Tiga
Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....
**
Menurut Prita, ini menggelikan. Ditempatkan di ruang khusus seperti ini padahal statusnya sebagai staf marketing yang seharusnya hanya tinggal di balik kubikel pasti mengundandang banyak cibiran. Orang-orang di kantor pasti membicarakan keistimewaan ini di belakang punggungnya. Sebenarnya bukan hal baru. Sejak kecil pun dia sudah sering dicibir karena statusnya sebagai anak Johny Salim. Dia sudah terbiasa dengan anggapan bahwa dia adalah Tuan Putri yang manja dan tidak bisa melakukan apa pun. Orang-orang yang iri selalu menemukan alasan untuk membuatnya terlihat buruk. Seperti kata ibunya, ada orang yang memutuskan untuk membencinya karena dia anak orang kaya, bahkan sebelum mengenalnya.
Itulah mengapa dia suka tinggal di luar. Tidak ada orang yang mengenal Johny Salim di sana. Tidak ada yang peduli siapa dia. Dia bisa berteman dengan siapa saja yang cocok dengannya. Bukan berarti dia punya banyak teman, hanya saja rasanya lebih mudah. Dia bisa menunjukkan identitas diri melalui pencapaiannya sendiri, bukan karena dia anak siapa. Di sini, di tanah airnya sendiri, apa pun yang dia lakukan, tidak akan cukup baik di mata orang-orang. Dia akan selalu dianggap berhasil (kalau berhasil) karena dia anak Johny Salim. Kalau dia gagal? Dia pasti orang paling tolol di dunia, karena sudah di-backing ayahnya, tetapi masih tetap gagal.
Prita menyayangi kedua orangtuanya, tetapi kadang-kadang sulit menjadi anak mereka. Lebih sulit lagi karena dia anak tunggal. Dia tidak bisa berbagi spotlight dengan orang lain. Dan dia benci berada di bawah spotlight.
Prita menoleh saat pintunya yang tidak tertutup diketuk. Dari tumpukan barang yang tiba-tiba berjatuhan di tangan Orlin, dia sudah tahu siapa yang datang. Bastian pasti menemani tuannya.
Yura menyuruh Orlin menjadi asisten Prita untuk sementara karena dia belum berniat aktif lagi di luar rumah. Prita mengikuti perintah ibunya karena memang sudah bertekad untuk membuat Bastian menyadari kehadiran Orlin dan tertarik kepadanya.
"Ada apa?" Prita bersedekap sambil menatap Erlan yang berdiri di depan pintu. Persis seperti dugaannya, Bastian ada di belakang laki-laki itu, sibuk dengan iPad. Mungkin sedang menyakinkan diri bahwa program dalam otak Tuan Robot majikannya baik-baik saja.
"Ruangannya cukup, atau ada yang kurang?" Erlan mengamati ruangan yang sementara ditata Prita dan Orlin. Pak Johny yang memintanya memeriksa karena tidak mungkin melakukannya sendiri tanpa mendapat omelan dari anak perempuannya ini.
Ini sudah berlebihan untuk ukuran seorang yang baru masuk kantor. Tetapi tidak mungkin mengakui dan membuat Erlan senang karena sudah berhasil melaksanakan perintah ayahnya dengan baik. Prita lantas mengedik. "Kamu yakin aku nggak bisa punya spa dan bioskop sendiri di sini? Aku bisa saja bosan, kan?" Dia tahu kalau di mata Erlan dia juga tidak lebih dari perempuan bodoh bertabur uang. Seandainya dia cukup pintar, dia tidak akan terlibat kasus pembunuhan dan laki-laki itu tidak perlu bersusah payah mencari bukti untuk membebaskannya. Jadi, biarkan saja dia senang karena merasa pendapatnya benar.
Seandainya Erlan merasa jengkel seperti yang diinginkan Prita, dia sama sekali tidak menunjukkannya. Ekspresinya tidak berubah. Tenang, tidak terbaca.
"Ayo, aku antar bertemu manajer kamu."
Prita mengibas. "Aku bisa ke sana sendiri, nggak perlu ditemani seperti anak playgroup baru masuk sekolah. Aku mungkin terlihat sangat tolol di mata kamu, tapi aku pernah tinggal lama di luar, jadi kalau urusan perkenalan saja, aku bisa kok." Dia menoleh saat mendengar Orlin mengaduh. Asistennya itu baru saja menabrak kursi. Ya Tuhan, di mana ibunya mendapatkan asisten seperti itu? Tante Martha, asisten ibunya sebelum Orlin terlihat sangat elegan dan kompeten. Pakaiannya saja tidak pernah kusut, apalagi sampai menabrak sana-sini.
"Ya sudah, hubungi aku kalau kamu butuh sesuatu." Erlan berbalik dan pergi. Bastian setia mengekor di belakangnya, dan Orlin kembali menjatuhkan benda yang dipegangnya.
Priita segera menutup pintu ruangannya. Dia tentu saja tidak akan menghubungi Erlan. Dia malah akan berusaha menghindarinya sebisa mungkin, meskipun itu akan sulit karena mereka berada di kantor yang sama. Berbeda lantai, tetapi tetap saja satu gedung.
Orlin berjongkok dan bertumpu di kedua betis. Dia terlihat seperti baru menyelesaikan maraton sehingga sangat kelelahan.
"Kamu kenapa?" Prita menepuk punggung Orlin sehingga dia kemudian berdiri tegak.
"Jantung saya hampir keluar, Mbak." Wajah Orlin merah padam. Sebelah tangannya sudah memegang dada bagian kiri, seolah menahan supaya jantungnya tidak benar-benar melompat keluar. "Dia ganteng banget."
Prita menggeleng-geleng prihatin. Bastian tadi sama sekali tidak melihat ke arah Orlin. Prita bahkan sangsi laki-laki itu tahu Orlin ada. "Sabtu besok kita ke salon. Catat di jadwal."
"Baik, Mbak." Orlin kembali ke mode cekatan. Dia sudah meraih iPad-nya. "Mbak Prita mau ke salon mana? Mau ngambil perawatan apa?"
Prita menunjuk asistennya. "Kamu yang lebih butuh salon daripada saya."
Orlin meringis sambil berjalan mundur sehingga menabrak meja kerja Prita. "Aduh!" Dia mengusap pinggang. "Tapi saya nggak butuh salon, Mbak. Kalau mau potong rambut, saya biasanya minta tolong sama Mbak Juwi." Senyumnya mengembang lebar. "Gratis, Mbak. Dia jago banget potong rambutnya. Dia bisa potong rambut 10 anak laki-laki dalam 1 jam aja. Tinggal naruh mangkuk aja di kepala mereka dan ngikutin pola mangkuk itu. Jadi deh potongan rambut ala boyband Korea-Korea gitu."
Prita berdecak. Pantas saja potongan rambut Orlin terlihat lurus dan aneh begitu. Mungkin bahkan diukur pakai mistar sebelum dipotong. "Potongan rambut kayak gitu nggak cocok untuk bentuk muka kamu. Untuk urusan kayak gini, saya lebih tahu. Kamu nggak usah membantah."
"Tapi kan ongkos salon mahal, Mbak. Apalagi di salon langganan Ibu. Saya sampai gemeteran pas nyodorin kartu buat bayar. Itu bisa buat beli beras sebulan buat dimakan anak-anak di panti, Mbak."
"Panti?" Prita baru sadar kalau dia tidak tahu banyak tentang Orlin. Interaksi mereka sebelum ini memang minim, dan percakapan mereka di rumah sama sekali tidak membahas kehidupan pribadi Orlin.
Orlin mengangguk. "Saya tinggal di panti, Mbak. Yang dikelola yayasan Ibu. Beberapa bulan lalu diajak kerja sama Ibu pas tahu saya sudah wisuda, bertepatan dengan Bu Martha resign."
Itu menjelaskan banyak hal akan sikap dan penampilan Orlin. "Saya yang bayar," sambut Prita. Dia akan mengajak Becca untuk melakukan make over pada Orlin. Sepertinya itu akan menyenangkan untuk membuang-buang waktu. Ya, sambil menunggu masa tenang –supaya bisa membuka butik sendiri— setelah gonjang-ganjing yang disebabkan ulahnya sendiri, dia punya banyak waktu luang di akhir pekan.
"Tapi, Mbak—"
"Kamu mau Bastian lihat kamu, nggak?"
Orlin tampak ragu sekarang. "Mau sih, tapi—"
"Ya sudah, kita ke salon Sabtu nanti."
**
Sejak awal, bahkan saat pertama melihatnya pun, Erlan sudah tahu bahwa Prita akan sulit dihadapi. Anak manja yang terbiasa mendapatkan apa pun yang dia inginkan. Jenis orang yang tidak tahu perjuangan yang harus dilakukan untuk bertahan hidup.
Hanya saja, akhir-akhir ini, tepatnya sejak keluar dari tahanan, sikap bermusuhan yang ditunjukkan Prita semakin berlebihan. Entah mengapa. Dulu, saat Johny Salim mengutarakan keinginan untuk menjodohkan mereka, Erlan tahu kalau ide itu akan mendapat tantangan dari Prita. Dia yakin perempuan seperti Prita akan menunjuk orang yang dia inginkan untuk menjadi pendamping hidupnya. Orang yang dia cintainya. Itulah salah satu alasan mengapa Erlan tidak menolak saat Johny Salim menanyakan pendapatnya. Dia hanya perlu mengatakan, "Kalau Prita tidak keberatan, saya ikut saja, Pak." karena yakin Prita akan menolak.
Hanya saja, entah apa yang dikatakan Johny Salim kepada anak kesayangannya itu sehingga Prita kemudian menerima perjodohan itu. Meskipun Prita terlihat menjaga jarak, tetapi dia tetap ramah. Dia tidak keberatan membuka percakapan lebih dulu saat mereka keluar bersama.
Erlan mengakui kalau dia bukan orang yang menyenangkkan untuk diajak bersosialisasi, karena dia tidak pernah punya teman yang benar-benar dekat. Dia punya pengalaman buruk di masa lalu sehingga sudah memutuskan untuk tidak terlalu percaya kepada siapa pun. Mungkin terdengar berlebihan, tetapi selalu ada saja orang yang menikmati mengkhianati saat dipercaya. Dia pernah dikhianati dan juga mengkhianati saat diberi kepercayaan. Jadi, dia tahu persis jika sebenarnya tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya, selain diri sendiri.
Ngomong-ngomong soal pengkhianatan, nama yang muncul di layar ponsel saat benda itu berdering membuat Erlan mendesah. "Iya, Lis?" Bahkan saat sudah tahu hanya akan mendengar keluhan, tetap sulit mengabaikan panggilan yang kesekian kalinya dari orang yang sama untuk hari ini. Erlan terus mendengarkan sebelum akhirnya bicara, "Kamu kan tahu kalau tunangan kamu nggak suka kita bertemu, apalagi kalau dia sampai tahu kamu datang dan menginap di apartemenku." Dia diam lagi untuk mendengarkan. "Apalagi kalau aku yang harus ke tempatmu. Tidak, dia pasti tahu. Orang seperti dia punya mata di mana-mana. Ayolah, Felis. Kita sudah bicara dan sepakat soal ini."
Erlan memutus hubungan setelah mendengar lebih banyak keluhan lagi. Dia mengembuskan napas kesal. Perempuan. Sulit sekali mengerti mereka. Masalahnya, dia tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari yang satu ini, bahkan setelah pengkhianatan yang dia terima. Jangan tanya mengapa, karena Erlan juga tidak tahu jawaban pastinya, dari sekian banyak pilihan alasan yang tersedia. Mungkin karena semua alasan itu memang benar.
**
Aku ngecek komen untuk update berikutnya, ya. Tapi bukan komen nagih. Oh ya, aku mau bagiin novel Di SImpang Jalan di Instagram @titisanaria jadi pastikan kamu follow, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top