Dua Puluh Delapan
Targetku sebenernya 7K sih, dan belum nyampe. Ini update-an lebih untuk member GWT aja yang udah heboh di grup. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss.... Eh, mohon MEMATUHI RULES, ya. Dan... sekali lagi, LAGI, dan LAGI, ini versi mentah, nggak usah repot benerin typo karena versi wattpad nggak akan direvisi. Untuk yang nemuin plothole, silakan dm, karena aku mungkin saja melewatkan komen yang untuk memperbaiki lubang yang itu. Makasih.
**
"Bangun... hei, bangun...!" suara Becca lamat-lamat memasuki alam bawah sadar Prita. "Astaga, ini sudah hampir tengah hari. Dasar pemalas!"
Prita memaksakan matanya membuka. "Ini weekend, Bec. Gue juga belum lama tidur." Dia menunjuk mejanya yang berantakan. Buku sketsa tergeletak di sana. "Gue tadi dapet ide bagus. Jadi keasyikan gambar sebelum tidur."
Becca menarik Prita sehingga temannya itu terduduk. "Cuci muka sana!"
Masih tersungut, Prita mengikuti kata-kata Becca dan menuju ke kamar mandi. Beberapa mnit kemudian, dia muncul lagi dengan wajah yang lebih segar. Rambutnya dijepit di belakang kepala. "Lo ngapain menginvasi kamar orang pagi-pagi gini?"
"Ini udah hampir tengah hari, Emprit Babe!" Becca terseryum lebar sambil mengulurkan dua buah undangan. "Buat lo dan ortu lo."
Prita langsung menjerit dan memeluk Becca. "Lo beneran pecah telor duluan dibandingin gue. But I'm so happy for you, gurl. I really do."
"Lagak lo kayak yang belum tahu tanggal nikahan gue aja. Sok kaget gitu." Becca tertawa dan membalas pelukan Prita. "Yang lebih cantik harus laku duluan dong. Dan gue jelas berkali-kali lipat lebih cantik daripada elo."
"Sialan!" Prita mengurai pelukan. Dia meraih undangan di tangan Becca dan membukanya. "Gue udah bikin baju khusus untuk ini. Kebaya buat di akad, dan gaun untuk resepsi."
"Lo hanya harus dateng ke kawinan gue, nggak harus pakai baju bagus. Lo tahu kalau lo nggak akan bisa ngalahin kecantikan gue, mau berusaha kayak gimanapun juga. Dan gue akan tampil menakjubkan di hari istimewa gue." Becca menyusul Prita duduk di tepi ranjang. "Lo datang bareng Erlan?"
"Resepsi, iya," Prita terus membaca undangan itu tanpa menoleh. Seakan masih takjub melihat undangan pernikahan Becca. "Memangnya mau sama siapa lagi?"
"Hubungan lo berdua gimana? Ada kemajuan?"
"Kalau pelukan dan ciuman lebih sering itu disebut kemajuan, ya, kemajuannya pesat sih." Prita meringis. Dia hanya bercerita kepada Becca soal Erlan. Tidak mungkin menyimpannya sendiri, dengan jenis hubungan yang aneh seperti itu. Prita membutuhkan seseorang untuk membenarkan pendapatnya bahwa apa yang dia lakukan dengan Erlan saat ini tidaklah terlalu sinting. "Tapi kalau yang lo maksud dengan kemajuan itu melibatkan kata-kata kayak 'I love you' dan sejenisnya, nope, sama sekali nggak ada pergerakan apa pun." Entah mengapa Prita merasa sedikit sedih mengakui hal itu. Mengatakan hal itu terus-terang kepada Becca seperti menegaskan bahwa bagi Erlan, hubungan mereka benar-benar hanyalah ketertarikan fisik semata. Sama sekali tidak melibatkan hati. Ya, Erlan memang hampir tidak pernah mendebatnya lagi. Laki-laki itu cenderung mengikuti semua keinginan Prita, tetapi tetap saja perhatian seperti itu tidak ada artinya dibandingkan dengan kata cinta.
"Gue yakin sih laki-laki kayak Erlan nggak akan main-main soal sentuhan fisik kayak gitu kalau nggak punya perasaan." Becca yang merasakan kegundahan Prita mengelus punggung sahabatnya itu. "Kenapa bukan lo aja yang bilang cinta duluan? Kali aja dia butuh sedikit dorongan untuk mengakui perasaannya."
Prita membelalak." Gue nyatain cinta duluan? No way!"
"Kenapa nggak? Karena lo perempuan?" Becca mengarahkan bola mata ke atas, mencemooh.
Prita mengedik. "Karena gue nggak yakin dia punya perasaan yang sama. Malunya pasti luar biasa kalau dia nolak gue." Dia mendesah, lalu mengeleng-geleng. "Gue suka banget ada di dekat dia, meskipun dia orangnya nggak banyak ngomong, Bec. Gue suka aja lihat dia kerja dan serius dengan laptopnya. Gue suka cara dia memperhatikan hal-hal kecil untuk memastikan gue nyaman. Kayak lampu yang nggak terlalu terang karena bisa bikin mata gue nggak nyaman saat menggambar. Meskipun dia ngucapinnya dengan datar dan alasannya logis, rasanya tetap saja manis. Kalau gue bilang cinta sekarang, dan dia nggak punya rasa yang sama, dia pasti akan menarik diri. Gue nggak mau ngambil risiko itu. Gue masih mau menikmati ini, sambil mengusahakan merebut hatinya. Gue sabar kok. Pelan-pelan saja."
"Kalau lihat Erlan begitu keras nyari bukti waktu lo terlibat kasus Bernard, gue yakin dia juga ada perasaan sama elo kok. Apalagi hubungan kalian udah kayak gini. Gue yakin hanya masalah waktu dan dia akan mengucapkan kata ajaibnya sama elo. Ya, sabar aja sih." Becca tersenyum jail untuk mengikis suasana sendu yang tiba-tiba mengikat mereka. "Lo berdua beneran hanya peluk-cium gitu? Nggak sampai bobo cantik? Gue beneran kepo. Gue nggak minta detail sih. Gue udsh puas dengan jawaban ya atau tidak aja."
Prita memukul kepala Becca dengan undangan pernikahan sahabatnya itu sendiri. "Lo gila, ya? Itu langkah raksasa banget. Lo tahu Erlan orangnya kayak gimana. Kalau dia sampai ngajak gue bobo cantik, itu pasti karena dia sudah memutuskan membawa hubungan kami ke arah yang serius. Dia orangnya tanggung jawab banget. Kalau dia akhirnya ngajakin tidur bareng, itu seandainya, ya, dia pasti akan ngelakuin itu setelah dia ngomong cinta sama gue. Saat dia sudah siap menghadap orangtua gue dan bilang mau menikah sama gue. Hubungan kami sama sekali nggak ke sana."
"Belum," ralat Becca. "Pesimis amat sih jadi orang. Kayak nama lo bukan Prita Salim aja." Dia diam sejenak sebelum melanjutkan. "Ehm, gue jahat nggak sih kalau ngusulin buat ngejebak Erlan buat bobo cantik sama elo? Nggak akan sulit. Laki-laki dan hormonnya. Dia dan rasa tanggung jawabnya nggak akan bisa ke mana-mana kalau itu beneran kejadian."
"Gue nggak percaya lo ngusulin itu. Untuk ukuran perempuan yang memilih nggak akan lepas perawan sebelum menikah, itu jahat banget!" Prita meringis sedih. "Kalau gue sama-sama Erlan, gue mau itu karena cinta, bukan karena nafsu semata. Apa harapan gue terlalu berlebihan?"
Becca memeluk Prita. "Iya, mulut gue emang jahat banget. Gue kelamaan bergaul sama Ben. Sorry."
"Ya, usul lo akan gue pertimbangkan kalau gue udah putus asa banget." Prita tertawa getir, tetapi dalam hati dia tahu tidak akan melakukan itu. Dia tidak akan menjebak seorang laki-laki yang tidak mencintainya untuk menghabiskan sisa hidup bersama. Itu terlalu menyedihkan. Berapa lama pernikahan yang berawal dari keterpaksaan itu akan bertahan? Pasti tidak lama. Dan dijalani dengan rasa tersiksa dari kedua belah pihak. "Oh ya, gue numpang ikut lo ke apartemen Erlan, ya." Prita sengaja mengalihkan topik pembicaraan. "Itu satu-satunya cara gue bisa bebas dari Orlin. Karena didikan Erlan dan nyokap gue, dia beneran nempel gue kayak tokek. Kadang-kadang, dia bahkan muncul juga dalam mimpi gue."
Becca ikut tertawa. Dia tahu Prita tidak ingin bicara soal Erlan lagi
**
Prita menyandarkan kepala di bahu Erlan. Dia memeluk stoples keripiknya sambil menonton film yang diputar di netflix. Erlan sibuk dengan laptop di pangkuannya.
"Kerja melulu," omel Prita. "Filmnya bagus lho."
Erlan mengangkat kepala sejenak ke layar. Keningnya mengernyit saat Prita tertawa melihat adegan dalam film itu. "Nggak terlalu lucu." Dia kembali menekuri laptop.
"Selera humor kamu yang jelek!" Prita menegakkan punggung. "Keripik ini bikin aku haus. Aku mau ambil minum dulu."
"Biar aku saja." Erlan meletakkan laptopnya di atas meja dan berjalan ke arah pantri. "Mau air putih atau jus?"
"Aku naruh beberapa kaleng soda di kulkas kamu!" seru Prita. Dia memang mampir belanja camilan dan minuman ringan sebelum datang ke apartemen Erlan. Dia tahu kalau kulkas laki-laki itu hanya berisi air mineral dan minuman prebiotik. "Makan keripik enaknya sama soda dingin."
"Kebanyakan soda nggak terlalu bagus," ujar Erlan sambil mengulurkan kaleng soda yang sudah dibuka kepada Prita. Dia kembali duduk dan memangku laptopnya.
"Hanya sesekali kok." Prita menyesap sodanya. "Aku juga tahu soda nggak terlalu bagus untuk kesehatan."
"Kalau tahu harusnya dihindari saja, kan?" Erlan tidak mengangkat kepala dari laptopnya.
Prita hanya meringis. Dia mulai terbiasa dengan jawaban-jawaban ala Erlan yang dulu selalu membuatnya kesal. Laki-laki itu kelihatannya sedang mengerjakan sesuatu yang penting, karena terus menekuri laptopnya sejak Prita datang. Sepertinya Erlan adalah satu-satunya orang di negeri ini yang menganggap akhir pekan tidak berbeda dengan hari-hari biasa. Pekerja yang penuh dedikasi. Satu lagi alasan mengapa Erlan menjadi kesayangan ayahnya.
Prita menyesap minumannya beberapa kali sebelum meletakkan kaleng soda itu di atas meja. Dia mengeluarkan tisu basah dari kotaknya untuk membersihkan jari-jari dari bekas bumbu keripik yang menempel di situ. Setelah itu dia meraih tasnya dan berdiri. "Aku pulang, ya," pamitnya.
Erlan mengangkat kepala, terlihat bingung. "Filmnya belum selesai, kan?" Dia menunjuk televisi.
Prita mengedik. "Kamu benar, filmnya nggak terlalu lucu. Aku malah jadi gangguin kamu kerja. Kalau tahu kamu sibuk, aku tadi akan ke butik saja, mengawasi penjahit yang lembur."
"Aku nggak terlalu sibuk kok." Erlan menutup aplikasi yang sedang dia buka dan mematikan laptop. "Itu bisa dikerjakan nanti di kantor. Tadi aku pikir kamu akan sibuk nonton, jadi aku bisa ngerjain itu." Dia menarik tangan Prita supaya duduk kembali.
"Nonton sendiri apa enaknya?"
"Ya sudah, aku temani nonton sekarang."
Prita telanjur kehilangan minat untuk menonton. Film tadi memang tidak terlalu menarik. Memulai dengan film baru akan menghabiskan banyak waktu, padahal perutnya mulai lapar. "Nggak usah. Kamu kerja aja lagi." Dia berdiri lagi. "Lagian, aku juga sudah lapar. Aku mau mampir makan dulu sebelum lanjut ke butik. Nanti Orlin bisa jemput aku di sana, karena malam ini aku nginap di rumah."
"Ya sudah, kita keluar makan sekarang." Erlan ikut berdiri. "Kita makan di bawah saja. Setelah itu kita balik ke sini lagi. Nanti aku temenin nonton."
"Aku beneran nggak mau ganggu kamu kerja," Prita menegaskan sekali lagi. Dia tidak mau Erlan beranggapan dia merajuk.
Erlan tidak menanggapi. Dia merangkul bahu Prita dan mengajaknya berjalan menuju pintu. "Nggak perlu takut ketahuan Orlin," katanya saat Prita melihat posisi tangannya. "Dia nggak tahu kamu di sini, kan? Kamu kelihatannya takut banget kalau sampai tertangkap basah Orlin setiap kali kita dekatan."
Prita mendelik. "Bukannya kamu yang ketakutan setengah mati kalau ketahuan Orlin?"
"Bukan aku yang buru-buru kabur setiap kali dengar suara Orlin. Suara dia di telinga kamu setiap kali kita bersama pasti kedengaran kayak debt collector."
Mau tidak mau Prita tertawa. Dia memang selalu buru-buru memisahkan diri setiap kali mendengar suara Orlin saat dia dan Erlan sedang berdua di lantai atas butik. "Aku hanya berbaik hati membebaskanmu dari perintah harus menikah denganku kalau hubungan kita yang kayak gini ketahuan Papa-Mama."
Erlan diam saja. Prita tahu dia seharusnya tidak perlu merasa sedih karena reaksi Erlan yang seperti itu sudah diduganya, tetapi rasanya tetap saja sesak.
"Lain kali kalau kamu mau aku melakukan sesuatu untuk kamu, atau kalau kamu mau melakukannya berdua, seperti nonton tadi misalnya, kamu bilang saja. Kadang-kadang aku nggak tahu apa yang kamu inginkan kalau kamu nggak bilang."
Erlan sengaja mengalihkan percakapan, dan Prita tahu kalau laki-laki itu menghindari topik yang membawa orangtuanya dalam hubungan mereka. Pertanyaannya, berapa lama dia bisa bertahan dalam hubungan yang seperti ini? Sampai cintanya terlalu besar untuk ditebas dan Erlan yang memilih meninggalkannya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top