♥ 2. At The Beginning : Segala Sesuatu Dimulai Dari Sekarang ♥
By the way! Kalian sombong, mau baca, taruh di library tapi ogah ngefollow. Apa karena Cici bukan penulis femes, ya? Sedih Cici.
♥ 2. At The Beginning : Segala Sesuatu Dimulai Dari Sekarang. ♥
"Tertidur di kelas Fisika. Tristan kau benar-benar cari mati!" tegur guru BP. Tristan hanya memamerkan senyum malasnya. Ia masih mengantuk meski telah diberi wejangan oleh Pak Edi, guru Fisikanya dilanjutkan dengan omelan lima belas menit tanpa henti oleh wali kelasnya, Bu Ina. Dan sekarang Pak Ole, guru BP yang merangkap sebagai guru olah raga. (Tristan heran dengan namanya, Ole, terdengar seperti lagu untuk world cup Prancis. Apa guru olah raga harus memiliki nama berbau olah raga juga)?
Ini bukan pertama kalinya ia tertidur di kelas. Ini adalah kesekian kalinya dalam waktu sebulan. Ia baru saja sebulan menjadi murid di Sekolah Menengah Atas di sini.
Actually, ia benci sekolah ini. Ia ingin masuk sekolah khusus cowok bersama teman-temannya waktu SMP. Ia benci ketika kakak perempuannya yang sok tahu itu memilihkan sekolah ini untuknya. Kak Vega bilang ini adalah sekolah terbaik untuknya.
Tristan mendesah.
Sekolah yang baik bagi Kak Vega belum tentu sekolah terbaik menurutnya.
Tapi pikiran orang tuanya memang sudah diracuni oleh kakaknya. Apa pun penjelasan Tristan seolah tak diterima oleh orang tuanya. Satu-satunya yang bisa dilakukan Tristan hanyalah melakukan banyak kesalahan di sekolah supaya ia bisa dikeluarkan dari sekolah dan ia bisa masuk sekolah yang diinginkan.
Tristan bukan siswa yang bodoh. Terbukti dari SD ia selalu meraih peringkat tiga besar. Begitu juga ketika SMP. Hanya karena keinginan kakaknya yang sok tahu itu membuatnya nyasar ke sekolah ini.
Tristan tahu kalau kakaknya menyimpan keinginan yang besar untuk masuk ke sekolah ini dulu. Tapi karena ekonomi orang tua mereka belum memadai maka kakaknya mengurungkan niatnya dan memilih sekolah negeri.
Pfftt! Sekolah yang mahal belum tentu yang terbaik, gerutu Tristan.
"Kau dengar Tristan?!"
Tristan menguap dan berusaha untuk tetap sadar.
"Ya, Pak!"
"Sebagai hukumannya kau harus membersihkan kantor guru selama seminggu."
"Apa?"
"Dimulai dari hari ini."
Tristan lemas. Hukuman ini dinilai tidak masuk akal. Ia hanya tertidur bukannya melawan guru, kenapa hukumannya seperti dimasukkan ke neraka?
P.S. : Kantor guru itu bagai neraka baginya.
"Bukankah sekolah ini memiliki banyak petugas sekolah, Pak?" tanya Tristan berniat memprotes hukumannya. Pak Ole menyeringai. Dan bagi Tristan itu seperti seringai malaikat pencabut nyawa yang dikirim dari neraka untuk mencabut nyawanya.
Dua jam kemudian.
Tristan masih berada di ruang guru. Ia sudah membersihkan lantai, membersihkan meja para guru, dan sekarang tugas terakhirnya membersihkan piala yang ada di lemari besar itu. Tristan menggerutu dalam hati kapan ia baru bisa pulang. Dirinya terus menerus menyalahkan Pak Ole yang memberinya hukuman seperti ini.
Aku hanya tertidur. Hanya tertidur.
Tangannya menggeser kaca penutup lemari.
Pokoknya aku akan pindah sekolah dan tidak akan bertemu dengan guru menyebalkan lagi.
Ia menggapai salah satu piala dalam jangkauannya. Ia tidak butuh kursi untuk mengambil piala-piala itu. Sebagai siswa SMA, Tristan memiliki tinggi di atas rata-rata, bahkan pak Ole yang merangkap guru olah raga pernah memintanya masuk regu basket tapi Tristan tak tertarik. Ia lebih tertarik dengan mesin. Ia bisa membongkar mesin sepeda motor kemudian memasangnya kembali seperti sedia kala. Ia ingin seperti ayahnya yang seorang engineer.
Juara I Lomba Menulis Se-Kotamadya.
Tristan mencibir.
Lomba menulis. Cihh. Ngak bonafide.
Ia membersihkan piala itu dengan kain lap basah dengan asal-asalan. Lalu meletakkan piala itu di meja. Kemudian ia mengambil piala yang lain.
Juara II Lomba Baca Puisi Se-Kotamadya.
Tristan hampir tertawa.
Siapa yang tertarik pada puisi? Dasar!
Dengan hati dongkol ia membersihkan piala itu lalu meletakkannya di meja lagi. Begitu terus sampai piala ketiga, keempat, kelima, ke .....
Tangan Tristan tidak jadi mengambil piala selanjutnya. Matanya menatap sebuah foto yang ada di dalam lemari. Foto di dalam pigura berukur kayu yang agak berdebu. Tristan menatap wajah dalam foto itu. Sebuah foto yang sudah agak usang. Seorang siswi tersenyum sambil mengangkat piala dengan tangan kirinya. Tangan kanannya mengepal menunjukkan betapa bangganya ia dengan pialanya.
Tristan menatap siswi yang ada dalam foto tanpa kedip. Gadis itu memiliki potongan rambut sebahu, mata lebar, pipi agak tirus serta bibir tebal yang memikat. Senyum yang tidak dibuat-buat. Tristan seakan tersihir dan balas tersenyum seolah gadis dalam foto itu tersenyum padanya.
"Hai, aku Tristan Benedict Lie."
Tangan Tristan terangkat ingin meraih pigura itu. Ada yang menggelitik hatinya. Senyum dalam foto itu membuatnya penasaran. Tanpa sadar jarinya mengusap wajah dalam foto dengan hati-hati seakan foto itu adalah barang berharga.
"Mengapa wajahmu seperti horny menatap foto itu?"
Tristan terkejut. Untung saja tangannya tidak menjatuhkan foto itu. Ia mendelik marah pada seorang cewek yang sekarang ada di sampingnya yang menatapnya dengan sinar mata jahil.
"Siapa kau? Mengapa kau muncul tiba-tiba?" tanya Tristan galak.
"Ciee, galak amat nih cowok. Aku Lily Gayatri kelas I-A. Mau mengambil kapur."
Tristan harus menunduk untuk menilai gadis mungil itu dari ujung kaki sampai pucuk kepalanya. Gadis ini terlalu mungil. Ia hanya sampai sedada Tristan.
"Kau kelas berapa?" tanya Lily. Tristan menyeringai tajam. Ia tidak suka Lily sok tahu dan ia tidak ingin membuat gadis itu senang dengan memberi informasi.
Lily melirik pigura yang ada di tangan Tristan lalu tersenyum.
"Namanya Elsa Mahardhika," tukas Lily lirih.
"Siapa?" tanya Tristan penasaran. Lily tersenyum, tangannya menunjuk foto yang dipegang Tristan erat-erat.
"Gadis dalam foto itu. Elsa Mahardhika. Dia senior kita. Siswi berprestasi. Sembilan tahun lebih senior," lanjut Lily.
Sembilan tahun?
Tristan terbengong dan sulit mempercayai kalau gadis di dalam foto itu usianya terpaut sembilan tahun darinya.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Tristan tak bisa menahan rasa penasarannya. Lily tersenyum.
"Sebab yang mengambil foto itu adalah, kakakku. Leon Airlangga," tukas Lily sambil menunjuk foto yang lain. Foto Elsa bersama dengan cowok dengan wajah sangar. Yang meskipun masih mengenakan seragam sekolah menengah atas, tapi wajahnya bisa membuat anak-anak TK menangis.
"Kakakmu pacarnya?"
Di dalam foto itu, siswa yang lebih mirip mafia dalam film The God Father itu tidak melakukan kontak dengan Elsa. Mereka berdua berdiri, masing-masing memegang piala masing-masing.
"Tidak, karena kakakku Leon sudah menikah dengan cewek lain."
Tristan memicingkan matanya yang bagai ujung pisau. Ia merasa Lily belum menyelesaikan kalimatnya.
"Kak Elsa juga sudah menikah."
Tangan Tristan mendadak lemas.
♥ Star Lover ♥
"Oh, ayolah. Ambilkan kapur supaya kau bisa melihat pacarmu," pinta Lily memelas. Tristan melirik tajam seolah matanya yang berbentuk ujung mata pisau itu bisa membunuh Lily dengan satu tusukan tepat di jantungnya. Lily menyeringai. Tristan benar-benar ingin mencekiknya tapi Lily seorang cewek dan Tristan tak tega jadi ia memiting kepala Lily.
"Kalian berdua pacaran ya?" tanya salah seorang teman Lily. Tristan tak pernah punya teman di sekolah ini karena ia merasa percuma berteman jika sebentar lagi ia akan dikeluarkan dari sekolah.
Tristan melirik siswi itu dengan tatapan horor.
"Di dalam mimpi sekali pun aku tak pernah membayangkan cewek jelek ini jadi pacarku!"
"Aku juga!" protes Lily.
Tristan mendelik. Meskipun begitu ia tetap pergi ke kantor guru dan mengambilkan kapur yang diminta oleh Lily untuk sekedar menatap wajah dalam foto itu sekitar 10 detik.
Tristan berusaha meyakinkan dirinya kalau ia tidak jatuh hati pada orang di dalam foto. Gadis itu tidak nyata, ia bahkan belum pernah bertemu langsung. Ia hanya mengagumi prestasi Elsa Mahardhika. Ia tahu dari Lily kalau Elsa adalah seorang ketua OSIS dan Leon, kakak Lily kalah dalam voting. (Kak Leon marah-marah karena kalah dari cewek waktu itu, kata Lily).
Tristan yakin kalau Elsa memang lebih pantas menjadi ketua OSIS dibandingkan si Andy Garcia, mafia jadi-jadian itu.
♥ Star Lover ♥
Lily tidak bohong, ia dan Tristan tidak pacaran. Mereka hanya berteman. Lily punya seseorang yang ia kagumi. Namanya Bima Sakti, teman baik kakaknya. Ia seorang dokter. Tristan juga mengenalnya.
"Tristan, antarkan aku ke dokter," pinta Lily pada suatu siang ketika mereka berdua keluar dari kelas. Entah mngapa keduanya menjadi bersahabat sejak kejadian di ruang guru.
Tristan terkejut sambil menatap Lily. Matanya yang runcing makin semakin sipit.
"Kauuuu hamil?"
Lily mendelik dan langsung menendang kakinya.
Karena rasa bersalah telah berpikiran yang tidak-tidak, Tristan mengantarkan Lily ke praktek umum dokter Bima namun ia tidak ikut masuk bersamanya. Di dalam ruang praktek, Bima bertanya pada Lily.
"Apakah dia pacarmu?"
Lily tidak mengiyakan atau menggeleng karena ia ingin tahu bagaimana perasaan Bima padanya tapi Bima tak pernah menunjukkan kalau ia tertarik pada adik sahabatnya itu. Sampai beberapa tahun kemudian ia menikah dan pindah ke Jakarta.
♥ Star Lover ♥
Elsa Mahardhika.
Wanita itu masih tetap menarik meski usianya telah menginjak 36 tahun. Dua orang putranya menurut kabar menjadi model remaja. Mantan suaminya yang juga seorang pejabat pemerintah telah menikahi wanita lain dan memiliki seorang balita perempuan.
Ujung mata Tristan terus mengikuti ke mana pun wanita itu bergerak. Elsa kali ini mendekat pada segerombolan orang yang seusianya. Mereka mengobrol entah tentang apa lalu Elsa tersenyum. Tristan penasaran tentang apa yang mereka bicarakan. Apakah mereka pernah bertanya mengapa ia bercerai dengan suaminya? Apakah mereka bertanya apakah sekarang Elsa telah menemukan penggantinya? Apakah Elsa....
Ahk, sudahlah.
Tristan menggeleng kepalanya. Ia bukan anak remaja yang kelebihan hormon testosteronlagi. Yang akan terus-menerus mengikuti gadis yang disukainya ke mana pun gadis itu pergi.
Tristan yakin dirinya menarik, di usianya yang kedua puluh tujuh, ia tak pernah kekurangan perempuan yang mau diajaknya pacaran atau sekedar berkencan. Tristan memiliki wajah unik, matanya runcing, hidungnya mancung walaupun tidak cocok dengan tulang pipinya yang menonjol dan tirus, ditunjang dengan tubuh yang lebih tinggi dibandingkan kebanyakan orang. Tristan bisa menarik perhatian wanita mana pun.
Ah, mungkin Elsa tidak termasuk.
Tapi di gedung ini, perempuan bukan hanya Elsa. Gedung ini menampung hampir seribu orang jadi ada ratusan perempuan yang mungkin masih single yang lebih menarik dari Elsa.
"Halo, Tristan, lama tak bertemu."
Yang ini contohnya.
Damn! Siapa dia? Dia tahu namaku tapi aku sama sekali tak ingat siapa dia.
Tristan menarik seulas senyum, mencoba bersikap ramah pada wanita di hadapannya. Wanita yang mengenakan gaun berwarna hot pink dengan bahu tipis, memiliki wajah sempurna dan kulit yang seputih susu.
"Hai. Apa kabarmu?"
Tristan masih membongkar memorinya tentang gadis ini namun itu tak semudah membongkar mesin sepeda motor tua milik ayahnya dan kemudian memasangnya lagi.
"Kau masih seperti yang kuingat. Sudah sembilan tahun tidak bertemu."
Sembilan tahun? Artinya sejak aku lulus dan kuliah ke Bandung. Who are you?
"Ah, Noni! Senang bertemu denganmu di sini!"
Suara Lily membuat Tristan merasa diselamatkan. Ia yakin kalau sahabatnya pasti tahu siapa gadis ini.
Noni?
"Hai, Lily," sapa gadis berbaju pink itu menunjukkan rasa agak tak suka dengan kehadiran Lily. Lily tanpa canggung menggandeng tangan Tristan dan membuat gadis yang di depannya menaikkan alisnya menatap Lily.
"Kalian masih bersama?" tanya gadis itu. Lily tak memberinya jawaban yang jelas, ia hanya tersenyum penuh arti pada Tristan. Gadis itu pun pura-pura mencari alasan ingin mengambil minuman dan meninggalkan Lily dan Tristan.
"Who is she?"
"Your ex," jawab Lily. Tristan memasang mimik tak percaya.
"I don't remember!"
Lily terbahak.
"You lied!"
Lily tertawa lagi.
"Masa pacar sendiri lupa. Kualat tahu!"
"Damn you!"
"Tell me!"
"Ok, dia menyukaimu sejak kelas satu, kita kelas dua. Dia mengirimkan surat cinta, puisi, dan bekal makan siang ke lacimu sampai kau merasa terganggu," tukas Lily. Tristan mencoba mengingat tapi terlalu banyak yang mengirimkan surat, puisi, dan bekal makan siang.
"Lebih spesifik, plis!"
"Oke, yang memakai kaos bertuliskan pacarnya Tristan waktu kau bertanding wushu," tambah Lily.
"Oh itu memalukan!"
"Aku memaksanya pergi dan ia membenciku," aku Lily. Tristan menaikkan alisnya menatap Lily. Ia baru tahu kalau sahabatnya melakukan itu untuknya. Gadis itu memang merusak konsentrasinya saat itu padahal ia perlu menang agar ia bisa meraih piala yang dapat dikenang di kantor guru.
Berkat Elsa, dirinya berubah. Ia menjadi menyukai sekolah itu.
"Aku mengaku kalau kita pacaran. Maafkan aku."
"Haah?"
Lily meringis, ia sudah tahu kalau reaksi Tristan pasti seperti ini makanya ia memutuskan untuk tidak memberitahukannya pada Tristan. Yang ia tahu pertandingan itu sangat penting baginya dan ia tak ingin gagal hanya karena gadis itu merusak konsentrasinya.
"Aku sudah bilang tak sudi menjadi kekasih gadis pendek sepertimu!"
Lily tidak pendek. Menurutnya Tristan yang terlalu tinggi. Ia juga tak pernah menyukai Tristan sebagai laki-laki. Baginya Tristan hanya teman.
"Memangnya aku sudi jadi pacar cowok pucat sepertimu?"
Tristan melepaskan tangan Lily yang sedang menggandengnya.
"Jangan dekati aku!"
Lily menjulurkan lidahnya dengan sebal ketika Tristan meninggalkannya.
♥ Star Lover ♥
Elsa melirik sosok tinggi itu. Tristan Benedict Lie. Pria kurus berkulit putih bersih itu agak mengganggu konsentrasinya malam itu.
Tristan terlalu putih untuk ukuran laki-laki, kakinya panjang dan rasanya ke mana pun kaki Elsa melangkah bahu sejajar pria itu akan kelihatan terus di matanya.
Apakah ini hanya perasaan Elsa atau memang pria bermata tajam itu memang sengaja mengikutinya?
Ah, ini hanya perasaanku. Aku terlalu ge-er saja.
Elsa mencuri pandang ketika ia mengambil salah satu cup air mineral yang disediakan di atas meja sementara Tristan sedang berada di seberang meja lainnya dan berbicara dengan seorang tamu laki-laki. Tristan tertawa ringan ketika temannya itu menepuk pundaknya sehingga matanya yang segaris itu seakan ikut menghilang dalam garis tawanya yang tipis.
"Hai, Els!"
Oh, Tuhan. Jangan tukang gosip ini.
Elsa meluruskan punggungnya, menggigit bibirnya dan berbalik. Ia berusaha menahan rasa kecewanya karena yang dilihatnya adalah segerombolan penggosip yang dulu menjadi rivalnya di klub penulis namun ia tetap memaksakan seulas senyum manis.
"Halo, Megan," sapa Elsa menekan nada tak sukanya. Ia berdoa supaya para penggosip ini cepat berlalu.
Megan seperti mencari-cari orang lain di sebelah Elsa.
Sial!
"Kau datang sendiri?"
Ini reuni. Meskipun aku masih bersama suamiku, tidak etis juga aku datang bersamanya.
Elsa tersenyum tenang.
"Kau juga datang bersama teman kan?" tanya Elsa sambil melirik teman Megan lainnya berjumlah tiga orang. Mereka adalah dayang-dayangnya Megan. Megan menikah dengan seorang pebisnis, dan kehidupannya sangat mewah jadi ketiga temannya ini masih saja menjadi pembantunya.
"Kukira setelah bertahun-tahun bercerai dengan David, kau sudah menemukan penggantinya."
Tidak tulus!
"Terima kasih untuk perhatianmu, Meg. Aku terharu," ucap Elsa.
Megan mendehem. Dengan gaya yang dibuat-buat ia meraih tangan Elsa seolah mereka adalah sahabat baik. Elsa tahu sebenarnya ia hanya ingin memamerkan jari tangannya yang bermanicure dan memakai cincin berlian besar.
"Kau tahu, aku punya maksud baik untukmu," tukasnya. Elsa mencurigainya adanya suatu siasat licik Megan. Sejak dulu Megan tak pernah bermaksud baik padanya. Selalu saja menjerumuskan Elsa kapan pun dan di mana pun.
"Suamiku punya kenalan seorang pebisnis dari Singapura. Ia ditinggal istrinya. Kalau kau berminat, kami bisa mengenalkannya padamu. Nita juga kenal kok. Ya, kan, Nit? Orangnya baik dan punya banyak apartemen. Tapi mungkin ia tidak bisa menikah lagi karena tak direstui anak-anaknya saking banyaknya hartanya," tukas Megan.
Elsa agak tersinggung. Sungguh ia merasa Megan telah mengoyak harga dirinya. Meskipun ia seorang janda cerai, ia tak layak diperlakukan seperti ini.
"Meski begitu, Els, ia bisa memenuhi semua kebutuhanmu. Kau tak perlu bekerja keras. Kau hanya perlu, ehem..."
Megan bersikap seolah-seolah ia takut menyinggung Elsa padahal itu memang niatnya.
Aku masih bisa menghidupi diriku sendiri dengan menjadi guru musik. Parasit sepertimu tahu apa?
"Bagaimana?"
"Aku rasa itu tidak perlu."
Baik Megan maupun Elsa sama-sama menoleh. Tristan ada di belakang mereka dan memasang wajah masam pada Megan dan teman-temannya.
Tristan menarik lengan Elsa yang masih bengong menatapnya.
"Elsa bisa mencari pria yang bisa membahagiakannya tanpa kau merepotkanmu. By the way, terima kasih atas perhatianmu," tukas Tristan sambil menarik lengan Elsa. Elsa masih sempat melambaikan tangannya pada Megan yang masih bingung menatap seorang pria muda menarik yang datang menyelamatkan rivalnya.
Tristan menggiring Elsa ke meja prasmanan. Keduanya sadar kalau Megan dan komplotannya masih mengawasi mereka.
"Kau tidak perlu menyelamatkanku. Aku bisa menghadapinya," tukas Elsa tapi dengan wajah tersenyum.
"Aku tahu. Tapi kak Elsa, kau harus mengakui ini efektif, kan?" tanya Tristan sambil memberi kode ke arah Megan. Mau tidak mau Elsa mengangguk.
"Kau pacar Lily kan?"
Ah, lagi-lagi.
Tristan benci mendengar pertanyaan itu. Sejak ia mengenal Lily Gayatri, cap pacar Lily sudah menempel di jidatnya dan dulu ia pernah mengakuinya di hadapan Lily kalau ia akan jadi bujang lapuk kalau terus menerus begini. Tapi kenyataannya lagi-lagi ia tak pernah kekurangan cewek yang menyukainya hingga akhirnya ia tidak lagi merasa terganggu.
Sampai hari ini.
Tristan menelan ludah.
"Lily Gayatri bukan pacarku. Kami sahabat baik," tukas Tristan. Elsa mengangkat wajahnya. Ia harus mendongak meskipun ia memakai sepatu hak sembilan cm untuk bisa melihat wajah tirus Tristan.
"Sayang sekali, kukira kalian berdua sangat cocok," desah Elsa dan ia tak mengerti entah untuk alasan apa ia harus berbisik.
"Bukankah itu kabar baik?" balas Tristan. Matanya terpaku menatap wajah Elsa. Elsa terpaku di tempatnya, tak bisa mengalihkan tatapannya ke arah lain. Pria yang lebih muda darinya itu tersenyum. Senyum yang benar-benar menawan.
Tristan tahu kalau hidupnya baru dimulai hari itu, hari di mana ia bertemu Elsa dan menyadari kalau ia masih memiliki kesempatan.
♥ Star Lover ♥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top