Part 27
"Jadi, ini pekerjaanmu selama ini? Menjadi jalang?!"
Bianca Adams menundukkan kepalanya mendengar perkataan tajam yang ke luar dari bibir sang nenek. Sial. Berita mengenai Brian sebagai anak dari Bianca dan Harry Styles tersebar dengan cepat. Bianca tidak mengerti, bagaimana bisa. Padahal, dia sudah berusaha menutupi semuanya, sebaik mungkin. Empat tahun. Empat tahun sudah rahasia itu tertutupi dengan rapat. Sekarang, semuanya terbongkar begitu saja tanpa sumber yang jelas.
"Jangan diam saja, Bianca! Jawab pertanyaanku! Jadi, kau benar-benar sudah memiliki anak dengan pemuda Styles itu dan kau menyembunyikannya selama ini?! Astaga, manusia macam apa kau ini!" bentak sang nenek. Anggota keluarga lainnya, yang ada di sana karena masalah ini hanya dapat diam. Tak mau semakin memperberat masalah.
"Katakan! Jadi, benar anak itu adalah anakmu?!" tanya sang nenek, dengan nada tinggi.
Bianca mengangkat wajahnya. Air mata sudah mengalir di pipi mulusnya. Bianca menggelengkan kepalanya. "Bukan, anak itu bukan anakku. Aku tak pernah mempunyai anak, Grandma. Kau tahu sendiri aku belum menikah. Aku mana mungkin..."
"Jawab dengan jujur!"
"Aku berkata...."
"Kau tidak pernah jujur padaku, Bianca! Dari semua cucu yang kumiliki, kaulah yang selalu saja membuat masalah! Apa kau ingin membunuhku perlahan dengan semua masalah yang kau timbulkan? Tak bisakah kau bersikap lebih baik dan lebih layak?! Contoh Taylor!"
Ya, Taylor Swift memang berada di sana. Orangtua Bianca adalah Audrey Swift dan Stephen Adams. Ibu Bianca adalah kakak dari ayah Taylor. Mereka keluarga.
Taylor yang semula duduk diam, berusaha untuk tidak menunjukkan ekspresi apapun mendadak membeku saat Grandma menyebut namanya. Semalam, Taylor sudah membaca artikel tentang hubungan Bianca dan Harry. Taylor yakin, Ibu dari Brian memang Bianca. Beberapa bulan menjadi guru Taman Kanak-kanak Brian bukanlah waktu yang sedikit untuk mengenal baik sifat Brian, yang memang perpaduan antara Bianca dan Harry jika diperhatikan. Pantas saja, Taylor cukup mudah akrab dengan Brian. Taylor sudah terbiasa mengatasi sifat Bianca dulu.
Kenyataan ini sangat menyakitkan untuk Taylor.
Dulu, Taylor dan Bianca sangat dekat. Tapi, karena suatu hal yang Taylor sendiri tak mengerti, Bianca mulai menjauhinya. Tatapan hangat Bianca berubah menjadi dingin. Bukan tatapan hangat seorang kakak lagi, untuk Taylor. Tatapan Bianca adalah tatapan...kebencian.
Bianca beralih menatap Taylor tajam sebelum menatap Grandma dengan tatapan marah. "Kau selalu saja membandingkanku dengan dia! Ya, aku tahu! Dia memang cucu kesayanganmu, kan?! Taylor, si gadis baik-baik. Bukan seperti aku yang sangat tidak baik! Ya, aku mengerti, Grand-ma!" Grandma Swift memelototkan matanya mendengar ucapan itu.
"Jaga bicaramu, Bianca!" bentak Grandma.
"Aku tak peduli. Jika Grandma memintaku datang hanya untuk mempermalukanku di hadapan semuanya, ya, sudah! Keinginan Grandma terkabul!" Bianca benar-benar kesalpara neneknya tersebut. Grandma Swift terdiam sejenak sebelum mengatur pernafasan. Taylor bangkit berdiri, membantu Grandma-nya itu untuk duduk tenang di sofa.
Grandma tersenyum tipis kepada Taylor sebelum beralih menatap Bianca tajam. "Pinta pertanggung jawaban dari pria itu."
Bianca menaikkan satu alisnya. "Yang benar saja? Aku tidak mau. Lagipula, Styles sudah berjanji akan menjaga bocah itu sepenuhnya, tanpa campur tanganku. Jadi, seharusnya kalian senang karena memang aku belum pantas untuk menjadi orangtua, kan?"
"Pinta Styles untuk menikahimu. Jadilah Ibu yang baik untuk anakmu itu. Rawat dia, jaga dia, besarkan dia dengan baik." Grandma berujar dengan lembut, berusaha untuk tidak emosi lagi walaupun, bicara dengan Bianca benar-benar menyulut emosinya.
Bianca tersenyum kecut. "Grandma, aku tidak akan menuruti permintaanmu. Permisi." Bianca meraih tas kecilnya dan berjalan ke luar dari kediaman Swift dengan langkah terburu-buru. Meninggalkan anggota keluarga yang lain menatap kepergiannya dengan parau.
*****
"Brian tidak bisa ke luar dengan aman sebelum kau mengonfirmasi semuanya, Harry. Aku tak mengerti, bagaimana bisa identitas Brian terbongkar? Bukankah kita sudah menutupinya sebaik mungkin?" Des bertanya kepada sang anak, Harry, perihal berita-berita yang beredar di televisi, majalah dan internet baru-baru ini. Tentang Brian, yang entah bagaimana bisa identitasnya terbongkar, tanpa jejak.
Harry menarik nafas dan menghelanya perlahan. Dia dan orangtuanya tengah membicarakan masalah ini di ruang tengah, selesai makan malam sementara, Gemma langsung mengajak Brian ke kamarnya untuk tidur.
"Aku bertemu Bianca kemarin. Dia memintaku untuk tetap merahasiakan identitasnya sebagai Ibu kandung Brian, walaupun sudah jelas beredar akta kelahiran Brian yang menyertakan namanya. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan." Harry mengacak-acak rambut kecokelatannya.
Anne menatap putranya penuh prihatin. Tangan lembut itu mengelus pundak Harry, berusaha menenangkannya. "Aku tak mengerti jalan pikiran gadis itu. Dia meninggalkan Brian kepada kita dan setelah semuanya terbongkar, dia ingin kita yang menyelesaikan masalah? Kenapa tidak dia saja yang mencari jalan ke luar sendiri dan menjelaskan kepada publik?"
"Mungkin, kau dan Brian harus bersembunyi dulu, Harry. Lambat laun, berita ini akan tertutupi dengan berita lainnya. Ya, semoga saja." Des berusaha menjelaskan.
Harry mengangguk kecil. Tiga anggota Styles itu terdiam sebelum Harry teringat sesuatu. Pemuda itu bangkit dari duduknya dan menatap kedua orangtuanya secara bergantian.
"Aku lupa mengucapkan selamat atas pernikahan Zayn dan Taylor. Aku akan menemui mereka sekarang," Sebelum sempat orangtuanya buka suara tentang pernikahan tersebut, Harry sudah berjalan cepat menaiki tangga, menuju ke kamarnya untuk mengambil dompet dan kunci mobilnya.
*****
"Zayn, sampai kapan kau akan menginap di bar ini?"
Wanda Palmer yang baru saja selesai menyapu bar yang sudah tutup sejak sepuluh menit itu menatap ke arah pria yang baru kemarin mengajaknya menikah itu dengan bingung. Semalam, Zayn menginap di bar ini. Dia tidur di salah satu sofa panjang yang disediakan. Mau tak mau, Wanda menemaninya.
"Sampai sekiranya, orang-orang sudah melupakan pembatalan pernikahanku itu," jawab Zayn dengan tenang. Di sela-sela jarinya, ada sebatang rokok yang terselip. Wanda menarik nafas dan menghelanya perlahan saat Zayn menghirup rokok tersebut dan mengeluarkan asapnya dari mulut.
"Bisakah kau berhenti merokok? Itu tak baik untuk kesehatanmu," omel Wanda, meletakkan sapunya menyandar pada salah satu meja yang berdekatan dengan sofa tempat Zayn duduk saat ini. Zayn menaikkan satu alisnya. "Selama lebih dari satu bulan kita mengenal, kau sudah terbiasa melihatku merokok, kan?"
Wanda mengangguk kecil. Gadis manis itu memejamkan mata, bingung harus menjelaskan apa. Mata tajam Zayn terus tertuju padanya. Zayn tahu, gadis itu pasti ingin menyampaikan sesuatu. "Ada apa?" Zayn langsung bertanya tanpa basa-basi.
Wanda menatap mata Zayn dengan ragu. Gadis itu menggigit bibir bawahnya pelan sebelum berkata gugup, "Hm, itu...ucapanmu...ucapanmu yang kemarin. Kau...kau benar-benar ingin menikah denganku?"
Zayn terkekeh kecil. "Apa aku terlihat seperti bercanda?"
Wanda menggeleng. "Tapi, apa kau sadar siapa yang kau ajak menikah? Kau bilang, butuh bertahun-tahun untuk melakukan pendekatan dengan gadis yang harusnya kemarin kau nikahi. Kau bilang, butuh satu tahun lagi untuk berpacaran dan berusaha meyakinkannya jika kau mencintainya? Sedangkan aku? Kau bahkan baru mengenalku selama satu bulan."
"Wanda, aku..."
Belum sempat Zayn melanjutkan ucapannya, ponsel Zayn bergetar. Zayn meraih ponsel itu dari kantungnya. Alisnya terangkat menatap nama yang tertera di sana.
Harry.
*****
Taylor baru sampai di apartment-nya, setelah kemarin dia menginap di rumah orangtuanya dan dia baru saja kembali dari rumah neneknya. Bahkan, belum ada setengah jam Taylor menyandarkan tubuhnya di sofa, meregangkan otot-otot tubuhnya yang menegang. Dengan cepat, dia bahkan sudah melupakan perihal pernikahannya yang batal. Tidak, Taylor memang tak pernah berpikir untuk menikahi Zayn. Zayn memang sangat baik dan sosok pasangan hidup yang sangat sempurna tapi, justru karena kesempurnaan itulah, Taylor merasa tak cocok dengan Zayn.
Lagipula, ada orang lain yang memasuki pikirannya, lagi.
Taylor hampir ingin melangkahkan kakinya ke kamar, untuk berbaring dan bersantai saat dia mendengar suara ketukan pintu. Dengan malas-malasan, Taylor berjalan untuk membukakan pintu apartment-nya tersebut.
Saat pintu terbuka, Taylor menahan nafas menyadari siapa yang ada di hadapannya saat ini.
Harry Styles.
Harry tersenyum tipis kepada Taylor, tangannya memegang ponsel. "Aku menghubungi Zayn tadi tapi, dia mengatakan sesuatu yang tak kumengerti. Aku datang ke rumah Zayn dan tidak ada orang di sana. Makanya, aku memutuskan untuk datang ke sini." Harry menjelaskan. Taylor diam sejenak sebelum mempersilahkan Harry masuk.
Taylor membuatkan Harry secangkir kopi sebelum menemani pemuda. Taylor duduk di sofa yang berlawanan dengan Harry.
"Jadi, apa yang membawamu ke sini?" tanya Taylor, membuka percakapan. Harry menyesap cepat kopi panasnya dan meletakkan kembali cangkir di atas meja sebelum menjawab pertanyaan Taylor, "Aku mau minta maaf."
"Minta maaf atas apa?" tanya Taylor lagi, melipat tangan di depan dada.
"Karena aku tidak ada saat pernikahan kalian. Bukankah aku sudah berjanji untuk menjadi bestman? Tapi, aku malah pergi, sebelum pernikahan di mulai. Maafkan aku. Ada hal penting yang harus kuselesaikan dan..." Harry menahan nafas, sedari tadi dia bicara tanpa henti, "Selamat untuk pernikahanmu dan Zayn. Kalian...kalian pasangan yang cocok."
Taylor memicingkan matanya mendengar ucapan Harry. Harry menunggu respon dan tak lama kemudian, Taylor tertawa. Harry mengangkat satu alisnya, bingung. "Apa ada yang lucu?" tanya Harry, tak mengerti.
"Ya, kau yang lucu." Taylor menjawab di sela-sela tawanya.
"Hei, aku benar-benar minta maaf. Sebagai permintaan maaf, bagaimana jika aku membelikan tiket perjalanan wisata ke Prancis atau Asia?" Harry menawarkan dan tawa Taylor lenyap. Taylor menatap Harry lekat sebelum menghela nafas.
"Harry, aku dan Zayn. Kami tidak jadi menikah. Pernikahan kemarin, tidak benar-benar berlangsung."
Harry memasang wajah tak mengerti atas ucapan Taylor tersebut.
---
Mulmed: Nina Dobrev as Wanda Palmer
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top