Part 24
Waktu terasa mengalir sangat cepat untuk Taylor Swift. Tak terasa, hari ini adalah tiga hari terakhir, sebelum ia melepas status lajangnya dan menjadi istri dari seorang pelukis terkenal asal Inggris, Zayn Malik.
Hari ini, Zayn mengadakan gladi bersih untuk acara pernikahannya. Semua yang terlibat, Zayn kumpulkan di sebuah gereja yang tengah dalam proses untuk acaranya nanti. Bukan Zayn namanya jika tidak mau acara pernikahannya berjalan dengan sangat sempurna. Zayn adalah seorang perfeksionis.
Zayn berjalan memasuki gereja dengan tangan yang bertautan dengan Taylor. Zayn memperkenalkan tiap sudut gereja pada Taylor. Zayn bilang, sedikit sulit membicarakan pernikahannya pada keluarga terdekatnya. Masalahnya, hampir sebagian besar keluarga Zayn adalah muslim.
"Bagaimana menurutmu tempat ini?" tanya Zayn kepada Taylor sambil terus berjalan, melewati beberapa orang yang tampak tengah sangat sibuk.
"Bagus." Hanya itu komentar singkat yang dapat Taylor berikan. Zayn terkekeh. "Kau tahu? Butuh waktu lama untuk meyakinkan keluarga besarku tentang pernikahan ini. Mereka bilang, pernikahan kita tidak akan berjalan baik, mengingat terlalu banyak perbedaan." Zayn melingkarkan lengannya di pinggang Taylor.
"Tapi, aku yakin, perbedaan itulah yang justru akan menyatukan kita." Zayn mendekatkan dahinya ke dahi Taylor. Senyuman muncul di bibir Taylor.
Baru saja Zayn ingin lebih mendekatkan wajahnya ke wajah Taylor, sebuah suara menginterupsi keduanya dan sontak, membuat Zayn dan Taylor saling menjauhkan diri.
"Man, get a room! Ada anak kecil di sini!"
Zayn dan Taylor menoleh, mendapati Niall dan Liam yang berdiri tegak dengan Brian yang ada di genggaman tangan mereka. Taylor tersenyum lebar dan berjalan cepat menghampiri Brian. Brian melepaskan genggaman tangan teman-teman ayahnya dan mendekati Taylor.
"Bree, aku merindukanmu!" Taylor langsung memeluk Brian saat bocah laki-laki itu mendekat. Brian balas memeluknya. "Aku juga merindukanmu, Miss. Swift!" Taylor menggendong Brian dan mendekati Zayn. Zayn tersenyum lebar kepada Brian.
"Hei, jagoan! Aku senang kau datang! Mana Daddy-mu?" tanya Zayn, berusaha seramah mungkin pada Brian walaupun, dia tahu, pertemuan terakhirnya dengan Brian benar-benar buruk.
Namun, tak di sangka, Brian tersenyum kepadanya dan membalas dengan semangat, "Daddy akan menyusul. Dia akan membawa mainan baru untukku!"
Zayn terkekeh dan mengacak-acak rambut bocah laki-laki itu. Brian menggerutu kesal. Menurut Brian Styles, rambutnya adalah aset paling berharga yang tidak bisa disentuh sembarangan oleh orang lain.
"Jangan sentuh rambutku, Uncle Zayn!" Zayn tertawa, begitupun Taylor.
"Kalian berdua bisa bersenang-senang. Aku akan memberi intruksi pada Liam dan Niall, sambil menunggu yang lainnya datang." Ujar Zayn. Taylor menganggukkan kepala setuju sebelum melangkah ke luar gereja.
Sebuah mobil yang sudah sangat Taylor kenali berhenti tepat saat Taylor menginjakkan kaki di luar gereja. Brian dengan bersemangat berkata, "Daddy!"
Benar saja, Harry Styles ke luar dari mobil tersebut. Tampak seperti baru saja selesai mandi karena rambutnya masih tampak basah. Dia mengenakan kemeja putih dengan tiga kancing teratas yang terbuka begitu saja dan celana jeans panjang. Terlihat sangat seksi.
Harry bergegas menghampiri Taylor dan Brian.
"Aku sudah bilang untuk menungguku selesai, Brian. Jangan pergi dengan manusia-manusia aneh itu," ujar Harry kepada Brian. Taylor terkekeh. "Manusia aneh?"
"Liam dan Niall. Mereka aneh dan pastinya akan membawa pengaruh buruk pada putraku," Harry menjelaskan. Taylor kembali terkekeh. Harry tersenyum tipis. "Ah, ya, senang bertemu denganmu lagi, Swift. Hampir tiga minggu, ya, sejak pertemuan terakhir kita?"
Taylor mengangkat satu alisnya. "Wow. Kau menghitungnya, Styles? Aku terkesan." Taylor terkikik geli seraya memperbaiki posisi menggendong Brian-nya. Brian yang semula diam, seakan tidak mau mengganggu percakapan antara Harry dan Taylor, tiba-tiba saja angkat suara.
"Mana mainan baruku, Dad?" Harry mengangkat satu alisnya. "Mainan apa?"
"Uncle Li dan Uncle Ni bilang, Daddy menyusul karena mau membelikan mainan baru untukku." Brian mengerucutkan bibirnya. Harry memutar bola matanya. "Sudah kukatakan untuk tidak percaya pada dua manusia itu?" Taylor terkekeh.
"Sudahlah. Kau bisa langsung masuk, Styles. Kalian mau melakukan gladi bersih, kan?" ujar Zayn. Harry menghela nafas. "Tentu saja walaupun, aku tak mengerti, untuk apa melakukan gladi bersih seperti ini. Setahuku, pekerjaan best man hanya mendampingi. Tidak perlu melakukan latihan seperti ini."
Taylor terkekeh. "Kau tahu, Zayn memang seperti itu."
"Perfeksionis. Ya, aku mengerti." Harry menimpali. Kemudian, matanya melirik ke arah Brian dan Taylor, bergantian. "Omong-omong, mau ke mana kalian berdua?" tanya Harry, mengangkat satu alisnya.
"Membeli es krim di sana, Styles. Sudah sana temui teman-temanmu! Aku yang akan menemani Brian." Taylor berkata tak sabaran. Harry memutar bola matanya dan mengangguk. Matanya beralih kepada Brian, tajam. "Jangan nakal dan menyusahkan, okay?" pesan Harry.
Brian mengangguk mantap. "Siap, Daddy!"
Kemudian, Harry melangkahkan kakinya memasuki gereja dan Taylor melangkahkan kaki ke sebuah toko es krim yang berada tak jauh dari gereja tersebut.
Sebelum benar-benar melangkahkan kakinya memasuki gereja, Harry sempat menghentikan kaki dan menoleh ke arah gadis yang tengah menggendong putranya tersebut. Harry memejamkan mata dan menghela nafas, sebelum berbalik dan melangkah memasuki gereja.
*****
Harry tak mengerti apa yang dilakukannya saat ini. Zayn dan ketiga sahabatnya yang lain tampak sibuk berargumentasi hanya tentang tata ruang. Zayn ingin ketiganya ditempatkan di sini dan mereka ingin di tempatkan di sana. Sedangkan, Harry? Harry tak peduli. Di tempatkan di manapun, Harry tak peduli.
Harry memutar bola matanya mendengar pertengkaran keempat sahabatnya tersebut. Harry berbalik dan mendapati Taylor yang berjalan bergandengan tangan dengan Brian, menuju ke salah satu kursi panjang yang ada di gereja tersebut. Tak tahu kenapa, mata Harry tak bisa teralihkan dari pemandangan itu.
Taylor dan Brian. Kedekatan mereka benar-benar...
"Mereka terlihat sangat klop untuk menjadi Ibu dan Anak, ya?" Harry tersentak mendengar suara tersebut. Harry menoleh dan mendapati Zayn yang berdiri di sampingnya. Mata Zayn juga terfokus kepada Taylor dan Brian yang sibuk berbagi es krim masing-masing, selayaknya ibu dan anak. Benar-benar dekat dan terlihat bahagia.
"Wajar saja mereka dekat. Sejak dulu, Taylor memang selalu dekat dengan anak kecil." Zayn menjelaskan kepada Harry. Senyuman tipis muncul di bibir Harry.
Hening sesaat. Zayn dan Harry tampak sibuk mengamati Taylor dan Brian, yang terlihat sangat akrab, seakan-akan dunia hanya milik mereka berdua. Zayn menarik nafas dan menghelanya perlahan.
"Kau tahu? Kesalahan terbesarmu adalah melepaskan gadis sepertinya dari hidupmu. Dia sangat menyukaimu dulu, saat SMA. Saat aku bersamanya, dia tak henti-hentinya menanyakan semua tentangmu." Zayn terkekeh kecil saat menceritakan semua itu. Harry melirik ke arahnya. "Benarkah?"
"Ya, benar. Puncaknya adalah saat dia melihatmu berciuman dengan adik kelas setelah pengumuman kelulusan. Padahal, rencananya, dia akan menyatakan perasaannya secara langsung padamu. Tapi, gara-gara itu, dia mengurungkan niatnya dan memilih menyerah. Dia memutuskan untuk melupakanmu." Zayn tersenyum tipis. Harry hanya diam.
Zayn meletakkan tangannya di bahu Harry. "Dan sepertinya, kau tahu jika penyesalan selalu datang belakangan, kan?" Harry mengangkat satu alisnya, menatap Zayn tak mengerti. Zayn kembali tersenyum tipis, penuh rahasia.
Harry menahan nafas. Zayn tahu?
Belum sempat Harry bertanya, Zayn sudah berjalan menghampiri Taylor dan Brian. Bergabung bersama mereka sambil tertawa riang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top