sementara dia memasukan beras yang sudah dicuci di dalam rice cooker.

"Bagaimana kamu tahu airnya harus sebanyak apa supaya nasinya bisa matang?" tanya Prita sambil mengawasi Erlan.. "Kalau kebanyakan bisa lembek, tapi kalau kurang malah nggak matang, kan?"

"Kamu akan tahu kalau sudah biasa. Pengalaman." Erlan berdiri di depan kulkas yang terbuka. "Sea food atau sosis? Hanya itu pilihannya. Nasi gorengnya minimalis."

"Sosis saja."

"Sosis dan telur mata sapi," Erlan mengeluarkan sosis dari freezer dan meletakkan di atas piring. Setelah itu dia menyusul duduk di sebelah Prita. "Semoga saja kamu belum terlalu lapar. Butuh waktu untuk bikin nasi goreng kalau nasinya baru dimasak. Setelah nasinya matang, harus dibiarkan dulu dalam suhu ruang supaya teksturnya lebih keras. Nasi yang baru matang dan langsung digoreng hasilnya nggak terlalu bagus. Lembek."

Prita tidak bisa menahan tawanya mendengar penjelasn Erlan.

"Apanya yang lucu?" Erlan mengernyit.

"Nggak ada yang lucu." Prita buru-buru menggeleng. "Aneh saja lihat kamu mendadak banyak bicara gitu. Nggak nyangka. Aku kira kamu hanya banyak bicara kalau itu menyangkut pekerjaan."

"Kamu...," Erlan terlihat ragu-ragu, " kamu nggak suka aku banyak bicara?"

"Malah suka. Kesannya jadi lebih manusiawi. Lebih bagus lagi kalau kamu lebih banyak senyum dan tertawa sih."

Erlan sama sekali tidak tersenyum apalagi tertawa mendengar kata-kata Prita. "Itu nggak gampang." Dia sudah terbiasa tidak menunjukkan perasaannya kepada orang lain. Rasanya lebih nyaman seperti itu.

Prita mengarahkan bola mata ke atas. "Tertawa memang perlu usaha untuk orang-orang tertentu."

Kali ini Erlan tersenyum mendengar sindiran itu.

Setengah jam kemudian, Erlan sudah berdiri di depan kompor. Prita masih duduk di tempatnya semula, mengamati punggung Erlan yang membelakanginya. Punggung yang sangat mengundang.

Jangan berpikir! Hardiknya pada diri sendiri. Dia bergerak turun dari kursinya dan menghampiri Erlan. Sebelum dia kehilangan keberanian, Prita memeluk laki-laki itu dari belakang. Dia menempelkan sebelah pipinya di punggung Erlan yang hangat dan berbau parfum maskulin khas laki-laki.

"Ada apa?" tanya Erlan pelan. Tangannya yang mengaduk nasi berhenti mendadak.

"Nggak ada apa-apa," jawab Prita sama pelannya. "Aku tadi mikir kalau punggung kamu kayaknya enak dijadiin tempat bersandar, dan ternyata benar."

Erlan melepaskan tangan Prita dari perutnya sehingga bisa berbalik dan berhadapan dengan perempuan itu. "Aku lebih suka kamu bersandar di dadaku daripada punggungku."

Itu terdengar seperti rayuan, hanya saja, karena diucapkan dengan nada datar, Prita jadi tidak yakin. Dia mengangkat kepala sehingga tatapannya bertemu dengan Erlan. Jantungnya berdebar lebih cepat. Cara laki-laki itu menatapnya terasa berbeda. Lebih lembut dan... entahlah, tetapi jelas berbeda. Salahkah kalau dia berharap jika Erlan mulai merasakan sesuatu kepadanya? Prita tidak melanjutkan analisisnya. Dia memilih memejamkan mata saat bibir Erlan menyentuh bibirnya. Kadang-kadang, sesuatu itu lebuh baik dirasakan daripada dipikirkan.

**

Aku nggak netapin goal vote karena udah masuk hari kerja di akhir bulan. Takutnya nggak sempat nulis. Kalau mau update cepat, cukup bagi vomen aja. Aku semangat nulis kalau vomen bagus dan NGGAK ADA YANG MELANGGAR RULES. Kalau ada yang sempet melanggar, semoga ada aku nggak baca kalau buru-buru dihapus. Hehehe...

Buat yang belum follow Instagramku, sila follow @titisanaria ya. Aku lagi promo novel Di Simpang Jalan. Buku puisiku juga akan keluar tanggal 19 November nanti.  Update beritanya ada di Instagram. Makasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top