Dua Puluh Satu

Vomen-nya pecah. Kalian terbaeeekkk, Gaesss... Lope-lope yu ol. Minim editan, ya. Baru kelar aku tulis.

**

"Bang... Bang, bangun Bang." Erlan merasa betisnya diguncang-guncang. Dia pulang larut malam karena membantu tukang parkir liar di salah satu minimarket yang buka 24 jam. Dia sebenarnya mempertimbangkan untuk tinggal di sana sampai pagi, tetapi membatalkan keputusan itu saat teringat jika Felis akan berada sendiri di rumah karena Rini yang bekerja sebagai penyanyi di salah satu kelab malam biasanya malah pulang pagi. Felis pasti ketakutan kalau berada sendirian di rumah.

Erlan tidak lagi tinggal di rumahnya karena masa kontrakannya sudah habis, dan rumah itu sudah ditempati orang lain. Barang-barangnya yang berada di ransel sekarang sudah teronggok di salah satu sudut rumah Rini yang memberinya tumpangan. Erlan tidak terlalu sering berada di rumah itu karena bekerja serabutan di mana saja pada siang hari. Dia biasanya akan pulang malam hari untuk menemani Felis saat ibunya sudah pergi bekerja. Setidaknya, dia tidak perlu beratapkan langit saat malam hari.

Masih sambil mengucek mata, Erlan berjalan ke pintu depan, diikuti Felis di belakangnya. Kantuknya seketika lenyap saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Dua orang polisi! Orang-orang itu pasti datang untuk menangkapnya karena telah merampok Johny Salim. Akhirnya jejaknya tercium juga. Dia akan berakhir di penjara. Jantung Erlan berdebar kencang.

"Ini rumah Rini Puspita?" Salah seorang polisi itu bertanya.

Mengapa mereka malah mencari Rini, bukan dirinya? "Betul, Pak." Erlan berusaha menahan kegugupan, meskipun lututnya nyaris bertemu, karena lemas.

"Ada orang dewasa lain yang tinggal di sini?" Polisi yang satu melihat ke dalam, melewati bahu Erlan yang meskipun kurus, tetapi cukup tinggi untuk umurnya.

"Tidak ada orang lain, Pak. Hanya kami berdua." Jadi ini bukan tentang uang Johny Salim yang dirampoknya. Apakah Rini yang mendapat masalah? Kadang-kadang Erlan merasa aneh dengan Rini yang kelihatannya cukup mampu, tetapi tetap memilih tinggal di lingkungan bobrok seperti ini. Pakaian yang dikenakan Rini saat bekerja bagus-bagus. Saat perempuan itu pulang bekerja di pagi hari, dia biasanya membawa berbagai kue atau makanan yang kelihatan mahal, meskipun rasanya aneh.

Kedua polisi itu tampak bimbang dan saling menatap sebelum salah seorang di antara mereka lantas berkata, "Rini Puspita ditemukan tewas di kamar hotel bersama seseorang karena over dosis."

Yang Erlan ingat saat itu adalah genggaman Felis yang kuat di tangannya. Tubuh gadis kecil itu melekat di punggungnya. "Bang... Abang...!" suaranya bergetar panik, sebelum akhirnya menangis.

Erlan tidak tidak bisa meninggalkan Felis sendirian setelah kematian Rini. Dia tahu kalau Felis bukan tanggung jawabnya, tetapi rasanya tidak benar saja membiarkan anak sekecil Felis mengurus dirinya sendiri. Dia masih kelas 1 SD. Apalagi setelah perlakuan Rini yang baik kepada Erlan. Jadi dia kemudian mengambil alih tugas Rini. Dia bekerja lebih keras dari biasa untuk memastikan Felis bisa makan 3 kali sehari dan tetap bersekolah seperti biasa.

Erlan keluar dari rumah pukul dua dini hari untuk menjadi kuli panggul di pasar tradisional, membantu menurunkan dagangan dari truk. Saat pagi menjelang, dia akan pulang membawa sarapan untuk Felis supaya anak itu tidak pergi sekolah dengan perut kosong. Setelah Felis ke sekolah, Erlan akan mencari pekerjaan apa pun yang bisa didapatnya untuk mengumpulkan uang. Apa pun. Kecuali mencuri. Dia sudah berjanji kepada ibunya untuk berhenti. Merampok Johny Salim adalah pekerjaan kotornya yang terakhir.

Felis yang bosan tinggal di rumah, kerap mengikuti Erlan saat Erlan pulang untuk membawakan makan siang. Awal-awalnya Erlan tidak mengizinkan, tetapi karena Felis kemudian menangis meraung-raung, dia kemudian membiarkankan anak itu ikut. Felis biasanya duduk di emper toko, bermain dengan bonekanya sambil bersenandung sementara Erlan bekerja.

"Adek lu kecil-kecil gitu suaranya bagus banget," kata tukang parkir liar yang membiarkan Erlan membantunya di situ. "Daripada lu ikut gua gini, lu mending ajak dia ngamen. Lu kan bisa main gitar tuh. Suruh dia nyanyi. Pasti lu bisa dapet duit lumayan. Adek lu cantik banget gitu. Orang biasanya gampang ngasih duit sama anak kecil kayak adek lu."

Waktu itu Erlan lantas mengamati Felis. Anak itu memang berbeda dengan anak-anak lain yang tinggal di lingkungan mereka. Rini merawat Felis dengan baik, sehingga dia terlihat bersih. Akhir-akhir ini, barulah Felis kelihatan kumal karena berteman dengan debu dan sinar matahari akibat mengikuti Erlan ke mana-mana setelah pulang sekolah.

Erlan kemudian mengikuti saran itu. Dia memang bisa bermain gitar dan pernah mengamen juga. Ironisnya, ayahnya yang mengajarkannya bermain gitar. Bukan karena merasa sayang, tetapi karena mengamen adalah samaran paling bagus untuk mengamati orang-orang, korban yang harus dia copet. Ayahnya lantas mengambil gitarnya ketika Erlan kemudian menolak mencopet lagi. Sejak itu Erlan tidak pernah memegang gitar lagi. Tapi Rini punya gitar di rumahnya yang bisa dipakai.

Dan mereka kemudian mulai mengamen bersama. Erlan yang memetik gitarnya dan Felis menyanyi. Itu pembagian tugas yang bagus, karena meskipun bisa bernyanyi, Erlan merasa suaranya biasa-biasa saja. Hasilnya memang lumayan. Orang-orang mengeluarkan uang dengan mudah saat melihat dan mendengar suara Felis.

Beberapa bulan pertama, semua berjalan baik-baik saja. Erlan tidak lagi mengingat soal sekolah. Dia tahu kalau sekolah terlalu mewah untuknya, meskipun tetap saja merasa iri saat melihat anak sebaya yang berseragam sambil memanggul ransel ke sekolah. Cukup Felis saja yang bersekolah. Apa yang anak perempuan bisa lakukan tanpa sekolah saat sudah besar kelak?

Waktu itu hari minggu. Matahari sedang terik-teriknya. Felis yang kelelahan berjalan merengek meminta istirahat. Erlan kemudian membawanya ke bawah pohon di pinggir jalan setelah membelikan anak itu es krim. Dia berbaring di situ, di dekat Felis yang duduk sambil mengulum es krim dengan semangat.

Erlan sempat tertidur. Dia terbangun saat Felis mengguncang lengannya. Penjual asongan, pengemis, dan pengamen lain yang berada di dekat situ sedang berlarian.

"Pol PP, Bang...!" seru Felis panik.

Erlan lantas menarik tangan Felis dan mulai berlari. Hanya saja, langkah Felis terlalu kecil, dan satpol PP itu semakin mendekat. Erlan tidak punya pilihan kecuali terus berlari menyelamatkan diri saat seseorang menabrak mereka, dan genggam tangan itu terlepas. Erlan terus berlari. Setelah cukup jauh, dia lantas berbalik. Felis tertangkap. Anak itu menangis meraung-raung sambil berteriak memanggilnya. "Bang... Abang...!"

Dan Erlan akhirnya kembali ke sana, membiarkan dirinya ditangkap dan dinaikkan di atas pick-up. Dia tidak melepaskan hari-jari kecil Felis yang melekat erat di tangannya. Anak itu masih terus menangis. "Jangan takut, Abang nggak akan ninggalin kamu," kata Erlan menenangkan. "Nggak akan pernah."

Oleh departemen sosial, mereka kemudian ditempatkan di panti asuhan.

**

Erlan menurunkan kecepatan larinya, sebelum akhirnya turun dari treadmill. Dia tidak bisa langsung tertidur setelah menutup laptop, jadi memutuskan berolah raga. Dia meraih botol minuman dan meminumnya dalam tegukan besar-besar setelah mengelap keringat.

Dia melakukan kesalahan dengan mencium Prita tadi siang. Itu tentu saja tidak direncanakan. Kalau ada perempuan yang tidak boleh dia sentuh, itu adalah Prita Salim. Dia bukan orang tepat untuk perempuan itu. Tidak, dia bukan laki-laki yang tepat untuk perempuan manapun. Bagaimana kalau perjalanan waktu akan mengubah dirinya menjadi orang seperti ayahnya? Tidak ada yang tahu pasti jika hewan buas di dalam dirinya tidak akan pernah terbangun. Pengendalian dirinya tidak sebagus itu. Pengalaman sudah membuktikan hal itu. Dia tidak akan menempatkan perempuan manapun di posisi ibunya.

Apa yang terjadi dengan Prita tadi itu adalah satu bukti lain dari pengendalian diri yang gagal. Meskipun tidak seburuk memukul dan menganiaya, tetapi dia tetap saja gagal menahan diri untuk tidak mencium perempuan itu saat berada dalam pelukannya.

Itu bukan karena dia tiba-tiba jatuh cinta dengan Prita. Itu terjadi hanya karena situsi yang mendukung saja. Ketertarikan fisik bisa terjadi. Dia laki-laki normal. Ketertarikan tidak mesti berarti cinta. Dia tidak pernah jatuh cinta, dan tidak akan memilih Prita sebagai perempuan pertama yang akan mendapatkan hatinya. Prita Salim sangat cantik. Wajar saja jika hormon kelelakiannya merespons berlebihan saat perempuan itu berada dalam pelukannya.

Mereka pernah berciuman sebelumnya, saat Prita lebih dulu menciumnya. Bayangan iitu sedikit banyak memengaruhi pikirannya saat dia tadi akhirnya mencium perempuan itu lebih dulu.

Sekali lagi, itu hanya ketertarikan fisik. Tidak lebih. Prita membalas ciumannya, padahal Erlan tahu persis kalau Prita membencinya. Prita selalu berusaha mengeluarkan cakar dan memamerkan taring seperti singa betina setiap kali mereka bertemu, meskipun Erlan sebenarnya menganggap itu lebih lucu dan menggemaskan ketimbang mengintimidasi, apalagi membuat kesal. Jadi ciuman itu itu benar-benar murni hanya akibat ketarikan fisik sesaat dari dua orang dengan jenis kelamin yang berbeda saat tubuh mereka saling menempel. Prita Salim membencinya, dan dia tidak punya perasaan apa-apa kepada perempuan itu. Kecelakaan seperti ciuman itu bisa saja terjadi.

Tadi Erlan sudah berusaha mengajak Prita membahas itu karena merasa mereka akan merasa sama-sama tidak nyaman kalau harus membiarkannya begitu saja. Namun, pada akhirnya perempuan itu hanya melotot dan menolak bicara lebih lanjut. Dan, sepertinya, kasusnya sudah ditutup. Syukurlah.

Erlan meletakkan botolnya di atas meja, dan ganti meraih ponsel. Dia mendesah, tetapi tetap mengangkatnya.

"Ada apa, Lis?"

"Aku di depan pintu Abang. Kenapa nggak bisa dibuka? Kodenya Abang ganti, ya? Buka, Bang. Aku mau masuk."

**

Pecahkan vomen-nya biar cepet update dan ketemu Prita Salim yang sedang menyesali diri...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top