Tiga Puluh Enam

Bagian yang aku unpublish akan aku repost pelan-pelan, ya. Sabar aja. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaess....

** 

Kesibukan bagus untuk mengalihkan perhatian. Sayangnya ada waktu di malam hari yang tidak bersahabat. Saat berbaring di ranjang, mencoba tertidur, tetapi mata tidak bisa diajak bekerja sama. Sama dengan benak yang tidak berhenti berpikir. Prita benar-benar ingin melalui tahapan membuat pengandaian ini secepat mungkin. Masuk fase penerimaan akan mempercepat kesembuhan hatinya.

Yang terburuk dari periode awal patah hati adalah keinginan untuk meralat keputusan yang sudah diambilnya. Berbagai skenario bergantian melintas. Erlan tidak langsung menerima disingkirkan begitu saja dari permainan mereka. Mungkin tidak ada salahnya kembali bermain. Lebih baik tetap memiliki Erlan di dekatnya daripada tidak melihat atau mendengar kabarnya sama sekali, kan?

Namun, Prita tahu dia tidak akan melakukan itu. Dia tidak akan menjadi perempuan kedua dalam hidup seorang laki-laki, betapa pun dia mencintai orang itu. Meneruskan permainan tidak akan membebaskan dari sakit hati karena dia tahu dirinya tidak menjadi pemeran utama dalam kisah cinta Erlan. Ketertarikan fisik tidak berarti cinta, tetapi cinta melingkupi ketertarikan fisik. Satu paket lengkap yang dimiliki Felis Aliandra.

Aneh bagaimana takdir mempermainkan. Saat pertama bertemu Erlan, yang ada di pikirannya adalah seorang laki-laki tampan yang akan melakukan apa pun untuk menjilat supaya bisa berada di dekat dengan ayahnya. Perjalanan waktu membuktikan kalau Erlan pekerja keras, dan keloyalannya adalah bonus. Perjuangannya untuk sampai di posisinya sekarang tidak mudah, terutama dengan masa kecil yang suram. Terlihat jelas kalau Erlan bukan tipe orang yang gampang bergaul, apalagi percaya kepada orang lain. Dia bukan orang yang gampang melupakan sesuatu. Masa lalu yang membentuk sikapnya seperti sekarang. Juga cintanya untuk seorang perempuan yang sama.

Dering telepon memutus lamunan Prita. Buku sketsa yang sejak dihadapinya belum menghasilkan satu pun gambar. Tidurnya semalam tidak terlalu nyenyak, sehingga sulit berkonsentrasi dengan keadaan seperti itu. Orlin tadi memelotot saat Prita meminta cangkir kopi yang ketiga. Kadang-kadang anak itu lupa posisinya sebagai asisten. Dia tenang-tenang saja menolak perintah, dan Prita tidak bisa kesal karenanya.

"Ya?" Prita memutuskan mendorong buku sketsanya menjauh. Ngobrol dengan Ardhian bisa jadi pengalihan yang menyenangkan.

"Mau makan siang bareng?" tawar Ardhian di ujung telepon.

Prita meringis. "Ini bukan pertemuan lanjutan dari obrolan nyokap kita, kan?"

Tawa Ardhian sontak terdengar. "Gue baru beberapa hari putus. Dan nggak seputus asa itu harus minta nyokap gue jadi makcomblang. Gue beneran minta maaf soal nyokap gue yang jeli banget lihat peluang untuk besanan dengan Johny dan Yura Salim."

Prita ikut tertawa. "Gue lagi malas keluar. Kalau mau ngobrolin soal patah hati lo itu, lo bisa ke butik gue. Gue nggak ada klien sampai sore. Palingan cuman ngecek kerjaan penjahit gue aja."

"Oke, gue mampir ya."

"Lo mau makan apa? Biar nanti gue minta Orlin yang pesenin. Dia pasti lebih suka pesenin gue makanan daripada ngasih gue kopi lagi."

Sudah sore ketika Ardhian akhirnya muncul di butik. Prita malah mengira laki-laki itu tidak akan datang karena terkendala kesibukannya. Dia bahkan sudah menyuruh Orlin memakan makanan yang dia pesan untuk Ardhian. Perintah yang disambut Orlin cemberut dan menuduh Prita berusaha membuatnya gendut, karena dia juga belum lama menghabiskan makan siangnya.

"Ada kerjaan mendadak yang nggak bisa ditinggal," ujar Ardhian sembari duduk di sofa ruang kerja Prita.

"Nggak usah menjelaskan apa-apa." Prita mengibas. "Gue bukan pacar lo yang harus dibujuk biar nggak ngambek."

Ardhian tertawa. "Gue beneran minta maaf soal nyokap gue dan ide gilanya itu."

Prita memutar bola mata. "Dia nggak gila sendiri. Nyokap gue juga sama nggak warasnya."

"Untung anak-anaknya waras." Ardhian mengedik. "Kalau dilihat dari hitung-hitungan bisnis, Salim dan Kusuma Grup kalau di-merger akan positif di BEI. Pernikahan kita nggak hanya akan muncul di acara infotainment, tapi juga di Forbes . Lengkap dengan analisis para ekonom. Jangan lupakan CNBC Asia."

"Itu lebih mengerikan daripada lucu sih!" Prita bergidik.

"Yeah. Gue dari kecil sudah dididik untuk nerusin bisnis keluarga. Nasib jadi anak laki-laki satu-satunya, dan adik-kakak gue nggak tertarik bisnis ini. Jadi karena separuh hidup gue sudah didedikasikan untuk pekerjaan yang diwariskan buat gue, gue nggak mau kehidupan cinta gue juga diatur orangtua. Hati gue, tetap harus jadi milik gue sendiri."

"Dan kabar hati lo gimana beberapa hari ini?" Prita pura-pura tidak tahu soal Erlan dan Felis Aliandra. Ardhian pasti curiga keduanya sudah bertemu, tetapi Prita tidak akan menjadi si Tukang Mengadu. Tanpa penjelasannya pun Ardhian sudah cukup patah hati. Mungkin sama patah hatinya dengan dia sendiri.

"Hati gue?" Ardhian balik bertanya. "Entahlah. Kayaknya gue nggak beneran putus sama Felis. Dia seperti hanya pergi tur kayak biasa. Nggak ada yang berubah kecuali kami nggak saling teleponan lagi setiap beberapa jam sekali."

"Lo pasti sayang banget sama dia, ya?" Enak sekali jadi Felis Aliandra yang dipuja dua orang lelaki seperti itu.

Ardhian menyeringai. "Kami udah sama-sama sejak lama sih. Gue pertama ketemu dia saat pulang liburan dan lihat dia nyanyi di kafe. Suaranya bagus banget jadi gue kenalin sama om gue yang punya studio rekaman."

"Love at the first sight kayak di film-film?"

"Nggak. Kami cuman sempat jalan bareng beberapa kali karena nemenin dia ketemu produser. Lost contact gitu saat gue balik kuliah. Jadiannya setelah gue balik ke sini lagi." Ardhian mengusap-usap dagu dengan telunjuk dan ibu jari, tampak menerawang. "Ya, rasanya emang agak aneh nggak ngobrol dengan dia setelah beberapa tahun terus sama-sama."

"Akhirnya, lo akan baik-baik saja." Prita mengucapkan kalimat itu lebih untuk dirinya sendiri. Bukan hanya Ardhian yang butuh motivasi untuk move on.

"Gue lebih suka Felis balik ke gue sih. Kalau Airlangga nggak terima dia kembali, kemungkinan Felis balik ke gue akan lebih besar. Eh, gue udah pernah bilang ini, ya? Kali aja kalimat yang diulang-ulang itu bisa jadi doa yang dikabulin Tuhan."

Prita menatap temannya itu prihatin. Ardhian terlihat seperti dirinya. Masih berkutat dengan fase pengandaian. Memang sulit saat bicara soal perasaan. Tidak ada kepastian yang ada di sana. Keraguan, iya. "Perempuan di dunia ini banyak banget. Nggak akan sulit menemukan pengganti Felis."

"Masalahnya, gue nggak mau pengganti. Gue mau Felis. Lo akan ngerti apa yang gue rasain kalau sudah nemuin orang yang beneran lo sayang. Lo akan menjadi pemaaf dan lebih pengertian."

"Tetap saja lo harus siap dengan kemungkinan kehilangan dia, kan? Kita nggak bisa mendapatkan semua yang kita mau dalam hidup. Ya, kita memang punya banyak duit, tapi ada hal-hal yang nggak bisa didapatkan dengan menulis banyak angka nol di lembaran cek."

Ardhian tertawa kecil. "Yap, hidup pasti lebih gampang kalau semua hal bisa diselesaikan dengan cek. Gue pekerja keras, jadi nggak ada masalah dengan menghasilkan uang lebih banyak."

"Gue jelas bermasalah dengan bagian bekerja keras itu. Gue lebih suka ngerjain apa yang gue suka. Butik ini. Butuh sedikit waktu untuk stabil dan bikin gue mapan, karena sekarang, boleh dibilang gue masih tergantung sama ortu gue sih. Isi rekening gue lebih banyak berasal dari mereka ketimbang klien." Prita berdiri dan memberi isyarat supaya Ardhian mengikutinya. "Kita ngobrol di atas saja sambil ngopi, ya. Kopi bikinan Orlin enak banget. Itu satu-satunya kelebihan yang bikin gue nggak berani pecat dia meskipun anaknya nyebelin. Gue bakal merana tanpa kopi atau teh bikinan Orlin."

**

Sudah agak larut ketika Prita akhirnya sampai di rumah. Ardhian tinggal lumayan lama untuk ngobrol. Saat turun dari dari mobil, dia langsung melihat ada mobil Erlan yang terparkir garasi. Laki-laki itu rupanya sudah kembali dari Kyoto. Sudah dua hari ini Prita menghapus pesan-pesqn Erlan tanpa membacanya lebih dulu. Tidak mudah memang, tetapi mematikan rasa terkadang butuh usaha dan keberanian lebih.

Erlan tidak ada di sofa ruang tengah superluas yang biasa dia tempati duduk saat datang ke rumah ini. Berarti dia berada di ruang kerja ayahnya. Syukurlah. Prita bergegas naik tangga. Lebih baik begitu. Pertemuan hanya akan mementalkan tekadnya untuk melupakan perasaannya kepada laki-laki itu.

Ponsel Prita berdering saat dia sedang membersihkan wajah. Dia melepas kapas untuk meraih ponselnya yang lantas diletakkan kembali setelah melihat nama yang muncul di layar. Dia tahu Erlan tidak akan berani naik karena sangat menghormati orangtuanya. Laki-laki itu pasti akan kesulitan menjelaskan mengapa dia harus menemui prita di atas kalau orangtuanya menanyakan hal itu.

Deringan yang mengganggu itu pun akhirnya berhenti. Prita baru menyibakkan selimut saat ketukan di pintu terdengar. Sekejap, Orlin sudah berada di dalam kamar. Prita menyesal lupa mengunci pintunya.

"Pak Erlan nunggu Mbak Prita di bawah, katanya mau bicara," ujar Orlin setelah merapatkan pintu di belakangnya.

"Saya sudah ngantuk banget," tolak Prita. Dia tidak akan turun. "Mau tidur."

"Sebentar aja, Mbak," bujuk Orlin. "Nggak baik juga kan berantem lama-lama."

"Siapa yang berantem?" nada Prita langsung naik.

Orlin memutar bola mata. "Ya Mbak Prita sama Pak Erlan lah. Masa saya sama Pak Erlan? Mana berani saya membantah dia? Lagian, pertanyaan Mbak Prita juga aneh gitu. Yang pacaran siapa, yang berantem siapa." Orlin berdecak sebal, tidak peduli pelototan Prita.

"Siapa yang pacaran?"

"Aduh, Mbak, saya kan nggak buta," jawab Orlin cepat. "Saya diam saja karena Mbak Prita mungkin memang nggak mau ngomongin itu sama saya. Itu hak Mbak. Dan sebagai orang yang bekerja sama Mbak, saya menghormati itu. Saya bahkan nggak bilang apa-apa sama Ibu saat dia mulai kepo dan nanyain gimana hubungan Mbak Prita dan Pak Erlan karena dia tahu Pak Erlan rutin ke butik. Nggak tahu Ibu dapat info dari mana. Mungkin saja satpam. Kadang saya kasihan sama Bu Yura, tapi saya juga tahu Mbak Prita pasti punya alasan merahasiakan hubungan dengan Pak Erlan."

Prita diam saja. Dia tidak menduga kalau Orlin sepeka itu. Pantas saja anak itu selalu punya alasan untuk keluar dari butik setiap kali Erlan datang.

"Saya sekarang nggak bisa diam karena lihat Mbak Prita kebanyakan murung semenjak ngobrol dengan Pak Erlan beberapa hari lalu. Turun deh, Mbak. Diomongin. Mbak Prita jauh lebih pintar dan bijak daripada saya, jadi rasanya aneh kalau saya yang menasihati Mbak. Berasa kayak di dunia kebalikannya Spongebob."

Prita menahan tangan Orlin yang hendak membuka pintu. "Saya sama Erlan sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Saya beneran nggak mau ketemu dia sekarang. Kalau saya maksain turun dan nggak bisa ngontrol emosi, Bapak dan Ibu malah akan curiga." Tatapannya memohon. "Tolong ya, Lin. Bilang sama Erlan saya sudah tidur."

Orlin mengeleng-geleng. "Mbak bisa menghindar sekarang, tapi nanti tetap saja harus bicara dengan Pak Erlan. Mbak Prita tahu dia itu orangnya kayak gimana. Nyeremin, Mbak. Saya sih mending jadi jones menahun daripada ditaksir orang kayak Pak Erlan. Berasa pacaran sama bos Mafia. Berdebar-debarnya karena ketakutan, bukannya senang." Dia membuka pintu dan keluar.

Prita hanya bisa mendesah. Urusan hati ini ternyata belum benar-benar tutup buku seperti yang diduganya.

**

Babang Erlan nungguin part depan baru muncul, ya. Masih jetlag dia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top