♥ 4. Kalau Kau Memelukku Erat-erat... ♥


Elsa menelan ludah lalu menggigit bibirnya sendiri ketika mobil Innova yang dikendarai Donny tiba di depan rumah mantan suaminya. Rumah penuh kenangan yang dulu pernah ditempatinya bersama David dan kedua anaknya. Rumah ini bagai mesin waktu yang bisa membawanya kembali pada peristiwa lalu di mana David hanya mencintainya dan mereka berdua berjanji untuk saling menjaga rumah tangga mereka dan kedua putra mereka. Sampai prahara itu datang melanda rumah tangga mereka. Prahara berbentuk seorang wanita yang sekarang menjadi nyonya rumah dalam rumah itu menggantikan dirinya.

Bila tidak terpaksa, Elsa tak pernah ingin menginjakkan kakinya ke rumah ini lagi tapi David menerapkan sebuah peraturan yang tak masuk akal yaitu jika Elsa ingin bertemu dengan kedua anaknya, Elsa sendiri yang harus datang ke rumah ini.

Dan itu membuatnya kembali harus bertemu dengan David dan istrinya, Mirasih.

"Kau mau aku yang turun dan menekan bel, Missy?" tanya Donny berbaik hati menawarkan dirinya. Elsa menatap ke dalam mata sendu pria itu lalu menggeleng sambil mencoba untuk memaksakan seulas senyum.

"Kau tahu ia tak mungkin mengijinkanmu menjemput Double J kan?"

"Ya. Dia bilang aku dilarang dekat-dekat anak-anaknya karena aku tidak normal. Andai saja saat itu kau mengijinkanku memberikan hadiah ke wajahnya," tukas Donny ketus. Elsa menepuk bahu kekar sahabatnya.

"Thanks karena kau tak pernah melakukannya. Aku akan makin dipersulit bertemu anak-anakku, Don," bisik Elsa lirih. Donny menyeringai tajam.

"Pergilah. Kita tak usah berlama-lama di sini, Missy."

Elsa mengangguk lalu membuka pintu mobilnya dan turun. Ia berjalan menuju rumah berpagar kokoh dengan cat putih itu lalu menekan bel. Dalam hati ia berharap agar ia tak perlu bertemu dengan David maupun Asih. Cukup Double J saja yang ke luar dan mereka akan pergi bersamanya.

Namun itu hanya harapannya karena ia melihat kepala David mendongak melalui jendela rumahnya. Wajah pria itu tampak kurang senang namun ia tetap keluar dari rumahnya dan membuka pagar untuk mantan istrinya.

"Masuklah," ujarnya kaku. Namun Elsa sama sekali tak bergerak dari tempatnya semula. Ia tak akan masuk ke dalam rumah itu lagi. Ia belum sanggup.

"Aku hanya ingin menjemput Jasper dan Jordy," tukas Elsa cepat. Ia tidak mau menatap wajah mantan suaminya. Wajah pria yang pernah sangat dicintainya namun sekarang telah menjadi milik orang lain.

"Mereka belum siap. Masuklah dulu," tukas David, kali ini dengan nada sedikit lembut.

Tidak.

"Aku rasa ....."

"Ah, ada tamu ya."

Elsa menoleh. Bersamaan dengan itu, Donny juga melihat sosok cewek yang keluar dari dalam rumah David dan membuatnya tak dapat menahan dirinya lebih lama lagi di mobil. Donny turun menghampiri Elsa dan David. Donny melipat tangannya segarang mungkin menghadapi cewek yang tak lain adalah Tara, asistennya Asih, istri David.

"Mas Donny, apa kabar? Apa Mbak Ayla lagi istirahat ya, sampai Mas Donny punya waktu main ke sini?" tanya cewek yang sekarang berdiri di hadapan Donny. Cewek yang tingginya hanya sedada pria itu.

"Mbak Ay-nya lagi sibuk pacaran, lho, Tara yang manis. Masa ngak tahu kalau Mbak Ay lagi pacaran sama pemain sepak bola. Ketinggalan berita ya, situ," sindir Donny pedas. Tara tertawa tapi tawanya sama sekali tidak tulus.

"Oh, ternyata itu bukan gosip ya, Mas. Kukira itu cuma gosip yang sengaja dihembus bersamaan dengan album barunya Mbak Ayla yang katanya penjualannya ngak seperti yang diharapkan. Katanya musiknya aneh. Aku sih belum pernah denger secara langsung, maklumlah aku agak sibuk akhir-akhir ini. Memang enak ya jadi Mbak Ayla yang bisa punya waktu pacaran."

Tara melirik Elsa sewaktu menyinggung tentang penjualan album Ayla. Donny tahu kalau Tara, si cewek menyebalkan dengan body bantat dan wajah tak jelas ini memang sengaja menyindir Elsa karena salah satu lagu Ayla ditulis oleh Elsa. Tapi penjualan album Ayla tidak seperti yang dikatakan Tara, dengan kata lain sesuai harapan. Kata siapa penjualannya anjlok karena musiknya ngak jelas. Tara saja yang tidak punya sense of music. Ya, namanya juga selera dangdut, mana bisa ia menikmati musik easy listening yang ditulis Elsa?

"Menurutku, Tara yang manis, lebih baik kau memperbaiki selera musikmu sebelum kau memberi penilaian yang ngak jelas tentang musik. Kau bahkan tidak tahu siapa ........"

"Mas Donny, Anda tak perlu berkata seperti itu!"

"Jaga mulutmu!"

Donny menaikkan alisnya menatap sang tuan rumah yang sedari tadi hanya diam sebagai penonton namun kini bereaksi. Elsa menyentuh lengan Donny dan berbisik, "Pergilah Don. Aku bisa menghandle ini."

Donny menatap mata sahabatnya itu. Di dalam mata hitam itu Donny melihat luka yang masih menganga. Elsa adalah wanita yang kuat, ia pertama kali jatuh cinta pada pria dan pria itu bernama David yang kemudian menikamnya dengan perselingkuhannya sehingga Elsa memilih untuk meninggalkannya. Tapi Elsa tak pernah bisa pergi jauh darinya oleh karena anak-anaknya.

Donny menepuk tangan Elsa dan mengangguk. Ia kembali ke mobilnya bukan karena ia takut pada David, bukan pula ia segan pada Tara. Ia menghormati sahabatnya, Elsa. Elsa tak ingin ribut dengan David lagi, ia terlalu lelah untuk itu apalagi pria seperti itu tak perlu lagi diperebutkan.

"Dasar tukang selingkuh!" maki Donny sambil membuka mesin mobilnya.

I am a man who will fight for your honour (Glory of Love by Peter Cetera)

Donny melirik iphone putih Elsa yang tertinggal di jok mobilnya. Ia lalu melirik Elsa yang sedang berbicara dengan David. Tara masih berada di sana namun dalam keadaan tertunduk ia masuk ke dalam rumah karena diusir oleh David.

Donny tersenyum, kelihatannya Elsa masih bisa menundukkan emosi mantan suaminya itu.

I am a man who will fight for your honour (Glory of Love by Peter Cetera)

Lagi-lagi Donny melirik smartphone milik Elsa. Elsa tak pernah marah kalau ia memainkan ponselnya untuk sekedar mengecek status bbm teman-teman Elsa atau bermain game, jadi tak ada salahnya jika sekarang ia melihat siapa yang menelepon. Ia pun menyambar ponsel berwarna putih itu.

"Yep!"

"Bukankah ini hpnya Elsa?"

Suara dalam dan seksi itu. Siapa lagi kalau bukan....

"Titan Lie?"

"Tristan. Di mana Elsa? Kau berikan nomor yang benar padaku kan?"

"Hey, Bro, apa maksudmu? Kau masih menyandera kemeja YSL kesayanganku. Aku berharap kau bisa secepatnya mengembalikannya!" teriak Donny putus asa.

"Aku tidak butuh bajumu. Kalau kau ingin bajumu segera kembali, berikan hpnya pada Elsa."

Donny melirik Elsa yang sedang berbicara dengan si Davy Jones, siluman gurita itu.

"Negative, ia tak bisa menerima telepon darimu," gumam Donny sebal.

"Jadi, bajumu kubuang saja ke Sungai Deli."

"Don't do that! Okay, she will teach at music school tomorrow morning. I will send her address to your phone, now."

"Mengapa tidak sekarang saja? Bajunya sudah kubawa," tukas Tristan di seberang sana.

"Can't. Kami ada acara penting malam ini. Besok saja, kay?"

"Oke. Jaga baik-baik cewekku."

"Ih, ngaku-ngaku!"

Tut tut tut.

Tristan sudah memutuskan sambungan telepon hingga membuat Donny memaki-maki pada layar smartphone itu. Meskipun begitu, ia meraih ponselnya sendiri dan mengetik alamat tempat Elsa mengajar musik di aplikasi whatapp dan mengirimkannya kepada Tristan. Ia melihat tanda dibaca namun Tristan sama sekali tak membalas apa-apa. Hal ini membuat Donny kembali mengumpat setelah menunggu lebih dari lima menit, Tristan tidak juga mengucapkan terima kasih di chatnya.

"Dasar berondong tak tahu adat!" makinya. Namun ketika matanya tertuju lurus ke arah depan, menatap lurus bagaimana gaya David berbicara dengan arogan kepada mantan istrinya membuatnya berpikir ulang tentang deskripsi tentang tidak tahu adat itu.

Donny mulai tak sabar. Ia memutuskan apabila kedua anak remaja itu tidak segera keluar dari rumah karena tak diberi ijin ayahnya, Donny akan segera ikut serta dalam pembicaraan itu.

Tapi untungnya, Donny tidak harus melakukan konfrontasi seperti itu, Jasper dan Jordy keluar dari rumah disambut oleh Elsa dengan senyuman manis. Dari balik kaca mobil Donny melihat Elsa memerintahkan keduanya berpamitan dengan ayahnya. Kedua remaja itu menuruti ibunya dengan patuh.

"Mereka akan kuantar pukul sepuluh malam tepat," tukas Elsa sebelum membalikkan badannya untuk meninggalkan David.

"Ingat Elsa, tidak lebih!"

"Dan juga tidak kurang."

Elsa menggigit bibirnya. Suara nyaring itu. Suara nyonya rumah ini.

Elsa menegakkan tubuhnya dan berbalik. Tak lupa ia memamerkan senyum palsunya untuk Asih. Ia tak ingin tampak lemah di hadapan wanita itu. Wanita yang telah merebut kebahagiaannya.

"Hai, Asih. Aku memperoleh kehormatan karena kau ikut menyambutku," tukasnya kalem.

Mirasih mengamit lengan David, dengan sengaja untuk membuat Elsa panas. Elsa bahkan tak ingin memberi perhatian yang lebih atas perbuatan Asih itu.

"Aku dan David akan makan malam bersama. Kuharap kau tidak terlalu cepat mengantar anak-anakmu pulang karena kami tidak akan tiba di rumah sebelum pukul sepuluh. Kau tentu tak ingin menjadi satpam bukan?"

Mirasih tertawa seakan leluconnya itu lucu seperti lawakan Srimulat padahal menurut Elsa leluconnya itu garing.

"Jangan kuatir. Jasper dan Jordy akan kembali pukul sepuluh tidak kurang tidak lebih. Nikmati makan malammu dengan sebaik-baiknya. Kami tak ingin mengganggu. Bye-bye."

Elsa melambaikan tangannya lalu mengamit lengan kedua anaknya. Si Sulung berbisik, "Kurasa makan malam kita jauh lebih menyenangkan, Mom."

Elsa menatap mata lebar milik anaknya yang merupakan cetakan dari dirinya lalu tersenyum.

"Pasti Nak."

"Padahal aku ingin menginap di rumah Mommy. Aku ingin bertarung game dengan Oom Dobby, peri rumah itu" bisik si bungsu. Suara anak bungsunya itu pun sudah berubah menjadi suara yang lebih berat beberapa tahun terakhir ini.

"Oom Donny!" ralat Elsa.

"Aku benar-benar tidak suka kau bergaul dengan Donny, Els," tukas David sebelum Elsa menjauh. Elsa menoleh pada David lalu tersenyum.

"Mungkin maksudmu, kau tidak suka anak-anak dekat dengan Donny? Jangan kuatir, Mas. Donny tidak memberikan lebih banyak efek negatif."

Perceraian kita sudah memberi banyak efek negatif untuk mereka.

Instingnya mengatakan kalau mata mantan suaminya itu masih tetap mengawasinya meskipun ia dan kedua anaknya sudah masuk ke dalam mobil milik Donny.

"Hai, Oom Dobby!" sapa Jasper riang.

"Donny."

"Namaku Donny, Nak!"

Jasper dan Jordy menyeringai.

"Baiklah Anak-anak, jika Kakek bertanya tentang ayah kalian, tolong...."

"Don't worry Mom, we will do what you always say, Dad is very busy," potong Jasper dengan nada datar.

I'm sorry.

"Mau apa si Irsha Karmila itu?" tanya Donny sambil menjentikkan tangannya di depan wajah sahabatnya. Elsa tertegun.

"Siapa?"

"Irsha Karmila, Mom. Itu nama panggung Tante Asih," jawab Jordy nyaring sambil sibuk memainkan iphone pemberian ibunya.

Donny ngakak.

"Kau tidak tahu nama panggung si penyanyi dangdut itu?"

♥ Star Lover ♥

Tristan duduk di salah satu kursi di gerai Coffee Beans yang ada di bandara Kuala Namu. Ia baru saja selesai dari tugas rutinnya di bandara. Di hadapannya duduk seorang pramugari dari maskapai domestik. Tristan mengenalnya ketika masih menjalin hubungan dengan Numilia karena keduanya pernah bekerja pada maskapai yang sama. Tristan tahu bahkan di saat ia masih pacaran dengan Numilia, gadis bernama Diandra Kusuma ini sudah menunjukkan rasa tertarik padanya.

Diandra mungkin sudah tahu kalau Tristan sudah putus dengan Numilia, jadi gadis itu mengajaknya bertemu begitu ia tiba di Medan. Diandra mengatakan kalau ia baru saja pindah tugas karena sebelumnya ia bertugas di Surabaya.

"Jadi sekarang setelah putus dengan Numilia, kau masih single?" tanya Diandra sambil mengaduk-aduk ice coffeenya dengan sedotan plastik. Tristan tak langsung menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang sudah sering ia dengar dari para gadis-gadis yang tertarik padanya. Seperti biasanya ia hanya memamerkan senyum tipisnya dan melihat bagaimana reaksi para gadis.

"Besok, aku harus terbang kembali ke Jakarta, Tris."

Kau ingin mengajakku kencan?

My life is brilliant.

My life is brilliant.

My love is pure.

I saw an angel (You are beautiful - James Blunt)

"Wait a moment, Sweety," tukas Tristan sebelum menjawab panggilan telepon. Diandra tersenyum manis dipanggil Sweety.

Tristan membaca nama di layar smartphone.

Donny.

"Yep."

"YSLku kapan akan kau kembalikan?"

Tristan melirik jam analog yang tergantung di dinding gerai kopi tenar itu.

Jam 4.15.

Ia lalu melirik gadis yang baru saja dipanggil Sweety olehnya. Diandra masih tersenyum menggoda. Namun yang melintas di pikirannya sekarang justru senyuman anggun milik Kakak yang cantik itu. Yang bahkan tidak pernah membalas chatnya meski dibaca.

Tristan mengusap dagunya yang tiba-tiba gatal. Ia tidak pernah mendapatkan perlakuan dicuekin seperti itu. Biasanya ia tidak pernah mengirimkan chat, para cewek yang biasanya menanyakan kabarnya. Dan kalaupun ia yang mengirim chat, ia tak perlu menunggu sampai berhati-hari untuk mendapatkan balasannya.

Elsa Mahardhika benar-benar menyebalkan.

"Hey, Boy. Do you still on the phone?"

Elsa Mahardhika.

Hanya mengeja nama itu membuat perutnya bergolak. Di dalam dadanya seolah ada yang sedang menabuh drum dengan kuatnya sampai dadanya terasa sakit sekaligus nyaman. Ia heran bagaimana rasa sakit bisa bergabung bersama dengan kenyamanan?

"Oke, aku ke sana sekarang!"

"Where?"

"Aku ke tempat Elsa. Alamat yang kemarin ya."

"Jangan telat. Elsa memintaku menjemputnya dan aku tidak bisa. Sekalian antar dia pulang. Thank you and buh bai!"

"Hei!!!"

Dasar brengsek!

Tristan hampir saja mengumpat kalau saja ia tidak ingat sedang bersama dengan seorang gadis yang hampir dipastikan akan menjadi pacar kesekiannya. Ia menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jaketnya yang disampirkan di kursi sebelum memusatkan perhatiannya pada Diandra lagi.

"Jam berapa kau bertugas besok?" tanya Tristan lembut. Suaranya dalam dan seksi membuat gadis di hadapannya itu tersihir hanya mendengar suaranya.

"Aku... tugas siang."

"Ah, I see. Aku ada janji dengan teman malam ini. Kutemui besok sebelum kau berangkat. Kita makan siang bareng. Oke, Sweety?"

Suara Tristan menyihir lagi. Diandra, gadis berusia 25 tahun itu hanya mengangguk-angguk seolah ia adalah anak-anak yang baru saja dipuji oleh gurunya karena telah menjadi murid yang baik.

"Aku pergi sekarang," pamit Tristan sambil berdiri lalu menyambar jaket kulitnya.

"Sampai besok," ucap Diandra sambil melambaikan tangan. Tristan memakai jaketnya lalu meninggalkan gadis itu yang masih saja menatap punggung Tristan meski cowok berkaki panjang itu sudah berlalu.

♥ Star Lover ♥

Cewek itu baru saja keluar dari sekolah musik tepat pukul setengah enam sore. Tristan tidak menyesal meninggalkan Diandra di coffeeshop dan segera memacu motornya untuk menembus jalanan dari Kuala Namu menuju Medan setelah melihat wajah Elsa. Elsa tampak agak lelah tapi ia kelihatan sangat bersemangat, matanya bersinar dan bibir merahnya terukir senyuman manis.

Tristan masih duduk di atas motor Yamaha-nya ketika melihat Elsa mengeluarkan ponselnya dari tas tangannya. Cowok itu yakin kalau Elsa pasti sedang menghubungi si Neymar. Ketika Elsa menyimpan kembali ponselnya dengan wajah sedikit kecewa karena Neymar tidak jadi menjemputnya namun itu tak berlangsung lama karena Elsa memutuskan untuk berjalan kaki meninggalkan sekolah musik itu. Tristan pun memutuskan menjalankan motornya sampai tiba di hadapan Elsa. Ia masih memakai helm yang menutupi wajahnya.

Elsa menghentikan langkahnya ketika menyadari motor itu menghalangi langkahnya. Tristan mematikan mesinnya dan membuka helm penutup wajahnya.

"Sore, Kak Elsa," sapa Tristan riang. Ia menyisir rambutnya yang agak acak-acakan karena memakai helm dengan jarinya. Elsa tertegun karena tidak menyangka akan bertemu dengan cowok jangkung itu di sini dan sekaligus terkesima dengan penampilannya.

Dengan jaket kulit warna hitam, celana jeans hitam, sepatu boot, mengendarai motor, entah mengapa Elsa merasa kembali ke zaman remaja, di mana dirinya suka menonton film mandarin Romantic Blood. Ia masih suka menonton ulang film itu bersama Ayla lalu berandai-andai bila ada cowok seperti itu dalam kehidupan nyata yang jatuh cinta pada mereka (tentu saja itu sebelum Ayla pacaran sama pemain sepak bola) sampai Donny sering marah-marah dan mengatakan kalau kedua cewek itu gila pria yang tidak nyata dan keduanya menderita delusi akut.

"Mau pulang Kak?" tanya Tristan.

"Eh, iya. Donny tadi mau jemput tapi dia lagi sibuk. Kau datang untuk mengembalikan bajunya?" tanya Elsa. Tristan mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam ranselnya lalu menyerahkannya kepada Elsa.

"Thank Kak sudah diingatkan," ujar Tristan.

Kalau tak diingatkan, aku akan lupa apa tujuanku ke sini.

Elsa mengepit bungkusan itu dengan lengan kanannya sementara tangan kirinya mengepit tas dan tangan kanannya memeluk buku.

"Kalau begitu, aku pulang dulu. Takut kemalaman," tukas Elsa.

"Tunggu Kak. Biar kuantar."

Aku tak ingin ditolak.

"Aku tak ingin merepotkanmu," tolak Elsa.

"Sama sekali tidak," balas Tristan sambil menyerahkan helm yang sebelumnya dipakainya. Ia tak membawa helm cadangan karena ia tak pernah membonceng siapa pun dengan motornya dalam keadaan normal bahkan Bintang atau Kak Vega sekalipun. Lagi pula mana mungkin Kak Vega sudi naik motor dengan mengangkang seperti itu.

Elsa masih ragu menerima sodoran helm itu. Pertama ia tidak tahu bagaimana cara memakai helm itu. Kedua ia tidak nyaman memakai helm yang baru saja dilepaskan oleh cowok yang usianya masih jauh di bawah usianya. Ketiga, ia tidak yakin apakah ia bisa naik ke atas motor itu dengan rok lebar sepanjang lutut.

Bagaimana kalau angin menerbangkan rokku?

Tapi Tristan tak membiarkannya untuk ragu lebih lama. Cowok bermata ujung pisau itu memasangkan helm ke kepalanya setelah sebelumnya merapikan rambut pendek Elsa. Lalu mengambil alih buku serta bungkusan berisi baju Donny untuk dimasukkan ke dalam ranselnya yang kemudian diletakkan di depan dadanya. Ia ingin Elsa memeluknya tanpa ada halangan ransel.

Begitu helm terpasang, Elsa bisa mencium bau khas pria itu sampai rasanya ia seperti dihipnotis dan bengong untuk waktu yang lama.

"Naiklah."

Suara cowok itu seperti bisikan lembut.

Bagaimana caranya?

Tristan menarik tangan Elsa sehingga Elsa hanya bisa mengikuti perintahnya, duduk di belakangnya. Tristan tahu kalau Elsa pasti tidak pernah naik motor dan ia pasti agak takut.

"Jangan kuatir, Kak. Kalau kau memelukku erat-erat, kau tak akan jatuh."

Sebelum melaju, Tristan tersenyum sambil melirik spion motornya. Lengan Elsa memeluk pinggangnya. Mendadak ia merasa sangat kepanasan dan celananya menjadi kekecilan satu nomor.

"Kita jalan, Kak."

♥ Star Lover ♥

Tristan menundukkan wajahnya agar bibirnya bisa menyentuh bibir ranum milik Elsa. Tangan Elsa melingkar di bahunya namun Elsa tetap harus berjinjit agar dapat menerima ciuman dari Tristan. Tangan Tristan berada di pinggang Elsa seolah terbakar oleh api.

Ketika bibir mereka menyatu, Tristan membuktikan suatu fakta kalau benar bibir Elsa seperti marshmallow yang lembut dan manis. Namun selain itu bibir Elsa juga bagai alkohol yang bisa menyebabkan ketergantungan parah. Tristan akan terus ketagihan untuk mengecapnya lagi dan lagi.

"Ben, bangun!"

Glek!

Dirasakannya Elsa menendang lututnya.

"Ben, bangun! Pemalas!"

Tristan menutup kedua telinganya dengan bantuan bantal. Meski ia belum sadar tapi ia tahu kalau Elsa tak mungkin menendang lututnya dan lebih tak mungkin memanggilnya 'Ben'.

"Ben, bangun sekarang atau Mama akan masuk ke kamar ini lima menit lagi?" ancam Kak Vega.

Seisi rumah ini tak pernah membiarkannya hidup tenang, baik Bintang, Kak Vega, dan ibunya sendiri. Bahkan mimpi tentang cewek incarannya pun diganggu.

Vega menarik selimut Tristan berikut dengan bantalnya.

"Bangun, Ben. Kita perlu bicara!"

Vega menarik lengan Tristan sementara Tristan seperti orang pingsan. Karena sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini, Tristan tetap saja menutup mata meski ia sudah bangun. (Siapa yang bisa tidur dengan keadaan ditarik-tarik seperti ini? Sebentar lagi Kak Vega akan mengatakan maksudnya meskipun Tristan masih memejamkan mata.)

Tristan bergeser, mencari posisi duduk yang enak bersandar pada kepala tempat tidur, masih sambil memejamkan mata dan berharap Vega segera mengatakan maksudnya lalu pergi.

"Kau sudah bangun? Kau harus dengar baik-baik ya."

"Hm...."

Vega mengguncang-guncang lengan adik laki-lakinya.

"Ben, kelakuanmu masih seperti anak-anak meski usiamu sudah dewasa. Kapan kau akan berlaku seperti pria pada umumnya?"

"Hm..."

Cerewet.

"Usiamu sudah hampir 28 tahun. Tak lama lagi."

"Hm..."

Vega menepuk-nepuk pundak adiknya.

"Mama sudah menyiapkan calon istri untukmu."

Mata Tristan langsung melek.

"APPAAAAA!!!!"

Satu-satunya hal baik yang terjadi pagi itu adalah memimpikan berciuman dengan Elsa Mahardhika karena beberapa saat kemudian, Tristan mual karena terlalu banyak melihat foto-foto cewek yang disodorkan Ibundanya tercinta tepat ketika ia baru akan memulai menu sarapan pagi.

♥ Star Lover ♥

Tristan : Hai, Kak Elsa. Sudah sarapan?

Elsa : (sedang mengetik)

Tristan : Aku sedang sarapan dengan menu yang sangat tidak enak sampai membuatku mual.

Elsa : Menu apa yang sampai membuatmu mual?

Tristan : Kepiting betina.

Elsa : :) masa pagi-pagi makan kepiting betina sih?

Tristan : Disodorin :(

Elsa : Ya sudah dimakan saja daripada dibuang.

Tristan : Makin mual. Kepengen nasi goreng Semalam Suntuk yang ada di Pandu.

Elsa : (sedang mengetik)

Tristan : Makan bersama yuk nanti malam?

♥ Star Lover ♥

Elsa menatap layar smartphonenya sambil menggigit bibirnya. Ia masih belum menjawab chat dari Tristan karena tidak tahu harus menjawab apa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top