her choice.
"Hei, aku ingin berhenti sekarang juga."
Cairan pekat pahit yang sempat menyapa lidahku seketika kembali tersembur. Mulutku ternganga begitu saja. Aku menatap gadis di depanku dengan raut penuh pertanyaan.
"Aira, kau ... serius?" Alisku berkerut. Padahal dia yang mengambil keputusan, tapi entah kenapa perasaan tidak nyaman ikut tumbuh di hatiku.
Ah, mungkin karena aku terus berada di sisi gadis itu selama ini. Rasanya aku seakan menjadi salah satu manusia yang paling mengerti betapa kerasnya dia berjuang hingga mendapatkan posisinya yang sekarang.
Maka dari itu, kata-katanya barusan sama sekali tidak dapat kuterima begitu saja. Aku membutuhkan penjelasan bagaimana Aira sampai pada keputusan akhirnya untuk berhenti menggeluti pekerjaannya sebagai idol. Aira yang aku tahu tidak mungkin mengatakan hal seperti itu dengan mudahnya.
"Kazu-kun, kau tahu 'kan, kalau hidup seorang idol itu tidak bebas?" Aira melayangkan tatapan sayu yang tak pernah dia tampakkan di depan layar. Pandangan penuh beban yang dapat membuat siapa pun merasa kasihan dalam sekali lihat.
Aku mendengkus singkat, menggangguk dengan gusar setelahnya. Hidup menjadi idol memang terlihat memikat dari luar. Dicintai, dikagumi, mendapat banyak perhatian, hadiah, pujian, serta berbagai hak istimewa lainnya yang tidak bisa kau dapatkan kalau hanya melanjutkan hidupmu sebagai salah satu masyarakat biasa.
Namun, siapa pun yang pernah mencicipi dunia penuh kemilau tersebut tentu tahu bagaimana kerasnya pertarungan dingin di balik layar. Mungkin memang tidak ditunjukkan secara gamblang oleh para pelaku dunia hiburan, tetapi persaingan antarkenalan merupakan hal nyata yang terjadi setiap detiknya di belakang panggung. Salah memasang sikap sedikit, kau dapat kehilangan pekerjaan. Salah mengucapkan sesuatu dapat membuatmu terkena skandal. Salah melakukan hal yang diperintahkan agensi dapat membuatmu menghilang dari pandangan orang.
Aira telah bekerja keras selama beberapa tahun terakhir. Butuh waktu lima tahun hingga akhirnya dia diizinkan memulai debutnya di dunia per-idol-an. Menahan semua komentar negatif serta ancaman mengerikan yang sering mampir ke kotak pos apartemennya, berakting demi menghindari skandal tidak menyenangkan di antara para selebritis, sampai pindah tempat tinggal pun bukan hanya dilakukannya sekali dua kali. Aku sebagai teman masa kecilnya tentu saja merasa prihatin ketika gadis itu tampak seolah akan membuang perjuangannya dalam meraih mimpi begitu saja.
"Kazu-kun?"
"Ah, maaf. Hmm, yah. Aku tahu." Aku melanturkan balasan asal dan meneguk kopi yang sudah mendingin. Tatapanku jatuh pada bayangan mataku sendiri di genangan gelap dalam cangkir. "Tapi kenapa, Aira? Aku juga mengetahui dengan penuh keyakinan kalau menjadi idol adalah salah satu mimpimu sejak kecil. Ada angin apa kau tiba-tiba hendak berhenti? Kau bahkan mengatakan 'sekarang juga'."
Embusan napas panjang terdengar memecah keheningan di antara kami berdua. Gadis berambut pirang di hadapanku ini hanya menundukkan kepalanya sedari tadi. Padahal dia yang mengajakku untuk bertemu hari ini, tapi ujungnya malah aku yang lebih banyak berbicara. "Aira, coba jelaskan padaku dulu apa alasanmu mengambil keputusan ini. Mungkin aku bisa membantumu kalau kau terlibat dengan suatu masalah."
Kedua tangan Aira yang dia letakkan di atas meja terkepal. Kepalanya menoleh ke sekitar dan kembali menunduk setelah selesai memindai keadaan sekeliling. "Tidak perlu khawatir, aku sudah memesan tempat ini selama sehari penuh. Pemilik kafenya adalah temanku, aku sudah bilang padanya untuk menutup toko khusus hari ini," terangku berusaha menenangkan gadis itu.
Aira menghela napas singkat, lalu beranjak dari kursi dan berjalan ke jendela. Dia membenarkan posisi topi dan melepaskan masker putih yang dia kenakan. Kemudian menatap ke luar jendela dengan penuh kewaspadaan. Senyum tipis terukir di wajah mungilnya. "Hehe, kalau kau yang memesankan, sepertinya tidak akan ada yang mencurigai keberadaanku di sini. Ah, sudah lama sekali rasanya aku bisa berjalan dengan santai di luar apartemen, tanpa harus mengkhawatirkan hal seperti penguntit di sana sini."
Aku menyunggingkan senyum bangga mendengar gumaman Aira. Kemudian tersadar dan kembali memanggil nama gadis itu, kali ini dengan intonasi yang lebih tegas. "Baiklah, sudah cukup basa-basinya. Mungkin sebaiknya kau mengatakan semuanya padaku sekarang."
"Aku terpikirkan sesuatu saat melihat sakura mekar," ucap Aira masih menatap ke luar jendela. Aku mengikuti arah pandangnya tanpa bergerak seinci pun dari tempat dudukku. Lagi pula, pohon sakura di seberang jalan masih terlihat dari sini. "Mereka hanya memamerkan bunga mereka yang indah sebentar, tetapi tetap banyak orang yang menyukainya. Orang-orang dari penjuru dunia bahkan rela berdatangan ke negeri ini untuk melihat keanggunan sakura, meski hanya sekilas kedipan mata." Aira melanjutkan perkataannya sambil berjalan kembali ke tempat duduknya di seberangku.
Aku mengangkat sebelah alis sambil meneruskan sesapan kopiku, memberi kode kepada gadis itu agar melanjutkan ceritanya. "Aku mulai berpikir 'Mungkinkah ini yang dimaksud dengan pesona yang sebenarnya?' berkali-kali, bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Kemudian aku mulai mencari tahu tentang senior-seniorku di industri hiburan yang telah pensiun atau sekedar berganti pekerjaan. Sebagian dari mereka benar-benar berhenti total dan menarik diri dari perhatian masyarakat, sementara sebagian lainnya masih memanfaatkan sisa ketenaran mereka dan melanjutkan hidup lewat jalan lain."
Dehaman cukup panjang aku berikan sebagai balasan atas penuturan filosofi gadis di depanku. Aku tidak berani membuka mulut, takut malah akan berakhir mengambil alih pembicaraan.
"Jadi," Aira mendongak, menatapku dengan tatapan penuh keyakinan sebelum melanjutkan, "aku berasumsi, kalau memang orang tersebut memiliki pesona tersendiri, mereka pasti akan tetap memiliki penggemar, walau mereka berganti profesi!"
Riuh gumaman pejalan kaki serta bunyi berisik kendaraan dari luar terdengar mengisi atmosfer di sekitar kami selama beberapa saat. Entah sudah berapa menit kami habiskan hanya untuk berusaha mencari jawaban dari balik tatapan masing-masing. Tentu hal itu hanya berakhir dengan kesia-siaan. Aku yang pertama memecah keadaan dengan mengembuskan napas lantang.
"Baiklah, baiklah. Jadi, kau ... bukan mau berhenti menjadi idol, tetapi hanya mau mengganti pekerjaanmu saat ini?" Aku berusaha menyusun kata-kata sebaik mungkin. Terdengar sedikit kelegaan dari cara bicaraku barusan. Mungkin karena aku merasa bersyukur Aira tidak menyerah dengan mimpinya sedari kecil untuk menjadi idol.
"Yap! Aku sudah menduga kalau Kazu-kun akan mengerti maksudku, hehe," celetuk Aira sembari menyesap vanila latte yang sedari tadi dia anggurkan di atas meja. Ah, lidah gadis itu masih tidak tahan panas rupanya.
"Kau sudah membicarakan ini dengan manajermu?" tanyaku penasaran. Kalau tebakanku benar, jawaban yang akan dikeluarkannya adalah ....
"Belum. Kazu-kun ... adalah orang pertama yang mengetahui rencanaku ini. Aku juga mau meminta tolong padamu untuk membantuku menjelaskan ini dengan Manager-san nantinya. Boleh, ya?"
Sudah kuduga. Sejak kecil, Aira tidak pernah memiliki keberanian untuk mengatakan hal yang sangat diinginkannya. Padahal gadis itu selalu berkata jujur di setiap hal. Mungkin memang semuanya, kecuali keinginan terpendamnya.
Aku bahkan masih bisa mengingat bagaimana aku yang mengirimkan formulir pendaftaran untuk pelatihan menjadi idol milik Aira dulu. Gadis itu sama sekali tidak berani melakukannya meski dia sudah melewatkan kesempatan pendaftarannya dua kali. Artinya Aira juga tidak akan menjadi idol kalau bukan karena aku yang berinisiatif membantu gadis itu mendaftarkan diri di tahun ketiganya.
Aku menarik napas panjang, berancang-ancang memberikan rentetan nasihat. Namun, pada akhirnya yang keluar dari mulutku hanyalah, "Astaga Aira, kau sudah dua puluh lima, tahun ini. Sudah saatnya kau belajar melakukan hal yang kau inginkan sendiri." Jari jempol dan telunjukku menyentuh dahi yang berkerut, memikirkan bagaimana nasib gadis itu ke depannya.
"A-aku tahu itu!" sahut Aira tidak terima. Wajahnya sedikit merona, sepertinya malu karena kuomeli seperti anak kecil.
Aku menyilangkan tangan dan menatap tajam Aira yang balas menatapku cemas. Wajah memelasnya refleks membuatku membuang muka dan menahan senyum yang hampir terbit.
"Um, sepertinya ... memang tidak bisa, ya?" Mataku melirik Aira yang masih memberiku tatapan penuh harap.
Yah, setidaknya mungkin meminta tolong padaku juga merupakan salah satu bentuk usahanya, 'kan? Kalau pun aku tidak ada, dia pasti akan meminta bantuan pada orang lain.
"Ya ampun, baiklah. Aku akan menemanimu mengatakannya kepada Toyama-san."
***
"Halo semuanya! Selamat datang di livestream Ai kali ini!"
Aira memulai siaran langsung dengan sebuah kibor di atas meja pendeknya. Tema video kali ini adalah karaoke dengan alat musik. Aku menghela napas sembari melihat daftar di buku tulis kecil di tangan kananku.
Kalian tahu apa yang Aira lakukan tepat setelah lulus dari menjadi idol? Merekrutku untuk menjadi menjadi manajer pribadinya. Awalnya aku menolak, tetapi pada akhirnya mengikuti keinginan gadis itu setelah mendengar bayaran yang dia tawarkan padaku, dasar mantan artis.
"Selanjutnya, lagu ini memiliki arti rasa cinta yang tak tergapai. Bukan karena perasaannya tidak terbalas, melainkan karena orang yang dia suka sama sekali tidak menyadari perasaannya sendiri." Aira menjelaskan dengan penuh semangat. Kemudian menatapku sebentar, lalu kembali ke kamera. "Ah, aku menemukannya pertama kali saat aku masih belum menjadi idol, hehe. Sudah lama sekali memang, tetapi lagunya terus membekas di hatiku sampai saat ini. Dan aku juga suka mendengarkan utattemita atau cover lagunya! Utattemita favoritku itu versinya ...."
Aku menaikkan sebelah alis heran. Gadis itu memang biasa berpikir sejenak sebelum memulai trivianya mengenai lagu yang akan dia nyanyikan. Namun, tumben sekali dia menatapku terang-terangan di tengah siaran langsung. Aku memang tidak tertangkap kamera, jadi mungkin para penonton hanya melihat gadis itu menatap sekitar ruangannya secara asal. Apa aku mengingatkannya akan orang yang dia suka? Ada-ada saja anak itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top