Aching Heart - 01
Tengah malam. Waktu milik sang bulan. Suci. Berkilauan. Senyap. Dan selalu menjadi hal yang Yoojin tunggu.
Suara dengung peluit kereta uap menapak rel-rel besi yang bergetar. Berderu-deru menghantarkan gema sampai pada kamar gelap yang kemudian diisi cahaya.
Lampu minyak dihidupkan cepat, secepat kereta melintas di bawah lereng perbukitan. Dari jendela kamar yang berada di lantai dua, Yoojin bisa melihatnya. Selalu. Gerbong kelima setelah kepala, seorang yang suka menghidupkan pemantik tiga kali, dan Yoojin akan membalas dengan cercah cahaya lampu minyak.
Ia menghalau dengan sebuah buku, menepihnya, menciptakan kedip seakan simbol yang sesungguhnya tidak berarti. Tiga kali. Hanya tiga kali yang cukup sebelum gerbong kelima menjauh. Membawa tatapan Yoojin pada figur gelap, tiap malam, tiap tengah malam kereta melintas.
Yoojin tidak pernah tahu siapa atau bagaimana sosok yang selalu menyalakan pemantik untuknya. Dalam gelap dan bayangan hitam panjang dari gerbong-gerbong besi, turunan lereng yang sepi penuh rumput hijau tanpa sesiapa mengisi, Yoojin sangat menyukai tiga cahaya itu sejak musim gugur tahun lalu ketika ia pindah ke pondok ini. Selalu menunggu, hanya untuk melihat dan membalas, kemudian tidur dengan seluruh hatinya merasa hangat.
Ketika pagi datang, Yoohyun akan mengetuk pintu kamarnya seakan takut membangunkan tanpa tahu ternyata Yoojin sudah terjaga sejak fajar tiba. Ia selalu melihat jendela, ingin tahu kapan sekiranya pemilik pemantik itu pergi sebelum kembali pada tengah malam.
"Hyung," Yoohyun membawa nampan berisi sepiring roti lapis dan teh susu. Ada potongan buah persik dibumbuhi madu seemas lentera. "Aku tidak pulang malam ini, kau bisa sendiri?"
"Aku bukan anak-anak." Senyum di bibir Yoojin penuh paksaan, namun juga canggung, dengan sedikit maklum.
Mereka hanya berdua dalam keluarga, tidak ada orang tua. Seluruh pekerjaan memenuhi biaya adalah milik Yoojin setidaknya sampai musim panas kemarin, sebelum ia kecelakaan dan kehilangan fungsi salah satu kakinya sehingga Yoohyun memutuskan untuk pindah.
Kini Yoojin seperti seorang tidak berguna yang mengais perhatian dari sang adik. Ia selalu meyakinkan Yoohyun bahwa tanpa satu kaki pun ia masih bisa bekerja, kedua tangannya sehat dan cekatan. Namun Yoohyun tidak mengizinkan. Ia menarik semua hal yang membuat Yoojin melewati pagar kayu setelah pohon wisteria, apalagi untuk menuruni lereng menuju kota.
"Kau juga tidak harus mengantarkan sarapanku ke kamar, aku juga ingin makan denganmu di meja makan."
"Aku tidak sarapan," Yoohyun menarik gorden, mempersilakan bias hangat masuk dan memberi Yoojin aroma pagi serta embunnya. Namun Yoojin tidak bisa merasakan hangat yang agung itu.
"Aku akan makan di kantin, teman-teman mengajakku."
Yoohyun adik yang baik. Yoojin pernah sekali bersumpah akan melakukan apapun untuk adik yang mahir segalanya kecuali berbohong. Selalu ada sikap yang membuat kebohongannya tercela, baik itu lirikan mata, atau sebuah alasan karena tidak ingin merepotkan. Sebab mereka tidak memiliki banyak uang, tidak pernah.
Dahulu Yoojin melakukan banyak pekerjaan dan membuat mereka bertahan hidup dengan cukup. Namun, sekarang, tidak banyak yang bisa dilakukan Yoohyun sebagai murid sekolah menengah atas untuk mencari uang. Hanya sebuah pekerjaan di sana, sedikit paruh waktu di sini, dan memberi pelajaran tambahan untuk anak-anak di sekitar gereja. Hanya itu dan kemudian ia menghabiskan malam tertidur pulas sebab lelah, sebelum bangun untuk mempersiapkan roti dan teh susu Yoojin.
Tapi bukan hal itu yang membuat Yoojin merasa seluruhnya berat. Bukan karena mereka tidak punya harta, namun waktu untuk bersama. Mereka hanya memiliki satu sama lain tetapi malah harus berjarak demi tetap hidup bersama.
"Kau kembali besok?"
"Malam mungkin..." Yoohyun benar-benar gundah, terlihat dari ia duduk di tepi tempat tidur. "Hyung aku sudah membuat makan malam, tinggal dipanaskan. Bagaimana sarapanmu besok?"
"Yoohyun, aku punya dua tangan untuk memasak. Jangan cemas dan bersenang-senanglah untuk paskah." Sambil menepuk-nepuk pundak adiknya, Yoojin tersenyum lebar. Sekilas tertawa. "Jangan lupa aku yang mengurus rumah sebelum kau belajar segalanya."
"Yaa...." Akhirnya Yoohyun hanya bisa menghela napas dan bangkit. "Kalau begitu aku berangkat, Hyung."
"Hati-hati," Yoojin melambaikan tangan sebelum Yoohyun pergi dan menutup pintu. Senyumnya luntur. Segera melirik pada dua roti yang dipanggang sempurna dan warna coklat muda di gelas keramik bercorak dedaunan. Hal ini tidak jarang, setiap hari malah. Ia makan sendiri di atas kasurnya. Rumah yang sepi di atas bukit, dikelilingi rerumputan hijau dan dinaungi langit biru.
Mungkin Yoojin sebelum musim panas lalu akan semangat bangun lalu memacu cangkul dan membuat kandang domba, berpikir bahwa peternakan sangat potensial untuk hidup enak. Sambil menghambur-hamburkan uang di kota, membeli bahan makanan mahal, dan tidak kekurangan batu bara ketika musim dingin tiba.
Selesai makan, Yoojin turun dari kasur. Memakai sandal bulu murah berwarna kusam dan mengambil tongkatnya.
Jika tahu, Yoohyun pasti marah sekali melihat Yoojin turun ke bawah dengan satu tangan menyanggah tongkat sementara yang satunya memegang nampan berisi peralatan keramik. Tapi Yoojin bisa melakukannya, dengan perlahan, meski ia harus mengangkut satu-satu antara gelas sebelum piring. Dua kali melintasi tangga kayu itu bukan hal berat, apalagi untuk Yoojin yang selalu menjadi Tuan bagi adiknya. Padahal ia bisa membereskan peralatan makannya sendiri sebelum mengintip apa yang ada di bawah tudung saji.
Kini yang ia lakukan hanya duduk, membaca buku yang sebenarnya bukan kesukaannya. Lalu pergi ke gudang dan mengambil beberapa peralatan berkebun sederhana. Yoohyun akan sangat kecewa, tapi tidak masalah selama tidak ketahuan.
Dengan kakinya yang sulit digerakkan dan masih terasa sakit, Yoojin mulai merapihkan kebun mereka. Kebun yang dirawat sepenuhnya oleh Yoohyun setiap dua hari sekali, dan disirami oleh Yoojin setiap pagi dan sore.
Hanya ada beberapa hal tidak istimewa, namun memotong daun-daun mati serta memadatkan tanah bukan hal yang begitu membosankan. Hingga akhirnya Yoojin selesai melakukan semua dan berbaring di teras kayu dengan pakaian penuh keringat.
Kakinya yang dipaksa menekuk dan tegak lurus mulai berdenyut, namun Yoojin perlu melakukan hal lain. Karena itulah ia mengambil sebuah topi dan pergi keluar pagar. Melintasi wisteria yang secara tersirat adalah batas dimana dia boleh pergi sendiri.
Yoojin ingin lebih. Muak menjadi yang harus tertinggal dan bergantung pada sang adik. Merasa bersalah karena Yoohyun tidak bisa melakukan hal selayaknya remaja lain.
Keputusan Yoojin untuk pergi tidak terbilang tepat. Ia melakukan perjalanan jauh. Menuruni lereng, mengelilingi padang rumput-rumput ilalang setinggi pinggang dan masuk ke hutan pinus yang jarang-jarang. Daun-daun itu berguguran, memantulkan hijau yang begitu jernih seakan meminta Yoojin untuk bercermin. Bahwa ia juga jatuh seperti mereka.
Tujuan Yoojin yang merupakan rahasia antara dia dan hutan pinus dan ribuan daun yang gugur, adalah sebuah kolam batu berbentuk bulan. Seperti bulan. Airnya berwarna biru jernih, memekarkan percik-percik cahaya dari langit, seakan ada peri air yang mengganti dan memberkatinya setiap hari. Begitu jernih hingga Yoojin bisa melihat jauh ukiran bintang-bintang di dasar sana.
Hatinya selalu bergemuruh, namun juga tenang. Ada perasaan rindu, nostalgia, takut, sedih, dan bahagia tiap kali bulan yang berada di tengah-tengah ukiran menjadi pusat fokusnya. Yoojin suka berlama-lama di sana. Dengan beberapa buah fig yang ia bawa dari rumah, untuk dimakan sambil memandang. Kadang kumpulan kartu yang dimainkan bersama dedaunan. Hanya sepi berisi kicau-kicau burung entah darimana.
Yoojin tahu waktunya kembali adalah ketika langit berubah keemasan, dengan kontras ungu yang berlawanan namun berbaur sempurna. Dia suka langit sebelum senja, ketika masih ada biru dan awan putih, ketika matahari masih bersinar gagah di langit, namun bulan sudah mengintip dalam pudar malu-malu. Dan dia suka melihatnya dari tepi lereng, beberapa kaki setelah pohon wisteria, sebelum jalan setapak menurun tampak. Ia merasa berada di ujung dunia dan hampir menggenggam emas yang ternoda dengan sangat indah itu. Hampir.
Ketika senja hampir hilang, Yoojin masuk. Menyalakan lilin-lilin dan lampu minyak, mempersiapkan makan malamnya sebelum mengakhiri semua. Ia harus tidur cepat untuk bertemu tengah malam. Selalu seperti itu.
Ia membasuh diri dengan handuk yang dibahasi air hangat. Karena udara begitu sejuk hari ini dan Yoohyun akan sangat panik jika Yoojin yang tidak berdaya jatuh sakit meski hanya demam satu hari.
Sebuah sweater panjang dipakai, Yoojin hendak mengambil sisir di sisi lain kasur, tapi kakinya selip. Rasa sakit yang mengaung tiba-tiba membuatnya jatuh bersama lampu minyak itu. Yoojin mengerang, hampir berteriak ketika api membesar. Entah apa jadinya jika tangan Yoojin tidak mencapai baskom air dan memadamkan api.
Ruangan seketika gelap, namun Yoojin bisa melihat kekacauan apa yang telah disebabkan kedua tangan yang ia bangga-banggakan masih sehat itu.
Beberapa lama Yoojin duduk di sana, bahkan ketika air mengalir sampai pada celana dan sandalnya. Dalam pikirannya hanya ada sebuah lampu ninyak yang pecah, dan tengah malam yang hampir tiba.
Ia tidak bisa pergi ke bawah dengan keadaan gelap. Ia bahkan tidak punya cukup keyakinan bisa menghilangkan bau minyak dari bawah kasurnya, namun Yoojin lebih tidak bisa mengambil risiko kecelakaan dan membuat Yoohyun semakin kesulitan.
Dengan tongkat ia berdiri, menyibak gorden dan membiarkan cahaya bulan itu masuk. Indah sekali dia bersinar dengan terang dan melihat dari singgahsananya, bagaimana seluruh kamar Yoojin, dan kerapuhannya.
"Jangan tersenyum padaku," ingin sekali Yoojin memadamkan cahaya itu jika bukan menjadi satu-satunya hal yang bisa membantunya.
Yoojin menarik sehelai kain dari lemari, melemparnya dengan asal ke tempat dimana lampu itu pecah dan lantai kayu basah. Mengingatkan diri untuk membereskan semuanya esok hari sebelum Yoohyun pulang, juga menguatkan hati untuk siap melewatkan tengah malam kali ini.
Karena dia tidak memiliki apapun yang mampu menjawab tiga cahaya pemantik itu. Yoojin hanya bisa masuk ke selimut, tenggelam hingga kepala, membiarkan gorden terbuka seakan bulan akan menjadi jembatan antara kereta tengah malam dan dirinya.
TBC
31 Mei 2022
SeaglassNst
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top