Dua Puluh Dua
Karena ada yang tetap nodong dan modus update-an, juga pergerakan vote yang melambat, kemarin memang aku sengaja nggak update. Jadi ingat rules, ya. Dan tetap nge-vote. Antara vote dan komen, aku lebih suka lihat vote sih, karena vote itu lebih nunjukin jumlah pembaca aktif. Satu orang kan cuman bisa nge-vote 1, jadi aku bisa tahu berapa orang yang persisnya ngikutin cerita ini dan rela ngasih bintang. Oke, hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....
**
Prita dan Becca duduk berhadapan dengan cangkir kopi yang masih mengepul. Ada dua piring kecil berisi cheesecake yang belum disentuh. Pertemuan ini sebenarnya sudah direncanakan sejak dua minggu lalu, tetapi baru terlaksana karena Becca sibuk dengan persiapan pernikahannya. Prita sama sekali tidak merasa iri. Sebaliknya, dia malah ikut bahagia untuk sahabatnya itu. Hanya saja, mau tidak mau dia kembali berpikir soal umur. Di umur seperti dirinya sekarang, perempuan memang sudah seharusnya mapan dan punya keyakinan tentang apa yang hendak diraih. Becca contohnya. Dia punya pekerjaan yang sangat suka dia kerjakan, dan sedang bersemangat menyiapkan pernikahan bersama laki-laki yang dia cintainya.
Sedangkan dirinya? Prita bisa membayangkan mencibir dirinya sendiri. Abaikan uang orang tuanya, maka dia sebenarnya tidak punya apa-apa. Ya, bukan hal membanggakan untuk diakui, tetapi itu suatu kebenaran. Tahun lalu, dia meninggalkan pekerjaan yang bisa saja membuat namanya besar di New York, karena harus pulang ke tanah air. Lalu terlibat kasus memalukan hanya karena bersikap impulsif saat berusaha membuat tunangan jadi-jadiannya kesal. Jadi kalau bisa disimpulkan dalam satu kalimat pendek, pencapaiannya nol besar. Di mata orang lain, dia pasti terlihat seperti boneka barbie dalam istana megah. Barbie versi tolol karena hanya punya otak sebesar kacang hijau. Otak yang mungkin terombang-ambing, mengapung kebingungan dalam tengkoraknya yang besar. Tidak ada yang memikirkan kemungkinan dia cerdas dengan bebagai hal yang membuatnya dicibir orang-orang.
"Butik lo udah mulai jalan renov-nya?" Becca melepas ponsel dan meletakkannya di atas meja. Dia baru saja membalas pesan Ben.
"Baru mulai." Prita mengedik, berusaha mengembalikan fokus. "Izinnya juga lagi diurus. Masih lama. Gue juga masih nyari penjahit bagus. Renov kelar, baru gue buka lowongan untuk yang kerja di showroom. Kecil-kecilan aja dulu, sambil lihat prospek."
"Lo pasti bisa." Becca terdengar yakin. "Gue percaya."
Prita meringis. "Makasih. Lo teman gue yang paling baik."
"Yeah, kayak lo punya banyak teman aja untuk dijadikan pembanding."
"Ya, gue payah soal pertemanan itu." Prita mengakui terus-terang. "Bagaimana lo bisa segitu yakinnya kalau Ben memang orang yang tepat?" Dia mengalihkan percakapan dengan sengaja. Dia tidak bertemu Becca untuk mengeluhkan hidupnya yang membosankan. "Maaf, gue nggak bermaksud bikin lo bingung di saat-saat kayak gini. Gue hanya ingin tahu aja."
Becca mengerutkan bibir, tampak berpikir. "Ben itu bukan jenis laki-laki yang gue bayangkan untuk jadi pasangan gue sih. Jauh banget malah. Dia cerewet. Semua hal remeh diomongin, sampai kayaknya oksigen dia monopoli sendiri. Candaannya kadang jorok dan garing, bikin gue malah berakhir mukulin kepala dia daripada tertawa. Kalau sakit, dia bakal manja banget, sampai gue selalu berpikir kalau demam beneran bisa bikin mental seseorang balik ke umur 5 tahun lagi. Gue dianggap nyokapnya." Dia tersenyum, tatapannya melembut. "Tapi gue tahu kalau gue bisa mengandalkan dia di segala hal. Ben selalu ada untuk gue. Dia mendukung semua hal yang gue lakukan Mungkin memang lebih mudah karena kami memulainya dengan bersahabat. Sama-sama sudah tahu kelebihan dan kekurangan masing-masing. Gue berusaha nggak ganggu kalau dia lagi sibuk dengan pekerjaan karena stress bikin dia kadang nyebelin. Dan Ben biasanya membiarkan gue menang saat debat, padahal gue tahu kalau sebenarnya dia nggak setuju dengan pendapat gue. Dia hanya nggak mau bertengkar dengan gue hanya karena soal sepele yang bikin kami berbeda pendapat." Becca lantas tersenyum jail. "Kalau lo menikmati ciuman dengan seseorang, lo akan tahu kalau dialah orang yang tepat. The one yang disebut-sebut dalam lirik lagu itu." Dia terkekeh di ujung kalimat.
Prita berdecak tidak percaya. "Itu konyol. Ciuman jelas bukan cara yang tepat untuk menentukan seseorang itu belahan jiwa lo atau bukan, Bec." Mau tidak mau dia teringat ciumannya dengan Erlan. Jelas saja dia dan Erlan sama-sama menikmati dan menyukainya, tetapi itu bukan berarti karena mereka saling suka, apalagi cinta. Hormon bisa menciptakan rasa ciuman yang memabukkan. "Lo harus mencium banyak orang sebelum memutuskan mana orang yang tepat itu. Menjijikkan."
Becca menggeleng-geleng sambil mencibir. "Jangan pura-pura bego dan sok polos gitu. Lo yang tinggal di Amerika sana sampai karatan. Lo jelas lebih jago urusan cinta-cintaan kayak gini."
"Gue tinggal di sana untuk sekolah dan kerja, bukan berkeliling menciumi laki-laki bau bir, bawang putih, dan keju untuk mencari tahu apakah dia laki-laki yang tepat atau bukan buat gue. Astaga!"
Becca tertawa lepas. Beberapa orang yang duduk di meja lain sampai menoleh. "Ini jadi kayak obrolan ABG labil deh. Lo nggak mungkin punya keinginan mencium laki-laki yang nggak menarik hati lo. Itu yang namanya menjijikkan. Lo juga nggak bodoh untuk mencium seseorang untuk kedua kali, apalagi sampai berulang-ulang kalau lo nggak menikmatinya. Kalau rasa itu nggak sampai ke hati elo. Nggak bikin lo berdebar-debar. Itu juga menjijikkan. Saat gue ciuman sama Ben, gue langsung tahu dia orangnya."
Prita memutar bola mata. "Karena dia jago nyiumnya?"
"Karena gue nggak kepikiran untuk ciuman sama orang lain lagi. Ini bukan sesuatu yang bisa dijelasin dengan kata-kata sih. Saat lo ketemu orang yang tepat, lo akan tahu. Hati lo nggak akan bohong."
"Maksudnya, bibir dan liur lo yang nggak bohong, kali." Cibir Prita. "Kan deteksinya pakai ciuman."
Becca mengibas. "Udah deh, jangan diomongin lagi. Ben bisa besar kepala kalau tahu gue membanggakan ciumannya sama orang lain. Ini seharusnya jadi rahasia kami berdua. Rahasia dapur."
Prita diam sesaat. Ah, masa bodoh. Kepada siapa lagi dia bisa mengeluarkan unek-unek kalau bukan Becca? "Gue sama Erlan ciuman," katanya cepat, takut berubah pikiran.
Becca membelalak. "Lagi?"
Prita mengerang sambil menutup wajah dengan sebelah tangan. "Iya, lagi."
"Lo yang nyosor duluan lagi?"
"Tidak!" balasnya cepat, lalu meragu. "Mungkin, ah, nggak tahu. Pokoknya kami ciuman. Intinya itu aja."
"Lalu?" kejar Becca.
Prita mendesah pasrah. "Gue suka dan menikmati ciumannya. Gue juga tahu Erlan begitu, karena kalau nggak, dia pasti sudah melepaskan gue sebelum sadar kita kepergok orang lain."
Becca tertawa. "Kegep itu nggak enak, tahu! Sumpah!"
Prita mendelik. "Jangan salah fokus, bukan kepergok itu yang mau gue omongin."
"Gue sama Ben pernah kegep sama nyokapnya pas lagi ciuman di rumahnya," kata Becca mengabaikan protes Prita. "Tengsinnya itu lho. Masih mendingan ketangkap sama nyokap gue daripada nyokap si Ben. Apalagi pas dia bilang, 'kalau ciumannya masih nambah semenit lagi, Mama akan telepon pemadam kebakaran. Ciuman kayak gitu bisa bikin rumah kebakaran.' Dan nggak pakai nunggu, dia langsung menghubungi nyokap gue dan nyari WO."
Prita hanya bisa menggeleng-geleng. "Yang mau gue bilang, ciuman itu bukan alat untuk mendeteksi perasaan. Gue sama Erlan bisa menikmati ciuman tanpa melibatkan perasaan."
Becca gantian mendesah. "Kita udah pernah ngomongin ini. Lo tahu apa yang lo rasakan pada Erlan. Nggak perlu gue untuk negasin itu."
Prita merosot dari kursinya. Sikunya bertumpu di atas meja. Kedua telapak tangannya menutupi wajah. "Gue nggak mau jatuh cinta sama dia, Bec!"
"Itu keputusan hati lo, bukan kepala lo."
"Ya ampun, Kenapa gue nggak ciuman aja dari zaman masih tunangan, biar nggak perlu terlibat kasus bodoh itu?"
Becc menepuk lengan sahabatnya itu penuh simpati. "Skenario hidup lo kan bukan lo yang nulis. Jalannya mungkin dibikin berliku kayak sinetron kejar tayang ribuan episode gitu."
Prita menegakkan tubuh. "Kalaupun sekarang gue jatuh cinta, gue akan bisa mengatasi ini." Dia menatap Becca penuh tekad. "Ini baru awal. Dan karena gue sudah sadar, gue akan menghilangkan perasaan ini secepat mungkin."
Becca berdecak sambil menggeleng-geleng. "Umur elo berapa sih? Lima belas? Cinta itu nggak lantas bisa hilang karena lo nggak mau jatuh cinta sama orang itu. Kalau gitu cara kerjanya, nggak akan ada orang patah hati dan galau menahun. Bodoh!"
"Iya, gue memang tolol!" Prita kembali menutup wajah.
"Mau dengar pendapat gue?" tawar Becca.
"Naik di Monas dan terjun? Itu dijamin bikin gue beneran langsung mati?"
Becca mengabaikan Prita. "Mengapa lo nggak berusaha dapetin Erlan saja? Awalnya dengan ciuman itu sudah bagus."
"Dia itu robot! Gue nggak tahu apa yang ada di kepalanya!"
"Robot pasti kaku kalau ciuman. Dia jelas bukan robot, karena lo menikmati ciumannya."
Prita membuka mata. "Lo yakin itu akan berhasil? Karena gue nggak yakin."
"Kita nggak akan tahu sebelum dicoba, kan?" Becca mengedipkan sebelah mata, memberi semangat. "Hei, lo bukan tipe pesimis. Dan dengan kualitas kayak elo, pesimis itu haram hukumnya."
Sulit untuk optimis kalau itu tentang Erlan. "Gue yang memutuskan pertunangan. Masa gue lagi yang harus ngejar dia? Di mana harga diri gue?"
"Kalau harga diri lo emang bisa bikin lo bahagia, pelukan dan ciuman aja sama harga diri lo itu. Dengar, fase denial gue panjang banget sebelum mengakui kalau gue memang cinta dan mau Ben dalam hidup gue. Dan itu rasanya jadi masa paling galau dalam episode umur gue. Percaya gue, rasanya nggak enak."
"Ini kasusnya beda," protes Prita. Bisa-bisanya Becca menyamakan seperti itu. "Ben cinta sama elo. Dia ngejar-ngejar elo pantang menyerah gitu!"
"Memangnya lo yakin Erlan nggak punya perasaan apa-apa sama elo? Gue nggak terlalu kenal dia sih, tapi gue yakin dia bukan tipe laki-laki yang suka mencium perempuan karena iseng."
Sejujurnya, Prita juga merasa Erlan bukan tipe seperti itu. Hanya saja... entahlah.
**
Dari lantai atas, Prita bisa mendengar suara Erlan yang sedang ngobrol dengan Yoyo di bawah. Berarti laki-laki itu sudah kembali ke Jakarta. Prita mendengar percakapan orangtuanya yang menyebutkan bahwa Erlan ke Surabaya dan Makassar untuk melihat kantor cabang di sana.
Mereka belum bertemu lagi sejak insiden ciuman tempo hari. Prita kebanyakan diam di rumah. Sebelum bebergian, Erlan memang pernah datang ke rumahnya beberapa kali, tetapi Prita memilih menyingkir ke kamarnya saat mendengar suara Erlan yang bercakap-cakap dengan ayahnya.
"Mbak prita...!" Langkah Orlin berderap menaiki tangga. "Ada Pak Erlan di bawah. Saya boleh minta izin ke panti sebentar, kan? Saya akan balik lagi untuk jemput Mbak Prita nanti. Mbak masih lama di sini, kan?"
Prita sebenarnya tidak nyaman dengan ide itu. Apalagi setelah menyadari kalau dia menyukai Erlan sebagai laki-laki. Lebih baik menjaga jarak, karena jelas dia tidak akan mengejar laki-laki itu seperti ide konyol Becca. Hanya saja, Prita juga tidak ingin menahan Orlin yang sepertinya tergesa-gesa.
"Jangan terlalu lama," katanya memberi izin.
"Siap, Mbak...!" Orlin sudah berlari turun lagi.
Prita menghela napas dan mengembuskannya melalui mulut. Ini mudah. Dia dan Erlan tidak hanya berdua di sini. Yoyo dan hampir sepuluh orang tukangnya berkeliaran di gedung ini. Kenyataan itu sedikit menentramkan. Meskipun begitu, Prita memilih tetap tinggal di atas. Kalau Erlan naik untuk mengecek pekerjaan para tukang, dia akan ke bawah. Bermain petak umpet tidak akan sulit. Dia pernah melakukannya saat di playgroup dan TK. Prita akan menghadapi Erlan kalau mentalnya sudah pulih dari keterkejutan karena menyadari perasaannya.
Prita menyelinap di kamar mandi bakal kamarnya yang belum dibongkar saat mendengar langkah kaki menaiki tangga. Itu pasti Erlan. Yoyo memakai sneaker sehingga tidak akan menimbulkan suara seperti itu. Dan para tukang tidak mungkin mennghasilkan ketukan sepatu seperti itu. Kamar mandi aman, karena Erlan tidak mungkin memeriksa ruangan satu per satu.
"Kamu ngapain di situ?" suara itu terdengar menyusul pintu yang terbuka. Prita ternyata tidak seberuntung itu. Dia tertangkap dalam permainan petak umpetnya yang pertama setelah dewasa. Bahkan kamar mandi tidak terlalu aman. "Membersihkan toilet?"
"Iya," Prita terpaksa menoleh. "Mau bantu? Kita bisa menyikat toilet ini sama-sama sebelum dibongkar. Tukang-tukang itu pasti nggak kepikiran untuk membersihkannya sebelum dibobol."
Erlan menatapnya malas. Pandangannya yang biasa. "Banyak debu di sini. Mereka sedang membobol tembok. Kamu nggak pakai masker. Sebaiknya kita keluar."
"Keluar?" Ho...ho... ho... Terima kasih, tetapi tidak. Prita tidak akan bergeser satu sentimeter pun dari sini!
"Orlin bilang kamu belum makan siang." Erlan meilihat pergelangan tangan untuk meyakinkan. "Ini sudah sore."
"Aku belum lapar!" Entah karena kegirangan mendengar kata lapar itu, otak Prita bereaksi dan mengirim pesan ke lambung. Sedetik kemudian, perut Prita lantas berbunyi cukup keras. Sial.
"Ya, kedengarannya memang tidak." Erlan berbalik. "Aku tunggu di mobil."
Prita menatap punggungnya sebal. Ya Tuhan, ini cobaan macam apa? Mengapa dia harus suka laki-laki seperti itu?
**
Akan update kalau rules ditepati dan vomen cukup, ya. Dan follow IG @titisanaria untuk info buku baru. Aku akan ngeluarin buku puisi November nanti. Yang suka puisi galau dan romantis yang kece, harus baca deh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top