♥ 5. Pilih : Peluk Teddy Bear atau Kau! ♥
❤STAR LOVER 5 - PELUK TEDDY BEAR ATAU KAU! ❤ - http://wp.me/p3pRdf-1L
By the way! Kalian sombong, mau baca, taruh di library tapi ogah ngefollow. Apa karena Cici bukan penulis femes, ya? Sedih Cici.
Tristan masih berusaha menelan pancake buatan ibunya dengan terpaksa ketika Bintang masuk ke ruang makan itu. Ibunya baru saja memaksanya memilih salah satu foto gadis yang akan dikenalkan ibunya padanya. Dengan segala cara Tristan menolak. Ia berusaha meyakinkan ibunya kalau dirinya masih bisa mencari pacarnya sendiri. Ibunya meralatnya dengan calon istri.
"Pagi, Oma. Sarapan atau dikasih racun Uncle Ben?"
Tristan melotot, begitu juga ibunya.
Gadis remaja itu hanya menyeringai mendapat tatapan horor dari oma dan pamannya.
"Apa kau tidak punya ruang makan dalam rumahmu sendiri?" sindir Tristan sebal. Dan lagi-lagi gadis itu menyeringai.
"Mama tidak masak," jawabnya.
Tristan terkekeh.
"Siapa suruh dia kawin muda jadinya tak sempat belajar memasak pada Mama," ejeknya.
"Benedict!"
Tristan langsung mengunci mulutnya rapat-rapat karena mendapat teguran dari ibundanya.
"Tidak ada salahnya kalau Vega kawin muda asal dia bahagia. Tidak ada salahnya juga seorang istri tidak bisa memasak," tukas ibunya Tristan sambil mengambilkan sepotong pancake untuk cucu perempuannya. Bintang mengucapkan terima kasih pada Omanya.
Tristan mengangguk-angguk sambil menghirup tehnya. Ketika ia meletakkan cangkir tehnya kembali ke meja, ia berkata, "Kalau begitu, Ma, bila calon istriku kelak tak bisa memasak, apa Mama akan suka rela menerimanya?"
Ibu Tristan berjengit dan tak bisa menjawab, ia hanya menatap Tristan dengan tatapan kesal. Tristan menelan ludahnya dan berpikir harusnya ia tak mengatakan kata-kata yang membuat ibunya kehilangan kata-kata seperti itu. Sungguh aneh melihat ibunya diam begitu.
Tristan sempat melirik keponakan kurang ajarnya menyembunyikan tawanya. Ia berharap gadis kepo itu bisa dicekiknya saat itu juga.
"Aku mau pergi kerja dulu, Ma," ucap Tristan. Ia pikir lebih aman ia pergi sebelum ibunya meledak marah. Pria itu bangkit sambil menyambar ransel dan jaketnya yang ia letakkan di kursi di sampingnya lalu mencium pipi ibunya.
"Aku tidak pulang makan malam ya, Ma. Bye bye Rotten Niece," ucap Tristan buru-buru pergi dari ruang makan yang bersebelahan dengan dapur itu.
"Uncle Ben, jangan lupa beli kado ulang tahunku!" pesan Bintang.
"Beli saja sendiri. Nanti uangnya kuganti," balas Tristan yang sedang memakai sepatu Conversenya.
"Tidak mau! Uncle Ben sama sekali tidak romantis!" protes gadis bermata lebar itu.
"Aku bukan pacarmu! Tapi baiklah aku beli hadiahnya. Jangan salahkan aku jika tak sesuai dengan kehendakmu."
♥ Star Lover ♥
Sore itu ketika kelas musik Elsa bubar, Elsa mencoba membohongi dirinya kalau ia tidak peduli apakah Tristan akan datang menjemputnya atau tidak setelah sebelumnya ia tidak membalas chat Tristan yang mengajaknya makan malam bersama.
Elsa mencoba melupakan ajakan dari cowok itu. Ia berkali-kali meyakinkan dirinya kalau Tristan hanya bergurau soal makan bersama atau kalau pun ia serius, cowok jangkung itu bakal mengurungkan niatnya sebab Elsa tidak menjanjikan apa pun.
Elsa tidak nyaman dibonceng olehnya. Bukan karena roknya yang bisa terbang oleh kuatnya angin. Bukan juga karena debu yang mengotori wajahnya.
Ia tidak nyaman karena banyak hal.
Salah satunya adalah ia harus memeluk pinggang ramping milik cowok itu ketika duduk di motor milik Tristan.
Wajah Elsa memerah karena mengingat setiap detil pinggang Tristan. Perut Tristan rata dan kencang meskipun ia kelihatan kurus. Mungkin ia terlihat kurus karena ia lebih tinggi dari cowok-cowok pada umumnya. Tristan memiliki tinggi yang lebih dari Donny dan David. Donny masih menjaga porsi tubuhnya dengan fitness dan yoga sedangkan David sudah tampak lebih tua dari usianya yang sebenarnya baru 39 tahun.
Elsa menghela nafas panjang, mencoba mengusir bayangan wajah dengan kulit pucat itu dari pikirannya.
Kemarin ketika Donny memergokinya pulang diantar oleh Tristan, Donny menggodanya dengan mengatakan kalau ia cocok sekali menjadi aktris utama film remake Romantic Blood. Elsa hanya melengos dan meninggalkan Donny yang sempat melambaikan tangannya pada Tristan yang baru memakai helmnya kembali.
Berondong memang sangat menggoda ya.
Cih, Donny memang kepo!
Cowok itu masih berusaha memancing-mancing apa yang terjadi antara Tristan dan dirinya ketika mereka menyiapkan makan malam, dilanjutkan pada saat nonton televisi, lagi dan lagi. Padahal tidak ada yang terjadi antara dirinya dan Tristan.
Tristan hanya mengembalikan kemeja milik Donny lalu berbaik hati mengantarnya pulang. Hanya itu.
Lalu pagi itu Tristan mengajaknya makan malam.
Bukan makan malam yang romantis, sih. Sebab makan nasi goreng di pinggir jalan Pandu jauh banget dikatakan romantis.
Tapi kenapa ya, dia mempersiapkan dirinya secara khusus untuk bertemu dengan Tristan lagi? Ia mandi lebih lama dari biasanya, memakai parfum kesayangannya (hadiah dari David sewaktu mereka belum bercerai dan ketika ia menyadari kalau parfum itu hadiah dari mantan suaminya, ia mandi lagi untuk menghilangkan bau itu.) Ia juga memakai celana panjang supaya roknya tidak terbang lagi jika harus duduk di belakang motor Tristan.
Aku pasti sudah menderita delusi akut, seperti kata Donny.
Elsa melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Jam setengah enam.
Ia menahan diri untuk tidak melirik ke arah tempat di mana Tristan muncul kemarin sore.
Ia akan muncul jika sudah melihatmu.
Oh come on, Els. Kau benar-benar menunggu si Romantic Blood. Wake up!
Elsa menggeleng.
Tidak cukup bagimu cintamu yang terlalu menyakitimu.
Lagi-lagi Elsa menghela nafas.
I am a man who will fight for your honour (Glory of Love by Peter Cetera)
Tanpa melihat layar, Elsa langsung mengusap layar terima.
"Ya hallo."
Rasanya aku terlalu terburu-buru menjawab telepon, seolah-olah aku sangat berharap kalau Tristan yang menelepon.
"Apa karena menungguku membuat wajahmu tampak kesal begitu?"
Tanpa sadar di bibir Elsa terukir senyum. Tristan pastilah berada di sekitar tempatnya berada sampai bisa tahu bagaimana mimik wajahnya.
Ia pun mematikan ponsel dan mencari sosok jangkung dengan wajah unik itu. Tristan ada di atas motornya di dekat kios penjual majalah dan surat kabar di simpang jalan. Cowok itu sudah melepas helmnya dan tersenyum pada Elsa. Senyuman khasnya yang hanya segaris dan membuat alisnya jadi kelihatan bersambung. Lalu ia menjalankan motornya sampai berhenti di tempat Elsa berdiri.
Ia menatap Elsa. Tidak berkata apa-apa.
Senyuman masih terukir di bibirnya.
Well.
"Kau sedang ngojek di sini?"
Apa?
Tristan melotot. Meskipun melotot matanya tetap saja berbentuk ujung pisau.
Elsa tertawa lepas.
"Kau bisa bercanda juga?"
Kau?
Sejak kapan ia berkau padaku?
"Aku tidak bilang padamu mau makan nasi goreng."
"Jadi kau mau makan apa?"
Elsa menggigit bibirnya.
"Maksudku, aku tidak bilang mau makan malam bersamamu."
"Hm, kukira semua orang harus makan malam. Jangan bilang kau diet. Bentuk badanmu sudah bagus," bisik Tristan menggoda. Suaranya rendah, seksi, dan uh...
Ah baiklah, Elsa mulai meragukan keteguhan dan pendiriannya tentang konsep janda yang tidak jalang. Ia tahu kalau Tristan tak bermaksud kurang ajar, ia juga bukannya tidak pernah didekati pria pasca ia bercerai dengan dengan David, tapi kali ini ia hanya bisa bengong dan meleleh dengan kata-kata Tristan. Ia bukan gadis remaja lagi. Ia yang biasanya tak pernah bisa dirayu dengan kata-kata gombal seperti itu tapi kenapa ya sekarang lututnya lemas? Dalam dadanya seperti ada air laut yang sedang bergolak. Ombak yang sedang menghantam karang.
Ia hanya berharap kalau wajahnya tidak memerah hingga Tristan tak perlu tahu apa efek yang ditimbulkannya karena kata-katanya itu.
"Jadi, kita makan malam di mana?" tanya Tristan.
Aku benar-benar tak ingin makan malam denganmu.
Elsa menatap mata berbentuk unik itu. Tristan tersenyum padanya, matanya yang tajam seakan ikut tersenyum.
"Aku masih belum lapar..."
"Hah, itu bagus! Aku juga. Kita pergi cari kado ulang tahun dulu, ya," potong Tristan cepat. Ia lalu menyodorkan helm cadangannya kepada Elsa, ia sengaja membawanya karena memang sudah punya rencana untuk makan malam bersama Elsa. Elsa masih ragu menerima helm itu tapi Tristan meraih tangannya dan menyerahkannya lalu ia membuka jaket kulitnya dan menyodorkannya kepada Elsa.
"Anginnya kuat. Kau mungkin butuh ini."
Elsa menggigil. Bukan karena dingin ataupun enggan mengenakan jaket yang baru dilepaskan Tristan itu.
Memakai helm bekas Tristan saja sudah menghiptonisnya seperti orang bodoh apalagi memakai jaketnya. Bau maskulin pria itu termasuk bau asap rokok, bau keringat, bau parfum melekat di jaket itu. Itu sama saja seperti dipeluk Tristan.
"Kurasa ehm, aku tidak perlu memakai jaket, kok."
Tristan mengendus jaketnya yang baru saja ditolak Elsa.
"Kurasa baunya tidak terlalu menyengat kok, meskipun sudah tiga hari tidak dicuci," candanya. Elsa tertawa.
"Bukan itu!"
Tristan ikut tertawa. Suaranya khas, rendah dan dalam. Suara yang bisa menyihir orang-orang yang mendengarnya. Tristan memang punya keahlian seperti penyihir.
"Aku serius. Pakai saja. Kali ini perjalanan kita agak jauh. Akan kuingat membawa dua jaket jika pergi bersamamu di waktu yang akan datang," tukas Tristan.
Di waktu yang akan datang....
Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di kepala Elsa ketika motor Tristan melaju menuju sebuah mall besar di Medan.
♥ Star Lover ♥
Elsa berusaha menahan kekesalannya ketika Tristan menggiringnya ke sebuah gerai toko yang menjual boneka teddy bear. Actually, boneka teddynya cukup menggemaskan karena toko iu juga menyediakan oufit lucu yang bisa dipakai oleh bonekanya. Ya, andai saja Elsa masih berusia belasan tahun waktu diajak ke gerai itu.
Masuk ke toko itu bersama Tristan justru sepertinya cowok itu sengaja membuat Elsa ingat berapa usianya sekarang. Tiga puluh enam tahun. Dan cowok jangkung yang tadinya sempat membuatnya jantungnya ikut cabang olah raga atletik sedang memilih boneka teddy bear dan dapat dipastikan kalau penerima hadiah adalah seorang perempuan.
Tristan mengambil sebuah boneka berukuran raksasa dengan pakaian piyama. Bulu-bulunya halus dan sepertinya boneka itu enak dipeluk. Tapi Tristan lebih enak dipeluk daripada boneka bulu itu. Lengan pria itu tampak berotot dan kekar. Ia mungkin sering melakukan olah raga sama seperti Donny. Elsa bisa membayangkan lengan kekarnya memeluk pinggang Elsa dari belakang dan itu membuatnya bergidik.
Elsa mencuri pandang ke arah Tristan yang meletakkan boneka ukuran raksasa itu ke tempatnya. Tristan tahu cewek itu sedang mencuri pandang dan ia tersenyum pada Elsa membuat Elsa malu dan harus pura-pura tertarik pada sebuah boneka yang menurut keterangan sang pelayan toko berukuran 12.
Tristan mendekati tempat Elsa dan ikut mengambil boneka berukuran 12 itu.
"Tidak jadi yang tadi? Yang gede itu?"
Tristan menggeleng.
"Terlalu besar. Aku tidak sudi membawanya pulang dengan resiko ditilang polisi jika ia didudukan di antara kau dan aku," jawab Tristan berbisik. Elsa terkikik geli.
"Untuk siapa sih?" tanya Elsa tak bisa menyembunyikan rasa penasaran. Tristan menoleh, menatap mata Elsa dan berkata, "Gadis spesial."
Mendadak bahu Elsa terasa ditindih oleh berton-ton batu. Ia mencoba untuk meyakinkan dirinya kalau ia tidak kecewa. Pria yang lebih muda dari dirinya itu tak mungkin tertarik padanya. Ia mengajak Elsa ke luar karena butuh masukan untuk mencari kado untuk gadis spesialnya.
Yang harus dilakukannya sekarang adalah membantu Tristan membeli kado lalu pulang. Ia akan mencari seribu satu alasan agar dirinya urung makan malam dengan cowok itu.
"Yang ini saja," tukas Elsa sambil mengambil salah satu boneka tapi bukan jenis yang sama dengan yang diambil Tristan. Memang ia agak risih ikut memilihkan hadiah buat gadisnya Tristan tapi ia melakukannya supaya ia bisa cepat-cepat menyudahi kegiatan menyiksa ini.
"Apa bedanya dengan yang ini?" tanya Tristan sambil menunjuk boneka yang dipegangnya.
"Yang itu ada tulangnya. Kaki dan tangan bisa digerakkan. Tapi kalau yang ini tanpa tulang lebih lembut sehingga lebih enak dipeluk waktu tidur."
"Darimana kau tahu kalau ia lebih enak dipeluk?"
"Coba saja peluk. Kau tentu ingin gadis spesialmu memeluk boneka ini sambil membayangkan dirimu kan?" tanya Elsa tanpa bisa menyembunyikan nada sinisnya.
Tristan tertawa terbahak-bahak sampai Elsa heran.
"Sama sekali bukan seperti itu," elak Tristan sambil mengibaskan tangannya dan tertawa lagi.
Aneh membayangkan Bintang memeluk boneka itu lalu membayangkan boneka itu adalah dirinya. Yang ada Tristan jijik.
"Ada apa sih?"
"Aku tak bisa membayangkan keponakanku tidur sambil memeluk boneka itu seolah boneka itu adalah aku," gumam Tristan geli. Elsa menutup mulutnya. Ia malu. Sungguh-sungguh malu.
Elsa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Baiklah, sekarang aku benar-benar malu."
Tristan menahan senyumnya lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Elsa. Elsa bisa merasakan hembusan nafas Tristan ke wajahnya. Ia tak berani bergerak karena takut jika ia bergerak malah akan berakibat fatal meskipun Tristan tak mungkin menciumnya di keramaian seperti ini.
"Jadi... menurutmu, aku harus mencoba memelukmu untuk memastikan kalau dirimu memang enak dipeluk ya?" bisik Tristan dengan suara yang menggoda.
Elsa mendelik tapi tak bisa bergerak sedikit pun sampai Tristan tersenyum lalu menggandeng tangannya menuju kasir untuk membayar boneka itu.
♥ Star Lover ♥
"Ciee lagi-lagi diantar pulang. Kali ini terlambat. Darimana saja, Missy?" tanya Neymar jadi-jadian ketika melihat Elsa turun dari motor Tristan. Elsa tampak jutek karena pertanyaan Donny sedangkan Tristan tenang-tenang saja sambil membantu Elsa melepaskan helmnya.
"Habis jalan-jalan dan makan malam," jawab Tristan karena dilihatnya Elsa sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan Donny.
"Wah, aku ngak diajak, toh," sindir Donny. Tristan terkekeh.
"Boleh, kalau kau tak keberatan duduk di sayap motor," tukas Tristan seenaknya.
"Ih, tidak sudi! Memangnya aku kurang kerjaan sampai harus jadi kecoa antara kalian berdua?" sindir Donny pedas. Tristan terkekeh lagi.
"Kami bawakan nasi goreng untukmu," tukas Tristan sambil menyodorkan sebuah bungkusan nasi yang wanginya sudah menggoda selera.
"Disuap dengan sesuap nasi goreng? Huh!" Si Neymar ini pura-pura tak berminat.
"Kalau dia tidak mau, berikan saja padaku. Nanti pasti ada yang bangun tengah malam untuk menjadi tikus," sindir Elsa tajam sambil melirik Donny. Donny jelas-jelas merasa tersindir dan langsung menyambar bungkusan nasi dalam plastik itu dari tangan Tristan.
"Yang bilang tidak mau siapa?"
Tristan menyeringai sambil menatap Elsa.
"Masuk yuk, Honey!" ajak pria bermata sendu itu pada Tristan. Ajakan Donny itu membuat Elsa was-was. Ia mungkin lupa membereskan pakaian kotornya yang ia letakkan di kamar mandi. Ia tak pernah malu jika Donny menemukan pakaian dalamnya tapi jika Tristan, seribu kali tidak!
Gelengan kepala Tristan membuat Elsa sedikit lega meskipun berbaur dengan sedikit kekecewaan.
"Lain kali saja. Sudah terlalu malam."
"Oh oke. Thankies buat...."
Donny menunjuk nasi gorengnya.
"Yep."
"Thanks dah dianter pulang," tukas Elsa canggung.
"Lain kali pulangnya agak malaman aja, Honey. Gak apa-apa kok, Elsa ngak ada yang nyariin."
"Sial kau!" maki Elsa pada Donny. Donny merangkul bahu cewek itu dengan perasaan sayang sementara Tristan hanya tersenyum-senyum penuh arti pada Elsa.
"Aku pulang ya, Els," pamit Tristan sambil mengedipkan sebelah matanya pada Elsa. Elsa masih sibuk menenangkan degup jantungnya ketika cowok itu mulai menjalankan motor Yamahanya. Perasaan Elsa mengatakan kalau ini pertama kali Tristan memanggil namanya.
"Aku pulang ya, Els. Cieeee...." goda Donny sambil meniru suara Tristan ketika motor cowok itu sudah menghilang dari simpang jalan. Spontan Elsa mencubit lengan Donny sampai cowok itu mengaduh kesakitan.
"Apaan cieee cieee?"
"Yang baru habis kencan. Sana cerminan, wajahmu bersemu merah. Apa cowok itu menciummu tadi?" goda Donny heboh.
"Lebay!"
"Oh, belum ya. Gak apa juga kalau kau yang kissue duluan. Berondongnya manis."
Donny cekikikan dengan centilnya sampai membuat Elsa ingin memuntahkan nasi goreng yang baru saja dimakannya dengan Tristan.
"Sekarang sudah ngak manggil Kak Elsa. Kemajuan ya," sindir Donny. Elsa melengos dan mengabaikan berusaha mengabaikan cowok itu. Ia berbalik ingin masuk ke rumah tapi matanya menangkap plakat RUMAH DIJUAL yang biasanya digantung di sebelah rumahnya itu sudah lenyap. Rumah yang letaknya di samping kanan rumah yang ditempati Elsa dan Donny di komplek ini memang sudah lama ingin dijual pemiliknya tapi meski banyak yang melihat-lihat namun tidak ada satu pun yang akhirnya membeli rumah itu padahal rumah itu dalam keadaan yang baik. Ukurannya tidak besar tapi keadaannya masih terawat karena pemilik rumah sering datang untuk membersihkan rumahnya.
"Apa kita akan punya tetangga baru?"
Donny angkat bahu.
"Mungkin. Aku dengar dari Tante Rima kalau rumah ini sudah dibeli orang," itukas Donny. Elsa pun mengangguk sebelum menggandeng tangan Donny masuk ke rumah.
"Jadi... kapan kau akan menjelaskan apa hubunganmu dengan si Vampir itu?"
♥ Star Lover ♥
Pada hari ulang tahun Bintang, Ibunya Tristan menyiapkan sebuah makan malam keluarga dan ia berpesan kepada seluruh anggota keluarga untuk hadir tak terkecuali Tristan. Tristan sudah merasa aneh sejak awal karena ibunya tidak pernah sedetil ini menyiapkan sebuah perayaan ulang tahun seorang anggota keluarga. Ibunya juga mempersiapkan baju yang harus dipakainya untuk acara keluarga tersebut berupa kemeja ngepas badan corak kotak-kotak merah putih.
Benar saja.
Pukul delapan malam tepat, ketika Tristan sudah duduk di depan meja makan yang dihiasi dengan taplak meja baru, tak lupa ada bunga-bunga indah serta kue ulang tahun untuk Bintang yang dipesan ibunya disebuah gerai cake yang baru saja dibuka di dekat rumahnya, bel rumah memanggil.
"Bukakan pintunya, Ben!"
"Suruh si Bintang saja," gerutu Tristan. Ibunya melotot meski tangannya masih sibuk merapikan meja makan yang sudah rapi. Tristan cengengesan saja.
"Buka pintu, Ben."
Kali ini ayahnya yang memberi perintah. Dengan segan Tristan bangkit dan menyeret kakinya menuju ruang depan untuk membukakan pintu buat tamunya. Si Kakak kepo sempat ikut bangkit dan berbisik, "Bersikaplah baik."
Perasaan Tristan makin tidak enak. Tapi dengan patuh ia berjalan ke depan sambil mempersiapkan diri melihat monster apa yang dipersiapkan ibunya beserta anggota keluarganya yang lain.
Bel pintu berbunyi lagi ketika ia masih menarik nafas untuk melihat kejutan di balik pintu.
"Ya! Sabar!"
Klik!
Pintu dibuka oleh Tristan.
Kini ia berdiri berhadapan dengan seorang cewek bergaun putih diapit oleh pasangan berusia paruh baya yang sepertinya adalah kedua orang tuanya.
Tristan bergidik. Ia seperti digiring ke tempat pernikahan tanpa sadar dan ketika ia sadar tangan sang mempelai wanita sudah disodorkan padanya.
"Selamat malam. Apa ini rumah Pak Bryan Lie?" tanya pria paruh baya itu.
Apa aku bisa berdusta kalau ini bukan rumah Bryan Lie sekarang dan Anda salah alamat? Pikir Tristan sambil menatap lurus wajah cewek di hadapannya itu. Wajah sempurna, tanpa jerawat, tanpa riasan berat, hanya lipgloss berkilauan di bibirnya yang tipis.
Oke, kali ini pilihan ibunya memang sempurna. Tapi tetap saja Tristan tidak suka cara ini. Ia tidak suka semua orang merecoki kehidupannya.
Pria paruh baya itu mendehem.
"Eh Pak Daniel sudah datang. Ayo diajak masuk Ben. Masa dibiarkan di luar saja."
Suara ibunya tepat ada di belakangnya. Tristan ingin menghilang saja.
Ibunya mendorong tubuh Tristan agar keluarga itu bisa masuk, Tristan terpaksa menyingkir. Sekarang ayahnya juga sudah menyambut para tamu agung ini seperti acara kenegaraan saja. Begitu juga dengan Kak Vega, suaminya, dan si kepo Bintang. Lengkap.
"Apa kabar Dani?" sapa Bryan sambil menyalami tangan Daniel dengan hangat.
Tit tit.
Tristan merasakan iphonenya bergetar. Ia mengeluarkannya dari dalam saku bajunya dan mengusap layarnya dengan cepat.
Elsa : Apa keponakanmu suka kadonya?
Bibir Tristan tersungging. Tangannya dengan cepat mengetik di layar.
Tristan : Mungkin. Suka atau tidak, harus diterima.
Elsa : (sedang mengetik)
Tristan : Lagi ngapain?
Elsa : Nyanyi bareng Donna. :)
Tristan : Donna?
Elsa : Donny kalau lagi nyanyi jadi Donna.
Tristan terbahak sampai lupa ia bersama dengan tamu agung sampai ibunya harus berdehem.
Tristan : Kapan kita nyanyi bareng?
Elsa : (sedang mengetik)
"Nah, ini putra bungsuku yang lulusan ITB itu. Tristan Benedict Lie," tukas ibu Tristan sambil mendorong tubuh Tristan maju ke depan berhadapan dengan tamu agung itu.
"Ben," bisik Kak Vega.
"Eh, oh."
Setengah hati Tristan terpaksa menyimpan iphonenya ke dalam saku meski tidak rela. Ia harus sopan terhadap tamu. Ia menjabat tangan Oom Daniel Halim yang diperkenalkan ibunya sebagai teman lamanya waktu kuliah dulu. Tristan juga menyalami istrinya, yang usianya mungkin lebih muda dari ibunya Tristan. Lalu si putri kerajaan itu.
"Nak, Benedict, ini putri tunggal Oom. Ia baru selesai kuliah. Kuliahnya di Australia. Belum bekerja karena masih cari-cari yang cocok."
Gadis itu malu-malu mengulurkan tangannya yang disambut oleh Tristan.
"Nikita Halim."
Bahkan suaranya pun terdengar sangat lembut begitu juga tangannya.
"Tristan Benedict Li."
"Ben, Oom Dani dan keluarganya baru pindah kembali ke Medan. Sebelumnya mereka semua tinggal di Sydney. Jadi kalau kau ada waktu, tolong ajak Nikita jalan-jalan supaya ia bisa tahu jalan-jalan di kota ini."
Memangnya dia mau jalan-jalan dengan motorku.
Tristan hampir terbahak membayangkan gadis semanis itu duduk di belakang motornya yang sama sekali tidak bisa tidak diduduki dengan cara mengangkang. Tapi tampaknya ibunya bisa membaca pikirannya dan berkata, "Padahal aku suka menyarankan dia membeli mobil lho. Tapi ia lebih suka naik motornya."
Oom Dani dan istrinya tertawa saja.
"Anak muda."
"Jalanan ke bandara macet, Ma," alasan Tristan. Kak Vega mendengus sebal.
"Begini saja Ben, kalau kau butuh mobil untuk membawa Nikita jalan-jalan, kau boleh pakai Outlanderku," tukas Marco, suami kak Vega. Tristan memberinya tatapan membunuh. Biar saja ia kualat karena melakukan hal ini. Dan sejak kapan, Dr. Marco ini jadi begitu dermawan pada adik iparnya? Ia pasti ikut dalam komplotan mencari jodoh untuk Tristan. Ini benar-benar sudah sangat keterlaluan.
Namun saat ini yang bisa dilakukan Tristan hanyalah tetap stay cool dan mengangguk menyanggupi apa pun yang keluarganya mau.
"Ayo, kita langsung saja makan malam. Bintang dari tadi sudah tak sabar ingin memotong kuenya," ajak ibu Tristan sambil menggiring para tamunya menuju ruang makan.
Di ruang makan yang berada tepat di sisi kanan tangga menuju lantai dua, kursi Tristan bahkan sudah diatur sedemikian rupa agar Nikita duduk di samping kirinya. Sementara Bintang ada di kanannya. Tristan terus bertanya-tanya dalam hati kapan siksaan ini akan berakhir. Bukan masalah pada gadis putri raja ini mengapa ia sampai tidak suka dikenalkan dengan keluarga ini. Nikita adalah gadis yang manis, terlalu manis untuknya dan tidak bisa dijadikan mainan. Dan dia benci itu. Ia benci cara-cara keluarganya memaksanya berhubungan dengan gadis pilihan mereka seolah mereka paling tahu apa yang terbaik untuknya.
Lalu Elsa?
Apa Tristan juga menganggapnya permainan?
Tidak juga!
Bersama Elsa membuatnya nyaman saja. Ia hanya perlu menjadi dirinya sendiri, tidak pura-pura senang tidak pura-pura bahagia, tidak pura-pura tersenyum, seperti keadaan saat ini.
Tit tit.
Ada chat yang belum dibaca karena tadi ia dipaksa untuk menyimpan iphonenya.
Elsa : Ajak Donna saja. Dia hobi nyanyi.
Tristan membaca penunjuk waktu kalau chat ini masuk lima belas menit sebelumnya. Lalu Elsa mengirimkan chat lagi karena Tristan belum membalas chatnya.
Elsa : Lagi ngapain?
Tristan mengetik sambil tersenyum. Sekarang Elsa mulai merasa ada yang kurang jika Tristan belum membalas chatnya. Pria itu tidak ingin mengecewakan Elsa saat ini.
Tristan : Lagi milih keramik buat Mama.
Tristan mengusap layar kirim sambil tersenyum kecil.
Elsa : Oh, lagi sibuk ya. Oke deh kalau begitu.
Tristan sama sekali tidak ingin menyudahi chat itu karena ia merasa makan malam itu akan terasa sangat membosankan. Para orang tua membicarakan anak-anak dan anak-anak harus mendengarkan saja, tidak ada interupsi.
Tristan : Donna masih nyanyi?
Elsa : Iya. Kadang-kadang kupikir dia yang penyanyi :D
Tristan : Kupikir dia pemain sinetron atau pesepak bola.
Elsa : JANGAN MEMBICARAKAN AKU SEENAKNYA!!!
Tristan tergelak. Ponsel milik Elsa pasti direbut Donny dan Donny membaca semua chatnya.
Suara tawa Tristan dibalas tatapan horor dari ibunya. Mata ibunya seolah mengingatkannya supaya jangan terlalu sibuk dengan ponselnya. Tristan menelan ludah dan kembali menyimpan iphonenya.
Dan malam itu terasa sangat-sangat panjang.
Satu jam sepuluh menit kemudian.
Ayah Tristan beserta Oom Dani dan Marco masih duduk di meja makan menunggu ibunya Tristan menyiapkan es buah sementara Tante Marni sedang berada di kamar mandi, Tristan, Kak Vega, Bintang, serta Nikita berada di ruang tamu. Bintang sedang membuka satu persatu hadiah yang baru diterimanya di hari ulang tahunnya yang keempat belas ini.
Kak Vega membelikan laptop baru untuknya sebagai ganti laptopnya yang rusak. Bintang menggerutu dan mengatakan harusnya mamanya lebih tidak pelit dan membelikan merk apple untuknya. Bintang pun kena jitakan Tristan.
Bintang mendapatkan hadiah jam tangan Swatch dari Nikita dan gadis itu mengucapkan terima kasih.
"Hm, Niki, boleh aku bertanya padamu?"
Suara Tristan ditekan serendah mungkin supaya ibunya tidak mendengarnya.
"Ya, Kak. Silakan."
"Apa kau bisa memasak? Ibuku suka cewek yang bisa masak sama seperti dirinya."
Kak Vega mendehem keras-keras. Ia menyangka kalau Tristan pasti sengaja menyindir dirinya karena ia sama sekali tak bisa masak. Satu-satunya yang bisa dimasaknya adalah telur ceplok. Itu pun sering kecampur kulit telurnya. Bahkan Bintang lebih pintar masak daripada dirinya. Marco menjadi pria yang paling tidak beruntung sekaligus beruntung karena meskipun ia sama sekali tidak bisa menikmati masakan istrinya tetap saja ia tak sampai harus menderita kelaparan sebab baik putrinya atau ibu mertuanya bisa menyiapkan makanan untuknya.
"Kak, sebenarnya aku ...."
Tristan tersenyum penuh kemenangan.
"Tidak bisa masak?"
"Ben!" tegur sang Ibu. Tristan berjengit karena tidak menyangka ibunya akan muncul secepat itu di ruang tamu.
Tristan hanya bisa memasang senyum tanpa dosa sama seperti waktu kecil ibunya memergokinya merusak mainan kesayangan Vega.
"Tante..."
"Tidak apa-apa, Niki. Katakan saja."
Nikita ragu-ragu menatap ibunya dan Tristan saling bergantian. Ibunya Tristan duduk sebelah sofa yang diduduki Nikita dan meletakkan sepiring buah segar yang baru dipotongnya ke atas meja.
"Nikita mengambil jurusan patisserie waktu kuliah. Jadi menurutmu, Ben, apa dia bisa masak?"
Tristan membeku. Mati kutu.
Matilah aku, sekarang!
Ibunya dan Kak Vega tersenyum penuh kemenangan. Benar-benar wajah Tristan seperti baru dipaksa menelan paku. Apalagi sangat mudah menyadari kalau Tristan baru saja menerima kekalahan karena di kulit wajahnya yang putih kini jadi merah padam.
Namun suara pekikan Bintang ketika membuka hadiah membuat Tristan terselamatkan. Bintang memeluk boneka beruang ukuran 12 yang memakai pakaian musim panas. Yang enak dipeluk, kata yang memilihkan boneka.
Mengingat sang pemilihnya, tiba-tiba darah Tristan berdesir. Apalagi kalau membayangkan ia memeluk tubuh Elsa yang mengenakan pakaian musim panas seperti yang dipakai oleh teddy bear itu. Gaun yang cukup minim, ia langsung terangsang. Hiii.
"Tumben Uncle beli hadiah yang bagus buatku," celetuk Bintang riang.
"Sure! Pacarku yang pilih."
Kini gantian wajah ibunya Tristan yang berubah dari cerah menjadi kelam. Tristan malah tampak kalem saja.
"Pacar?" tanya Bintang mengulangi.
Tristan tersenyum penuh arti dan mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali.
"Ah, pantas Uncle merubah susunan Lego. Ih, yang punya pacar baru. Kenapa ngak diajak sekalian ke sini?" goda Bintang membuat omanya berdehem keras sambil memberi kode agar ia segera diam. Tristan tersenyum dalam hati. Di kepalanya terbayang kalau Elsa datang menemui ibunya lalu bertemu dengan Princess Nikita, wuihhh, bakal seru.
"Nanti deh, dikenalin," sergah Tristan tapi tidak mau menatap wajah ibunya yang pasti sedang geram.
Satu jam kemudian, setelah tamu agung itu pamit pulang, setelah ibu Tristan mendesak Tristan berjanji tentang waktu yang pasti untuk mengajak Nikita jalan-jalan, Tristan menerima omelan dari ibunya dan Kak Vega di ruang keluarga.
Ibu Tristan menyalahkan Tristan atas segala ketidaksopanan putranya itu kepada keluarga Oom Dani. Kak Vega menambahkan kalau Tristan juga sengaja berdusta kalau dirinya punya pacar supaya Nikita merasa tidak enak. Bintang hampir saja ikut-ikutan kalau saja ia tidak dihadiahkan tatapan membunuh dari Tristan. Untunglah sang Dokter kandungan sudah balik ke rumahnya sendiri sedangkan ayahnya sendiri sedang duduk tenang sambil menyaksikan berita malam di televisi.
Pikiran Tristan benar-benar mau meledak meski ia masih bisa menahan diri untuk tidak emosi di depan ibu dan kakaknya. Ia hanya bisa meminta maaf kemudian berjanji kalau hal seperti itu tak akan terjadi lagi, seperti anak kecil yang melakukan kesalahan.
Ah, kadang-kadang ia sebal mengapa ia harus jadi putra bungsu. Mengapa ibunya tidak punya banyak anak sehingga tidak perlu mengatur-atur hidupnya.
Ia menahan kantuk selama satu jam mendengar omelan itu. Sampai ibunya puas, sampai Kak Vega lelah dan akhirnya kembali ke rumahnya di sebelah setelah diingatkan anaknya sendiri kalau malam sudah sangat larut. Saat itu, Tristan bisa bernafas lega.
Ia berjalan ke halaman rumahnya yang terletak di sebuah komplek. Dulunya di dekat rumahnya itu adalah bandara lama namun seiring berjalannya waktu dan berkembangnya kota itu, bandara tidak cocok lagi berada di dalam kota maka dipindahkan ke pinggiran kota. Andai saja bandara tetap berada di sana, di seberang komplek rumahnya, mungkin saat seperti ini, saat pikirannya kacau, ia bisa pergi ke sana, memeriksa mesin pesawat atau sekedar merokok bersama teman.
Tristan mengeluarkan kotak rokok dari saku bajunya. Ibunya pernah memintanya untuk berhenti merokok tapi tidak bisa karena ayahnya sendiri juga perokok.
Tristan menyulut sebatang rokok dan menyelipkannya ke bibirnya dan menikmati nikotin itu masuk ke dalam paru-parunya. Ia lalu mengeluarkan iphonenya, mencari nama Elsa.
Tristan : Sudah tidur?
Ia menunggu lumayan lama sampai rokoknya tinggal setengah baru mendapatkan balasan.
Elsa : Belum. Sudah selesai milih keramiknya?
Pria muda itu tersenyum. Elsa pasti berpikir kalau ia benar-benar memilih keramik untuk ibunya dan tidak akan menduga kalau keramik yang dimaksud adalah wanita.
Tristan : Belum diputuskan mau yang mana :)
Elsa : Pelan-pelan saja milihnya. Mungkin belum cocok.
Tristan : Keramiknya terlalu bagus untuk rumah yang terlalu sederhana.
"Ehem!"
Suara deheman keras hampir membuat Tristan menjatuhkan iphonenya. Ia mendongak dan mendapati ayahnya ada di sisinya.
"Belum tidur, Pak Bos?"
Spontan Tristan berdiri dan menyelipkan iphone ke dalam saku bajunya.
"Kau juga belum tidur, Nak. Boleh Papa bergabung?" tanya ayahnya. Tanpa menunggu persetujuan Tristan, ayahnya mengambil sebatang rokok milik Tristan yang terletak di meja. Tristan segera membantu ayahnya menyulut rokoknya. Setelah itu ia duduk kembali ke kursi kayunya semula.
"Papa ingin tahu bagaimana pendapatmu tentang gadis itu tadi?" tanya ayahnya ketika menghembuskan asap rokoknya. Tristan mengerutkan keningnya. Ia baru saja bebas dari ibu dan Kak Vega, apa sekarang ayahnya juga ikut-ikutan.
Ayahnya menyadari perubahan wajah Tristan langsung terkekeh.
"Jawabannya sudah jelas, Nak."
Mau tidak mau Tristan ikut tersenyum. Ia mungkin terlalu mencurigai ayahnya ikut berkomplot padahal ayahnya hanya ingin tahu pendapatnya tentang gadis itu.
"Tapi janji tetap janji ya, Nak. Pria yang baik harus menepati janjinya," pesan ayahnya mengingatkan Tristan akan janjinya untuk mengantarkan Nikita jalan-jalan.
Ayahnya sudah pasti salah soal ini. Ia sama sekali bukan pria yang baik. Ia sering menduakan perempuan, ia sering berkencan dengan pacar orang, ia bukan pria tanpa cacat. Tapi ya, ia memang telah berjanji dan harus menepatinya. Mendadak Tristan lesu.
"Kau jangan marah kepada Mama dan Kakakmu," tukas ayahnya lagi sambil menghembuskan asap rokoknya lagi ke udara.
"Oh."
"Mereka berdua punya tujuan baik untukmu," tambah ayahnya. Tristan tak menjawab, ia masih kesal soal itu.
"Papa cukup mengerti mengapa Mamamu melakukan itu. Lihat, pacarmu sudah cukup panjang listnya. Tapi tidak ada satu pun yang bertahan lama," tukas Sang Ayah.
"Iya sih Pak Bos. Itu..."
Tristan tak bisa meneruskan kata-katanya karena ia kehabisan alasan. Ia hanya mengusap-usap tengkuknya. Agak sungkan membicarakan masalah seperti ini dengan seorang ayah.
"Soal Numilia, dulunya Mamamu tidak setuju tapi kau tetap mau juga. Setelah Mamamu menerima, ehm, kalian malah putus."
"Jangan bicarakan itu lagi, Pak Bos," pinta Tristan.
Ayahnya mengangguk-angguk.
"Usiaku baru 27, Pak Bos. Aku belum jadi bujang lapuk. Masih banyak di luar sana yang usianya empat puluh dan belum menikah. Buat apa aku cepat-cepat menikah jika tidak dengan wanita yang cocok. Memilih wanita kan bukan seperti memilih keramik untuk rumah. Ya, kalau keramik sudah dipasang, tidak cocok, bisa dibongkar lagi," kilah Tristan panjang lebar.
Ayahnya mengangguk membenarkan.
"Jangan hiraukan keinginan ibumu, Ben. Mungkin tuntutannya terlalu berat untukmu."
That's it!
Mata Tristan lalu berbinar.
Itu dia!
Tuntutan ibunya terlalu tinggi hingga ia sendiri minder. Ia ragu bisa memenuhi kehendak ibunya atau tidak. Ibunya telah memiliki menantu sempurna seperti Dr. Marco, tentu saja ia juga mengharapkan Tristan memiliki istri yang perfect.
"Pak Bos, bagaimana kalau calon istriku sama sekali jauh dari harapan Mama. Misalnya uhm... dia jauh lebih dewasa. Ini misalnya saja, dia bukan tanpa cacat gitu, maksudku. Dia mungkin sedikit berbeda, mungkin saja ia punya rahasia..." tukas Tristan canggung.
Pria paruh baya yang rambutnya masih hitam asli tanpa dicat itu terkekeh.
"Memangnya kau pernah peduli akan hal itu? Ingat kalau dulu kami mengharapkan kau main basket, kau malah memilih olah raga wushu. Lalu waktu di ITB, jurusan apa yang kau pilih, Nak? Sama sekali melompat terlalu jauh dari apa yang kami harapkan darimu," tukasnya ringan.
Ah, Tristan seolah merasa beban berat di pundaknya itu telah diangkat dan kini ia bisa berjalan normal seperti biasa. Ayahnya, Bryan adalah ayah yang sangat bijaksana dan paling mengerti dirinya. Ia sangat berterima kasih karena telah memiliki sosok ayah seperti ini.
Sang Ayah kemudian mematikan rokoknya dan membuang puntungnya ke asbak rokok yang ada di meja lalu menatap putranya dengan sungguh-sungguh.
"Apa sekarang kau sedang dekat dengan seseorang, Ben?" tanya Sang Ayah serius. Tristan membeku, menatap ke dalam mata teduh milik ayahnya. Tidak tahu harus jujur atau berdusta.
Sementara wajah dan senyum Elsa Mahardhika terbayang-bayang di benaknya. Tiba-tiba saja ia benar-benar ingin memastikan kalau dirinya benar soal betapa enaknya memeluk Elsa. Dan ia mulai kepanasan meski sedang ditatap ayahnya dengan tatapan menyelidik saat itu.
Inikah saatnya jujur atau berdusta?
♥ Star Lover ♥
♥ Menurutmu, Tristan harus berkata jujur atau berdusta pada Pak Bosnya? Jawab saja di kolom komen supaya saya bisa melanjutkan ceritanya.
♥ Maafkan bila ada ranjau laut lagi.
♥ Will update at a couple day.
♥ Thankies for all voted, commands, critics. Hope you enjoy this story.
♥ Kalau suka Tristan bisa vote di http://gwp.co.id/star-lover-edit/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top