One
Delapan tahun kemudian ....
Gadis itu tengah duduk dengan manis di tangga kecil terasnya, menopang kepalanya pada dua tangan yang bertumpu pada lututnya, sambil terus menatap rumah yang berada tepat di samping rumahnya.
Rumah yang cukup besar dan mewah untuk ditinggali oleh tiga orang saja.
Semenjak pengantar koran datang melempar koran harian ke beranda rumah di samping itu, saat itu juga Emily—yang sudah memakai baju sekolahnya—langsung duduk seperti pagi biasanya di depan rumahnya.
Menunggu orang yang akan mengambil koran itu.
Benar saja! tak selang 2 menit setelah kepergian pengantar koran itu, seorang pria tampan tinggi dengan tubuh proporsionalnya keluar dari pintu besar rumah itu. Mengambil koran yang berada di teras luasnya itu.
"Selamat pagi, Joey!" teriak Emily penuh keceriaan sambil melambaikan tangannya setinggi mungkin agar pria itu melihatnya.
Tapi seperti biasa, pria itu hanya melihatnya sekilas lalu masuk kembali ke dalam rumahnya tanpa menyapa apalagi tersenyum pada Emily.
Emily hanya bisa tersenyum penuh kepuasan melihat pemandangan indahnya di pagi hari, sebelum berlarian kecil kembali masuk ke dalam rumah sederhananya saat mendengar panggilan ibunya.
Ya, pria itu adalah Eric J. Daniels atau yang biasa ia panggil Joey. Dia menyadari bahwa Eric ternyata bertetangga dengannya tepat di hari pertemuan pertama mereka dulu.
8 tahun yang lalu ....
Emily segera naik ke kamarnya setelah kembali dari sekolahnya. Dia langsung membersihkan badannya yang sedikit basah tadi. Emily kecil mandi di temani oleh suara-suara dari tetangganya.
Rumah-rumah di kawasan itu memang saling berdekatan sehingga ada beberapa sudut di rumah Emily yang di mana terkadang bisa mendengar suara-suara dari rumah yang berada di sebelahnya.
Salah satu sudut itu adalah kamar mandi kamarnya.
Ia bisa mendengar suara yang berasal dari rumah yang tepat berada di samping rumah Emily. Rumah itu rumah besar dan mewah, dan paling mencolok di antara rumah-rumah yang berada di kawasan tenang itu.
"Kau berkelahi lagi?!" terdengar suara wanita paruh baya tampaknya sedang memarahi anaknya.
Sudah hampir seminggu Emily tinggal di rumah baru itu dan ia tak pernah melihat semua anggota keluarga rumah mewah itu. Katanya rumah itu dihuni sebuah keluarga dengan satu anak lelakinya.
Emily pernah melihat wanita dan pria paruh baya saat pertama kali pindah karena dua orang itu menyambut mereka di kawasan itu dan memberikan Emily sebuah kue coklat besar yang sangat enak. Keluarga itu begitu baik dan cukup berteman akrab dengan keluarganya sejak pindahan.
Emily mulai penasaran dengan anak mereka. apakah dia sebaik kedua orang tuanya?
"Kenapa kau selalu berkelahi di sekolah? Bukannya belajar!" suara wanita baik itu tampaknya sudah sangat kesal karena intonasinya yang begitu tinggi.
"Mereka mengganggu Liza!" kali ini suara yang Emily yakini sebagai anak mereka tampak mulai melawan. Tak tahan dengan amarah ibunya yang seperti tidak ada akhirnya.
Tapi kenapa rasanya ia pernah mendengar suara itu?
"Tapi kau tidak harus berkelahi, Nak."
"Jadi aku harus diam dan melihat kekasihku dilecehkan?!"
Emily sekarang seperti mendengar adegan drama selama ia mandi. Wanita yang dikenal Emily bernama Merida itu terdengar bungkam mendengar penuturan suara lelaki muda itu.
Emily mulai merasa kasihan dengan keluarga baik itu. Mereka selalu terdengar pusing dengan anak mereka.
"Setidaknya berhentilah berkelahi," kali ini Emily mendengar suara Edmund. Suami Merida yang kata ibu seorang keturunan eropa, entah eropa mana tepatnya. "Bagaimana kau bisa menggantikan ayah menjadi pemimpin nantinya, jika kau selalu dipulangkan dua jam lebih awal dari sekolah karena tingkahmu?!"
"Ayah bisa memberikannya pada orang lain," jawab sang anak santai.
"Anak ini!"
"Sudahlah, Edmund. Dia masih kecil untuk mengerti soal perusahaan," Merida terdengar mulai menenangkan suaminya sebelum kembali kembali kepada anaknya. "Dewasalah, Nak. Jangan membuat dirimu dalam masalah hanya untuk gadis yang belum tentu jodohmu."
"Cukup! Liza pasti jodohku karena aku mencintainya!"
Emily mulai merasa kedinginan saat ia mulai tertarik dengan obrolan itu. Tapi ia sadar, mendengar masalah orang lain itu tak baik.
Emily memutuskan untuk menyudahi acara mandinya.
Tanpa sengaja mata Emily menangkap permen yang ada di saku baju sekolahnya yang ia letakkan di dalam keranjang cucian. Ia mengambil permen itu dan langsung tersenyum bahagia. Ia mengingat pangeran tampannya yang dingin namun berhasil memasuki hatinya.
Ia tak menyangka bahwa cinta pertamanya datang secepat ini.
Emily berjalan ke beranda kamarnya tanpa melepaskan tatapannya pada permen bundar warna-warninya. Mungkin sekarang ia takkan pernah memakan permen itu. Mungkin ia akan mengawetkannya dan membuatkannya museum.
Emily menopang tangannya di pembatas beranda kamarnya, masih tanpa mengalihkan matanya dari permen pembawa cintanya.
"Akh ...." suara rintihan kesakitan itu membuat Emily menengokkan kepalanya ke samping, ke asal suara itu.
Ia melihat seseorang tengah menekan-nekan wajahnya sendiri sambil merintih menahan perihnya luka di wajahnya, pria itu seakan mengecek seberapa parah lukanya.
Lelaki itu berdiri dengan gaya yang sama dengan Emily di berandanya.
Beranda mereka cukup dekat karena kamar mereka yang tampak bersebelahan walau mereka beda rumah, sehingga ia bisa mendengar dan melihat jelas semuanya.
Beranda itu jauh lebih lebar daripada beranda kamarnya dan Emily selalu bertanya-tanya siapa pemilik kamar besar itu mengingat si pemilik kamar yang merupakan anak dari Merida dan Edmund tidak pernah menampakkan batang hidungnya. Dan sekarang akhirnya ia melihatnya. Lelaki yang masih memakai baju SMAnya.
"Joey?" bisik Emily tidak percaya. Suara bisikan cukup keras itu terdengar oleh lelaki di ujung sana sehingga lelaki itu berbalik dan sama-sama terkaget melihat diri masing-masing. Emily adalah orang pertama yang menyadari status mereka bertetangga sehingga ia langsung memekik kegirangan sambil melompat-lompat di tempatnya. "Kau benar Joey!"
"Apa-apaan ini?" Eric menunjukkan respon yang sangat berbeda dengan Emily. Dia malah seperti melihat hantu yang menyebalkan muncul di hadapannya untuk kesekian kalinya. "Kenapa kau ada di sini? Aku kan sudah meninggalkanmu tadi! Apa kau menguntitku?!" tanya Eric tak terima.
"Yey! Kita berjodoh!" Emily kecil hanya bisa melompat-lompat tanpa henti tak mempedulikan pertanyaan Eric. Dia bersyukur telah dipertemukan dengan pangerannya lagi. "Aku sedang memikirkanmu dan kau langsung muncul di waktu bersamaan! Yey! Aku akan menjadi istri Joey!"
"Dasar gadis aneh!" cibir Eric sambil menggerutu kembali masuk ke kamarnya. "Apa dosaku hingga bertetangga dengannya?"
Sejak hari itulah, hari-hari Emily mulai menyenangkan. Semua kata-kata pedas dan ekspresi dingin malah seperti kalimat manis baginya. Berawal dari rasa kagum telah menyelamatkannya, perlahan menjadi suka hingga saat mulai SMA, akhirnya Emily sadar bahwa dia jatuh cinta. Delapan tahun mencintai orang yang sama tanpa berpaling sedikit pun sudah bisa menjadi hal yang paling dibanggakan gadis itu.
Tapi ada satu hal yang menjanggal hatinya saat itu. Ia mengetahui bahwa ternyata Eric mempunyai kekasih yang begitu ia cintai. Bagaimana cara Eric mencintai dan menjaga kekasihnya, entah kenapa membuat Emily semakin menyukai Eric. Walau tak bisa dipungkiri bahwa dia sangat cemburu dengan gadis itu tapi dia tetap mencintai Eric dengan caranya.
Setiap pagi dia menyapa Eric sebelum pergi sekolah. Di sore harinya ia akan menyempatkan waktunya untuk berkunjung ke rumah Eric untuk melihat pria itu sambil bermain dengan kucing peliharaan Merida. Dan malamnya, ia akan berdiri di beranda kamarnya, menunggu Eric yang biasa mengerjakan tugas kuliahnya untuk mencapai gelar S2 sambil meminum kopi panasnya.
Hingga ia mendengar berita bahwa Liza memutuskan hubungannya dengan Eric karena akan melanjutkan kuliahnya di New York. Mungkin itu menjadi berita sedih bagi Eric, tapi tidak dengannya.
Emily bahagia hingga ia memutar music beat ceria di kamarnya dan ikut menyanyi dengan riang. Suara kegembiraannya mungkin terdengar hingga ke kamar Eric, tapi ia tidak peduli. Mungkin tak baik bahagia di atas penderitaan orang tapi mau bagaimana lagi? Emily begitu menyukai Eric. Lagi pula bukan ia yang membuat mereka putus, jadi Emily tidak ikut bersedih dan merasa bersalah.
Emily keluar dari rumahnya begitu ia selesai dengan sarapan paginya. Baginya cukup melihat wajah dingin Eric di pagi hari akan membuat baterai keceriaannya terisi penuh. Walau pun pasti akan lebih membahagiakan jika wajah hangat Eric yang menyapanya.
"Joey!" Emily langsung berlari menyapa Eric sekali lagi sebelum ia pergi ke sekolah. Pria itu sedang sibuk mengelap kaca depan mobil sportnya sambil menyemprotkan wewangian ke dalamnya. Pria itu hanya bisa memutar matanya malas melihat Emily, sekali lagi gadis itu akan mengganggu paginya yang tenang. "Apa kau sedang bersiap ke kampusmu?"
Eric hanya diam. Terlalu malas bicara dengan gadis itu.
"Oh? Bis sudah datang!" Emily langsung memekik kecewa, melihat bis sekolahnya telah datang menjemput anak-anak sekolah yang sama dengannya di kawasan itu. Emily pun langsung berjinjit dan mengecup pipi Eric kemudian berlari sekecang mungkin sebelum ia didamprat mentah-mentah oleh pria itu. "Aku pergi dulu, Joey! Sampai jumpa!"
"Hais! Gadis aneh itu!" Eric hanya bisa menggerutu sambil mengelap pipinya yang dicium gadis itu dengan jijik.
Emily yang melihat itu hanya bisa terkikik geli. Walau jujur hatinya sedikit teriris melihat betapa Eric menolak dan jijik dengannya, tapi ia sudah terbiasa. Ia hanya bisa berharap suatu hari Eric akan membuka hatinya dan membayar sikap yang sama dengan yang ia berikan selama ini.
***
Emily duduk di salah satu bangku di taman sekolahnya. Di pangkuannya terdapat sebuah kotak bekal berwarna merah muda yang lucu.
Dia membukanya dan munculah nasi goreng dengan mie goreng yang membentuk nama Joey. Itu hasil karyanya! Semua yang ada pada dirinya hanya terpaku pada nama itu. Walaupun Eric menganggapnya angin lalu atau anjing menggonggong, dan selalu mengatakan cinta monyet padanya, ia tidak pernah ada niatan untuk mundur mencintai pria itu.
Ia akan membukti lebih baik bahwa itu bukanlah cinta monyetnya.
"Jo ... e ... Joey?" sebuah suara dari arah belakangnya terdengar sedang membaca bekalnya. "Dasar, apa hanya dia yang ada di otakmu itu?"
Emily hanya bisa mengangguk antusias membenarkan pertanyaan sahabatnya itu. "Kau mau, Khira? Tapi jangan makan nama Joey!"
"Tak usah, aku tidak tega memakan cinta sejatimu itu."
Khira adalah sahabat Emily sejak memasuki SMP. Khira tahu tentang Emily yang telah menyukai tetangga selama 8 tahun lamanya.
Khira mengenal Eric saat Emily memperlihatkan foto serta Eric yang sesungguhnya dari jauh saat ia bermain di rumah Emily. Emily dan Khira selalu bersama. Mereka sama-sama punya kesukaan yang sama dalam seni. Khira suka musik dan lukisan sedangkan Emily yang suka menggambar dan mendengarkan musik membuat mereka dekat dengan cepat.
Awalnya Khira menertawakan cinta Emily pada tetangga tampannya yang berbeda 8 tahun itu. Khira mempunyai pemikiran yang sama dengan Eric tentang cinta monyet Emily itu. Tapi lama kelamaan, Khira malah sedih melihat kenyataan bahwa sahabatnya itu tidak hanya mengalami cinta monyet pertama. Khira bisa melihat bagaimana Emily benar-benar mencintai pria itu.
Ia sedih, takut karena Emily akan merasakan sakit. Khira pernah mendengar dan melihat bagaimana kata-kata dingin serta penolakan pria itu pada Emily yang merespon dengan senyuman cintanya. Ia tidak mau saudara beda darahnya mengalami patah hati yang menyakitkan.
Sejak itu pula, Khira tidak terlalu menyukai Eric. Ia selalu menampilkan tampang sinisnya pada Eric jika ia berkunjung ke rumah Emily.
Menurutnya, pria itu adalah pria yang paling menyedihkan karena menolak Emily yang memiliki hati yang ceria dan baik. Tapi mau bagaimana lagi? Sebagai sahabat, ia harus mendukung apa pun pilih Emily. Ia pernah menasehati Emily agar tidak menyakiti dirinya sendiri tapi Emily malah meresponnya dengan senyum dan terus mengatakan 'Joey akan mencintaiku nanti. aku hanya perlu bersabar.'
Gadis itu terlalu naif menurutnya.
"Ngomong-ngomong kau sudah dengar berita belum?" Khira mengalihkan pembicaraan. Berbicara tentang pria itu membuat Khira hanya ingin memakan mie goreng Joey itu hidup-hidup(?).
"Berita apa?" Emily fokus pada makanannya. Memakannya dengan begitu berhati-hati seakan takut makan itu akan habis atau mungkin rusak.
"Kau tahu Alex Alvaro? Anak kelas 12-2?"
Emily tampak terdiam sebentar. Nama itu cukup terkenal di sekolah itu. Bukan terkenal karena nama itu dijunjung, tapi nama itu terkenal sebagai bahan ejekkan. Nama itu sering digunakan untuk mengejek seseorang seakan nama itu adalah sampah.
Bayangan Emily langsung menampilkan lelaki itu, Alex Alvaro. Pria dengan pakaian yang menurut orang-orang kampungan.
Baju yang selalu di setel dalam-dalam dibalik celana ketinggiannya, rambut yang disisir terlalu rapih hingga tampak seperti gumpalan semen, kacamata yang hampir sebesar wajahnya serta kepribadian yang pendiam membuat ia menjadi bahan ejekkan. Pria itu hanya sering terlihat di perpustakaan sendirian, di bagian paling gelap dan pojok dari perpustakaan itu.
Pria itu selalu di hina dan dipermalukan di depan umum. Membuat Emily selalu geram dan ingin berteriak 'Jika kalian membenci seseorang, abaikan saja! Jangan malah memperburuk mereka dengan perlakuaan dari hinaan kalian!', tapi Khira selalu melarangnya ikut campur dalam urusan orang lain. Ia tidak mau jika Emily sampai mendapatkan masalah karena kebaikannya.
"Adik Xavier Alvaro?" Emily tetap fokus dan santai dalam makannya.
"Kenapa kau selalu memanggilnya seperti itu? Mereka tidak ada hubungan darah, bodoh! Ada puluhan murid di sekolah ini yang memiliki nama belakang yang sama tapi tidak bersaudara."
"Aku tahu," Emily mulai menyendokkan suap-suap terakhir di mulutnya tanpa menatap lawan bicaranya. Berbicara tentang Alex Alvero membuatnya sedih. Mengingatkannya bahwa dunia itu tidak adil. "Aku suka memanggilnya begitu karena nama belakang mereka sama. Siapa tahu saja mereka saudara."
Siapa yang tidak mengenal Xavier Alvaro? Anak sulung dari dua bersaudara pemilik sekolahnya sekarang. Bukan hanya pemilik sekolah, tapi keluarga mereka juga memiliki beberapa departemen store di beberapa kawasan luas kota itu.
Emily suka memanggil menyebut Alex sebagai adik Xavier karena nama belakang mereka yang sama. Walaupun nama mereka sama, tapi Xavier berbeda jauh dengan Alex.
Xavier sangat terkenal di sekolahnya dan dielu-elukan oleh semua murid terutama kaum hawa. Fotonya pernah terpampang di mading sekolah yang memperkenalkannya sebagai anak sulung pemilik sekolah yang sekarang melanjutkan studinya di salah satu sekolah terkemuka. Dia sangat tinggi dengan tubuh proporsionalnya yang tergambar jelas di balik jas muda mengkilapnya.
Emily pernah melihat foto itu dan benar kata orang-orang, dia sangat tampan. Tapi sayangnya bagi Emily tetap tak ada yang mengalahkan ketampanan Eric.
Satu hal yang masih menjadi misteri Xavier adalah adiknya. Dia mempunyai saudara kembar yang selalu menjadi pertanyaan banyak orang.
Kakaknya saja tampan sekali, bagaimana dengan adiknya? Biasanya yang bungsu yang paling tampan. Itu yang sering Emily dengar. Selama ini hanya foto Xavier saja yang terlihat, tidak dengan adiknya. Itulah mengapa Emily sering menjuluki Alex Alvaro sebagai adik Xavier Alvaro karena nama belakang mereka.
"Kau terlalu banyak membaca novel dan menonton drama, Ly!" Khira menyentil kepala Emily dengan gemas. "Aku mau bilang kalau Alex akan pindah ke kelas kita."
"Ke 12-1? Bukannya ia menolaknya? Kenapa di saat sudah hampir ujian akhir?"
Kelas Emily adalah kelas dengan murid-murid superior di dalamnya. Dia memang pernah mendengar gosip bahwa Alex menolak masuk ke kelas itu dengan alasan beban julukan kelas itu terlalu berat untuknya, padahal Alex sendiri dinyatakan lulus dengan bebas tes untuk masuk di kelas itu. Tapi kenapa sekarang dia mau ke kelas itu?
Khira mengangguk. "Sepertinya dia berubah pikiran, tapi teman sekelas kita menentangnya. Kalau aku, sih, mau saja."
"Aku juga setuju," timpal Emily yang sudah menutup bekal saat ia mulai merasa kekenyangan. "Kudengar dia juga cukup baik, kok. Kapan dia mulai masuk?"
"Lusa."
***
"Hmm ...." Emily mencium aroma yang sangat ia sukai begitu memasuki rumahnya. Kue coklat! Seakan terhipnotis, Emily langsung berjalan dengan mata tertutup ke dapurnya tanpa menabrak.
"Hidung rubahmu itu benar-benar luar biasa," cibir Sara—ibu Emily—yang memegang kue coklat yang masih baru. Terlihat dua bongkah kue coklat menggoda di hadapannya. Yang satu masih berasap di tangan Sara dan yang satu telah di taruh dalam tempat kue dan ditutup dengan rapat.
Dia tahu untuk siapa kue yang satu itu.
"Biar aku yang bawa!" teriak Emily merebut kue yang ditutup itu. Lalu melesat keluar dari pintu rumahnya tanpa mengganti pakaian sekolahnya. Pergi ke tempat tujuan di mana kue itu akan diberikan.
"Cepatlah pulang dan ganti bajumu! Jangan berlama-lama menggoda Eric!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top