Dua Puluh Tujuh

Makasih untuk responsnya yang bagus banget, ya. Sebenarnya mau aku update semalam, tapi karena pulang kantor udah sore banget, udah kepalang capek dan nulisnya nggak kelar. ini baru aja aku selesai tulis, jadi masih banyak typo. Jadi para grammar nazi, tolong nggak usah beraksi. ini akan direvisi lagi setelah naskah selesai ditulis. semua kesalahan akan dibenerin di sana. Dan untuk yang merasa ceritanya membosankan, silakan meninggalkan lapak tanpa memberi komentar yang bikin sebel. Aku nggak pernah memaksa orang membaca di lapakku. Daannnn... ini ditulis langsung update, jadi nggak usah nagih. Kalau vomen bagus, aku pasti akan bela-belain nulis di sela-sela kesibukan kantor. Aku lemah sama vomen bagus. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Prita tahu kalau dia terkesan menjebak Erlan untuk menyetujui ide konyolnya tentang "jalan bareng" itu. Laki-laki itu jelas terlihat masih bingung saat mengiyakan usulnya. Prita tidak memberinya waktu yang cukup untuk berpikir. Baru kali itu Erlan tampak butuh waktu sedikit lebih lama daripada biasanya untuk menyerap informasi yang disampaikan kepadanya.

Rasanya sedikit absurd saat Prita menyadari kalau dia akhirnya malah mengikuti saran Becca untuk mengejar Erlan. Saran yang awalnya dia cemooh. Dia memang tidak mengejar Erlan secara frontal, tetapi mengusulkan untuk mencoba menjalin hubungan lebih dulu tetap saja memosisikan diri sebagai pihak yang agresif, tetapi sulit mengharapkan Erlan untuk memulai lebih dulu. Prita tidak merencanakannya, dia hanya memanfaatkan situasi dan kondisi yang mendukung untuk mengajukan usul itu.

Sebenarnya tidak masalah siapa yang memulai lebih dulu, kan? Toh Erlan juga mengakui adanya ketertarikan fisik. Seperti kata pepatah dari zaman Flinstone, dari mata turun ke hati. Mata Erlan jelas sudah oke, Prita tinggal mengusahakan sisanya, maka dia akan bisa menggapai hati Erlan.

Sedikit memalukan untuk diakui, tetapi dia akan berusaha mendapatkan hati laki-laki yang pernah dijengkelinya saat orangtuanya menyodorkan Erlan sebagai calon pendamping hidup. Laki-laki yang pernah dia bebaskan dari status tunangan.

Dulu mereka memulainya dengan cara yang salah, karena melibatkan orangtua. Sekarang adalah saat yang tepat untuk mengoreksi kesalahan itu. Memulai hubungan dengan kesepakatan berdua, tanpa diketahui orangtua.

Suara pintu kamar Orlin yang terbuka membuat Prita menoleh. Orlin sudah tampak segar setelah mandi. Dia ikut duduk di sofa.

"Mbak Prita mau makan apa, biar saya pesenin?" Orlin sudah siap dengan ponsel, menunggu perintah. "Atau saya minta dibawakan makanan dari rumah? Bu Yura pasti ngomel kalau tahu saya sering pesan makanan dari luar untuk Mbak Prita, padahal bisa minta orang rumah buat ngantar makanan ke sini. Kata Bu Yura nggak, ada makanan yang lebih baik daripada makanan yang dimasak di rumah."

"Pesan buat kamu saja," jawab Prita. Dia berencana mengajak Erlan makan di luar.

"Memangnya Mbak Prita nggak lapar? Tadi siang cuman makan salmon sama salad saja, kan? Mana bisa kenyang kalau cuman makan segitu. Tengah malam pasti lapar lagi. Kulkas isinya cuman buah, es krim, dan yogurt saja. Nggak ada makanan berat. Saya—"

"Nanti makan kok," Prita memotong tidak sabar. "Tapi di luar. Kamu cerewet banget sih!"

"Ya sudah, saya nggak usah pesan makanan kalau gitu. Makannya sekalian saja kalau kita sudah di luar."

Prita mencebik. "Siapa yang mau ngajak kamu? PD banget jadi orang."

"Kalau keluar kan Mbak Prita harus sama saya. Kalau berani kabur, bukan hanya Mbak Prita yang diomelin Pak Erlan, tapi saya juga bakal kecipratan. Pak Erlan itu kadang-kadang galak banget." Orlin bergidik. "Untung saya jadi asisten Mbak Prita bukan Pak Erlan. Kalau jadi asisten Pak Erlan, saya pasti nangis-nangis dan minta berhenti di hari pertama. Bastian itu tabah banget."

Prita tertawa. Dia juga pernah punya pendapat yang sama tentang Erlan. "Ya, kadang-kadang dia nyebelin sih. Tapi tenang saja, hari ini dia nggak akan marah kok kalau kamu nggak ikut saya makan di luar."

"Pak Erlan pasti marah kalau saya nggak ikutan." Orlin cemberut. "Kecuali kalau Mbak Prita perginya sama Pak Erlan sendiri."

"Nah, itu pinter!"

Orlin membelalak dan mulutnya sedikit terbuka. Dia berpindah ke dekat Prita. "Pak Erlan udah beberapa hari ikut makan malam di sini. Dia juga nggak pernah lagi ngecek Mbak Prita ke saya." Dia menempelkan ujung kedua telunjuknya berulang-ulang. "Mbak Prita dan Pak Erlan udah balikan, ya? Saya baru ngeh kalau Mbak Prita nggak nge-gas lagi saat ngobrol sama Pak Erlan. Sudah lebih manis gitu."

"Siapa yang balikan?" Untuk sementara Orlin tidak boleh tahu, setidaknya sampai Erlan benar-benar yakin menginginkan hubungan mereka permanen, dan bukan sekadar "jalan bareng" tanpa status yang benar-benar jelas. Kalau Orlin tahu, orangtuanya juga pasti akan tahu. Prita tidak mau Erlan didesak sehingga merasa terpaksa lagi berhubungan dengannya. Kalau mereka memang akan bertahan dalam hubungan ini, itu harus murni karena keinginan Erlan, sama sekali tidak ada campur tangan orangtuanya.

"Ya Pak Erlan dan Mbak Prita lah. Masa saya sama Bastian? Dilirik saja nggak, gimana bisa pacaran?" Orlin mendesah pasrah. "Kalau nggak ada cerita cinta tak sampai, penyanyi lagu mellow dan film roman sudah nggak laku kali, ya? Pasar mereka kan perempuan galau kayak saya, Mbak."

Prita baru teringat proyek makcombkang-nya yang terbengkalai karena kesibukan luar biasa saat menyiapkan butik. "Saya juga sudah lumayan lama nggak ketemu Bastian. Erlan nggak pernah ngajak dia kalau kami jalan bareng waktu nyiapin butik. Kamu masih suka sama dia?"

Orlin memutar bola mata. "Cinta itu nggak kayak barang, Mbak. Kalau sudah nggak ingin dilihat tinggal dimasukin ke tong sampah, langsung dibuang dan otomatis terlupa. Enak banget kalau cara kerjanya kayak gitu. Seminggu kita bisa jatuh cinta 2 sampai 3 kali."

"Ya ampun, gitu aja ngambek! Kalau Bastian juga masih jomlo kayak beberapa bulan lalu, saya bisa bilang sama Erlan supaya dia sesekali ngajak Bastian pas ke sini. Biar kamu bisa PDKT lagi."

Wajah Orlin makin tertekuk. "Pak Erlan mana mau ngurusin hal-hal remeh kayak gitu, Mbak. Yang ada di kepala dia kan cuman pekerjaan. Ngajak Bastian ke sini pasti dianggap menghambat produktivitas kerja dia." Dia mengibas. "Sudahlah, Mbak. Saya sudah menyerah kok soal Bastian. Saya tahu diri banget. Tipe dia pasti bukan yang kayak saya."

"Dicoba dulu. Nggak ada yang tahu gimana cara kerja jodoh itu, kan? Kamu juga bukan Bastian, jadi nggak benar-benar tahu tipenya yang kayak kamu atau bukan."

"Mbak Prita jangan mengalihkan perhatian saya. Pertanyaan saya belum dijawab. Pak Erlan dan Mbak Prita pacaran lagi? Biar saya tahu harus jawab gimana kalau Bu Yura nanyaian perkembangan hubungan Mbak Prita dan Pak Erlan. Bu Yura kayaknya ngarap banget Mbak Ptita dan Pak Erlan balikan lagi."

Prita mencibir. "Saya kira kamu asisten saya, bukan asisten Mama lagi!"

"Saya double agent, Mbak. Nggak mungkin juga nggak menjawab pertanyaan Bu Yura, kan?"

"Saya sama Erlan nggak pacaran. Bilang itu sama Mama." Orlin harus diyakinkan supaya tidak memberikan informasi kepada ibunya. Belum saatnya.

"Kenapa nggak balikan aja sih, Mbak?" selidik Orlin. "Pak Erlan ganteng gitu. Kelihatan galak sih kerena nggak banyak bicara, tapi karismanya itu lho. Tiap lihat Pak Erlan, saya langsung teringat CEO-CEO yang saya baca di Wattpad."

Prita langsung tertawa. "Wattpad itu bikin kamu kebanyakan berkhayal. Di dunia nyata CEO yang masih muda itu bisnisnya kalau bukan yang berhubungan dengan IT dan olshop, pasti kuliner. Lainnya pasti sudah tua. Boro-boro punya perut roti sobek, adanya malah dorayaki dingin dan lembek. Kamu harus ganti bacaan."

Orlin ikut terkikik. "Baca Wattpad enak sih, Mbak. Gratisan ini. Bisa berinteraksi sama penulisnya juga. Kadang-kadang bisa nyumbang ide, ya, meskipun seringnya nggak keterima sih. Trus ada juga penulis nyebelin yang ngomel kalau ditagih update-an, padahal kita kan nagih karena penasaran. Eh, malah diomelin dan diancam diblok segala. Songong banget deh, padahal biasanya yang kayak gitu malah yang nggak femes-femes amat. Nggak tahu gimana modelnya kalau femes beneran."

Prita hanya menggeleng-gelengkan kepala. Kekikukan Orlin sudah jauh berkurang. Yang melaju pesat adalah kcerewetannya. Dia terlihat sudah jauh berbeda saat Prita melihatnya pertama kali ketika Orlin masih menjadi asisten ibunya.

Suara langkah di tangga menandakan Erlan sudah datang. "Kamu pesan makanan saja, ya. Nggak usah nungguin saya pulang, tidur aja kalau sudah ngantuk. Sofa ini dibeli bukan untuk tempat kamu tidur."

Orlin meringis. Dia berdiri. "Karena Mbak Prita keluar, saya boleh izin keluar juga, nggak? Nggak lama kok, Mbak. Saya pasti sudah ada di sini lagi kalau Mbak Prita pulang."

Prita tidak berniat menyuruh Orlin berdiam diri di butik tanpa dirinya. Sudah ada satpam di luar. "Oke. Kamu bawa kunci sendiri. Mungkin saja saya malah yang duluan pulang daripada kamu. Saya nggak mau ditelepon kalau sudah tidur."

"Siap, Mbak. Saya mau ganti pakaian dulu." Orlin bergegas kembali ke kamarnya. Prita hanya bisa tersenyum melihatnya.

Erlan yang akhirnya masuk ke ruangan itu mengambil tempat di dekat Prita. "Macetnya parah," dia menjelaskan tanpa diminta.

"Oh ya? Padahal aku mau ngajak kamu makan di luar. Bosan di sini terus."

"Kalau kamu mau makan di luar, kita keluar saja," sambut Erlan. "Nggak masalah kok."

Orlin muncul dari kamarnya, tampak sudah siap. "Mbak Prita, Pak Erlan, saya keluar, ya. Saya akan pulang sebelum Mbak Prita balik kok," katanya yakin.

"Hati-hati, Lin!" seru Prita saat Orlin sudah menuju lift.

"Pasti, Mbak. Makasih."

Prita mengalihkan perhatian kepada Erlan setelah Orlin menghilang. "Jadi?"

"Kalau kamu mau makan di luar, kita bisa keluar," ulang Erlan.

Mereka akan menghabiskan banyak waktu di jalan ketimbang di restoran, dan Erlan juga harus pulang ke apartemennya. "Kita makan di sini saja," putus Prita. Kalau tahu begini, dia akan menyuruh Orlin memesan makanan sebelum anak itu keluar tadi.

Erlan mengeluarkan ponsel. "Kamu mau makan apa? Biar aku yang pesan."

Prita merapat ke Erlan. "Ada fotonya?" Dia belum pernah memesan makanan secara online karena biasanya Orlin yang akan melakukan hal itu. "Aku mau steik salmon. Yang dipesan Orlin tadi siang enak banget."

"Nama restorannya apa?" tanya Erlan sambil menggeser-geser layar ponsel.

"Nggak tahu. Atau aku suruh Orlin saja yang pesan?" usul Prita.

Erlan berdiri. "Sebaiknya kita keluar saja. Katanya kamu butuh suasana lain."

"Nggak usah," Prita berkeras. Menghabiskan waktu di tengah kemacetan tidak terdengar menarik lagi. "Biar aku minta Orlin yang pesan. Kamu mau makan apa?"

"Ya sudah, samakan dengan kamu saja."

Prita kemudian menghubungi Orlin yang ternyata masih ada di tempat parkir dan memintanya memesan makanan. "Kamu mau minum?" tawar Prita kepada Erlan setelah meletakkan ponselnya di atas meja.

"Kalau haus, nanti aku ambil sendiri." Erlan kembali menekuri ponsel.

Prita mengambil ponsel itu dan meletakkannya bersebelahan dengan ponselnya sendiri. "Tujuan orang jalan bareng itu adalah untuk mengenal kepribadian masing-masing. Itu nggak akan terjadi kalau kamu lebih sibuk dengan ponsel kamu daripada aku."

Erlan menatap Prita dalam. "Kamu tahu kalau aku nggak terlalu pintar ngobrol basa-basi. Kalau aku kebanyakan ngoming, yang ada kamu akan mengancam memukul kepalaku pakai sepatu kamu yang runcing itu lagi."

"Stiletto," ralat Prita. "Dan kamu tahu aku nggak sungguh-sungguh dengan ancaman itu."

"Tetap saja itu sepatu."

Prita memutuskan tidak mendebat. "Aku nggak tahu banyak tentang kamu. Kalau aku tanya, kamu mau jawab, kan?"

Mata Erlan menyipit waspada. "Hidupku nggak menarik. Membosankan. Kamu pasti nggak ingin tahu."

"Tapi aku beneran ingin tahu," Prita berkeras. Ini saatnya mengenal Erlan secara pribadi.

Erlan terlihat tidak nyaman. Dia berdiri. "Aku ambil air minum dulu." Dia berjalan menuju pantri.

Prita menatap punggung Erlan yang menjauh. Apakah dia terlalu memaksa? Ibunya pernah bercerita tentang Erlan meskipun tidak mendetail. Laki-laki itu besar di panti asuhan. Mungkin memang tidak nyaman bicara tentang hidup sebagai anak yatim piatu. Prita memutuskan melepas topik itu. Mereka bisa membicarakannya kalau Erlan sudah merasa sangat nyaman bersamanya. Saat laki-laki itu memutuskan membuka diri.

"Kamu nggak mau bertanya tentang aku?" Prita mengubah taktik saat Erlan sudah kembali duduk di sebelahnya, membawa botol minuman.

"Aku sudah tahu banyak tentang kamu," jawab Erlan sedatar biasa. "Kamu anak Pak Johny dan Bu Yura. Mereka sudah cerita banyak tentang kamu."

Prita berusaha tidak menampilkan raut sebal. Apa susahnya pura-pura tertarik dan ingin tahu? Laki-laki lain pasti akan memakai taktik itu. "Papa dan Mama nggak tahu semuanya tentang aku." Dia mengalihkan perhatian dengan menatap wajah Erlan. Ya, lebih baik begitu. Wajah tampan itu jauh lebih menyenangkan dilihat daripada harus mendengar omongannya yang nadanya tidak terlalu hangat. Mata Prita hinggap di bibir Erlan. Bentuk bibirnya tegas. Bibir ysng mengingatksn tentang banyak hal.

Sejak kontak fisik di tangga, mereka tidak pernah bersentuhan sama sekali. Erlan sepertinya sangat menyadari kehadiran Orlin di sekitar mereka sehingga berusaha menjaga jarak. Ternyata bukan hanya Prita yang mencoba menghindari bocornya kesepakatan 'jalan bareng' itu. Erlan lebih waspada.

Prita mengalihkan pandangan saat Erlan balik menatapnya. Cara laki-laki itu melihatnya membuat jantungnya bersalto di dalam. Dia belum pernah seantusias ini saat berhubungan dengan laki-laki. Sayangnya, hubungan ini masih sangat dipertanyakan bentuknya.

"Aku rasa aku sudah tahu apa yang ingin aku tanyakan sama kamu," kata Erlan setelah jeda yang lumayan panjang.

"Ya?" Prita balik menatapnya lagi.

"Nggak keberatan aku cium?"

"Tentu saja tidak, eh, maksudku, itu bukan ide buruk. Mumpung si Orlin nggak ada, kan?" Astaga, responsnya terlalu cepat. Prita hampir memukul jidatnya sedndiri. Buruk, itu sangat buruk. Untunglah Erlan seperti tidak memperhatikan, karena dia bergerak mendekat. 

**

Aku lagi promo novel DI SIMPANG JALAN di Instagram. Hadiahnya masing-masing 2 novel untuk 2 orang yang ikutan share gambar. silan main di IG  @titisanaria kalau minat  ikutan.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top