Sebelas

Aku sempat nulis dikit sebelum masuk minggu sibuk di kantor mulai besok. Kalau lihat vomen bagus, aku akan berusaha nyisihin waktu di sela-sela kerjaan yang hectic kok. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaess...

**

Prita menunggu sampai Orlin menghilang di balik pintu sebelum mengambil telepon dan menekan nomor Becca. Dia sengaja mengirim asistennya itu untuk membeli makan siang di bawah. Orlin yang sepertinya lega karena tidak harus makan di kantin dan bertemu Bastian, tidak menunggu disuruh dua kali. Dia pergi secepat kilat, seolah takut Prita akan berubah pikiran.

"Dia bukan gay!" seru Prita tanpa merasa perlu menjawab salam Becca yang mengangkat teleponnya.

"Erlan?" Becca balik bertanya, tidak terdengar antusias. "Memang bukan. Gue udah bilang berkali-kali. Lo aja yang yang nggak mau terima."

Prita bisa membayangkan bola mata Becca yang terarah ke atas. "Sekarang gue lebih suka kalau dia beneran gay. Ya Tuhan, apa yang gue lakuin semalam beneran bikin malu!"

"Tunggu dulu," potong Becca. "Lo melakukan sesuatu untuk membuktikan kalau Erlan bukan gay?" tawanya pecah seketika. Prita sampai harus menjauhkan ponsel dari telinga. "Kedengarannya menarik. Gue butuh detail. Jangan ada bagian yang berani elo skip!"

Prita mengerang sambil memukul dahi dengan telapak tangan. "Padahal gue sudah bilang tobat dan nggak akan melakukan sesuatu yang impulsif. Gue parah banget. Gue benci diri gue sendiri. Sumpah!"

"Gue bilang detail!" tuntut Becca, tidak memedulikan keluhan Prita.

Prita mengembuskan napas kesal. "Semalam gue ke apartemen Erlan karena tahu Bastian ada di sana. Gue pikir, untuk bikin Bastian melihat Orlin, dia harus dijauhkan dari Erlan, sebelum dia ikut-ikutan diseret jadi gay dan budak pelampiasan hormon bosnya itu."

"Ya Tuhan, lo tolol banget!" tawa Becca makin menjadi.

"Memang," Prita segera mengamini. "Dan gue yang tolol ini mencium Erlan di depan Bastian, karena berpikir itu ide cemerlang untuk menjauhkan mereka."

"Dan?" Becca berhasil mengucapkan kata-kata itu di sela-sela tawanya.

"Dan apa?" balas Prita sengit.

"Erlan nyipok lo balik?" tebak Becca tanpa basa-basi.

"Dari mana lo tahu?" Prita betul-betul takjub dengan kemampuan Becca menebak, padahal mereka bahkan tidak saling berhadapan.

"Ya, karena lo jadi yakin dia bukan gay, Bodoh! Ciuman baliknya meyakinkan dan bikin lo takjub, makanya lo meralat pendapat lo sendiri. Bikin lemes lutut, nggak?"

"Bukan itu intinya!" nada suara Prita langsung naik. Becca sama sekali tidak membantu. Dia menghubungi sahabatnya itu untuk membantu menganalisis situasi, bukan membahas perasaan yang dia alami setelah ciuman dengan Erlan.

"Itu memang intinya!" sentak Becca sama kuat. "Kita nggak akan bolak-balik ngomongin Erlan kalau lo nggak punya perasaan sama sekali untuk dia. Lo merasa terganggu dengan semua hal yang berbau Erlan karena dia ada di dalam kepala elo. Terima saja dan jangan membantah. Ego lo terusik karena merasa dia nggak menganggap lo cukup penting untuk diakui. Lo pengin dilihat, jadi lo bertingkah kayak gini untuk mendapatkan perhatian dia."

"Gue nggak kayak gitu!" bantah Prita cepat. Suka kepada Erlan? Astaga, Becca pasti bergurau. Tidak seujung kuku pun! Masih ada begitu banyak laki-laki di dunia ini yang layak mendapat perhatiannya. Erlan sama sekali tidak termasuk dalam kelompok itu.

"Memangnya kenapa kalau lo suka? Gue yakin banyak perempuan lain yang juga suka sama Erlan. Itu wajar banget kalau melihat penampilan fisik dia. Saran gue, kalau elo beneran mau dilihat dan dianggap, bersikaplah seperti perempuan dewasa. Jangan kekanakan kayak sekarang."

"Gue nggak suka dia. Amit-amit."

"Nggak suka dia, tapi suka cipokannya?"

"Becca!"

"Kalau lo nggak terganggu setelah cipokan sama dia, kita nggak akan bahas ini sekarang, Sayang. Lo ngomongin ini karena butuh mengeluarkan apa yang mengganjal di hati dan kepala elo. Ayolah, kita bukan anak kecil lagi. Lo tahu persis sama apa yang lo rasa. Lo hanya sedang denial aja."

Setelah percakapan selessai, Prita terpekur. Mau tidak mau dia memikirkan kembali apa yang Becca katakan. Apakah dia benar-benar suka melakukan konfrontasi dengan Erlan untuk mendapatkan perhatian laki-laki itu karena selama ini merasa tidak dianggap? Astaga, itu tidak mungkin. Dia Prita Salim. Orang-orang mengantre untuk mendapat perhatiannya, bukan sebaliknya. Erlan bukan siapa-siapa. Dia hanya robot cerdas yang kebetulan ditemukan ayahnya. Ya, robot. Laki-laki itu memang seperti robot. Robot yang kebetulan pintar mencium.

Oh tidak! Prita membenturkan kepala di atas meja dan lantas mengaduh. Sakit. Kenapa harus memikirkan soal itu lagi? Seolah tidurnya yang kurang nyenyak semalam karena sebal harus menanggung malu belum cukup.

Itu bukan ciumannya yang pertama, tetapi itu memang yang pertama kali dia menerjang seseorang dengan penuh semangat dengan alasan yang sangat konyol.

"Mejanya baik-baik saja?" suara itu membuat Prita yang masih memejam sambil mengusap dahi sontak membuka mata. Erlan berdiri di depan pintunya yang terbuka lebar. Sejak kapan dia di sana? "Keliatannya meja itu kurang keras untuk dahi kamu. Takutnya, kayunya retak."

Prita menatapnya masam. "Ketuk pintu dulu kalau mau masuk!" Dia tidak berharap bertemu Erlan hari ini, karena itulah dia menghindari kantin. Dia sudah menyusun rencana jangka pendek sempurna supaya tidak perlu berpapasan dengan laki-laki itu di kantor dan di rumah. Rencana yang sudah berantakan, karena Erlan telah berdiri di hadapannya bahkan sebelum jam kantor berakhir.

"Aku sudah mengetuk. Tapi kamu masih sibuk bertengkar dengan meja, jadi nggak dengar. Ayo keluar sekarang."

Prita menatap laki-laki itu waspada. Erlan memang terlihat seperti biasa. Datar. Tidak ada tanda-tanda kalau dia mengingat kontak fisik di antara mereka semalam. Seolah dia idak penah diterjang Prita, dan juga tidak membalas ciumannya dengan sama dalam. "Ada apa?"

"Pak Johny menghubungi kamu, tapi katanya ponsel kamu sibuk terus." Erlan memberi isyarat supaya Prita mengikutinya.

Pasti saat Prita sibuk dengan Becca tadi. "Nggak seperti orang lain, aku punya kehidupan sosial yang bagus," sindirnya. "Untuk apa Papa memanggilku?"

"Aku nggak menanyakan mengapa Pak Johny butuh bicara dengan anaknya. Itu urusan pribadi beliau."

Prita mengikuti Erlan dengan enggan. Dia menjaga jarak supaya mereka tidak terlalu dekat, menghindari percakapan. Konyol memang, karena Prita tahu laki-laki yang berjalan di depannya itu bukan tipe orang yang suka berbasa-basi untuk merintang waktu. Hanya saja, rasanya lebih nyaman berada di belakangnya. Untuk pertama kalinya dalam hidup Prita merasa kehilangan sebagian besar kepercayaan dirinya. Orlin sudah pasti tidak boleh tahu tentang hal ini. Mentor kepribadian yang menyuntikkan motivasi sekarang tidak sepercaya diri seperti biasa.

"Aku nggak butuh pengawal," ucapan Erlan menghentikan lamunan Prita. "Kamu bisa jalan di depan."

"Suka-suka aku mau jalan di mana." Prita menggerakkan tangan menyuruh Erlan melanjutkan langkah. Dia merasa gagal dewasa dengan respons seperti itu saat melihat Erlan menggeleng-geleng, meskipun tidak terlihat hendak mendebat lagi. Laki-laki berjalan lagi menuju lift. "Kok ke bawah?" protes Prita saat melihat Erlan menekan tombol lobi.

"Kita akan bertemu Pak Johny di restoran." Erlan menyebut salah satu restoran Jepang yang memang menjadi favorit ayah Prita.

Tunggu dulu. "Kita?" ulang Prita. Jadi Erlan juga ikut? Itu bukan berita bagus, setelah usahanya menghindar sepanjang hari. "Tapi aku sudah menyuruh Orlin membeli makan siang. Aku lebih baik makan di kantor saja."

Erlan diam saja, seolah tidak mendengar apa yang Prita katakan. Dia malah sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.

"Aku akan balik ke atas. Ketemu dengan Papa nanti saja, kalau dia sudah balik ke kantor. Atau di rumah nanti malam. Nggak ada bedanya, kan?"

"Jangan kekanakan. Pak Johny nggak akan memanggil kamu kalau nggak penting." Erlan tidak mengangkat kepala saat mengatakan itu. "Kalau kamu nggak nyaman soal kejadian semalam—"

"Memangnya ada kejadian apa semalam?" potong Prita cepat. "Aku nggak ingat apa-apa."

"Memang nggak penting untuk diingat," jawab Erlan terdengar bosan. "Syukurlah kalau kamu sudah lupa."

Prita tergoda melepas sepatunya. Pasti akan menyenangkan memukul kepala Erlan dengan hak yang runcing itu. Mungkin otaknya bisa bergeser sehingga sikap menyebalkan laki-laki itu sedikit berkurang. Syukur-syukur bisa langsung amnesia. Kalau itu sampai terjadi, Prita akan merayakannya selama tujuh hari tujuh malam. Berpesta kembang api seperti menyambut pergantian tahun.

"Jangan dibicarakan lagi!" bentak Prita.

"Bicara soal apa?" Kali ini Erlan mengangkat kepala. Dia memasukkan ponsel ke dalam saku. "Aku juga sudah lupa."

Prita mengepal kuat-kuat, menahan keinginan untuk memukul Erlan. Terpujilah guru kepribadian yang mengajarnya soal etika sejak dia masih TK.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top