Tiga Puluh Empat
Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaess...
**
Erlan melepaskan tangan Felis dari lehernya. "Jangan kekanakan kayak gini." Dia bergerak menjauh. "Aku sudah bilang kalau aku nggak suka kamu datang ke kantor dan membawa urusan pribadi begini. Ini bukan tempat bermain."
"Aku sudah putus dengan Ardhian!" Felis bergerak mendekat, tetapi Erlan sudah duduk di kursinya.
"Kamu nggak akan bisa dapat laki-laki yang lebih baik dari Ardhian. Kamu tahu itu. Gimanapun sabarnya dia, suatu saat dia akan bosan juga. Jangan sampai kamu menyesal"
"Aku punya Abang," kata Felis tidak mau kalah.
"Kita sudah bicara soal itu. Aku nggak akan menggantikan posisi Ardhian untuk kamu. Berhentilah kembali ke topik itu. Kamu bahkan nggak serius setiap kali ngomongin itu." Erlan menunjuk wajah Felis. "Aku nggak tahu gimana Ardhian, tapi aku jelas nggak suka kalau pacar atau tunanganku melakukan kontak fisik apa pun, apalagi mencium orang lain." Dia menunjuk pintu. "Kamu sebaiknya pergi. Kita akan bicara lagi kalau emosi kamu stabil. Aku akan selalu ada untuk kamu, tetapi bukan sebagai pasangan hidup kamu."
"Tapi kita dulu—"
"Kita dulu masih terlalu muda. Kamu mau kita pacaran karena kamu terbiasa dan takut kehilangan aku. Kita berdua tahu itu. Kamu pikir, ikatan kita akan terlepas begitu saja kalau aku menemukan orang lain, tapi akhirnya kamu sadar itu nggak benar. Karena itu kamu nggak berpikir dua kali saat Ardhian datang. Waktu itu kamu sudah lebih logis. Kamu tahu kalau kamu mencintai Ardhian, tetapi tetap tidak akan putus hubungan denganku sebagai keluarga."
Felis terdiam, entah mengakui kebenaran kata-kata Erlan, atau sebaliknya, tetapi tidak menemukan cara untuk menyanggah.
"Kamu gunakan waktu kamu di luar kota untuk berpikir tentang apa yang hati kamu benar-benar inginkan. Semoga saat hatimu sudah memutuskan, Ardhian masih mau menerima kamu, dan kamu belum kehilangan momentum." Erlan kembali menunjuk pintu. "Kamu beneran harus pergi sekarang karena aku harus menghadiri meeting yang tadi tertunda."
Felis belum bergerak. Dia masih berdiri di tengah ruangan meskipun kepercayaan dirinya tampak tidak sebesar tadi. "Bang...."
"Aku pergi duluan. Kamu bisa tinggal sebentar di sini, tapi jangan terlalu lama. Kamu sendiri yang akan terkena getahnya kalau digosipin orang-orang. Nggak banyak yang tahu hubungan kita seperti apa. Kamu sendiri tahu gimana pentingnya imej untuk pekerjaan kamu." Erlan menarik tasnya dan beranjak dari kursinya. Baru beberapa langkah, di kembali ke mejanya untuk meraih buku sketsa yang ada di situ. Dia akan mampir ke butik Prita untuk memberikan sketsa itu. Mereka bisa makan malam bersama. "Jangan memutuskan sesuatu saat kamu sedang emosi, karena seringnya hanya bikin kamu menyesal. Aku sudah sering ngomongin ini." Dia menoleh kepada Felis sebelum meninggalkan ruangannya lebih dulu.
Klien yang seharusnya meeting dan makan siang dengan Erlan tadi meminta pertemuan dimundurkan dua jam karena pertemuan lain yang diikutinya di balai kota berlangsung lebih lama daripada yang direncanakan.
Selesai meeting, Erlan tidak kembali ke kantor lagi. Dia langsung menuju butik Prita. Sebelum memutar kunci kontak, dia melihat aplikasi CCTV di ponselnya, karena Prita tidak mengangkat teleponnya. Perempuan itu tidak berada di tempat yang terpantau CCTV. Berarti dia berada di lantai 3 karena mobilnya masih ada di depan butik.
Tidak butuh waktu terlalu lama untuk mencapai butik. Mungkin karena jam kantor memang belum berakhir, jadi lalu lintas belum terlalu padat. Erlan berpikir untuk mengajak Prita makan di luar saja. Begitu lebih baik untuk menghindarkan keberadaan Orlin di sekitar mereka.
Dia yakin Orlin sudah curiga tentang kedekatannya dengan Prita. Gadis itu hanya memilih untuk diam saja dan tidak ikut campur. Kadang-kadang, Orlin bahkan menawarkan diri untuk menghilang dari butik saat Erlan datang. Ada saja kegiatan yang harus dia lakukan di luar butik.
Para karyawan Prita beriringan keluar dari pintu samping khusus karyawan saat Erlan tiba di butik. Tanda "TUTUP" juga sudah dipasang di pintu kaca depan. Dia menunggu sampai karyawan terakhir keluar sebelum gantian masuk.
Dia menapaki tangga dengan langkah-langkah lebar. Dia lebih suka naik tangga daripada menggunakan lift. Bangunan ini hanya tiga lantai. Tidak terlalu banyak anak tangga yang harus dipanjat.
Mencapai lantai atas membutuhkan waktu lebih lama jika menggunakan tangga. Erlan suka melakukan hal itu karena dia bisa mengunakan waktu beberapa menit itu untuk memikirkan alasannya selalu kembali ke tempat ini meskipun dia tidak harus datang. Kewajibannya membantu Prita menyiapkan tempat usaha sudah selesai. Dia tahu persis alasannya datang karena sesuatu yang sangat personal. Bukan lagi karena Johny dan Yura Salim yang memintanya. Keinginan untuk datang dan terus datang adalah perwujudan dari kata hatinys. Dia suka dan menikmati menghabiskan waktu bersama Prita. Perempuan itu lucu, menggemaskan, meskipun kadang-kadang tidak terduga. Tetapi, siapa yang bisa membaca pikiran perempuan? Ambil saja Felis sebagai contoh. Erlan tahu kalau perempuan itu mencintai Ardhian, tetapi tidak berhenti bersikap kekanakan setiap kali merasa perhatian Ardhian kepadanya berkurang, atau ketika Ardhian terlambat menjembatani perbedaan antara Felis dengan keluarganya.
Memang tidak mudah bagi keluarga Ardhian untuk menerima Felis yang tidak punya asal-usul jelas untuk dibanggakan, layaknya keluarga Ardhian sendiri. Erlan mengerti itu. Awalnya, dia sendiri meragukan hubungan Felis dan Ardhian akan bertahan, tetapi keyakinannya itu akhirnya berubah setelah umur kebersamaan mereka semakin lama. Ardhian yang membantu Felis dengan karir bernyanyinya setelah pertemuan mereka di kafe tempat Felis bernyanyi beberapa kali seminggu untuk membiayai kuliah. Ardhian yang membawa Felis kepada produser dan karirnya bisa mencapai puncak seperti sekarang. Ardhian tidak akan melakukan semua itu kalau tidak mencintai Felis.
Hanya saja, hubungan antarperempuan memang unik. Seperti hubungan Felis dengan ibu dan saudara perempuan Ardhian. Ego mereka sama-sama besar. Felis ingin diakui dan keluarga Ardhian ingin dihormati.
Sebenarnya, kalau saja Felis mau sedikit mengalah, Erlan yakin titik temu itu akan tercapai. Toh, keluarga Ardhian tahu kalau hanya Felis yang diinginkan laki-laki itu, dan merusak ikatan mereka tidak akan mudah dilakukan. Hanya saja, Felis yang sejak awal sakit hati terhadap penerimaan keluarga Ardhian karena dianggap sebagai gold digger, sepertinya tidak ingin merendah untuk diterima. Sekali lagi, sulit mengerti pikiran perempuan.
Sama sulitnya dengan membaca pikiran Prita, pikir Erlan lagi. Perempuan itu bisa menjadi sangat manis saat merapat dan meringkuk dalam pelukannya, tetapi di saat lain, dia terlihat waspada dan memperlakukan Erlan tidak lebih daripada sekadar pekerja Johny Salim, ayahnya. Sikap kontradiktif yang sangat membingungkan.
Mungkin karena jenis hubungan mereka memang sama membingungkannya. Tidak ada status jelas yang diikat kata sayang atau cinta, tetapi mereka berdua tahu kalau hubungan mereka jelas sudah beranjak jauh lebih daripada sekadar "jalan bareng" seperti yang disepakati di awal. Erlan tahu Johny Salim tidak akan berpikir dua kali untuk mendepaknya dari dunia kalau tahu dia bermain-main dengan Prita tanpa status seperti ini.
Hanya saja, rasanya mustahil mengakhiri semuanya. Sama sulitnya dengan mengakui perasaannya kepada Prita. Ada hal lain yang membuat Erlan tetap diam soal perasaannya, selain ketakutan menempatkan Prita di posisi ibunya seandainya perempuan itu membalas perasaannya dan bersedia meningkatkan hubungan mereka ke tahap selanjutnya. Bagaimana kalau menurut Prita dia tidak lebih daripada sekadar permainan? Menyatakan perasaan sama saja mengakhiri hubungan itu sendiri. Prita akan menarik diri karena tidak mau serius. Dia akan mencari laki-laki lain untuk diajak bermain.
Pikiran itu otomatis membuat Erlan kesal. Dia mengentakkan kaki lebih keras di anak tangga. Dia seharusnya tidak perlu berpikir. Dia hanya perlu menikmati keberadaan Prita di dekatnya, terlepas bagaimanapun perasaan perempuan itu padanya. Namun, benarkah itu cukup? Perasaannya berkembang pesat, dan dia merasa semakin terikat. Tidak mungkin bisa melepas Prita dengan perasaan seperti itu.
Erlan belum menyelesaikan mengurai benang kusut dalam kepalanya ketika akhirnya sampai ke lantai atas. Seperti dugaannya, Prita ada di situ bersama Orlin. Dia hanya mengenakan pakaian santai. Prita pasti sudah lama di atas. Itu menjelaskan mengapa mengapa Erlsn tidak melihatnya melalui kamera CCTV. Tidak biasanya Prita hanya berdiam diri di atas seperti ini di hari kerja. Atau mungkin dia memang sibuk dengan ide-ide baru dan memutuskan tinggal di atas untuk menggambar.
"Pak Erlan mau minum apa?" tawar Orlin saat Erlan mengambil tempat di sisi Prita, seperti tak terlalu peduli soal jarak.
"Nggak usah, belum haus." Erlan menunjuk buku sketsa ysng diletakkannya di atas meja sebelum duduk. "Ternyata Orlin nggak sempat ngambil." Dia bicara seperti Orlin tidak ada di situ dan mengawasi mereka.
Prita menoleh kepada Orlin. "Lin, saya mau bicara dengan Erlan. Kamu bisa keluar, kan? Nggak lama kok. Nongkrong saja di kafe di ujung jalan sana. Kalau sudah selesai, saya akan hubungin supaya kita bisa pulang ke rumah."
"Baik, Mbak." Orlin tidak bertanya apa pun, seperti tahu kehadirannya tidak diinginkan. Dia segera menyambar kunci mobil dan bergegas menuju lift.
Erlan merapat dan melingkarkan tangannya di bahu Prita. Dia suka berada di dekatnya seperti ini. Merasakan perempuan ini berada dalam jangkauannya.
"Kok cepat pulang?" Prita menoleh dan tersenyum manis.
"Meeting-nya nggak lama, jadi aku langsung ke sini. Nggak balik ke kantor lagi." Erlan mengecup kepala Prita. Wanginya terasa sangat familier.
"Nggak lama gimana, bukannya sejak makan siang?" Prita meraih remote dan mengecilkan volume televisi.
"Nggak jadi meeting waktu makan siang. Ditunda. Aku sudah lapar banget. Tadi cuman minum kopi sama klien. Kita makan di luar, kan?"
Prita lagi-lagi tersenyum. Dia melepaskan tangan Erlan dari bahunya. Jari-jari itu terus digenggamnya dan dibawanya di atas pangkuan saat dia menaikkan kedua kaki dan bersila di atas sofa setelah mengambil posisi supaya bisa berhadapan dengan Erlan. "Kita bisa makan malam di luar kalau kamu masih mau setelah kita bicara."
Genggaman Prita hangat, meskipun tanggannya lebih kecil. Erlan mengawasi jari-jari mereka yang berkumpul menjadi satu. Nyaman. Dia benar-benar sudah terbiasa dengan keberadaan dan sentuhan Prita. "Kamu mau bicara apa?"
"Bukan hal penting." Prita mengedik. Dia mengusap punggung tangan Erlan sebelum meletakkan tangan laki-laki itu ke pangkuannya sendiri. Dia lalu bersedekap. "Kurasa ini saatnya."
"Saat apa?" Erlan tidak bisa membaca arah percakapan itu.
"Permainannya," kata Prita pelan dan jelas. "Game over!"
**
RULES : terima kasih untuk apresiasinya yang sangat bagus, dan aku sangat menghargainya. Apalah arti penulis tanpa pembaca. Tetapi aku TIDAK MENERIMA TAGIHAN DAN MODUS UPDATE DALAM BENTUK APA PUN karena jujur, aku nggak suka ditagih dan dianggap nggak punya kerjaan apa pun di dunia nyata kecuali nulis untuk update. NGGAK USAH DIINGETIN SOAL VOTE YANG PECAH, karena aku tahu dan punya kriteria sendiri.
Kalau aku nyaman, nulisnya juga enak, dan kalian juga bisa baca secepatnya, nggak usah ngejar kayak aku mau kabur aja setelah ngutang. Untuk perhatiannya, terima kasih.
Oh ya, aku masih di Malang nih sampe dini hari nanti. Jadi kalau ada yang mau ngasih oleh-oleh, ditunggu, ya. Hehehehe... becanda deng. Mak Ferli dan Tasya, makasih udah ditemenin jalan di Surabaya, ya. Juga oleh-olehnya yang seabrek-abrek. Sampe Baubau, aku kayaknya udah bisa jualan. Lope-lope dah....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top