Sembilan Belas
Ada beberapa yang melanggar rules kemarin, tetapi karena voment-nya banyak, aku tetap update. Tapi aku harap kali ini udah nggak ada yang melanggar, ya. Tolooooonnnggg banget. Dan kalau nggak suka ceritanya karena menurut kalian nggak masuk akal, sila meninggalkan lapak Erlan-Prita tanpa harus protes dengan caraku nulis. Mungkin bisa mencoba cerita lain di lapakku. Atau menunggu cerita baru nanti. Atau unfollow sekalian. Terserah. Kasihan kalau pembaca lain kena imbas mood-ku yang jelek dan jadi males nulis karena protes dengan outline yang aku susun. Oke, hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....
**
Keputusan Prita sudah bulat. Dia akan meninggalkan kantor ayahnya untuk memulai usahanya sendiri. Setelah dipikir-pikir lagi, pertimbangan ibunya untuk menunggu waktu yang tepat hanya akan memberi jarak yang semakin jauh dengan apa yang ingin dia lakukan. Cita-citanya, passion-nya. Waktu yang tepat itu sebenarnya tidak ada, karena sampai kapan pun, saat dia membuka usaha dan membutuhkan publisitas, orang-orang akan terus diingatkan tentang kebodohannya di masa lalu. Lebih baik berhadapan dengan hal itu sekarang. Prita ingat dia memberi nasihat untuk percaya diri saat berhadapan dengan orang lain kepada Orlin, jadi dialah yang harus berhadapan dengan keengganan dan ketidaknyamanannya lebih dulu.
Prita memutuskan untuk bicara dengan ayahnya di kantor. Ayahnya lebih dulu sebelum ibunya. Tidak akan sulit meyakinkan ibunya kalau ayahnya sudah setuju. Prita lalu meninggalkan Orlin yang sibuk dengan laptop di ruangannya dan naik ke lantai atas, kantor ayahnya.
"Pak Johny ada di dalam bersama Pak Erlan, Mbak," sambut Grace, sekretaris ayahnya saat melihat Prita. "Saya akan memberitahu mereka kalau Mbak Prita datang."
"Nggak usah!" Prita menahan perempuan setengah baya yang sudah lama menjadi sekretaris ayahnya itu. "Biar saya langsung masuk saja. Saya yakin mereka nggak akan keberatan."
"Silakan, Mbak." Grace kembali duduk menghadapi komputer di depannya.
Prita melihat ayahnya dan Erlan serempak menoleh saat dia menguakkan pintu dari luar setelah mengetuk. Dia segera tersenyum lebar. Strategi untuk memenangkan perdebatan dengan ayahnya. Prita tahu kalau izin ayahnya tidak akan keluar dengan mudah. Meskipun tidak pernah dibicarakan terus-terang, Prita tahu ayahnya menyuruhnya bekerja di kantor ini supaya pergerakannya lebih mudah diawasi. Bukti kasih saying yang terkadang terasa membelenggu. Tapi memang sulit membantah setelah kekacauan yang dibuatnya. Ayahnya pasti belum yakin kalau Prita tidak akan menjerumuskan diri pada kebodohan yang lain.
"Aku mau ngomong sama Papa." Prita mengambil tempat di salah satu sofa yang kosong, persis di depan ayahnya.
Johny Salim membalas senyum Prita. "Kamu mau minta hadiah karena acara ulang tahun kemarin sukses?"
"Iya, Pa. Aku sudah tahu mau minta apa." Prita melihat Erlan malas. "Kamu nggak ada kerjaan lain? Aku mau bicara empat mata dengan Papa."
"Erlan masih ada urusan sama Papa," Johny Salim yang menjawab. "Kalau hanya hadiah, itu nggak perlu dirahasiakan, kan? Kamu bisa bilang apa saja di depan Erlan."
Prita mendesah. Yang hendak disampaikannya memang bukan rahasia, hanya saja lebih nyaman mengutarakannya kalau dia hanya berdua dengan ayahnya. Apa boleh buat, tidak ada pilihan. "Kerja kantoran kayak gini bukan aku banget, Pa," mulainya pelan-pelan. "Aku belajar desain di Amerika. Karirku di sana menjanjikan seandainya aku tinggal. Tapi aku nggak bisa tinggal karena Papa-Mama mau aku pulang. Rasanya nggak adil kalau aku mengorbankan cita-citaku setelah aku mengabulkan permintaaan Papa-Mama untuk pulang." Prita melanjutkan dengan cepat saat melihat ayahnya membuka mulut hendak mendebat. "Aku tahu kalau aku melakukan kesalahan dengan kasus Bernard. Itu pelajaran yang sangat besar. Bodoh sekali kalau aku sampai mengalami kejadian yang sama lagi."
"Sayang—"
"Aku nggak suka dengan apa yang aku kerjakan di kantor ini, Pa. Papa juga pasti nggak mau aku jadi nggak bahagia hanya karena ingin menyenangkan Papa." Senyum Prita sudah lenyap, berganti dengan ekspresi serius. "Aku tahu Papa khawatir melepasku karena begitu aku keluar dari perlindungan Papa untuk memulai usaha sendiri, para wartawan akan meliput, dan kasus yang dulu menimpaku akan diungkit-ungkit lagi. Aku nggak masalah dengan itu. Aku tahu cepat atau lambat aku harus berhadapan dengan hal ini. Aku lebih suka melakukannya sekarang, sehingga bisa lebih cepat juga move on. Terlepas kebodohan yang aku lakukan, aku nggak salah apa-apa. Aku nggak harus bersembunyi dari siapa pun."
Johny Salim ikut mendesah. "Itu nggak semudah yang kamu pikir."
"Aku sudah melalui tahap paling sulit dalam hidupku, Pa. Aku tinggal di tahanan beberapa bulan dan orang-orang percaya kalau aku pembunuh berdarah dingin. Nggak akan ada yang bisa lebih buruk daripada itu."
"Papa ingin kamu bahagia. Hanya kamu yang Papa dan Mama punya. Jadi nggak ada yang lebih penting daripada kebahagiaan kamu." Johny Salim tidak terlihat senang saat mengucapkannya, tetapi Prita tahu ayahnya akan memberi izin, walaupun tidak sepenuhnya rela melepasnya dari pengawasan.
"Aku janji nggak akan mengecewakan Papa. Aku beneran sudah belajar." Prita bergerak mendekati ayahnya dan menggenggam jemari yang mulai berkerut itu. "Aku nggak bisa melakukan hal lain sebaik membuat pakaian, Pa."
"Memulai usaha itu nggak gampang. Persiapannya butuh waktu berbulan-bulan. Kamu harus menyiapkan peralatan dan merekrut tenaga yang kompeten. Ini akan membawa namanu, jadi kamu nggak bisa setengah-setengah saat melakukannya."
"Aku tahu, Pa." Ternyata membujuk ayahnya tidak sesulit yang dia bayangkan. Tentu saja, dia anak tunggal ayahnya.
Johny Salim menoleh kepada Erlan. "Ajak Prita melihat gedung yang dulu sudah kita siapkan untuk dia. Nanti dia yang memutuskan renovasi seperti apa yang dia mau."
Prita tidak mau pergi dengan Erlan. "Kasih alamat dan kuncinya saja. Aku akan ke sana bareng Orlin."
"Kita akan ke sana besok." Erlan seperti tidak mendengar kata-kata Prita. "Aku akan jemput kamu di rumah."
"Tapi—"
"Beritahu Orlin untuk mengepak barang-barang pribadi di ruanganmu. Aku akan menyuruh orang membawanya pulang."
Dasar robot! Tapi Prita tidak membantah. Setidaknya, dia sudah mendapatkan keinginannya. Dia tidak akan membuat Erlan merusak kesenangannya. "Ya, lakukan apa pun yang kamu mau."
**
"Ho... ho... ho... nggak bisa!" Prita berdiri dan membuat jarak dengan Yura yang duduk di tepi ranjang. "Aku sudah bicara dengan Papa, dan nggak ada syarat seperti yang Mama bilang sekarang."
Yura bersedekap tak mau kalah. "Ini memang keputusan yang diambil setelah Papa dan Mama bicara semalam. Ayolah, Sayang. Ini sama sekali nggak buruk. Kamu mendapatkan keinginanmu, dan Papa-Mama mendapatkan kenyamanan karena tahu kamu berada di bawah pengawasan orang yang tepat."
Prita mengibas-ngibaskan kedua tangan di udara, berusaha untuk mengendalikan diri. "Masalahnya, Erlan itu bukan orang yang tepat. Salah, dia malah bukan orang. Dia robot! Aku pernah tunangan sama dia, Ma, jadi aku tahu dia itu orang seperti apa!"
"Kamu hanya kenal dan tunangan sebentar dengan dia, Sayang. Papa-Mama kenal dia sudah sangat lama, jadi kami lebih tahu Erlan itu orang seperti apa."
"Aku nggak mau berada di bawah pengawasan Erlan!" Prita konsisten menggeleng. Dia tidak akan menyerah untuk yang satu ini.
"Pilihannya hanya dia, atau dua orang bodyguard yang Papa akan sewa untuk mengawasi kamu."
Prita benar-benar sebal. Kulit wajahnya memerah. Senyumnya sudah hilang sejak ibunya memulai percakapan ini. Kedua orangtuanya sepakat memberikan kebebasan kepada Prita keluar dari kantor untuk mempersiapkan butiknya, dengan syarat dia melakukannya di bawah pengawasan Erlan. Dia tidak bodoh. Prita tahu persis kalau orangtuanya melakukan ini untuk membuat dirinya dan Erlan dekat lagi. Kedua orangtuanya belum punya kandidat lain (atau lebih tepatnya tidak menginginkan kandidat lain) untuk menjadi pendampingnya. Dua orang bodyguard yang ditawarkan untuk menggantikan Erlan hanya akal-akalan mereka, karena tahu persis Prita tidak suka diikuti orang ke mana-mana. Orangtuanya sebenarnya tidak menyodorkan pilihan. Dia hanya dipaksa mengiyakan.
"Ma, tolong deh—"
"Kalau jadi kamu, Mama lebih pilih diawasi Erlan sih daripada dua orang bodyguard. Erlan nggak akan membuntuti kamu ke mana-mana karena dia juga sibuk di kantor. Paling-paling dia hanya memantau kamu dari Orlin."
Prita memutar bola mata. Benar, kan? Ini jebakan!
"Ayolah, Sayang. Kamu bersikap kalau Erlan itu menyebalkan." Yura mendesah. "Ya ampun, bisa-bisanya Mama terpancing buat ribut sama kamu."
Prita berdecak. Sekarang bukan saat yang tepat untuk bicara soal etika. "Dia memang menyebalkan, Ma!"
"Ada saatnya Papa dan Mama hampir percaya bahwa kamu benar-benar terlibat kasus Bernard." Yura mengembuskan napas sambil membunyikan buku-buku jari, mencoba terlihat nyaman. "Kamu nggak tahu gimana mengerikan rasanya ketika mulai meragukan kejujuran anak kesayanganmu. Tapi Erlan selalu bilang kalau anak Pak Johny dan Bu Yura bukan pembunuh. Entah mengapa dia kelihatan begitu yakin, sehingga Mama dan Papa merasa bersalah karena sempat kehilangan keyakinan padamu. Dan karena Erlan yakin, dia lantas berusaha mencari tahu dan menghubungkan benang-benang merah kasus itu, sampai akhirnya nama Lucca muncul."
Prita kembali ke sisi Yura dan mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Dia memang tidak punya pilihan. "Erlan nggak akan mengawasiku 24 jam, kan?"
"Dia punya banyak hal lain yang harus dikerjakan. Lagi pula, kamu juga akan sibuk dengan renovasi gedungmu, kan? Kamu nggak akan kelayapan ke mana-mana selain di sana."
"Jadi dia hanya perlu berkomunikasi dengan Orlin?" Kedengarannya tidak terlalu buruk.
"Dia bisa datang kapan saja di tempatmu. Renovasi gedung kan jadi tanggung jawab dia." Yura tersenyum manis, berbanding terbalik dengan ekspresinya saat menyebut kasus Bernard. "Papamu menyuruh dia menyiapkan satu kamar di lantai 3, kalau-kalau dia butuh nginap di sana."
"Apa...?" Prita sontak berdiri lagi. "Selain Orlin, hanya aku yang boleh punya kamar di sana!"
"Jangan berlebihan, Erlan punya apartemen, dia nggak akan tinggal di Gedung butik kamu. Itu hanya jaga-jaga, mungkin saja kamu harus menginap di sana kalau nanti klien kamu sudah banyak dan pekerjaanmu nggak bisa ditinggal pulang ke rumah."
Prita menatap Yura frustrasi. "Ma, aku dan Erlan nggak akan balikan lagi. Aku sudah bilang ini berkali-kali. Cerita itu sudah tamat. Jangan berharap karena Mama akan kecewa. Kami nggak cocok."
Yura berdiri. "Sebaiknya kamu siap-siap, sebentar lagi Erlan datang. Kalian mau lihat gedung itu, kan?" Dia keluar dan menutup pintu kamar Prita dari luar.
Saat turun, Prita melihat Erlan sudah duduk di ruang tengah, dengan iPad di tangan. Dia mengangkat kepala saat Prita mendekat.
"Aku izin Mama dulu," kata Prita datar.
"Bu Yura belum lama keluar sama Orlin." Erlan berdiri sambil menenteng iPad-nya. "Kita berangkat sekarang?"
"Tidak, tahun depan saja. Aku berubah pikiran. Aku mau keliling dunia saja, nggak jadi buka butik." Sudah tahu, masih tanya!
"Kamu nggak mau ganti sepatu dulu?" Mata Erlan berhenti di kaki Prita yang mengenakan high heels.
Prita berjalan lebih dulu ke depan. "Kamu bukan orang yang tepat untuk ngajarin aku soal fashion." Sebenarnya dia sudah memikirkan itu, karena tahu akan naik-turun tangga di gedung yang akan mereka datangi. Orlin juga sudah menyiapkan sepatu teplek di depan. Tetapi karena Erlan lebih dulu menyebutkan itu, Prita sekarang memilih tidak mengganti alas kaki. Dia sudah terbiasa dengan high heels dan stiletto. Dia menolak mengikuti perintah Erlan. Lagi pula, mereka hanya akan pergi beberapa jam. Tidak masalah.
Namun, sepatu itu ternyata menjadi sumber masalah. Prita belum melepas kacamata hitamnya saat mereka masuk ke dalam gedung kosong bakal butiknya setelah Erlan membuka pintu, sehingga tidak melihat ada plastik bening yang berada di dekat kakinya. Dia seketika tergelincir saat bagian depan alas sepatunya beradu dengan plastik itu. Sebelum dia benar-benar terjatuh dengan bokong yang menghantam lantai lebih dulu, sepasang tangan kokoh Erlan hinggap di pinggang Prita. Tangan itu lantas menariknya mendekat, sehingga Prita kemudian mendapati dirinya sudah bersandar di dada Erlan saat laki-laki itu berusaha menstabilkan posisi mereka.
Saat mengangkat kepala, Prita melihat wajah Erlan berada satu garis lurus dengannya. Sangat dekat, karena laki-laki itu sedang menunduk dengan kedua tangan memeluk pinggangnya. Mereka saling bertatapan. Terpaku.
Prita buru-buru mengulurkan tangan memeluk leher Erlan saat merasa pelukan laki-laki mengendur. Dia takut terjatuh karena posisinya memang belum sepenuhnya berdiri tegak. Dia tahu kalau dia pasti terjatuh seandainya Erlan memutuskan melepas pelukannya. Itu gerakan spontan yang Prita lakukan untuk menyelamatkan diri. Dia juga tidak suka harus memeluk Erlan, tapi itu jauh lebih baik daripada jatuh di lantai dan memar. Mungkin saja kakinya bisa terkilir juga, kan?
Hanya saja gerakan itu membuat kulit wajah mereka benar-benar bersentuhan. Dan entah bagaimana dan siapa yang memulai, tapi bibir mereka kemudian bertemu.
**
Maafkeun, aku cut di sini, ya. Lanjutannya tunggu voment cukup. Semoga bisa besok. Daann... buat yang udah baca DSJ, mohon di-review di Goodreads, ya. Dikit banget review DSJ di Goodreads. Eh, dan tolong diadopsi kalau ketemu NEVER LET YOU GO dan DIA YANG KEMBALI, ya. Stoknya numpuk di gudang penerbit. Kasihan. Hehehehe....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top