Part 29

Harry baru saja mengantar Brian ke Taman Kanak-kanak saat Bianca kembali menghubunginya dan mengajaknya bertemu di tempat di mana mereka bertemu sebelumnnya.

Di sinilah Harry sekarang. Duduk menunggu Bianca, di restoran yang menjadi tempat mereka bertemu di hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan Zayn dan Taylor.

Sekitar lima menit setelah Harry sampai, barulah Bianca datang. Mengenakan tudung dan kacamata hitam, seakan menyamatkan identitasnya.

Bianca langsung duduk di hadapan Harry, tanpa menyapa terlebih dahulu dan sebagainya.

"Apa lagi? Aku tak mau berurusan denganmu lagi, Bianca." Harry berujar dingin, memicingkan matanya kepada Bianca. Bianca melepaskan kacamata yang dia kenakan dan meletakkannya di atas meja. "Kau pikir aku mau berurusan lagi denganmu kalau bukan karena hal penting? Ini penting. Sangat penting."

Harry berdecak. "Penting untukmu, tidak penting untukku."

Bianca menaikkan alisnya. "Ini penting, Styles! Apa kau tahu jika aku di pecat dari agensiku karena anak itu?! Mereka tak pernah menginginkan model yang sudah memiliki anak! Ditambah lagi, pacarku mengakhiri hubunganku dan dia lewat telepon karena anak itu!"

Harry memicingkan matanya. "Jadi, kau menyalahkan putraku atas segalanya?! Astaga, Bianca! Harusnya kau tahu, semua ini bukan salahnya! Ini hukuman dari Tuhan untukmu, sebagai seorang Ibu yang tidak bertanggung jawab!"

Bianca melotot. "Tidak bertanggung jawab katamu?! Kau yang memintaku pergi setelah aku memberikan dia padamu! Kau yang memintaku menjauhi dia! Sekarang, kau menyalahkanku dan nenuduhku sebagai Ibu tak bertanggung jawab? Yang benar saja, Styles!"

"Aku memintamu menjauhinya karena aku tahu apa yang akan kau lakukan! Kau tidak akan pernah bisa menjadi Ibu yang baik untuknya. Walaupun, aku memintamu menjauh darinya, apa tak pernah sedetik pun teelintas di benakmu untuk menjenguknya? Barang sekali dua kali? Tak pernah, kan? Okay. Masalah selesai." Harry menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.

"Aku dan kau. Kita sudah membuat perjanjian setelah kau menyerahkan Brian sepenuhnya kepadaku. Kau akan menjauh dari hidupku dan Brian. Jadi, kalaupun semuanya terbongkar oleh publik, tanggunglah sendiri jika itu merugikanmu. Selagi berita itu tidak merugikanku atau Brian, aku tak mau angkat bicara." Harry berkata tegas.

Bianca menggeram kesal. "Ini semua karenamu, Bodoh! Kalau semuanya tidak terbongkar, aku pasti tidak akan menemuimu lagi! Seharusnya kau bosa menjaga semua berkas anak itu dengan baik!"

"Anak itu punya nama, Bianca. Brian. Brian Styles dan malangnya, anak itu adalah darah dagingmu sendiri." Harry menyindir. Bianca tersenyim sinis. "Aku tak peduli, siapapun namanya. Yang jelas, kau harus membantuku menyelesaikan semuanya."

Harry mengangkat satu alisnya. "Tidak, aku tidak akan membantumu. Aku tidak peduli, okay? Kita sudah membuat kesepakatan untuk tidak ikut campur dalam hidup masing-masing jadi, apapun yang terjadi padamu, aku tak akan ikut campur." Harry bangkit dari kursinya. Matanya menatap lekat ke arah Bianca.

"Permisi."

Harry melongos pergi meninggalkan Bianca yang menggeram kesal.

*****

:"Selamat datang kembali, Miss. Catastrophe!"

Taylor terkekeh saat mendapat sambutan itu dari rekan kerja sekaligus sahabatnya, Kelly, Grace dan Ellen. Mereka terlihat sangat senang bisa melihat Taylor kembali karena memang mereka dekat. Tentunya ada yang berbeda jika ada satu di antara mereka yang tidak hadir.

"Penyambutan macam apa ini? Seharusnya kau membawa cake untukku atau membuat spanduk bertuliskan: Welcome back, Taylor Swift dengan huruf berwarna emas atau hei! Di mana confetti dan juga terompetnya?" Taylor meletakkan tas di atas meja kerjanya.

Ketiga sahabatnya berdecak bersamaan. Ellen memukul meja Taylor dengan kasar, menimbulkan bunyi keras dan membuat Taylor tertawa keras. Sedikit berakting marah, Ellen berkata, "Apa yang membuatmu kembali, Swift?! Kupikir, kau sudah dikirim ke neraka oleh Tuhan!"

Taylor memutar bola matanya. "Lalu, apa yang kau lakukan di sini, Nona penghuni neraka?"

Ellen ikut tertawa. Kelly melipat tangan di depan dada. "Syukurlah kau kembali. Jadi, aku tak perlu lagi mondar-mandir dari kelasku ke kelasmu secara bergantian. Lagipula, anak-anak di kelasmu tampak tak terlalu menyukaiku, apalagi anak Mr. Styles itu. Tanpa henti dia bertanya kapan kau kembali, membuatku kesal setengah mati walaupun, memang dia yang paling mudah menangkap pelajaran." Gerutu Kelly.

Taylor terkekeh. "Maksudmu Brian? Well, dia murid kesukaanku."

Kelly tertawa sinis. "Ya, terserah, Swift. Aku kesal dengannya. Dia sangat menyebalkan. Murid kelasmu sangat menyebalkan. Semuanya cengeng. Aku tak tahan berlama-lama di sana." tambah Kelly. Taylor tersenyum. "Tenang saja. Kemarin adalah hari terakhir kau mengajar di kelasku. Lagipula, ya, mana mungkin kau bisa mengajar kelasku. Mereka belum terbiasa dengan guru lain selain aku. Apalagi guru galak sepertimu."

Kelly memutar bola matanya. "Terserah."

*****

Taylor, Ellen, dan Grace tertawa.

Harry tak tahu apa yang dia lakukan. Hanya diam saja di dalam mobil yang sengaja dia parkir di tepi jalan. Sudah beberapa jam dia berada di sana, sampai akhirnya dia mengingat sesuatu.

Tentu saja. Harry harus menjemput sang putra di Taman Kanak-kanak. Dengan cepat, Harry mengendarai mobilnya nenuju ke Grundel's Kindergarten. Cemas, mengingat Brian bilang, semenjak Taylor belum juga mengajar, Brian selaku menunggu jemputan seorang diri.

Sesampainya di sana, Harry bernafas lega saat melihaf Brian yang duduk menunggu di pos keamanan, bersama seorang gadis berambut pirang yang sudah sangat Harry kenali. Mereka tampak mengobrol, Brian sangat bersemangat.

Harry memarkirkan mobil sebelum ke luar dan menghampiri Brian. Obrolan guru dan murid itu teralihkan oleh kedatangan Harry. Brian tersenyum lebar, bangjit berdiri dan memeluk kaki panjang Harry.

"Dad!"

Taylor juga bangkit dari duduknya dan menghampiri Harry dan Brian. Senyuman muncul di bibir Taylor saat melihat Brian yang saat itu ada di pelukan Harry.

Mata Harry melirik sekilas ke arah Taylor dan berkata, "Kupikir, kau tak akan kembali mengajar. Brian terus saja mengeluh karena tak diajar olehmu."

Taylor terkekeh. "Inilah satu-satunya yang dapat kukerjakan. Lagipula, aku tak punya alasan untuk mundur dari pekerjaanku saat ini." Harry tersenyum.

Tatapan Harry beralih kepada Brian yang entah kenapa hanya diam, menampilkan senyuman lebarnya. Harry menaikkan satu alisnya, menatap hanya kepada Brian sebelum berkata, "Bagaimana jika kita mengajak Miss. Swift makan siang, Brian? Setuju?" Brian mengangguk antusias. "Setuju!" Dia menjawab sangat bersemangat.

Taylor tersenyum ragu. "Ehm, makan siang?"

Harry menatap Taylor dan mengangguk. "Ya. Merayakan kembalinya kau ke Taman Kanak-kanak ini sehingga aku tak perlu lagi mendengar keluhan Brian walaupun, tentunya anak ini akan membicarakanmu lagi tanpa henti." Taylor terkikik geli mendengar ucapan Harry. Brian hanya menatap sang ayah dan gurunya bergantian. Senyuman tak kunjung lenyap dari bibir bocah berusia 4 tahun itu.

"Traktir?" Taylor menyeringai. Harry memutar bola matanya sebelum balas menyeringai. "Rapikan barang-barangmu, Swift. Aku tunggu di mobil."

Taylor tertawa kecil sebelum berbalik untuk merapikan barang-barangnya.

*****

"Zayn menemuiku semalam," Taylor memecah keheningan antara dia dan Harry, sementara Brian asyik bermain di sebuah arena bermain yang ada di restoran tersebut. Harry menatap Taylor dengan dahi yang berkerut. "Dia menemuimu?" Taylor mengangguk.

"Apa yang dia katakan?" tanya Harry penasaran.

Taylor diam sejenak sebelum menjawab, "Dia bilang, dia sudah menemukan kebahagiaan lain sejak beberapa minggu lalu." Harry memicingkan matanya. "Dia bodoh atau apa? Maksudnya, dia dekat dengan gadis lain, selain kau sejak beberapa minggu lalu? Saat kalian masih bersama?" Harry menganalisa dengan baik, maksud ucapan Taylor. Taylor mengangguk. "Begitulah."

Harry menganga dan menggelengkan kepala. "Aku...aku tak percaya Zayn melakukan hal seperti itu. Maksudku, kau lihat saja bagaimana ekspresinya saat kau dan aku pergi dinner berdua. Bagaimana bisa dia melakukan hal seperti itu saat dia dengan terang-terangan menunjukkan seberapa besar cintanya kepadamu?"

Taylor mengedikkan bahu. "Mana kutahu. Ya, sudahlah."

"Ya, sudahlah? Kau bercanda? Sungguh, aku tak mengerti apa yang ada di pikiran Zayn! Aku akan menghubunginya dan memaksanya menjelaskan semuanya padaku." Harry bicara tegas. Taylor menggeleng. "Harry, tak usah. Biarkan saja. Aku dan Zayn, kami memutuskan untuk berteman. Ya, itulah takdir Tuhan untuk kami."

Harry memicingkan matanya. Taylor menggigit bibir bawahnya gugup. "Ke-kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Taylor.

Harry menggeleng. "Tidak. Hanya bingung saja. Kau dan Zayn. Aku tak mengerti dengan hubungan kalian. Sangat aneh. Saat aku menemuimu di hari selanjutnya setelah pembatalan pernikahan, aku tak melihat wajahmu yang kacau. Kau terlihat biasa saja, seakan pembatalan pernikahan itu tak pernah ada." Harry melipat tangan di depan dada. Matanya tak beralih dari Taylor.

"Lalu, Zayn tiba-tiba datang padamu dan mengatakan jika dia mempunyai gadis lain sejak kalian masih bersama. Kau pun terlihat biasa saja, tak ada wajah marah atau kecewa atau semacamnya. Jadi, kalian benar-benar menjalin hubungan atau tidak?"

Pertanyaan Harry membuat Taylor tercengang. Taylor memicingkan matanya. "Kenapa kau bertanya seperti itu?"

Harry mengedikkan bahunya. "Aku hanya bertanya, mengingat Zayn tahu jika....."

"HUUUAAAAA!"

Perhatian Harry dan Taylor tergantikan seketika.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top