Sepuluh
Beberapa hari ini aku sibuk banget dengan urusan kantor, dan mungkin baru akan kelar setelah akhir bulan. Tadi saja sampai harus ke kantor juga, padahal biasanya tidak. Jadi mungkin akan agak slow update, kalau weekend ini nggak sempat nulis banyak untuk di-update per part. Bantu doa aja biar urusan kerjaan cepat beres, supaya bisa fast update. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaess...
**
Ini bodoh. Prita tahu persis itu, tetapi tidak bisa menahan diri. Dan di sinilah dia sekarang. Di depan pintu apartemen Erlan. Dia melakukan ini karena tahu Bastian juga berada di dalam sana.
Prita tahu nomor apartemen Erlan karena dia dulu pernah ke sini bersama ibunya. Waktu itu ibunya mengajak Prita menjenguk karena katanya Erlan sakit, tetapi ternyata laki-laki itu tampak baik-baik saja saat membuka pintu. Saat mereka masuk ke ruang tengah, Prita dapat melihat laptop Erlan masih menyala. Ada tumpukan berkas dan cangkir kopi di sebelahnya. Orang sakit jelas tidak akan bekerja keras. Ayah dan ibunya pasti melebih-lebihkan saja. Orang sekekar Erlan bukan tipe yang suka digoda atau dikedip genit virus dan bakteri. Bibit penyakit yang pintar pasti akan kabur menyelamatkan diri sejauh-jauhnya, daripada mati sia-sia diserang antibodi laki-laki itu..
Jadi, rencana malam ini adalah membuat jarak yang membentang selebar mungkin antara Bastian dan Erlan, sehingga keduanya mustahil menjalin hubungan asmara. Prita sudah berjanji kepada Orlin untuk membantunya mendapatkan Bastian. Dan Prita jenis orang yang menepati janji. Dia akan melakukan semua yang dia bisa untuk mendekatkan Orlin dan Bastian.
Menurut Prita, sampai saat ini, hubungan Erlan dan Bastian masih murni sebagai atasan dan bawahan. Hanya saja, Erlan itu tipe yang tampak mengintimidasi bagi sebagian orang. Selain dirinya sendiri, Prita tidak pernah melihat ada orang yang menikmati membantah apa pun yang Erlan katakan. Bisa saja dia akan memutarbalikkan pendapat Bastian tentang hubungan sesama jenis. Sebelum itu terjadi, Bastian harus diselamatkan. Demi Orlin. Prita belum tahu caranya, tapi itu bisa menyusul nanti. Dia bukan orang bodoh. Dia bisa memikirkan sesuatu sambil jalan.
Prita dapat melihat keterkejutan Erlan saat membuka pintu apartemen setelah dia menekan bel. Prita tahu kedatangannya tidak diharapkan, tetapi dia tidak peduli. Dia sengaja menabrak sebagian dada Erlan yang menghalangi pintu saat masuk, sebelum dipersilakan.
"Ada perlu apa?" Erlan menutup pintu dan mengikuti Prita menuju ruang tengah.
Prita mengedarkan pandangan, tetapi tidak menemukan Bastian di situ. Dia mengenali tas laki-laki itu yang tergeletak di atas meja, tetapi Bastian sendiri tidak terlihat.
"Aku tahu Bastian ada di sini!" Prita berbalik menghadap Erlan.
"Lalu?" Erlan bersedekap, memandangnya tak peduli.
"Aku sudah bilang kalau kamu nggak akan mendapatkan dia! Orientasi seksual kamu itu urusan kamu sendiri. Kamu hanya nggak boleh mengajak orang lain yang jelas-jelas lurus supaya ikut-ikutan jadi pemuja batangan. Aku akan menyelamatkan Bastian dari pengaruh buruk kamu!"
"Oh ya?" bibir Erlan sekarang membentuk senyum samar meremehkan. "Kamu yakin bisa? Dan yang paling penting, kamu yakin Bastian mau kamu selamatkan?"
Prita benar-benar sebal melihat senyum itu. Erlan jarang tersenyum kepadanya, dan sekalinya tersenyum, itu dimaksudkan untuk membuatnya jengkel. Tidak ada orang terang-terangan berusaha membuat Prita jengkel sebelumnya.
"Kamu menilai diri kamu sendiri terlalu tinggi." Prita balas tersenyum mengejek. "Hati-hati, biasanya orang seperti itu akhirnya harus berkencan dengan psikiater untuk memulihkan kesehatan jiwanya."
Erlan bergeming, tatapannya tetap lekat pada Prita, meskipun dia sendiri tidak yakin bisa mengintimidasi. Tetapi dia jelas bisa membuat perempuan itu kesal. Kalau dipikir-pikir, ini sebenarnya lucu. Prita sangat pasif dan tidak melakukan apa pun untuk mendekatkan mereka berdua saat dulu masih bertunangan, bukan berarti Erlan ingin Prita mendekatinya. Hanya saja, perempuan itu tidak pernah datang dengan sukarela di tempat ini. Dan Prita sekarang dia tampak bertekad melakukan segalanya demi Orlin. Kelihatan sekali jika perempuan itu sangat bosan, sehingga bersedia terlibat hal konyol seperti ini.
"Jangan khawatir soal kesehatan mentalku. Kalaupun nanti aku bermasalah, bukan kamu yang harus tinggal di dekatku untuk merawatku."
Prita memutar bola mata. "Tentu saja bukan. Syukurlah. Jadi, di mana Bastian?"
"Pak, saya boleh pinjam—" Bastian muncul dari pintu salah satu kamar dengan bertelanjang dada. Di tangannya ada kaus putih. Laki-laki itu ternganga dan tampak salah tingkah saat menyadari kehadiran Prita.
Prita sama terkejutnya. Astaga, apa-apaan ini? Apakah Bastian dan Erlan tadi sempat bermain sodok-sodokan sebelum dia sampai di sini? Erlan memang berpakaian lengkap, tetapi tidak akan sulit menaikkan celana sebelum membuka pintu, kan?"
Ini benar-benar di luar dugaan Prita. Ternyata hubungan kedua laki-laki ini sudah lumayan jauh. Bastian yang malang, dia harus segera diselamatkan. Demi masa depannya sendiri. Dan masa depan Orlin tentu saja. Kombinasi keduanya bisa menjadi generasi muda penerus kejayaan bangsa ini. Benih itu tidak boleh terbuang percuma karena salah mengenali arah pembuahan. Sperma tangguh itu seharusnya bertemu sel telur Orlin, bukannya berakhir mengenaskan di saluran pembuangan akhir yang menjijikkan. Baiklah, Bastian pasti akan patah hati sekarang, tetapi dia jelas akan berterima kasih kepadanya nanti.
"Bastian...," Prita tersenyum manis kepadanya. "Kami...," dia menunjuk dirinya sendiri dan Erlan bergantian. "Ada urusan. Kamu bisa pergi sekarang?"
"Tapi—" Bastian menunjuk ke arah pantri. "Saya harus member—"
Prita berbalik menuju Erlan. Dua langkah, dia sudah sampai di depan laki-laki yang masih bersedekap mengamati itu. Tanpa aba-aba, Prita berjinjit, mengalungkan lengannya di leher Erlan erat, menariknya menunduk sebelum menciumnya. Orang harus total saat melakukan sesuatu kalau mengharapkan hasil maksimal. Termasuk mencium laki-laki yang suka kepada laki-laki lain. Tidak masalah. Prita bisa mengelap bibir dengan tisu basah sebelum mandi di rumah nanti. Ini bukan ciuman yang melibatkan perasaan. Anggap saja dia mencium anak kecil. Gampang. Sebentar saja, hanya untuk membuat Bastian merasa dikhianati karena laki-laki pujaannya ternyata biseksual. Sama laki-laki iya, sama perempuan oke. Bukan tipe yang setia kepada satu orang. Itu imej yang harus ditangkap Bastian.
Erlan yang sama sekali menduga akan diterjang seperti itu, terdorong mundur, membawa Prita yang menempelnya. Dia harus merangkul tubuh perempuan itu untuk menjaga keseimbangan, supaya tidak terjatuh. Saat dia hendak membuka mulut hendak mengatakan sesuatu untuk mencegah kegilaan Prita terus berlanjut, perempuan itu bahkan memperdalam ciumannya. Sialan! Bagaimana mungkin Johny dan Yura Salim yang kelihatan sangat normal itu punya anak yang tidak waras seperti ini?
Aroma parfum Prita yang lembut, dengan tubuh yang melekat padanya lumayan mengganggu Erlan. Bagaimanapun, dia laki-laki normal. Akal sehatnya terkadang bisa juga dikaburkan oleh hormon. Manusiawi. Terlebih lagi saat seorang perempuan menciumnya dengan penuh semangat, meskipun Erlan tahu tujuan Prita melakukan itu.
Sesuatu berkelebat dalam benak Erlan. Ini mungkin saat yang tepat untuk berbalik memberi Prita Salim pelajaran. Pasti akan membuat perempuan itu semakin kesal. Bayangan itu nyaris membuat Erlan tersenyum, atau dia memang sudah tersenyum dalam benak. Prita akan mencak-mencak setelah ini, dan entah mengapa gambaran itu membuatnya terhibur. Jadi dia membalas ciuman Prita. Sama bersemangatnya dengan yang dilakukan perempuan itu.
Prita yang merasakan respons itu segera menarik diri dengan terkejut. Hanya saja, dia tidak bisa melepaskan diri karena pelukan Erlan.
"Pak, Mbak...," suara Bastian terdengar kikuk. "Maaf mengganggu, tapi saya sebaiknya pergi sekarang. Tumpahan kopinya di pantri tidak bisa saya bersihkan sekarang, karena—" nadanya bingung, tidak tahu harus melanjutkan bagaimana. "Pokoknya, saya harus pulang. Silakan dilanjutkan. Sekali lagi, maaf mengganggu." Dia mengambil tas kerjanya dan melesat menuju pintu. Baju kaus yang dia pegang bahkan belum dipakai.
Prita memukul dada Erlan sehingga laki-laki itu melepaskan pelukannya. Matanya memelotot sambil mengambil langkah mundur, menjauh. "Kamu...!" Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Ya Tuhan, ini mengerikan!
Erlan mengedik. Dia berjalan melewati Prita dan duduk di sofa. "Aku nggak pernah mengakui kalau aku gay. Itu hanya asumsi kamu."
Prita mengentakkan kaki jengkel. "Kamu seharusnya nggak balas menciumku tadi!"
"Aku hanya berusaha sopan dan menyelamatkan harga diri kamu. Apa kata Bastian kalau melihatmu menciumku dan aku hanya mematung?" dengan santai Erlan mulai menekuri laptop-nya.
"Kamu... kamu menyebalkan!" Prita bisa merasakan kalau wajahnya merona. Ciuman tadi sama sekali tidak terasa seperti mencium anak kecil.
"Bukan berita baru, kan?" Erlan menunjuk ke arah pantri tanpa menoleh. "Kulkasnya di sana kalau kamu butuh minum."
Prita sekali lagi mengentakkan kaki, sebelum berbalik menuju pintu. Dia harus secepatnya pergi dari tempat ini. Dia belum pernah merasa malu seperti sekarang. Laki-laki berengsek!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top