Part 28
"Ini gila, Zayn. Kau benar-benar gila.
Yaser Malik menggeleng-gelengkan kepala saat putra yang selalu menjadi kebanggannya itu, kembali pulang setelah menghilang selama beberapa hari. Yaser kesal, marah, dan merasa dipermainkan oleh putranya yang satu itu. Zayn pergi tanpa kabar, membatalkan pernikahannya dan membuat malu keluarganya. Sekarang, tiba-tiba dia muncul, membawa gadis lain dan mengatakan jika dia ingin menikahi gadis itu.
Tubuh Wanda bergetar, ketakutan. Zayn meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat. Mencoba menyalurkan ketenangannya kepada gadis yang baru ditemuinya satu bulan lalu tersebut.
"Dad, aku serius. Sangat serius." Zayn berkata sungguh-sungguh, berusaha meyakinkan ayahnya yang sebenarnya keras kepala, sama seperti dirinya.
Yaser memicingkan matanya kepada Zayn, sebelum beralih sekilas kepada Wanda dan kembali menatap tajam Zayn. "Jadi, bisa dikatakan, gadis inilah yang menyebabkan kau membatalkan pernikahanmu dan membuat malu keluarga?" tanya Yaser, terdengar sinis.
Wanda tercekat dan Zayn mempererat genggaman tangannya, seakan memberi tahu jika semuanya akan baik-baik saja. Zayn menatap ayahnya dalam. "Dad, pembatalan pernikahan itu bukan karena Wanda. Bukan dia penyebabnya. Memang tak pernah ada kecocokan antara aku dan Taylor. Taylor juga tak benar-benar mencintaiku."
"Setidaknya, kami mengenal Taylor dan keluarganya dengan sangat baik. Taylor juga gadis yang baik. Aku tak mengerti apa yang ada dalam pikiranmu, Zayn. Jikalau kau ingin meminta restu dariku akan hubunganmu dan gadis ini, setidaknya kau memberi tenggang waktu atas apa yang sudah kau lakukan seminggu lalu. Kau malah membuatku semakin marah padamu." Yaser berusaha untuk tetap tenang, tidak emosi.
"Dad, aku akan melakukan apapun untuk menebus kesalahanku. Apapun. Asal kau memberikan restu untuk hubunganku dan Wanda," Zayn memelas. Yaser diam sejenak sebelum menggelengkan kepala dan bangkit dari tempat duduknya.
"Aku lelah. Lakukan apapun yang kau inginkan. Aku tak peduli."
Setelah itu, Yaser berjalan meninggalkan Zayn dan Wanda di ruang tamu kediaman Malik tersebut.
Zayn menghela nafas kecewa. Wanda yang sedari tadi menundukkan kepala mulai mengangkat wajahnya, menatap ke pemuda tampan yang duduk di sampingnya, masih menggenggam erat tangannya. "Kubilang juga apa, kan, Zayn? Kau tak mau mendengarkan ucapanku. Hubungan kita masih terlalu baru. Di tambah lagi, kau baru saja membatalkan pernikahanmu. Semua akan menganggapku sebagai perusak hubunganmu dan mantan calon istrimu tersebut."
"Tapi, aku benar-benar serius denganmu kali ini, Wanda. Aku serius." Zayn memasang wajah bersungguh-sungguh. Wanda menatapnya dalam. "Aku tak tahu apa aku harus percaya padamu atau tidak. Untuk sementara, jangan temui aku, okay? Kau tidak bisa mengambil keputusan secepat itu, Zayn. Kau harus memastikan perasaanmu sendiri."
Wanda menarik tangannya dari genggaman Zayn sebelum bangkit berdiri. Wanda masih menatap Zayn lekat. "Jangan menginap lagi di bar. Jangan pergi ke bar lagi. Lanjutkan hidupmu di sini. Sampai kau bisa memastikan semuanya. Permisi." Setelah itu, Wanda berjalan ke luar dari kediaman Malik. Meninggalkan Zayn yang berpikir keras.
*****
Harry tak tahu apa yang menyebabkan Zayn membatalkan pernikahannya dengan Taylor. Sudah beberapa hari sejak Harry datang ke apartment Taylor dan Taylor memceritakan semua yang terjadi. Ada sedikit rasa lega dalam hati Harry tapi, tetap saja. Harry merasa bersalah.
Harry masih memikirkan tentang ancaman Zayn dulu, setelah Harry dan Taylor pergi makan malam bersama. Ya, memang bukan terdengar seperti ancaman. Hanya saja, Harry tahu Zayn memang bersungguh-sungguh akan hubungannya dengan Taylor.
Saat itu pula, Harry memutuskan untuk mendukung Zayn dan berusaha menjaga jarak dengan Taylor. Sayangnya, keputusan itu benar-benar menyiksa Harry. Membuat Harry harus menyibukkan diri sedemikian rupa supaya melupakan semua yang terjadi. Tapi, masih saja gagal.
"Dad?"
Harry yang tengah melamun terkejut saat mendengar suara tersebut. Harry menoleh dan mendapati Brian yang tampak sudah mengenakan piyama bermotif superhero-nya yang berdiri tepat di depan pintu kamar Harry.
Harry tersenyum tipis sebelum menggerakkan tangannya, mengisyaratkan agar Brian mendekat. Saat Brian sampai di samping ranjang tempat Harry duduk, Harry memerintahkan Brian untuk naik me atas ranjang dan duduk di sampingnya.
"Belum tidur?" tanya Harry, menatap lurus ke depan.
Brian menggeleng, menatap sang ayah dengan bingung sebelum meraih bantal ke pangkuannya dan menatap lurus ke depan. Meniru apa yang Harry lakukan saat ini.
"Bukankah besok kau sekolah?" tanya Harry, tanpa menoleh.
"Yaps." Jawab Brian singkat.
"Kalau begitu, tidurlah, Brian. Sudah malam. Kau tidak ingin terlambat, kan?" Akhirnya, Harry menoleh ke arah Brian. Brian balas menatap Ayahnya tersebut sebelum menghela nafas.
"Sejak hari pertama, Miss. Swift tidak datang, Dad. Jadinya, Miss. Wilson yang mengajar kelasku." Brian menjelaskan. Harry mengangguk. "Aku tahu. Tapi, tak ada salahnya juga, kan, diajar oleh Miss. Wilson? Tidak selamanya kau diajar oleh Miss. Swift."
Brian mengerucutkan bibirnya. "Tapi, aku lebih suka diajat Miss. Swift. Dia sering memberiku hadiah. Dia selalu menemaniku sebelum Dad atau Aunty Gemma menjemputku."
Harry terkekeh kecil. "Brian, sifat seseorang itu berbeda dengan yang lainnya. Walaupun, Miss. Wilson tidak seperti Miss. Swift, kau harus tetap bersikap baik padanya, mengerti?" Brian mengangguk.
"Kau bisa tidur di sini malam ini. Aku akan mengantarmu ke Taman Kanak-kanak besok, okay?" Brian tersenyum kebar dan mengganggukkan kepalanya, sebelum memindahkan bantal yang tadi di pangkuannya menjadi sandaran kepalanya untuk berbaring.
"Selamat malam, Dad. Mimpi indah," ujar Brian. Harry tersenyum dan balas berkata, "Kau juga, Jagoan."
Setelah itu, Harry mematikan lampu tidur di kamarnya sebelum berbaring di samping Brian. Menghabiskan waktu bersama Brian setidaknya bisa mengurangi beban pikiran Harry walaupun, hanya sementara.
*****
Malam ini, Taylor memutuskan untuk kembali mengajar. Si pemilik Taman Kanak-kanak menghubunginya beberapa jam yang lalu, meminta Taylor kembali mengajar walaupun, Taylor sudah mengajukan surat pengunduran diri beberapa hari sebelum dia menikah―akan menikah―dengan Zayn.
Itu permintaan Zayn dulu, jika mereka menikah. Zayn ingin Taylor menjadi istri yang selalu ada di rumah, bukan istri yang berkarir sendiri. Zayn berjanji dia akan menafkahi Taylor dengan baik.
Tapi, sepertinya janji itu tidak benar-benar tertepati. Taylor juga tak akan menyalahkan Zayn. Semuanya bukan salah Zayn. Taylor juga merasa bersalah di sini dan Taylor sangat menyesal. Jika saja, dia bisa membuat Zayn bertahan dengan tidak terpikat lagi dengan Harry, mungkin sekarang Zayn adalah suami resmi Taylor.
Tak tahulah. Ada banyak kebingungan dalam pikiran Taylor. Ada rasa lega saat Zayn membatalkan pernikahan mereka tapi, ada juga rasa bersalah yang menghampiri Taylor. Rasa bersalah itu kini menghantuinya.
Taylor menarik nafas dan mencoba memperbaiki posisi tidurnya. Tapi, tetap saja. Biasanya, Taylor sudah tidur di jam segini. Taylor mengatur waktu tidurnya dengan sangat baik.
Baru kembali memutar tubuhnya untuk tidur, suara bel berbunyi. Taylor mengernyit. Siapa yang berkunjung ke apartment-nya di malam seperti ini? Jika mau berkunjung, kenapa harus sekarang, di saat waktunya untuk beristirahat?
Taylor memutuskan untuk langsung memeriksa. Siapa tahu penting. Seperti saat Harry datang malam-malam untuk memberitahukan tentang Brian yang sakit?
Tunggu. Harry? Ah, ya, siapa tahu itu Harry.
Taylor seperti mendapat semangat khusus saat nama Harry muncul di pikirannya. Tanpa melihat dari lubang kecil yang ada di pintu, Taylor langsung membukakan pintu apartment-nya.
Mata Taylor terbelalak saat melihat siapa yang ada di balik pintu apartment-nya.
"Zayn?"
Zayn tersenyum tipis. Dia terlihat kacau, tak seperti Zayn yang Taylor temui beberapa waktu lalu. Taylor merasa sangat bersalah atas perubahan pemuda itu.
"Masuk," Taylor mempersilahkan Zayn masuk ke dalam apartment-nya. Zayn langsung duduk di sofa dengan tenang.
"Minum?" Taylor menawarkan. Zayn menggeleng dan tersenyum tipis. Entah kenapa, nafas Taylor seakan tertahan melihat senyuman itu. Senyuman yang dulu selalu mewarnai hari-harinya.
"Aku hanya sebentar, Taylor. Aku datang untuk meminta maaf secara langsung atas apa yang kulakukan seminggu lalu." Zayn berujar tanpa basa-basi. Taylor duduk di samping Zayn, ada jarak di antara mereka.
Taylor menggeleng. "Tidak, bukan salahmu. Aku mengerti. Seharusnya, aku yang minta maaf padamu."
Zayn tersenyum lagi. "Sudahlah. Anggap saja jika ini adalah takdir. Kau dan aku memang tak ditakdirkan bersama." Taylor terdiam mendengar ucapan Zayn.
Zayn menatap Taylor dalam. "Aku juga ingin mengakui sesuatu padamu." Taylor menelan salivanya. Entah kenapa, rasanya sangat canggung saat Taylor berhadapan dengan Zayn saat ini.
"A-apa?"
"Aku selingkuh dengan gadis lain saat aku masih berstatus sebagai tunanganmu. Aku tidur dengan gadis lain. Aku bersenang-senang dengan gadis lain. Jadi, sungguh, Tay, aku merasa sangat bersalah. Aku sangat berdosa. Aku tahu, kau dekat dengan Harry tapi, kalian tidak akan melakukan hal-hal berlebihan seperti yang aku lakukan." Taylor hanya terdiam mendengarkan ucapan Zayn.
"Aku tak merasa pantas untukmu. Lagipula, kau juga, well, aku tahu masih ada Harry di lubuk hatimu. Aku ingin kau bahagia dan aku tahu, bukan aku sumber kebahagianmu. Aku benar-benar merasa hina. Aku minta maaf, Taylor. Aku mencintaimu. Kuharap, mungkin, kita bisa memulai..."
"Siapa gadis itu?" Zayn menahan nafas saat Taylor menanyakan hal tersebut. Taylor balas menatap tajam ke arah Zayn.
"Namanya Wanda. Dia...dia salah satu pelayan di bar yang sering kukunjungi." Zayn menjawab dengan jujur.
Taylor mengangguk. "Baiklah, aku mengerti."
Zayn mengangkat satu alisnya. "Kau...," Zayn awalnya mengira jika Taylor akan memakinya habis-habisan tapi, Taylor malah tersenyum kepadanya.
"Terima kasih."
Zayn tambah terkejut mendengar kalimat itu dari mulut Taylor. "Te-terima kasih?"
"Terima kasih karena telah jujur padaku. Sebenarnya, aku sudah tahu akan kedekatanmu dengan gadis lain akhir-akhir ini. Tapi, aku tak mau asal tuduh. Yang membuatku heran adalah saat kau malah benar-benar memasang wajah serius untuk melanjutkan pernikahan kita." Taylor terkekeh kecil dan Zayn hanya terdiam.
"Jaga gadis itu, Zayn. Perlakukan dia dengan baik. Kalau kau ingin aku bahagia, maka kau harus bahagia juga. Kebahagiaanku adalah melihatmu bahagia." Ucapan Taylor membuat Zayn tersenyum sumringah.
Zayn berhambur memeluk Taylor, erat. "Terima kasih. Kuharap, kau juga benar-benar bahagia. Dengan pria yang jauh lebih baik daripadaku. Kau akan selalu mendapat tempat spesial di hidupku." ucap Zayn.
Zayn tak tahu jika mata gadis yang dipeluknya itu berkaca-kaca. Taylor balas memeluk Zayn, berusaha menahan diri untuk tidak menangis.
�ITa�_"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top