Part 8
"Zayn...kau serius?"
Taylor menatap lukisan yang Zayn tunjukkan kepadanya. Zayn terkekeh sebelum melihat ke arah lukisan yang dipegang olehnya. Itu adalah lukisan Taylor dan Zayn yang entah bagaimana mungkin bisa Zayn gambar. Di lukisan itu, tampak keduanya dari sisi samping yang tengah berhadapan dengan hidung yang sudah saling menyentuh.
"Sebagai hadiah untuk hari jadi kita yang ke satu tahun, hari ini. Aku sudah membuat lukisan ini selama dua minggu belakangan. Kau tahu sendiri, aku pelukis naturalis jadi, melukis sesuatu seperti ini benar-benar membutuhkan banyak waktu untukku." Zayn meletakkan lukisan itu di atas meja yang ada di sampingnya.
Tak lama setelah Zayn meletakkan lukisan itu, secara mengejutkan, Taylor memeluk Zayn erat sambil berkata, "Terima kasih banyak. Kau yang terbaik. Kau harus tahu itu!" Zayn terkekeh seraya balas memeluk Taylor erat. "Akulah yang seharusnya berterima kasih. Kau adalah cahaya di hidupku. Aku tak yakin apakah aku masih bisa hidup tanpa dirimu."
Taylor melepaskan pelukannya dan menatap kembali ke arah lukisan tersebut. Senyuman mengembang di bibirnya. "Aku akan memajang lukisan itu di apartmentku dengan baik. Nanti, lukisan itu akan menjadi bukti tentang bakat Ayah dari anak-anakku kelak." Zayn ikut tersenyum. "Aku sangat terkesan dengan ucapanmu, Mrs. Malik."
Taylor terkekeh. "Miss. Swift, koreksi. Nama belakangku masih Swift sampai detik ini, setahuku."
"Kalau begitu, kau harus bersiap-siap melepaskan nama Swift itu dan terbiasa menggunakan nama Malik di belakang namamu."
*****
Meninggalkan Chesire selama hampir lima hari benar-benar membuat Taylor merindukan tempat tinggalnya. Padahal hanya lima hari tapi, rasanya sudah sangat lama sekali Taylor meninggalkan Chesire.
Pesawat yang Taylor tumpangi mendarat dengan sempurna di bandara. Taylor pulang ke Chesire seorang diri. Zayn masih harus mengerjakan beberapa pekerjaan di London. Lagipula, kemungkinan besar, Zayn memang akan tinggal di London. Itu berarti, Taylor dan Zayn harus menjalin hubungan jarak jauh.
Taylor berjalan ke luar dari bandara dengan tas ransel yang ada di punggungnya. Taylor tak membawa banyak barang saat ke London. Taylor hanya membawa beberapa helai pakaian di tas ransel merahnya tersebut.
Taylor menghentikan langkahnya tepat di mana banyak kendaraan penjemput berkumpul. Taylor meraih ponsel dan membaca ulang pesan yang Zayn kirimkan kepadanya beberapa jam lalu, sebelum Taylor berangkat ke bandara. Ya, Zayn juga tak mengantar Taylor ke bandara. Pemuda tampan itu harus berangkat pagi-pagi sekali.
Aku sudah meminta supirku untuk mengantarmu pulang saat kau sampai di Chesire. Range Rover hitam.
Taylor memutar bola matanya. Bagaimana mungkin Zayn mengiriminya pesan seperti ini? Range Rover hitam? Hanya itu? Di sana bahkan hampir di dominasi oleh mobil Range Rover hitam. Lantas, yang mana mobil yang Zayn maksud?
Mata Taylor menatap satu per satu mobil itu sebelum akhirnya, mendapati sebuah mobil Range Rover hitam berjalan ke arahnya dan berhenti tepat di hadapannya. Taylor tersenyum lebar.
Tapi, senyuman itu lenyap seketika saat melihat siapa yang ada di bangku kemudi mobil itu.
"Harry? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Taylor heran. Bagaimana mungkin dia menjadi sering bertemu dengan Harry akhir-akhir ini? Bagaimana mungkin bisa?
Harry memasang seringaian khasnya. "Butuh tumpangan, Miss. Swift?" Harry mengangkat satu alisnya. Taylor diam sejenak sebelum menggeleng. "Tidak, terima kasih. Zayn sudah mengirimkan jemputan untukku."
"Oh, ya, mana jemputan itu? Mau kutemani menunggunya?" tanya Harry. Taylor memicingkan mata. "Kenapa kau menjadi baik kepadaku?" Taylor balas bertanya, dengan nada curiga. Harry terkekeh. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin kita menjadi teman akrab. Sepertinya menyenangkan."
Taylor tersenyum sinis. "Berteman? Yang benar saja. Kau pasti mabuk."
Harry memutar bola matanya. "Aku tak mengerti denganmu. Aku ingin menolongmu, niatku baik dan kau mengatakan jika aku mabuk?" Taylor terkekeh. "Hanya bercanda, Styles. Maaf, maaf. Terima kasih atas niat baikmu tapi, aku bisa sendiri."
"Bagaimana jika aku menawarkan Starbucks? Apa kau ingin menerima bantuanku?" Harry kembali menawarkan. Taylor mengangkat satu alisnya, ingin tertawa. Harry memasang seringaian khasnya. "Large?" Harry menganggukkan kepalanya. "Terserah. Aku yang akan membayar semua pesananmu. Ayo!"
Harry berjalan masuk kembali ke dalam mobilnya dan Taylor mengikuti dengan senyuman lebar di bibirnya.
Sepertinya hampir semua orang tahu jika Taylor memang tak bisa menahan diri dari Starbucks.
*****
"Jadi, apa yang membuatmu kembali ke Chesire secepat itu?" Taylor membuka percakapan antara dia dan Harry, setelah kopi milik mereka masing-masing datang. Harry mengernyitkan dahinya. "Memangnya kenapa jika aku kembali ke Chesire? Setahuku, tak ada larangan sama sekali."
Taylor memutar bola matanya. "Bukan itu maksudku, Bodoh! Maksudku, apa kau tidak ada pekerjaan di London? Bree bercerita kepadaku jika kau sangat sibuk di London dan jarang sekali kembali ke Chesire. Aku terkejut melihatmu lagi di Chesire. Kupikir, aku akan melihatmu lagi di Chesire satu bulan lagi."
"Kau membayangkan akan bertemu denganku satu bulan lagi?" Harry mengangkat satu alisnya seraya menyandarkan punggung pada sandaran sofa. Tangan Harry terlipat di depan dada. Matanya menatap Taylor, menggoda. Taylor berdecak. "Terserah, Styles. Tingkat percaya dirimu yang sangat tinggi itu belum juga berubah sampai detik ini."
"Tak banyak yang berubah dariku, Taylor. Mungkin aku terlihat lebih pria saat ini." Harry memasang wajah bangga akan dirinya sendiri. Taylor terkekeh. "Lebih pria? Bisa kau jelaskan, apa maksud ucapanmu sendiri? Aku tak melihat banyak perubahan darimu."
"Aku dua puluh lima tahun sekarang. Apa kau buta atau ada sesuatu yang buruk terjadi pada matamu? Maksudku, lihat saja sekelilingmu. Hampir beberapa gadis menoleh dan memasang wajah kagum sambil melihatku. Harusnya kau bangga bisa satu meja denganku." Taylor tertawa sinis. "Terserah, Styles. Terserah."
Harry terkikik geli. "Setelah ini, kau harus ikut ke rumahku, sebentar saja. Kemudian, aku akan mengantar ke apartmentmu." Taylor membulatkan mata. "Apa? Ke rumahmu? Yang benar saja. Untuk apa aku ke sana?" tanya Taylor heran.
"Aku sudah berjanji kepada Brian untuk membawamu ke rumah hari ini."
*****
"...dan akhirnya, Serigala itu mati atas kebodohannya sendiri. Induk Sapi berhasil melarikan diri dan hidup bahagia bersama anak-anaknya di hutan, tanpa ada ancaman dari Serigala. Selesai."
Taylor menutup buku bacaan yang ada di tangannya. Mata Taylor beralih kepada bocah laki-laki berusia 4 tahun yang tengah duduk di atas ranjang dengan wajah antusiasnya. Taylor tersenyum. "Bagaimana ceritanya? Kau suka?" tanya Taylor, meletakkan buku bacaan itu di atas meja yang ada di samping ranjang.
Brian mengangguk. "Aku suka tapi, aku lebih suka mendengar cerita Catastrophe! Tapi, tak apa. Aku senang Miss. Swift ada di sini, membacakan dongeng untukku!" Taylor terkekeh. Tangan Taylor bergerak, mengelus puncak kepala Brian dengan lembut.
"Aku akan lebih sering membacakan dongeng untukmu asalkan kau tidak marah lagi pada Daddy. Apa kau tak kasihan dengannya? Dia berangkat dari London ke Chesire hanya untuk bertemu denganmu tapi, kau mengabaikannya hanya karena dia lupa membawa mainan untukmu. Seharusnya, kau berterima kasih padanya." Brian mengangguk dengan bibirnya yang mengerucut. Benar-benar menggemaskan.
"Oh, ya, apa Miss. Swift sibuk besok?" tanya Brian tiba-tiba. Matanya tampak berbinar. Selalu berbinar. Taylor sangat menyukai mata Brian, mirip dengan mata Harry. Indah.
Taylor mengangguk. "Tentu saja. Bukankah besok kau juga masih harus sekolah? Aku akan masuk sekolah besok." Taylor menjawab lembut. Tangannya masih mengelus puncak kepala Brian.
"Setelah pulang sekolah?" tanya Brian lagi.
Taylor berpikir sejenak. "Sepertinya tak ada pekerjaan lain yang harus kuselesaikan. Ada apa, Bree?" tanya Taylor ke intinya. Brian kembali tersenyum lebar. "Dad mengajakku ke taman bermain besok. Bagaimana jika Miss. Swift ikut dengan kami?"
Taylor terkekeh. "Come on, aku tak mau menganggu acara ayah dan anak. Kalian lebih baik bersenang-senang hanya berdua. Nikmati waktu bersama."
"Aku ingin Miss. Swift ikut juga," Brian cemberut. Taylor diam, menatap Brian dengan bingung. Taylor tak tahu apa yang sudah dia lakukan. Pasalnya, Harry benar. Brian menjadi benar-benar lengket dengannya dan herannya, Taylor sama sekali tak keberatan dengan tingkah Brian itu.
Taylor sudah menganggap Brian seperti anaknya sendiri.
Anak? Yang benar saja. Menikah saja belum. Tapi, apa salah jika Taylor menganggap Brian seperti anaknya sendiri? Anggap saja sebagai latihan sebelum menjadi Ibu yang sebenarnya.
"Miss. Swift? Bagaimana? Kau mau, kan? Daddy yang akan membayar semuanya!" Brian memasang wajah memolos yang lagi-lagi membuat Taylor mati-matian berjuang untuk tidak mencubiti pipi tembam Brian tersebut.
Taylor menarik nafas dan tersenyum tipis sebelum menganggukkan kepala. Senyuman Brian mengembang lebih lebar dan secara mengejutkan, bocah laki-laki itu berhambur memeluk Taylor sambil bersorak senang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top