Part 9
Ini benar-benar aneh dan Harry tak tahu harus berkomentar apa. Pasalnya, saat ini, dia tengah berada di dalam mobil bersama Taylor yang duduk di sampingnya dengan Brian yang berada di pangkuannya. Pemandangan yang sangat aneh menurut Harry. Bagaimana mungkin anaknya sendiri bisa dekat dengan teman lama Harry yang sering membuatnya kesal? Walaupun, Taylor sudah banyak berubah dari dia yang dulu.
Jika dilihat-lihat, Taylor memang sangat berubah. Harry menyadari itu. Kedewasaan membuatnya menjadi terlihat lebih baik dari sebelumnya. Saat sekolah dulu, Taylor adalah seorang gadis kutu buku yang sepertinya tak pernah menyentuh peralatan make up. Di tambah dengan kacamata tebal yang menghiasi mata kucingnya. Begitupun dengan rambut pirang keriting yang dikuncir ke atas dengan sangat rapih, tak jarang juga di kepang.
Tapi, melihat Taylor yang sekarang, siapa yang tak pangling? Dia punya bentuk tubuh seperti model. Rambut pirangnya tak lagi keriting namun, lurus walaupun, Taylor terlihat masih senang mengikat rambutnya. Ikatan rambutnya sekarang tidak serapih dulu. Kali ini benar-benar terlihat sedikit berantakan tapi, membuatnya terlihat lebih natural. Dia mulai memakai make up walaupun, hanya sekedar bedak dan lipgloss. Dia masih sering memakai kacamata tapi, kacamatanya terlihat lebih modis dan tidak setebal kacamatanya dulu. Dia terlihat lebih fresh dan mau tak mau, Harry mengakui seberapa cantiknya gadis menyebalkan itu.
"...ten little Indian boys!"
Harry melirik sekilas ke arah Brian dan Taylor yang menyanyikan lagu anak-anak itu dengan sangat ceria. Brian bersorak senang dan Taylor menatap Brian dengan tatapan kagum yang amat kentara dari mata kucing indahnya itu.
Kemudian, Harry benar-benar merasa tak dianggap oleh kedua orang yang masih asyik bercerita tanpa memperdulikan Harry yang tengah menyetir. Hari ini, Harry sudah berjanji akan mengajak Brian ke taman bermain dan secara mengejutkan, Brian memaksa Harry untuk mengizinkannya mengundang Miss. Swift untuk ikut bersama mereka. Harry paling tak bisa menolak permintaan Brian.
"Daddy!"
Perhatian Harry teralihkan sekilas saat Brian memanggilnya. Harry menoleh sekilas sebelum fokus kembali menyetir namun, bibirnya bergerak, "Apa?"
"Apa aku boleh membeli es krim di sana?" tanya Brian, lembut. Senyuman tipis muncul di bibir Harry. "Tentu saja boleh. Untuk sekarang, biarkan aku fokus menyetir dulu, Brian. Kau bisa meneruskan obrolanmu dengan Miss. Swift-mu itu." Brian mengangguk patuh dan sebenarnya, Harry tak benar-benar serius akan ucapannya tersebut.
Harry juga ingin di ajak bicara banyak seperti saat Brian mengajak Taylor bicara.
*****
Untungnya taman bermain itu tidak begitu ramai. Sesampainya di sana, Brian langsung berlari menarik tangan Taylor menuju ke tempat bermain anak-anak. Harry dengan pasrah mengikuti dari belakang. Sesampainya di tempat bermain, Brian melepaskan genggamannya dari Taylor dan segera berjalan menuju ke papan luncur. Brian memanjat tangga dengan lihai sebelum meluncur di papan tersebut dengan sangat ceria.
Taylor mengamati Brian dengan senyuman lebar di bibirnya. Harry berdiri tepat di samping Taylor. Harry memasukkan tangannya di saku celana bahan yang dia kenakan. "Aku sebenarnya tak mau mengatakan ini tapi, kau benar-benar membuatku jauh dari anakku."
"Benarkah? Aku terkesan. Terima kasih kembali." Harry mengernyitkan dahi saat mendengar jawaban dari Taylor tersebut. Harry menatap gadis yang berdiri di sampingnya dengan heran. "Terima kasih kembali? Apa maksudmu?"
"Seharusnya kau bersyukur karena Brian dekat denganku, dia tak akan banyak merengek denganmu seperti dulu. Kau bisa fokus pada pekerjaanmu, tanpa harus pusing-pusing mengurus Brian. Bukankah itu yang kau inginkan sejak dulu?" Harry diam mendengar ucapan Taylor.
Perlahan, Taylor menoleh dan menatap Harry dengan tatapan lembutnya. "Brian bercerita banyak tentangmu kepadaku. Aku selalu menemaninya menunggu jemputan tiap hari. Kau keterlaluan, Harry. Benar-benar keterlaluan." Taylor menahan nafas sebelum kembali berkata, "Dia tak tahu siapa Ibu kandungnya dan dia tumbuh dengan perhatian yang sangat minim dari ayah kandungnya. Dia masih kecil. Dia sangat butuh perhatian dan kasih sayang dari kedua orangtuanya."
Harry menundukkan kepala. "Aku berusaha memberikan perhatian yang cukup kepadanya."
"Baru akhir-akhir ini, kan? Setelah kau sadar jika secara perlahan, Brian mulai tidak memperdulikanmu lagi. Ya, memang benar jika ada yang mengatakan bahwa kau baru benar-benar membutuhkan cahaya saat semuanya gelap. Penyesalan selalu datang di akhir." Taylor melipat tangan di depan dada, matanya kembali fokus menatap Brian.
"Mungkin kau benar tapi, aku masih punya kesempatan untuk mendapatkan perhatian anakku kembali." Harry berujar tegas. Taylor tersenyum tipis. "Selalu ada kesempatan kedua untuk siapapun yang bersungguh-sungguh. Kuharap, kau serius dengan ucapanmu. Kau harus tahu seberapa spesialnya Brian. Dia benar-benar spesial. Aku tak mampu mengungkapkan seberapa spesialnya dia dengan kata-kata."
Harry masih menatap Taylor dengan tak percaya. Harry merasa benar-benar aneh saat ini. Bagaimana mungkin seorang Taylor Swift terlihat sangat menyayangi anak dari orang yang dulu sering diberi hukuman olehnya? Dan bagaimana mungkin Brian sangat menyayangi seseorang yang bahkan baru dikenalnya selama beberapa bulan belakangan?
"Aku tak mengerti, kenapa kau sangat peduli pada anakku? Bukankah kau membenciku dulu?" Harry menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. Taylor terkekeh. "Harold Edward Styles, aku tak pernah membencimu! Sekalipun aku membencimu, kenapa aku harus melampiaskan kebencianku kepada anakmu yang sama sekali tak bersalah? Kupikir, seorang CEO dari Styles Enterprise adalah seseorang yang cerdas tapi, kau masih saja seperti Harry yang dulu. Bodoh."
Harry terkekeh. "Well, terima kasih atas pujianmu, Miss. Swift."
Taylor menyeringai. "Sama-sama, Mr. Styles."
Kemudian, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing dengan tatapan fokus kepada Brian yang masih asyik bermain.
*****
Harry menggendong Brian di punggungnya sementara, Taylor berjalan di samping ke duanya. Mereka bertiga terlibat percakapan seru yang sesekali membuat ketiganya tertawa sampai akhirnya, Brian bersorak senang seraya menunjuk ke arah sebuah mobil penjual es krim keliling yang berada tak jauh dari mereka.
"Dad, es krim!"
Harry terkekeh dan menganggukkan kepala. "Baiklah! Ayo, kita berburu es krim!" Kemudian, Harry berjalan menuju ke tukang es krim itu dengan bersemangat. Taylor mengikuti dari belakang dengan senyuman yang tak pernah pudar dari bibirnya. Rasanya sangat menyenangkan melihat ayah dan anak yang satu ini.
"Selamat sore. Ada yang bisa kami bantu?" Penjual es krim itu menyapa dengan ramah. Sesekali matanya melirik ke arah Harry, Taylor dan Brian secara bergantian. "Wah, sepertinya kalian baru saja melakukan kegiatan yang menyenangkan." Ujar si penjual es krim lagi. Brian mengangguk antusias. "Tentu saja! Ah, ya, aku ingin es krim vanila dengan topping stroberi!"
Penjual es krim itu mengangguk. "Hanya satu? Apa Dad dan Mom tidak ingin es krim?"
Dad dan Mom. Harry dan Taylor sama-sama terdiam mendengar ucapan itu. Apa? Dad dan Mom? Harry dan Taylor? Yang benar saja?
"Ya! Dad dan Mom juga es krim yang sama denganku!" Belum sempat Harry dan Taylor berkomentar, Brian sudah menjawab pertanyaan penjual es krim itu dengan ceria. Sepertinya, Brian sangat senang menyebut Dad dan Mom dalam hal ini.
"Baiklah. Tiga cone es krim vanila dengan topping stroberi akan segera dibuat untuk keluarga kecil bahagia ini. Harap tunggu sebentar." Penjual itu berbalik dan tampak mulai menyiapkan es krim untuk ketiganya.
Saat itu pula, Harry menurunkan Brian dari punggungnya dan memicingkan mata kepada Brian. "Apa-apaan tadi? Siapa yang kau sebut dengan Dad dan Mom?" Harry berbicara dengan nada pelan. Brian terdiam sejenak sebelum menggembungkan pipinya sambil berkata, "Memangnya kenapa? Aku tidak nakal."
Taylor hanya diam mendengar pembicaraan Harry dan Brian tersebut. Sebenarnya Taylor juga merasa aneh saat Brian mengakuinya sebagai Mom tadi, di tambah lagi si penjual mengatakan jika mereka adalah keluarga kecil bahagia. Sangat terdengar lucu.
"Kau memang tidak nakal. Tapi, bukankah aku mengajarimu untuk tidak menjadi pembohong? Apa yang baru saja kau katakan pada penjual es krim itu jelas-jelas kebohongan! Taylor—maksudku, Miss. Swift bukanlah Mom-mu. Dia gurumu!" Harry menjelaskan. Brian diam. "Tapi, aku senang memanggil Miss. Swift dengan sebutan Mom."
"Dia bukan Mom-mu, Brian!"
"Cukup!" Taylor menghentikan pertengkaran ayah dan anak tersebut. Harry baru saja membentak Brian dan mata Brian tampak berkaca-kaca. Taylor menghampiri Brian dan menatap Brian lekat dengan tatapan keibuan. Benar saja, air mata ke luar dari pelupuk mata Brian.
"Hei, hei, jangan menangis. Har—maksudku, Dad tidak bermaksud kasar padamu. Tidak, kau tidak bersalah sama sekali. Aku..." Taylor menggigit bibir bawahnya saat mendapati tatapan penuh harap Brian. Brian sangat berharap Taylor mau membelanya.
Taylor menarik nafas dan menghelanya sebelum meraih Brian ke dalam pelukan hangatnya. "Yeah, kau bisa memanggilku 'Mom' atau apapun yang kau inginkan di luar sekolah. Tapi, ingat, di sekolah, kau harus tetap memanggilku Miss. Swift." Brian tersenyum sumringah dan balas memeluk Taylor.
"Aku menyayangimu, Mom."
Taylor terdiam mendengar ucapan tersebut. Harry masih diam memperhatikan Taylor dan Brian. Sungguh, Harry tak mengerti apa yang telah dilakukan Taylor dan putranya, sehingga sang putra malah terlihat lebih dekat dengan Taylor dibandingkan dengannya.
"Aku juga menyayangimu, Bree."
Harry dapat merasakan ketulusan dari ucapan Taylor tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top