Part 33

Harry menginap kembali semalam di apartment Taylor. Paginya, dia pulang dan sudah mendapati Brian yang menyambut kedatangannya dengan pipi yang mengembang. Harry menghampiri Brian dan berjongkok di hadapan putranya tersebut.

"Hei, jagoan. Sudah bangun? Kupikir, kau belum bangun." Harry meletakkan tangannya di puncak kepala Brian. Brian melipat tangan di depan dada, tanpa mengubah ekspresi wajah marahnya yang benar-benar menggemaskan.

"Daddy pergi ke mana saja, sih?" Brian bertanya kesal.

Harry terkekeh. Dia benar-benar ingin tertawa melihat Brian yang seperti ini. Menggemaskan. Harry sangat menyayangi Brian dan tiap kali melihat Brian, Harry selalu bersyukur pada Tuhan, telah mengirimkan malaikat kecil untuknya.

"Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan. Hei, apa kau sudah sarapan?" Walaupun tengah mengambek, Brian masih sempat menggeleng, merespon pertanyaan sang ayah.

"Kemarin, Grandma berjanji akan membuatkanku bubur ayam tapi, dia lupa. Aku tidak mau sarapan dengan bacon lagi." Brian menjelaskan.

Harry kembali terkekeh sebelum mengangguk mengerti. "Tunggu sebentar, okay?" ujar Harry sebelum merogoh saku celananya dan tampak mengetik sesuatu. Brian masih berdiri, menunggu apa yang akan Ayahnya kerjakan.

Tak beberapa saat kemudian, Harry memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya sebelum bertanya, "Mau sarapan di luar?"

Brian mengangguk pasrah.

Kemudian, Harry bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Brian. Brian meraih uluran tangan tersebut. Keduanya berjalan ke luar rumah, setelah berpamitan kepada Anne, yang tampak tengah menata tanaman hiasnya di halaman depan.

Harry mengendarai mobilnya menjauhi kediamannnya. Dalam perjalanan, Brian tak bisa berhenti bertanya, di mana mereka akan sarapan namun, Harry hanya diam tak menjawab, hingga akhirnya, mobil Harry berhenti tepat di tempat yang sangat Brian kenali.

"Miss. Swift!" Brian bersorak senang sebelum buru-buru membuka sabuk pengamannya. Harry terkekeh mendengar sorak senang Brian sebelum ikut membuka sabuk pengaman dan ke luar dari mobil terlebih dahulu, membukakan pintu untuk Brian.

Hari ini hari Minggu, Taman Kanak-kanak tentu saja libur. Jadi, Harry sudah dapat menyangka, Brian pasti akan senang jika menghabiskan hari Minggunya bersama dengan Taylor Swift, guru kesukaannya.

Baru ke luar dari mobil, Brian segera melongos berlari memasuki gedung apartment. Sudah beberapa kali Brian berkunjung jadi, Brian pasti sangat menghafal jalan menuju apartment Taylor. Harry hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala sambil terkekeh.

Brian dan Harry sampai tepat di depan pintu apartment Taylor. Harry menggendong Brian untuk dapat mencapai bel dan membunyikannya. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Taylor tampak tersenyum sumringah menyambut Harry dan Brian.

"Bree!"

"Miss. Swift!"

Keduanya berpelukan seakan-akan tidak bertemu setelah sekian lamanya. Padahal, mereka baru bertemu kemarin.

"Aku membuatkan bubur ayam untukmu. Daddy-mu bilang, kau ingin bubur ayam, kan?" tanya Taylor, menyetarakan tingginya dengan tinggi Brian.

Brian mengangguk antusias. "Jangan lupakan sosisnya juga!" Brian menambahkan.

Taylor terkekeh dan mengangguk. "Tenang. Aku sudah menyiapkan semuanya untukmu. Ayo, masuk, Bree, Harry!"

Taylor mempersilahkan dua tamunya untuk masuk, menuju ke meja makan. Taylor sudah menghidangkan tiga mangkuk bubur ayam untuk dia, Harry dan Brian. Harry mengernyitkan dahinya menatap Taylor.

"Kupikir, kau hanya akan menyiapkan untuk Brian." Ujar Harry.

"Dan membiarkanmu kelaparan? Aku tidak setega itu, Styles." Taylor memberikan sendok kepada Harry dan Brian. Mereka pun mulai sarapan bersama, bertiga, selayaknya sebuah keluarga.

Selesai sarapan, Taylor menunjukkan sebuah gambar kepada Brian dan meminta Brian untuk mewarnai gambar itu, sementara dia dan Harry berbicara, tak jauh dari tempat Brian berada.

"Jadi, bagaimana?" tanya Taylor, membuka percakapan. Matanya menatap ke arah Harry, yang berdiri di sampingnya. Mereka mengobrol di balkon.

"Bagaimana apa?" Harry balik bertanya, tak mengerti.

Taylor menarik nafas dan menghelanya perlahan sebelum menjawab, "Pernikahanmu. Dengan Bianca. Apa kau sudah mempersiapkan segalanya?"

Harry mengernyit heran. "Pernikahan apa? Aku mana mau menikah dengannya, setelah apa yang dia lakukan." Harry menjawab dengan sedikit kesal. Setiap mendengar nama Bianca disebut, entah kenapa emosi Harry selalu meninggi.

"Pertimbangkan baik-baik, Harry. Maksudku, Bianca adalah Ibu kandung Brian. Brian pasti akan senang jika dia tahu kalau dia akan memiliki Ibu." Taylor berkata, menundukkan kepala sambil tersenyum tipis.

Harry memejamkan matanya. "Aku tidak akan menikahi wanita seperti Bianca."

"Ini bukan tentangmu, Harry. Tapi tentang Brian. Kebahagiaan Brian ada di tanganmu. Dia pasti akan sangat senang mendapatkan seorang Ibu. Apalagi Ibu secantik Bianca." Taylor menghela nafas, lagi.

Harry yang sudah membuka kembali matanya, mengernyitkan dahi. "Aku tak mengerti, Taylor. Kau bahkan berkata akan membantuku menghadapi Bianca, untuk tetap mempertahankan Brian bersamaku. Tapi, kenapa tiba-tiba kau berkata seperti ini? Kau memintaku menikahi Bianca? Apa Bianca telah mengancammu?"

Taylor menggeleng, menatap lurus ke depan. "Tidak, Bianca tidak sama sekali mengancamku."

"Lalu, kenapa? Kau ingin menyerah membantuku? Kupikir, kau akan mau berjuang bersamaku." Suara Harry sedikit lebih pelan.

Taylor menoleh kepadanya. "Harry, aku hanya memberimu saran dan menurutku, ini saran yang terbaik. Aku tumbuh bersama Bianca. Aku tahu seperti apa wataknya. Aku yakin, dia pasti mau bekerja keras, belajar untuk menjadi Ibu yang baik untuk Brian dan istri yang baik untukmu."

Hening. Harry dan Taylor saling bertatapan sebelum Harry memejamkan matanya sekilas. Harry memalingkan tatapannya ke lain arah sambil berkata, "I want it to be you, not her."

Taylor menahan nafas dan menggeleng. "Harry, cukup main-main. Aku serius sekarang. Jangan menggodaku di saat serius seperti ini."

"Aku tidak menggodamu, Taylor. Aku berkata apa adanya. Jika aku disuruh untuk memilih, aku akan jauh lebih memilih kau daripada Bianca. Tidak, kau bukan pilihan. Aku serius. Aku benar-benar ingin kau menjadi Ibu Brian dan istriku. Aku serius. Sangat serius." Harry menatap Taylor dalam.

Taylor terdiam sebelum kembali menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa, Harry. Sudahlah. Terima saranku. Menikahlah dengan Bianca, hidup bahagia dengannya."

Harry menggeleng. "Taylor, kau tahu sendiri, pernikahan hanya akan terjadi saat dua orang yang saling mencintai, mau mengikat komitmen untuk hidup bersama, sampai akhir hayat. Aku dan Bianca, kami tidak saling mencintai."

Taylor mengernyit. "Apa kau pikir kau dan aku saling mencintai?" tanya Taylor. Harry tergugu selama beberapa saat sebelum menjawab, "Kau mencintaiku, aku juga mencintaimu. Sejak lama. Bukankah itu sudah jelas?"

Taylor mengangguk. "Ya, aku memang mencintaimu sejak lama."

"Lalu, apa yang salah dengan pernikahan di antara kita?" tanya Harry.

Taylor memejamkan mata dan menjawab, "Yang salah adalah pikiranmu. Sejak lama aku mencintaimu dan sejak lama pula aku telah memutuskan untuk berhenti berharap padamu."

"Kau...menolakku?" Harry memasang wajah tak percaya. Harry yakin seratus persen, perasaan Taylor kepadanya sejak dulu hingga sekarang sama sekali tak berubah. Namun, saat Harry berusaha meyakinkan jika ada kesempatan untuk mereka bersama, Taylor menolaknya?

"Ya." Taylor menahan nafas sebelum kembali melanjutkan, "Aku tak akan pernah menerimamu lagi."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top