Four
Joey, menjemputku di sekolah! Teriak batin Emily.
Emily langsung merebahkan dirinya di kasurnya tanpa melepas baju sekolahnya. Ia begitu bahagia melihat wajah Eric yang menyapanya secara tidak langsung di gerbang.
Emily terus tersenyum menatap langit-langit kamarnya dengan senyuman lebar. Pria itu begitu mempengaruhinya. Hanya dengan hal kecil seperti menjemput saja sudah membuatnya terbang. Bagaimana jika dia bisa mendengar pernyataan cinta Eric?
Rasanya ia belum puas melihat Eric. Ia ingin melihatnya lebih lama lagi. Di dalam mobil tadi hanya Emily yang tampak hidup. Sedangkan Eric hanya seperti supir yang tidak tahu caranya bicara. Bahkan wajah dingin penuh keterpaksaan, Eric tetap terlihat sempurna di matanya.
Sara ternyata meminta tolong pada Eric agar menjemputnya karena Emily belum pulang juga padahal jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Emily sendiri lupa memberitahu ibunya bahwa ia akan pulang terlambat karena hukuman dari guru matematikanya untuk seisi kelas.
Tapi siapa sangka, itu malah membawa berkah untuknya?
***
Emily mengetuk pintu kayu kokoh itu dengan sabar sebelum Merida membuka pintu dan tersenyum menyambut Emily. Bahkan Jinx, kucing cantik berbulu tebal bermata bulat besar peliharaan Merida, juga langsung menghampiri Emily dan mengosok-gosokkan kepalanya di kaki Emily dengan sayang.
"Emily? silahkan masuk, sayang. Joey lagi bersiap."
"Joey mau ke mana, Tante?" tanya Emily sembari meraih Jinx dan menggendongnya masuk. Pikiran buruknya mengatakan bahwa mungkin Eric akan pergi kencan dengan wanita yang berbeda lagi kali ini.
"Ke supermarket," jawab Merida dan Emily bernafas lega.
"Mana daftar belanjaannya?" tanya Eric yang tiba-tiba saja muncul.
Bukannya memberikannya pada Eric, Merida malah memberikan secarik kertas berisikan belanjaan yang perlu dibeli Eric itu pada Emily. Emily tampak bingung di tempatnya setelah menerima secarik kertas itu sedangkan Eric mendengus lalu menatap ibu dengan pandangan protes dan tak terima.
"Temanilah, Eric," perintah Merida. "Belanjaannya ada banyak, kau bisa membantunya, kan?"
Emily mulai mengerti dan mengangguk antusias. Ternyata Merida memberinya kesempatan untuk bersama Eric untuk berbelanja. Emily berusaha menahan dirinya sekuat tenaga untuk tidak berteriak dan melompat bahagia.
Gadis itu langsung berlari dan menarik tangan Eric tak sabaran. "Kalau begitu kami pergi!" pamit Emily dan Eric hanya bisa pasrah diseret oleh gadis yang selalu membuat risih.
"Bawang, ayam, apel, jeruk, biskuit chips, semangka, coklat bubuk, seprai baru, dan ... aku rasa sudah semua." Emily menghitung dan mengabsen satu-satu bahan-bahan yang ada di dalam troli besar itu.
"Bagus, aku sudah mulai lelah menunggumu." Eric dengan malas mulai berjalan sambil mendorong troli ke arah kasir.
Untuk kesekian kalinya Emily tersenyum sambil fokus menatap wajah tampan Eric yang serius dan dingin. Pria itu sekali lagi berada di jarak yang dekat dengannya hingga gadis itu bisa mencium aroma maskulin sekaligus manis yang sepertinya hanya dimiliki Eric.
"Kita seperti pengantin baru!" Emily langsung memeluk salah satu lengan Eric dengan begitu bahagia membuat pria itu terkejut.
"Dalam mimpimu." Eric langsung melepaskan kedua tangan Emily dari lengan dan berjalan mendahului Emily tanpa berbalik lagi. Gadis itu hanya tersenyum seakan mendapatkan kalimat cinta dari Eric sebelum berlari kecil mengejar Eric.
"Kau tidak tahu kehendak Tuhan," balas Emily begitu kembali berjalan di samping Eric yang tetap acuh padanya. "Bisa saja besok pagi kau bangun dengan rasa cinta yang besar padaku."
"Tidak mungkin, kecuali jika kau memeletku."
***
Seorang pria tampan tengah termenung di dalam ruangan besarnya. Dia duduk sambil menopang kepalanya pada piano besar berwarna hitam mengkilapnya.
Pria tampan itu terus sesekali tersenyum geli sendiri. Matanya menerawang jauh ke depan seakan pergi menjelajahi lorong waktu. Terkadang ia tersenyum mempesona, terkadang ia terkikik geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Anda memanggilku, Tuan?" tanya pria paruh baya itu setelah menunduk kecil untuk hormat pada bosnya.
Pria itu duduk tegak dengan tatapan mata tegas. "Aku mau kau mencari tahu segala hal tentang Emily Natasha, Gerald. Cari semua hal yang berhubungan dengannya dari ia lahir hingga sekarang, secepatnya."
"Baik, Tuan." Pria itu kembali menunduk kecil sebelum pergi meninggalkan tuannya yang tetap tersenyum.
***
"Akhirnya kau datang juga." Senyum indah Emily langsung menyapa penglihatan Alex. Pria itu hanya bisa diam di tempatnya berdiri seperti biasa sambil menunduk antara takut dan malu hingga tangan lembut Emily langsung menariknya masuk. "Ayo, Molly sudah ada di belakang."
Hari ini mereka akan mengerjakan tugas kelompok biologi sesuai yang mereka janjikan, maksudnya sesuai yang Molly perintahkan. Molly sendiri sudah datang lima belas menit yang lalu dan sempat mengajak Emily untuk mengerjai Alex yang tentu saja ditolak mentah-mentah olehnya.
Emily mengajak mereka mengerjakan tugas di belakang rumah dengan alasan bahwa di belakang lebih segar dan sejuk. Sebenarnya itu hanyalah alibi Emily, ia tahu setiap sore Eric akan menyiram bunga Merida. Agar menambah semangatnya, ia sengaja memilih tempat yang bagus untuk mengisi energinya dengan melihat Eric yang tampan menyiram bunganya.
"Akhirnya si aneh datang juga," ketus Molly yang sudah menyesap jus jeruk yang dibuat oleh Emily dengan santai.
"Molly!"
"Baik! Aku bercanda, Alex." Molly memutar bola mata begitu Emily mengintrupsinya.
Dua jam berlalu dan jam tangan Emily sudah hampir menunjukkan pukul lima sore. Tugas mereka sudah hampir selesai. Mereka tinggal menjilid tumpukan kertas tugas itu dan semuanya akan selesai. Dan Molly? Dia tertidur di meja itu sejak sejam yang lalu. Emily sendiri sudah lelah membangunkan Molly yang seperti orang mati dalam tidurnya. Ia lebih memilih mengerjakan sisanya bersama Alex.
Alex selalu bungkam dan tidak banyak bicara sehingga membuatnya sedikit bosan dan hampir jatuh tertidur seperti Molly. Setiap Emily bertanya atau sekedar menyahut untuk mencairkan suasana, Alex kembali mengubah suasana menjadi kaku dengan jawabannya yang begitu irit.
"Akhirnya!" Emily bersorak sambil merenggangkan otot-otot tangannya yang kaku ke atas dan menariknya ke belakang hingga kursi yang ia duduki hampir terjungkal, jika saja Alex tidak menolongnya dengan menahan belakang kursi itu dan kembali mendorongnya ke depan.
"Hati-hatilah," kata Alex dengan wajah tanpa ekspresinya. Kembali menunduk begitu Emily menatapnya terima kasih.
"Alex kau terlalu kaku."
"Apa?" Alex hanya mengangkat satu alisnya tak mengerti.
"Ini yang membuat orang-orang melihatmu aneh, Alex ...." Alex semakin menundukkan kepalanya dan Emily melihat itu. "Maaf, bukan begitu maksudku. Maksudku kau santai saja, jangan kaku seperti ketakutan. Kau bisa jadi orang yang sedikit mempesona jika kau menyadarinya."
Alex hanya diam menatap Emily sebelum tertawa geli mendengar Emily. "Aku? Sedikit mempesona?" tanya menekan kata sedikitnya.
Emily mengangguk pasti. "Iya, seperti ini ...."
Alex tertegun saat Emily menarik kemejanya hingga keluar dari dalam celananya lalu membuka kancing pertama kemeja yang selalu nampak mencekik leher pria itu. Kemudian dengan lucu mengacak-acak sedikit rambut depan Alex sedangkan pria itu hanya menatap lekat Emily yang sedang sibuk mendandaninya.
Sebuah tarikan senyuman di salah satu ujung bibirnya muncul melihat tingkah Emily padanya.
"Apa-apaan ini? Kacamatamu tidak minus sama sekali!" protes Emily begitu melepas kacamata Alex dan mencoba memakainya. "Atau jangan-jangan aku juga minus? Berapa minusmu Alex? Apa tinggi?!" Emily terlihat panik dengan opininya sendiri membuat Alex terkikik geli.
"Tidak, kau tidak minus, begitu pula dengan aku." Emily sedikit tenang mendengar Alex. "Kacamata itu memang tidak minus, hanya mencegah minus saja."
"Syukurlah." Emily meredakan kepanikannya kemudain tersenyum melihat hasil karyanya. Ia meraba-raba isi tas Molly dan mengeluarkan sebuah cermin—yang sering Molly bawa ke mana-mana—dari dalam sana.
Alex tersenyum melihat pantulan dirinya di cermin Molly.
Tentu saja tampan.
Emily ikut tersenyum melihat Alex juga tersenyum pada dirinya sendiri. "Lihat, kau benar-benar terlihat seperti adik kembar Xavier Alvero."
Senyuman Alex langsung pudar begitu Emily menyebutnya seperti itu. Dia langsung merapikan rambutkan lalu kembali memakai kacamatanya dengan cepat. Bahkan kemejanya kembali ia kancing dan di masukkan ke dalam celananya membuat Emily memandang heran.
"Siapa itu?" suara serak bangun tidur dari Molly membuyarkan pikirannya. "Kenapa pandangannya wajahnya sinis sekali ke arah kita?"
Emily dan Alex langsung menatap hal yang di tatap Molly. Emily memekik girang melihat Eric sedang menyiram tanaman. Pria itu hanya berbalik dan menatap Emily dengan enggan beberapa detik lalu kembali fokus ke tanaman yang ia siram. Ia kemudian menatap Molly yang tidak berkedip, sontak membuatnya langsung menutup mata Molly dengan kedua tangannya sehingga membuat gadis itu berteriak tidak terima untuk segera dilepaskan.
"Jangan memandangnya! Dia milikku!" Emily tetap bergeming dan semakin mempererat menutup mata Molly.
Sudah begitu banyak wanita yang melihat Eric dan mereka semua langsung jatuh cinta. Dia sudah tak sanggup untuk mendapatkan saingan baru apalagi jika orang itu adalah Molly.
"Akh!" Emily menjerit begitu Molly langsung mengigit lengannya dengan gemas hingga kedua tangan Emily melepas tutupan matanya.
"Kau membuat mataku benar-benar langsung terbangun!" protes Molly. "Lagi pula aku tidak menyukai tetanggamu itu!"
Emily merasa lega dan sedikit menatap Molly menyelidik begitu gadis itu mengatakan tidak menyukai. Sejauh ini semua wanita yang Emily kenal akan langsung jatuh cinta pada Eric—selain Khira juga—dan wanita seperti Molly tidak menyukai Eric?
"Apa yang kau lihat?" Molly melotot tak suka dengan pandangan Emily. "Aku normal!"
Alex hanya diam di tempatnya. Ia tampak berpikir dengan wajah datar.
"Baguslah," sahut Emily dengan tatapan yang masih tidak percaya.
Melihat tatapan Emily masih sama, Molly mulai geram. "Aku bukan tipe wanita pengemis cinta yang mengejar. Aku adalah tipe yang dikejar oleh pria pengemis cinta."
Emily sedikit menunduk mendengar itu. Dia merasa malu menjadi seorang wanita. Kata-kata Molly seakan menamparnya. Apakah selama ini dia terlihat seperti pengemis cinta yang menyedihkan di mata Eric? Tapi mau bagaimana lagi, dia begitu mencintai Eric.
"AH! Jusnya enak sekali!" celetuk Alex mengagetkan keduanya sambil terus meneguk segelas jus sekaligus hingga tandas, hingga tersisa bulir-bulir di pinggir bibirnya.
Alex bisa melihat kesedihan yang berusaha Emily tutupi dan dia berusaha menghangatkan suasana dengan tingkah bodohnya. Dia tahu kalau Emily menyukai tetangganya itu dari Khira, jadi dia juga tahu bahwa Emily pasti sedikit terluka dengan kata-kata Molly itu secara tidak langsung.
Dan berhasil! Emily sedikit tertawa melihat tingkah Alex sedangkan Molly menatapnya dengan jijik. Dia tak peduli tatapan yang lain, yang penting Emily tersenyum, itu sudah cukup baginya.
Alex berbalik pada tetangga Emily yang pernah ia lihat sebelumnya saat pria itu datang menjemput Emily di sekolahnya dulu. Pria yang kata Khira bernama Eric itu.
Alex melihat Eric yang juga menatapnya tajam sambil sedikit mendengus sebelum pria itu mengalihkan pandangannya dan masuk ke pintu belakang rumah mewah itu.
***
"Hai, Joey!" Emily langsung berlari ke arah Eric yang tengah bersiap untuk pergi kuliah.
Pria itu sudah memakai tasnya dan sudah memegang kunci mobilnya yang sudah terparkir manis di pinggir jalan kawasan itu. Ia hendak masuk ke dalam mobil sport hitamnya tapi dia malah dihalangi oleh Emily seperti biasa.
"Minggirlah, aku mau pergi!" Perintah Eric tapi Emily malah tersenyum manis dengan bergeming di tempatnya. Eric mulai geram dan mendorong Emily menjauh.
TINNN!!
Klakson motor seorang pengantar makanan berhasil membuat Eric menarik tangan Emily yang sempat ia dorong agar segera ke masuk dalam pelukannya, sebelum gadis itu bernasib tergeletak di tengah jalan itu.
"Kau ini, benar-benar ...." Eric menggantung kalimatnya saat ia merasakan tangan mungil Emily membalas pelukannya dengan sangat erat dan membenamkan wajahnya di dada Eric seperti biasa.
Eric berusaha melepaskan Emily dari tubuhnya, tapi sayangnya Emily berubah menjadi permen karet jika melihatnya. Dia mulai heran, bagaimana bisa ada gadis seperti Emily?
"Sampai jumpa lagi, Joey!"
Eric bernafas lega saat bus sekolah itu datang tepat waktu sehingga mau tak mau Emily terlepas dengan sendiri. Terlihat raut wajah sedikit kecewa terukir di wajah Emily sambil melambai pada Eric yang malah memalingkan wajahnya dan masuk ke dalam mobilnya.
Aku tidak mau berurusan dengan gadis itu lebih lama. Sahutnya dalam hati kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi hingga warna hitam bannya yang berdecit kaget tercetak di jalan itu.
Emily tersenyum sendu dari dalam bus itu melihat mobil Eric sudah pergi lebih dulu. Ia menatap miris pergelangan tangannya yang memerah karena cengkraman erat tangan Eric. Bahkan di saat pria itu menolongnya, pria itu tetap menyakiti. Dan bodohnya ia tetap tersenyum serta memeluk pria itu dengan erat.
Jika orang-orang mengatakan Emily mengalami cinta buta atau cinta gila dengan tetap bahagia mencintai pria yang selalu menyakiti hati dan fisiknya itu, mereka telah salah. Mungkin orang-orang melihat Emily sebagai wanita paling bodoh dengan tetap tersenyum pada pria yang menyakitinya, tapi itu tetap salah. Emily bukanlah gadis yang akan terus tertawa dan tersenyum seperti idiot setiap kali ia disakiti.
Hampir setiap malam Emily merenung di kamarnya. Meratapi nasibnya yang menyedihkan dan hatinya yang keras. Ia selalu merenungkan sikap kasar dan kata-kata pedas Eric yang menganggapnya aneh atau bahkan tak ada. Terkadang ia menangis hanya karena memikirkan kenyataan bahwa Eric takkan pernah mencintainya seperti ia mencintai pria itu
Ia tahu kenapa Eric begitu dingin dan menutup hatinya darinya.
Liza, kekasih pertama sekaligus cinta pertama Eric. Entah di mana wanita itu sekarang, baik ia atau Eric tidak tahu pastinya. Mereka hanya mengetahui negaranya saja.
Eric begitu mencintai Liza hingga saat ini pun. Emily sering mendapati Eric termenung di tengah malam di berandanya sambil memandang ribuan bintang. Seakan ia mengucapkan doa dan permohonan pada setiap bintang yang ia lihat. Persis seperti yang sering Emily lakukan jika merindukan Eric.
Dia tahu Eric merindukan seseorang hingga menatap langit dengan begitu sedih. Dia mengetahuinya saat Eric mengucap sebuah nama dengan lirih di malam itu.
Liza, lirih Eric malam itu.
Dan malam itu pula, Emily menangis semalam di balik selimutnya. Sejak itu ia tahu bahwa hati Eric tidak akan pernah menjadi miliknya atau milik siapa pun selain wanita bernama Liza itu. Bahkan wanita-wanita yang sering Eric bawa dan kencani hanyalah alibi untuk menghibur kekosongan Liza.
Emily bisa melihat tak ada tatapan cinta yang tulus di mata Eric memandang wanita-wanita itu. Tatapan cinta tulus yang hanya bisa terlihat saat Eric terbangun di tengah malam kemudian menatap langit malam sambil tersenyum, seakan menatap lukisan seseorang di langit indah itu. Tatapan itu begitu teduh dan membuat Emily berdebar hanya dengan melihatnya.
Hanya dengan melihat ke dalam mata itu, kau bisa tahu hatinya berusaha tersenyum menunggu seseorang yang tak diketahui kapan kembali.
Sekarang harapan Emily hanya ada satu. Harapan yang selalu ia lantunkan kepada ribuan bintang.
Aku harap Liza tak pernah kembali.
Malam itu malah berubah menjadi mendung lalu berakhir dengan hujan yang berjatuhan ke bumi. Dan malam itu pula Emily sadar, itu adalah pertanda buruk untuknya.
Tes ....
Emily segera menghapus bulir air matanya yang jatuh begitu saja sebelum seisi bus melihat betapa lemah sebenarnya Emily Natasha di balik senyum ceria pantang menyerah itu.
"Joey," lirihnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top