Enam

Ada yang nungguin? Hehehehe... sok penting banget!! Iya, emang libur nulis setelah minggu lalu terkena kecelakaan kecil. Jadi  istirahat saja, sambil membabat tumpukan buku yang sudah lama dibeli tapi belum sempat dibaca. Oh ya, seperti biasa, aku kasih tahu sebelum ada yang protes, minim editan, jadi typo dan kalimat nggak efektif masih betebaran. Kalau mencari tulisan yang rapi banget, tulisanku versi wattpad ini, bukan tempat yang cocok. Akan lebih rapi dalam versi cetak setelah direvisi dan dikerjain bareng editor. Oke, hepi reading en lope-lope yu ol, Gaess...

**

Erlan sedang menyesap minumannya saat wangi familier terhidu. Sedetik berikutnya suara Prita terdengar dari belakang kursinya.

"Jadi, tadi ada yang hole in one?" Prita ikut duduk di depan meja, tetapi sengaja mengambil jarak sejauh mungkin dari Erlan.

Johny Salim tertawa. "Kami hanya olahraga, nggak sungguh-sungguh berkompetisi."

"Jangan bilang kalau Papa orangnya nggak kompetitif." Prita mencebik. "Hidupku nggak mungkin seenak sekarang kalau Papa nggak menikmati kompetisi dan memenangkannya."

"Erlan konsisten memukul di bawah par," kata Johny bangga, seolah dia yang memukul sebagus itu. "Beberapa kali birdie dan eagle."

"Itu bukan berita baru. Aku akan terkejut kalau dia melakukan kesalahan." Prita memiringkan kepala, menopang wajah dengan sebelah tangan, menampilkan raut bosan saat menatap Erlan. "Kamu nggak bosan jadi Tuan Sempurna? Panggil aku kalau kamu akhirnya gagal melakukan sesuatu. Aku pasti nggak akan melewatkan kesempatan untuk mendokumentasikan peristiwa langka itu." Dia mendorong kursinya ke belakang. "Sambil menunggu, aku bisa menikmati hidup dulu. Ada begitu banyak uang yang harus dihabiskan."

Erlan tidak menanggapi. Dia tahu Prita hanya berusaha membuatnya kesal. Setelah sekian lama, dia mulai terbiasa. Dia tahu kalau perempuan itu sebenarnya tidak sepedas ucapannya. Dia hanya merajuk karena merasa Erlan mengambil sebagian tempatnya di keluarganya ini. Hanya saja, Erlan tidak melihat gunanya membahas hal itu dengan Prita. Lagi pula, untuk apa membahas soal orangtua Prita dengan perempuan itu? Erlan tidak pernah ingin mendapatkan perhatian dan kepercayaan sebesar yang diberikan Johny Salim dan Yura seperti sekarang, tetapi orang memang tidak pernah menduga apa yang akan didapatkan dalam hidup. Sama seperti kehilangan yang juga tidak bisa diperkirakan.

"Jangan diambil hati," ujar Johny setelah Prita menjauh. "Egonya masih terganggu karena kejadian kemarin. Prita hampir nggak pernah melakukan kesalahan, dan begitu jatuh, dia menjadi pembicaraan semua orang di negeri ini. Itu nggak gampang untuk dia."

Tanpa diberitahu, Erlan paham itu. "Saya mengerti, Pak."

Kening Johny berkerut. Wajahnya yang tadi cerah mendadak mendung. "Saya sebenarnya masih berharap kalian bisa bersama-sama. Prita butuh orang seperti kamu dalam hidupnya," nadanya seperti mengeluh. Kelelahan menggayuti kata-katanya. "Tapi saya sadar kalau kamu berhak memilih orang lain setelah kejadian kemarin. Karena itu saya mengabulkan permintaan Prita yang ingin pertunangan kalian dibatalkan. Dia benar kalau kamu berhak mendapatkan perempuan lain yang lebih baik daripada dia. Meskipun tentu saja, saya sendiri belum rela. Di mata seorang ayah, tidak ada orang lain yang lebih baik daripada anak perempuannya sendiri."

"Saya nggak sebaik itu." Erlan mengatakan yang sebenarnya. Ada beberapa hal yang Johny Salim tidak tahu tentang dirinya. Bagian yang memang tidak pernah dibukanya kepada orang lain. "Prita pasti akan menemukan orang yang jauh lebih baik daripada saya."

Perempuan seperti Prita dilahirkan untuk menjadi pasangan laki-laki yang berasal dari kalangannya sendiri. Jenis orang yang tidak pernah bersinggungan dengan hal-hal yang kelam dan gelap. Hidup Prita itu cocok dengan warna-warna pastel yang manis. Warna yang dipakai pada rumah barbie. Terlalu lembut, indah, sehingga tampak tidak nyata. Sama sekali bukan warna yang melambangkan karakter Erlan. Dia sadar itu.

Johny Salim berdiri. Dia menepuk pundak Erlan sebelum berlalu menuju kamarnya. "Semoga saja begitu. Bagaimanapun, Prita anak saya satu-satunya, dan saya ingin yang terbaik untuk dia."

Erlan menyesap habis sisa minumannya sebelum berdiri. Dia harus pulang ke apartemennya sendiri. Ada beberapa dokumen yang harus diperiksa. Dia tidak punya hal lain yang bisa dilakukan selain bekerja dan memastikan Johny Salim tidak salah telah memercayainya.

Aroma makanan yang menguar dan masuk dalam penciuman Erlan saat dia membuka pintu menandakan kalau ada orang lain di dalam apartemennya. Dia melepas sepatu, melempar kunci di atas meja, sebelum menuju ke pantri.

"Abang sudah pulang?" Perempuan yang berdiri di depan kompor itu menoleh sambil tersenyum manis. "Aku masak untuk Abang."

Erlan duduk di stool. "Aku sudah bilang kalau kamu nggak seharusnya datang ke sini, Felis."

Felis langsung cemberut. Dia mematikan kompor dan menyusul duduk di samping Erlan, memeluk sebelah lengan laki-laki itu. "Abang juga nggak pernah ke tempatku. Kita nggak akan ketemu kalau bukan aku yang ke sini."

Erlan mendesah. Selalu sulit bicara dengan perempuan. Mereka keras kepala dan selalu ingin menang sendiri. "Kita memang nggak seharusnya bertemu lagi. Tunangan kamu nggak suka itu. Kamu seharusnya menghargai keinginan dan perasaan dia."

"Tapi aku nggak bisa kalau nggak ketemu Abang. Aku nggak punya siapa-siapa lagi selain Abang." Tangis Felis seperti hendak terbit.

"Kamu punya tunangan kamu dan keluarganya."

"Keluarganya nggak ada yang suka sama aku, Bang!" Pelukan Felis di lengan Erlan semakin erat. "Aku beneran nggak nyaman. Rasanya aku mau membatalkan pertunangan saja."

Erlan melepaskan tangan Felis dari lengannya. "Kamu nggak bisa melakukan itu."

Felis ikut berdiri. "Tentu saja aku bisa. Aku bisa kembali sama Abang. Abang juga sudah nggak tunangan lagi sama Prita, kan?"

Erlan menarik napas panjang-panjang. Masalah seperti ini jauh lebih rumit daripada mengurus pekerjaan yang menumpuk. "Kamu nggak bisa seenaknya meninggalkan komitmen begitu saja, Lis. Kamu bukan anak kecil lagi. Kamu dulu punya alasan untuk meninggalkan aku dan memilih tunangan kamu yang sekarang. Aku mengerti itu. Kebiasaan menyerah tidak cocok untuk umur kamu sekarang."

"Aku dulu memilih dia karena ... karena—" Felis menunduk, tidak melanjutkan kalimatnya.

"Karena dia punya uang," Erlan melanjutkan. "Aku nggak menyalahkan kamu. Sejak kecil hidup kita susah. Itu pilihan realistis. Wajar banget, dan aku paham."

"Tapi hidup Abang sekarang sudah nggak susah lagi. Abang sudah bisa membeli apa pun yang Abang inginkan."

"Kamu harus belajar menghargai komitmen yang sudah kamu ambil, Lis," ulang Erlan lebih tegas. "Kamu nggak bisa melempar diri kamu ke sana kemari berdasarkan warna suasana hati kamu. Orang dewasa nggak melakukan itu."

Felis mengusap mata. Air matanya benar-benar tumpah. "Jangan marah sama aku, Bang. Aku nggak punya teman lain. Ardhian tahu kalau aku hanya punya Abang, dan dia tetap saja nggak suka aku ketemu Abang."

Erlan sama sekali tidak menyalahkan tunangan Felis itu untuk keputusan yang diambilnya. "Karena dia sadar kalau dia yang membuat kamu minta pisah sama aku. Dan karena kamu selalu menggunakan aku setiap kali kalian bertengkar. Aku juga mungkin akan melakukan hal yang sama dengan dia kalau ada di posisinya." Erlan berjalan menuju lemari es dan mengeluarkan sebotol air dari sana. Dia lantas melanjutkan langkah menuju ruang tengah. "Ardhian tahu ikatan kita dari kecil, Lis. Kalau kamu nggak menggunakan aku sebagai tameng setiap kalian ribut, aku yakin dia tetap akan membiarkan kita dekat."

Felis menyusul Erlan yang duduk di sofa. Dia terus mengusap pipi. "Abang sebenarnya nggak pernah sayang sama aku. Sejak kecil, aku yang mengikuti Abang ke mana-mana. Kita dulu pacaran karena aku yang duluan bilang cinta sama Abang. Waktu aku minta pisah, Abang langsung mengabulkan, sama sekali nggak keberatan. Aku nggak pernah ada artinya buat Abang, kan?"

Erlan tidak mau melayani percakapan seperti itu. Tidak ada gunanya. Dia meletakkan botol minuman yang baru dia tenggak habis isinya. "Kamu makan saja. Setelah itu kamu pulang. Jangan sampai Ardhian menyusul kamu ke sini lagi." Dia lantas berdiri menuju salah satu pintu. "Aku mau mandi."

"Abang hanya peduli sama diri Abang sendiri!" teriak Felis. "Mungkin itu alasan mengapa aku dulu memilih Ardhian. Karena dia nunjukin kalau dia beneran cinta sama aku, bukan karena dia benar-benar karena kaya!"

Erlan berbalik. "Kamu tahu aku sayang kamu, Lis. Kalau bukan karena kamu, kita nggak akan berada di panti itu." Itu benar. Mungkin dia memang tidak pernah menyayangi Felis seperti yang perempuan itu inginkan, tetapi Erlan tidak pernah meninggalkannya. Dia menjaga Felis seperti pesan ibu perempuan itu dulu. Kalau Erlan tidak peduli, dia sudah meninggalkan Felis pada hari yang kaos itu, tetapi tidak. Dia kembali untuk Felis.

"Abang takut terikat sama orang lain. Bahkan sama aku—" Felis tidak melanjutkan karena Erlan sudah menutup pintunya. Dia tahu percuma melanjutkan, karena Erlan tidak akan menanggapi.

Erlan menanggalkan pakaiannya satu demi satu, memasukkannya ke dalam tempat pakaian kotor sebelum berdiri di bawah pancuran yang hangat. Dia memejamkan mata, menikmati aliran air yang menimpa kepala dan mengucur turun membasahi tubuhnya. Mendadak teriakan Felis tadi terulang dalam benaknya.

Dia tidak takut terikat, dia hanya memilih untuk tidak terikat, apalagi sampai jatuh cinta. Cinta itu mengerikan. Lihat apa yang ibunya dapatkan karena jatuh cinta kepada ayahnya? Kematian! Hidup ibunya bahkan jauh lebih buruk sebelum kematian yang menenangkan itu datang. Dia sering dibuat babak belur oleh laki-laki yang sudah bersumpah akan menjaganya dengan jiwa raga di depan penghulu.

Erlan tahu dirinya terlalu pintar untuk terlibat perasaan seperti itu dengan orang lain. Dia bisa menyayangi seseorang seperti menyayangi dan menjaga Felis. Tapi cinta? Tidak. Dia tidak sebodoh ibunya. Dia mungkin tidak akan menerima siksaan fisik, tetapi menyerahkan hati untuk kemudian dibuat menyerah oleh perempuan, itu sama sekali tidak ada dalam rencananya. Selamanya. Tidak akan sulit. Dia belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Dia bisa menjaga hati dan dirinya dengan baik. Dia yakin itu. Cinta itu hanya untuk orang tolol. Bukan dirinya, tentu saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top