Tiga Puluh Dua

Tembus 8K vote kurang dari 24 jam semalam. Karena itu aku bela-belain nulis. Gaesss... kalian, TERBAEKKKKK. Hepi reading en lope-lope yu ol....

**

Nasi gorengnya sedikit hangus, tetapi masih bisa dimakan. Ciuman tadi memang sedikit mengambil alih perhatian. Erlan menawarkan menggoreng ulang, tetapi Prita menolak. Dia kemudian duduk menghadapi piring nasi goreng yang diletakkan Erlan di depannya.

"Aku belum lapar," tolak Erlan saat Prita menawari. Laki-laki itu memang hanya memasak untuk satu porsi. "Tadi sudah minum kopi sebelum ke rumah kamu."

"Kopi itu bukan sarapan." Prita tetap mendorong piringnya ke tengah, di antara dirinya dan Erlan. "Porsinya terlalu banyak ukuran sarapanku."

Erlan kemudian mengambil sendok yang lain dan ikut menyendok nasi itu. "Rasanya seharusnya lebih enak kalau nggak ada bau gosongnya sih," katanya setelah mencicipi. "Aku beneran bisa bikin yang baru. Nggak akan lama."

"Untuk ukuran aku yang nggak bisa masak, ini lumayan kok." Prita mengerling jail. "Aku hanya merasa sedikit tertipu karena kamu ternyata pakai bumbu instan. Tadinya, aku pikir kamu akan bersusah payah mengulek bumbu. Ekspektasiku terlalu berlebihan."

"Bumbu instan itu menghemat banyak waktu dan membuat dapur nggak terlalu berantakan. Memang nggak seenak pakai bumbu segar, tapi juga nggak terlalu buruk." Erlan kembali menyuap sambil tersenyum kecil.

"Mama nggak akan sepakat sama kamu. Dia melarang pemakaian bumbu instan di rumah." Prita menunjuk wajah Erlan dengan tangannya yang memegang sendok. "Nah, kalau senyum gitu kan lebih enak dilihatnya."

Senyum Erlan menghilang. Dia meletakkan sendok. "Silakan terus mengejek," katanya ringan. "Aku nggak akan terpancing."

Prita mencebik. "Memangnya kapan kamu bisa terpancing? Kamu kan punya zirah antiejekan." Dia menelengkan kepala menatap Erlan. "Aku nggak bohong kok. Kamu jadi lebih jadi lebih cakep kalau tersenyum kayak tadi."

Erlan balik menatap dengan tatapan bosannya yang familier. Tatapan yang biasanya dengan mudah memancing emosi Prita. Aneh bagaimana tatapan yang sama bisa menyebabkan efek berbeda hari ini. Dia balas tersenyum. "Nah, kan, aku lebih suka lihat kamu tersenyum daripada sok bosan kayak gitu."

"Aku nggak sok bosan." Erlan akhirnya menarik sudut bibirnya sedikit.
"Dan nggak mungkin juga bosan sama kamu."

"Coba kalau kamu ngucapinnya nggak dengan ekspresi kayak gitu, aku pasti mengira kamu sedang merayuku." Prita berdecak. Dia memukulkan kepalan tangan kirinya di lengan atas Erlan.

Erlan menangkap kepalan tangan Prita, menggenggamnya sebelum meletakkannya kembali ke atas meja. "Itu bukan rayuan. Kenyataannya memang begitu. Kamu bukan orang yang membosankan kayak aku."

"Suatu saat, semua orang akan menyentuh titik jenuh itu." Prita merasa dia mungkin seharusnya tidak mengungkit masalah itu sekarang, tetapi sudah telanjur terucap, jadi dia melanjutkan, "Kira-kira kita butuh waktu berapa lama untuk merasa bosan satu sama lain?"

Butuh jeda beberapa saat sebelum Erlan menanggapi, "Kamu sudah bosan padaku?" Dia balik bertanya.

"Aku nggak akan ada di sini kalau sudah bosan," jawab Prita jujur. Dia kemudian memilih menekuri piring dan makan dengan tenang. Dia tahu Erlan tidak akan menjawab pertanyaannya. Seperti biasa, Erlan selalu memilih menghindar saat percakapan sudah menyerempet hubungan mereka. Prita sudah hafal itu.

"Aku akan mencuci piring dan gelasnya," ujar Erlan setelah piring mereka kosong. "Kamu duduk saja di depan."

Percuma menolak karena Erlan sudah mengangkat piring dan gelas kotor, jadi Prita menuju sofa dan duduk di sana. Dia meraih remote untuk mencari saluran yang menarik minatnya. Prita berhenti di salah satu saluran khusus film.

Tidak sampai sepuluh menit, Erlan sudah menyusul di sisinya. Dari gesturnya yang tegang, Prita tahu laki-laki itu hendak mengatakan sesuatu yang pasti tidak membuatnya nyaman. Namun dia memlilih pura-pura tidak tahu.

"Aku nonton film ini entah sudah berapa kali, tapi nggak pernah bosan." Prita menunjuk layar televisi. Wajah Meg Ryan sedang di-close up. Dia sengaja bicara lebih dulu karena Erlan benar-benar tampak tidak nyaman. Bahasa tubuh yang sangat berbeda dibandingkan Erlan yang biasanya tidak terbaca. "Pertama kali nonton ini aku masih SMP, nemenin Mama yang nge-fans banget sama Meg Ryan dan Tom Hanks. Waktu itu Mama mungkin sudah nonton untuk yang sekian ratus kali, tetapi tetap saja nangis. Ya, Mama memang baperan sih."

"Aku berumur 12 tahun saat ibuku meninggal," kata Erlan, seolah tidak mendengar Prita bicara tentang film lama Meg Ryan. "Dia memang sudah lumayan lama sakit, tapi tetap saja kehilangan dia nggak gampang."

Prita me-mute televisi. Ini pertama kalinya Erlan bicara tentang dirinya sendiri, yang ajaibnya tanpa diminta atau dipancing lebih dulu. "Kehilangan memang nggak pernah gampang diatasi, kan?" Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika harus kehilangan salah seorang dari kedua orangtuanya. "Ayah kamu... dia sudah lebih duluan meninggal?" Ini saat menuntaskan rasa penasaran, mumpung Erlan yang membuka diri.

"Dia belum meninggal." Erlan mengedik dengan sikap defensif. "Setahuku begitu."

"Maksud kamu, ayah kamu masih hidup sekarang?" Prita tidak mengerti. Lalu mengapa Erlan harus tinggal di oanti asuhan kalau ayahnya masih ada? Seingat Prita, ibunya pernah menyebut Erlan sebagai anak yatim piatu.

"Terakhir kali aku melihatnya itu adalah beberapa hari sebelum ibuku meninggal. Setelah itu, kami nggak pernah bertemu lagi sampai sekarang." Erlan mengembuskan napas keras. "Dan aku lebih suka kalau nggak perlu melihatnya lagi."

Hubungan Erlan dan ayahnya pasti buruk sehingga dia berpikir seperti itu. "Nggak ada anak yang beneran ingin memutuskan hubungan dengan orangtuanya."

"Mungkin karena nggak ada anak yang punya orangtua seperti dia." Erlan bahkan enggan menyebut kata 'ayah". Prita menyadari hal itu. Nada Erlan yang pahit menandakan kekecewaan yang mendalam.

"Kamu membencinya." Itu pernyataan, bukan pertanyaan. "Mengapa?"

"Iya, aku memang membencinya," Erlan mengakui. "Aku benci dia karena mengajari aku mencopet sejak kecil. Aku benci dia karena dia nggak tahu bagaimana harus memperlakukan anaknya, dan aku semakin membencinya karena dia terus memukuli ibuku tanpa rasa kasihan, meskipun tubuhnya sudah babak belur dan lebam."

Itu kedengarannya mengerikan. Prita meraih sebelah tangan Erlan dan mengenggamnya. Dia sudah menduga kehidupan Erlan di masa lalu sulit, tapi tidak mengira akan mendengar kisah seperti itu. Prita sampai kehilangan kata-kata. Dia ingin mengatakan sesuatu untuk menghibur, tetapi tahu tidak ada kata-kata hiburan yang cukup untuk membuat perasaan Erlan menjadi lebih baik. Jadi dia memilih mengeratkan genggamannya.

"Beberapa hari sebelum ibuku meninggal, aku melakukan sesuatu yang sangat buruk." Erlan menatap Prita saat mengatakan hal itu. "Sakitnya benar-benar memprihatinkan dan kami sama sekali nggak punya uang yang bisa dipakai untuk berobat, jadi aku memang nggak punya pilihan." Erlan memberi jeda sejenak. "Aku merampok uang pemilik proyek tempatku bekerja. Sayangnya uang itu bahkan nggak bisa menolong ibuku karena orang itu merebutnya dari tanganku. Dia membawanya pergi. Dan ibuku nggak pernah mendapatkan pengobatan, padahal aku sudah bersusah payah merampok. Orang itu suami yang mengerikan."

Prita memeluk lengan Erlsn. Mungkin memang tidak bisa membantu menghilangkan kepedihan hati laki-laki itu saat mengenang masa lalu, tetapi dia merasa harus melakukannya.

"Kamu pasti nggak percaya kalau aku kasih tahu siapa yang aku rampok waktu itu," lanjut Erlan.

"Siapa?" Prita yakin Erlan akan memberitahu tanpa dia perlu bertanya. Hanya saja, Erlan tampaknya mengharapkan responsnya, jadi dia memberikan itu.

"Aku merampok Pak Johny." Erlan mengangguk saat melihat Prita membelalak. "Iya, itu benar."

Prita sama sekali tidak menduga bagian yang itu. "Papa tahu?" Ayah dan ibunya tidak pernah menyebut-nyebut soal perampokan yang dilakukan oleh seorang anak berumur 12 tahun, di masa lalu.

"Pak Johny tahu setelah aku mengakuinya. Nggak lama setelah aku bekerja di kantor beliau."

"Papa bilang apa?" Prita benar-benar penasaran. Dia tahu ayahnya sangat percaya dan menyayangi Erlan.

"Katanya aku harus membayar utang itu beserta bunga-bunganya. Dan dia yang akan menentukan kapan utang itu dia anggap lunas. Itu alasan mengapa aku bertahan di kantor Pak Johny meskipun banyak menerima tawaran pekerjaan di tempat lain. Pak Johny sampai sekarang belum mengatakan kalau utangku sudah lunas."

"Papa memeras kamu!" Perlakuan ayahnya membuat Prita merasa malu. Tidak masuk akal memperlakukan Erlan seperti itu karena kesalahannya di masa kecil.

"Pak Johny berhak melakukan itu," sanggah Erlan. "Beliau sudah baik banget nggak membawa kasus itu ke ranah hukum. Uang yang aku ambil waktu itu nggak sedikit."

"Tetap saja—"

"Yang aku mau bilang," potong Erlan sebelum Prita menyelesaikan kalimatnya, "terikat dengan seseorang itu lumayan menakutkan. Hubungan kedua orangtuaku, terutama perlakuan laki-laki itu terhadap ibuku sama sekali nggak bisa dijadikan panutan."

"Kalau kamu takut terikat, mengapa kamu dulu menerima pertunangan yang diusulkan Papa dan Mama? Kamu tahu ke mana pertunangan itu akan dibawa. Ikatan seumur hidup."

"Karena aku yakin kamu akan menolak. Aku pikir kamu nggak akan mengikuti keinginan Pak Johny dan Bu Yura yang konyol itu. Mereka nggak akan memaksa kalau kamu nggak mau. Kamu itu hidup mereka. Kebahagiaan kamu adalah prioritas mereka."

Prita melepaskan pelukannya di lengan Erlan. Pun genggaman tangannya. Dia sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaannya selama ini. Kalau Erlan benar-benar takut terikat, hubungan mereka tidak akan ke mana-mana. Hanya akan menikmati permainan ketertarikan fisik ini sampai salah seorang di antara mereka merasa bosan. Lebih tepatnya, Erlan yang merasa bosan.

"Aku beneran merasa prihatin untuk semua masa lalu kamu, tetapi masa lalu itu ada untuk dijadikan pelajaran, bukan ditiru kalau memang jelek. Kamu jauh lebih bijak daripada aku, jadi kamu pasti sudah tahu itu sebelum aku bilang."

Erlan ganti menggenggam tangan Prita. "Aku nggak mau kamu berpikir kalau aku mengambil keuntungan dari kamu dengan hubungan kita yang seperti ini. Hanya saja, sulit melupakan apa yang pernah menjadi ketakutan kita di masa lalu."

"Ketakutan kamu," balas Prita. "Dan melihat sikap kamu yang kayak gini, aku yakin ketakutan itu bukan pernah, tetapi masih kamu rasakan sekarang."

Erlan tidak menjawab. Genggamannya di tangan Prita mengendur. Keraguan membayang jelas di wajahnya. Prita tidak tahu apakah itu pertanda baik, atau malah buruk untuk hubungan mereka. 

**

Pecahkan vomen-nya lagi!!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top