Dua Puluh Tiga
Update kemarin aku tunda karena karena ada yang melanggar rules. Ke depannya, waktu tunda akan lebih lama daripada sekarang kalau tetap ada yang MELANGGAR. Nyebelin banget kan kalau ada yang terus-terusan melakukan apa yang nggak kita suka? Jadi mohon, tetap ikutin rules, ya. Oke hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....
**
Prita menekuri buku menu sambil mengutuki Orlin dalam hati. Asistennya itu seharusnya tidak perlu melaporkan keadaan lambungnya kepada Erlan. Tidak ada orang yang lantas koma dan harus dilarikan ke IGD hanya karena melewatkan waktu makan siang selama beberapa jam. Tidak juga Prita Salim.
"Aku makan siang atau enggak, itu sebenarnya bukan tanggung jawab kamu," ujar Prita tanpa menatap Erlan. Berdekatan dengan laki-laki itu setelah menyadari perasaannya sedikit mengintimidasi. "Memastikan aku makan tepat waktu pasti nggak ada dalam tupoksi kamu."
Erlan berdiri. Seperti biasa, dia mengabaikan apa pun yang tidak ingin dia tanggapi. Tatapannya terarah pada ponsel. "Aku akan keluar menelepon sebentar. Tolong pesankan aku juga."
"Hari ini kamu mau makan apa?" tanya Prita dimanis-maniskan dengan nada mengejek. "Satu piring sekrup dan segelas oli?" Ya, bersikap begini tidak akan membuat Erlan curiga kalau Prita sudah berubah haluan dari si pembenci menjadi pemuja. Pemuja, Prita nyaris bergidik menyadari kata seperti itu bisa keluar dari benaknya. Mengerikan!
Erlan tidak mengatakan apa pun. Dia bergegas keluar dengan perhatian yang terus tertuju pada ponsel, seolah benda itu adalah hasil rampasan perang maha penting yang harus dilindungi dengan segenap jiwa raga.
Dongkol, Prita kemudian memesan menu yang sama dengannya. Dua porsi stik well done dan air mineral. Tinggal di Amerika tidak membuatnya terbiasa dengan daging yang dipanggang medium rare. Erlan bisa memesan makanan lain nanti kalau tidak menyukai pilihannya. Siapa suruh dia tidak menentukan pilihan sendiri?
Karena tidak berpikir untuk mengikuti saran Becca untuk mengejar Erlan, Prita merasa harus menyiapkan strategi menghadapi perasaannya sendiri. Dia harap tidak akan sulit membujuk hatinya untuk mengakui bahwa Erlan sama sekali bukan pasangan yang cocok untuknya. Semua orang pernah tertarik pada orang yang salah, dan pada akhirnya mereka kembali ke jalan yang benar setelah bertemu orang yang tepat itu. Jadi hanya perlu menunggu orang yang tepat itu datang, maka Erlan akan menjadi masa lalu. Dan suatu saat di masa depan, Prita akan menertawakan kekonyolannya karena pernah menyukai Tuan Robot. Ya, saking konyolnya, Prita pasti akan tertawa sampai keluar air mata dan terkencing-kencing. Bayangan itu memang tidak anggun, tetapi jelas jauh lebih baik daripada merasa berdebar-debar tidak jelas seperti ini.
Erlan baru kembali setelah air mineral mereka sudah diantarkan.
"Mereka nggak menjual oli untuk diminum." Prita merasa seharusnya dia diam saja, tetapi diam hanya membuatnya semakin gugup. Erlan akan tahu ada yang salah kalau dia tidak bersikap menyebalkan seperti biasa. "Sayang sekali. Tapi ini memang restoran khusus manusia."
Erlan meletakkan ponsel di atas meja sebelum bersandar, bersedekap, sambil menatap Prita lekat. "Kamu nggak perlu datang terlalu sering ke gedung itu. Yoyo tahu apa yang dia kerjakan. Aku sudah bilang kalau aku mencari orang yang bisa mengerjakan tugas dengan baik. Sekarang mereka masih membongkar banyak bagian. Belum ada yang bisa dilihat, kecuali debu."
"Aku akan melakukan apa pun yang aku suka." Prita memutar bola mata dengan sengaja. "Kamu yang nggak perlu mengawasi aku kayak gini. Rasanya ganggu banget."
"Mungkin aku sebaiknya menyuruh kamu datang tiap hari ke sana, karena kelihatannya kamu cenderung akan melakukan kebalikan dari apa yang aku katakan."
"Aku nggak kekanakan kalau itu maksud kamu!" sentak Prita. Ya, tentu saja itu kekanakan. Orang dewasa tidak akan bersikap seperti yang baru saja dia lakukan.
"Aku tadi nggak bilang kamu kekanakan." Raut bosan itu lagi-lagi muncul di ekspresi Erlan, membuat emosi Prita dengan cepat tersulut. "Tapi kalau kamu yang merasa begitu, aku nggak akan membantah."
"Aku nggak senaif dugaan kamu. Aku tahu apa yang kamu pikir tentang aku." Prita meraih gelas dan meneguk minumannya, berusaha meredam lahar di dalam dada yang terasa menggelegak. Dia tidak suka mengakui jika diremehkan orang yang dia sukai akan terasa menyesakkan seperti ini. Baru terpikirkan kalau alasan dia selalu bersikap menyebalkan saat menghadapi Erlan adalah untuk menutupi perasaan yang sebenarnya.
Sejak kapan dia memiliki bibit rasa suka itu? Meskipun baru disadari Prita, tetapi sepertinya itu bukan rasa yang tiba-tiba saja muncul. Tunggu dulu, oh tidak, jangan bilang apa yang dia lakukan dengan menerima taruhan yang melibatkan Bernard, terang-terangan di depan Erlan adalah manifestasi rasa sebal untuk mencari pengakuan laki-laki itu. Dia tersinggung karena merasa tidak dianggap, dan menggunakan Bernard untuk mencoba membuat Erlan cemburu. Mungkin jauh di dalam hati dia berharap Erlan akan menghalanginya menemui Bernard karena dia juga menyukai Prita, bukan hanya sekadar menjalani pertunangan yang disponsori orangtua. Astaga!
"Dengar," suara Erlan menembus lamunan Prita. "Aku tahu kamu nggak suka sama aku, tapi untuk sementara kita harus bekerja sama. Pak Johny dan Bu Yura meminta aku mengawasimu bukan hanya untuk mengikuti kamu ke mana-mana seperti anjing penjaga yang setia dan menjauhkan kamu dari masalah, tapi juga untuk membantu menyiapkan butik kamu. Jadi kalau kamu mau prosesnya cepat, supaya kamu juga terbebas dari aku, kita harus bekerja sama. Simpan dulu cakar dan taring kamu saat melihat aku mendekat."
Prita pesimis soal bisa terbebas dari Erlan selama orangtuanya masih terobsesi kepada lai-laki itu. Mereka pasti akan selalu menemukan cara untuk mendekatkan mereka. Hanya saja, apa yang dikatakan Erlan itu benar. Laki-laki itu tahu persis bagaimana cara menjalankan sebuah usaha. Bersikap sok tahu demi harga diri bukan saat yang tepat sekarang.
"Izin sudah diurus, dan renovasi sedang jalan," Erlan melanjutkan saat Prita terdiam. "Apalagi yang paling penting?" Dia sekarang mengeluarkan iPad.
"Aku baru menemukan dua orang penjahit yang bagus." Prita memutuskan bekerja sama. Dia akan mencari cara untuk mengatasi perasaannya kepada Erlan. Cara yang lebih baik daripada bersikap konyol dan kekanakan. Cara yang sesuai dengan umurnya. Dia toh tidak mungkin bersikap seperti anak yang direbut balon dan permennya setiap kali bertemu Erlan. Kalau iya, mental emosinya akan terlihat seperti anak yang berumur 4 tahun. Sama sekali tidak anggun. "Aku belum tahu akan gimana prospek usaha ini ke depan, tetapi sebaiknya aku punya lebih dari 2 orang penjahit."
"Oke, penjahit." Erlan menulis sesuatu di iPad-nya. "Karyawan yang lain?"
"Nggak nunggu renov kelar untuk merekrut karyawan? Aku nggak butuh banyak."
"Wawancara dan training akan makan waktu." Erlan terus menulis. "Renovasi nggak akan lama. Kasih aku spesifikasi yang kamu mau untuk tiap-tiap lowongan pekerjaan yang akan kamu buka. Aku akan meminta orang untuk memasang iklan. Wawancara dan training bisa dilakukan di kantor. Nanti akan disiapkan ruangan. Jadi kalau gedung kamu kelar, grand opening sudah siap. Kita bisa minta Mbak Uchy yang pegang."
"Aku hanya mau opening yang sederhana saja," timpal Prita. "EO Mbak Uchy sepertinya terlalu besar. Belum tentu juga kita bisa dimasukkan jadwalnya yang padat."
"Mereka mengerjakan even kecil sampai yang superbesar. Tim Mbak Uchy banyak. Dan dia pasti bisa menyelipkan opening butik kamu dalam jadwal mereka, gimanapun padatnya. Dia bisa menolak klien lain, tapi bukan kita."
"Baiklah." Tidak ada celah untuk semua yang Erlan katakan. Sekarang Prita mulai mengerti mengapa ayahnya begitu menyukai laki-laki ini.
"Kamu sudah menyiapkan logo? Itu yang paling penting untuk memulai sebuah brand."
"Belum." Prita sudah punya bayangan, tetapi belum benar-benar yakin.
Erlan menggeleng-geleng. "Ada banyak pekerjaan yang belum dimulai dan kamu hanya bermain debu di gedung sana. Jadi, untuk logo itu, mau bikin sayembara atau langsung saja ke perusahaan brand design?"
"Langsung saja." Prita malas repot dengan segala sayembara. Sebenarnya Prita sebal dengan cara Erlan mengkritiknya, tetapi tidak membalas karena apa yang dikatakan laki-laki itu benar.
"Oke. Saya akan suruh Bastian untuk bikinin kamu janji dengan desainer logo yang bagus."
Percakapan itu terhenti saat pelayan datang mengantar makanan mereka. Erlan sepertinya juga melewatkan makan siang, karena dia segera meletakkan iPad di sisi meja yang kosong dan mulai menyantap makanannya. Prita ikut menarik piringnya mendekat. Hanya saja, nafsu makannya sudah hilang. Lambungnya yang tadi mengamuk berteriak protes benar-benar sudah tenang.
"Makanannya nggak bisa habis kalau hanya ditusuk-tusuk saja seperti itu."
Prita terpaksa mulai mengiris daging di piringnya, memaksakan diri mengunyah.
"Menyiapkan usaha kamu itu butuh banyak energi. Kamu nggak bisa melakukannya kalau hanya makan sepotong apel dan selembar bayam tiap hari. Habiskan makanan kamu sebelum kita pulang."
Prita mendelik. Hari ini, untuk pertama kalinya Erlan bicara banyak karena berhubungan dengan butik. Di tengah-tengah diskusi tadi, Prita sudah sempat merasa senang karena sikap laki-laki itu yang terlihat profesional dan tahu persis apa yang dia kerjakan. Tetapi ternyata dia masih tetap saja menyebalkan. Apa yang dia harapkan? Sifat dasar orang memang tidak bisa berubah seperti membalik telapakk tangan.
Prita tergoda membalasnya. "Cara paling efektif untuk memperkenalkan rancanganku adalah memakai jasa selebriti. Aku nggak keberatan mensponsori Felis Aliandra beberapa gaun untuk konsernya. Kamu kenal dekat dengan dia, kan?" Prita tidak benar-benar menyukai ide itu, tetapi menggunakan nama Felis Aliandra bisa saja membuat Erlan kehilangan taji.
Erlan diam saja, terus makan seolah suara Prita tidak lebih daripada embusan angin.
"Kamu bisa mengusahakannya, kan? Felis Aliandra pasti mau kalau kamu yang memintanya. Demi masa lalu." Prita tahu dia keterlaluan, tetapi sudah telanjur. "Kalau kamu mau membantuku, nggak boleh setengah-setengah. Felis Aliandra media promosi yang luar biasa."
Kali ini Erlan mengangkat kepala. "Kalau kamu mau memakai jasa Felis, kamu bisa menghubungi manajernya."
Tidak, tentu saja Prita tidak akan memakai jasa Felis Aliandra untuk memperkenalkan rancangannya. Atau menjadikan perempuan itu sebagai brand ambassador, betapa pun terkenalnya dia.
"Kamu masih sakit hati ditinggalkan Felis Aliandra demi Ardhian, ya?" Saatnya membalik skor.
"Kita akan lebih sering bertemu kalau waktu diskusi kamu pakai untuk membahas urusan yang nggak ada urusannya dengan butik. Aku pikir bertemu aku terlalu sering bisa bikin tekanan darah kamu naik."
Prita memutuskan lebih baik menghabiskan makanannya saja. Bibir Erlan jelas jauh lebih bagus digunakan untuk ciuman daripada untuk berdebat. Bikin jengkel.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top