♥ 12. Farewell : Inikah Akhir Dari Kisah Kita? ♥

Mulmed : Tak Kan Pernah Ada by Geisha.

Noted : sebagian part sudah saya hapus, pindah ke j*ylada.

Cari saja nama Christina Suigo.

Elsa agak curiga melihat sepagi itu ada mobil Outlander Sport putih terparkir di halaman rumahnya. Pagi itu ia baru hendak joging dengan Ayla sementara Donny masih terlelap.

"Ada apa, Kak?" tanya Ayla.

Kaca jendela Outlander putih itu diturunkan dan Elsa agak tertegun melihat wajah cantik berbentuk tirud yang sudah dikenalnya itu. Ibunya Tristan. Dan putri sulungnya duduk di belakang kemudi.

Elsa tak tahu harus mengatakan apa. Yang dilakukannya hanya mengangguk hormat pada kedua wanita itu.

"Pagi, Elsa. Mama ingin bicara padamu," beritahu Vega. Elsa tak bisa menghindar apalagi ibunya Tristan menunggunya di depan rumahnya sendiri. Yang bisa dilakukannya hanya mempersilahkan kedua wanita itu masuk ke rumahnya.

Donny cukup syok. Ia baru keluar dari kamarnya dengan hanya mengenakan baju piyama ketika kedua wanita itu masuk ke ruang tamu. Tak perlu dijelaskan siapa kedua tamu itu sebab Donny tahu dari wajah si wanita paruh baya itu karena Tristan mewarisi hidung seperti ibunya, Donny tahu pasti kalau beliau adalah ibu Tristan dan satu lagi adalah kakaknya.

Donny juga mengangguk kikuk padanya lalu buru-buru menghilang ke kamarnya.

"Room mate?" tanya ibunya Tristan tajam. Elsa mengangguk kikuk.

Entah apa yang dipikirkan tentangku sekarang. Janda cerai dan tinggal serumah dengan laki-laki.

"Tante mau minum apa? Saya buatkan teh?"

"Tidak perlu, Nak Elsa. Kami datang bukan untuk minum."

Ya, aku mengerti.

Elsa menunduk tidak berani beradu pandang dengan ibunya Tristan maupun dengan kakaknya.

"Kami dengar dari Bintang, kalau kau dan Ben sudah putus," tukas ibunya Tristan. Suaranya tegas dan tajam membuat Elsa bergidik ngeri.

"Ya, Tante."

"Kalau boleh Tante tahu, mengapa?"

Elsa menelan ludah, ia sungguh gentar menghadapi wanita itu sendirian tanpa Tristan. Tristan tidak ada untuknya lagi. Dan tak akan ada lagi. Sekarang hanya tinggal ia sendiri. Tetapi ia juga tak punya hubungan dengan pria itu lagi, buat apa ia takut pada ibunya.

Dengan bermodalkan keyakinan itu, Elsa mengangkat wajahnya, menatap wajah ibunya Tristan lurus.

"Saya tidak akan bisa membahagiakan Tristan," jawabnya.

Wanita bermata tajam itu tak berkedip menatap Elsa dan sangat mengintimidasi.

"Kau sama sekali tidak memiliki keyakinan?"

Elsa mengangguk.

"Lebih baik saya melepaskan Tristan agar ia bahagia," jawab Elsa.

"Dengar Elsa, apa kau kira adikku itu hanya mainan bagimu..."

"Diam, Vega!" hardik ibunya tajam. Vega mendelik tapi langsung diam.

"Nak Elsa..."

Elsa menelan ludahnya lagi. Ia berharap semua ini segera berlalu, ia tak ingin bertemu dengan semua orang yang mengingatkan dirinya akan Tristan. Ia benar-benar ingin Tristan dihapuskan dari hidupnya. Sekarang, ia hanya ingin hidup bahagia dengan kedua putranya. Mencurahkan segenap perhatiannya pada Double J. Ia akan berjuang untuk merebut hak asuh atas kedua anak itu dan ia yakin kali ini akan berhasil. Sama sekali tak ada tempat lagi yang tersisa untuk Tristan di hatinya.

Ibunya Tristan menarik jemari Elsa dan menggenggamnya dengan lembut. Tangan wanita itu memang agak kasar. Tristan sering mengatakan kalau ibunya sering bekerja di dapur. Meskipun mereka sanggup membayar pembantu tapi ibunya lebih suka bekerja sendiri. Sekarang Bintang sudah bisa membantunya.

"Tante tahu kalau Tante sudah tidak adil padamu."

Elsa tertegun lalu menoleh pada wanita itu.

"Tante tidak mengerti alasan Ben menyukaimu dan meskipun dijelaskan, Tante tetap tak akan bisa mengerti. Tapi Ben adalah putra Tante. Tante mengerti sifatnya. Ia pasti memiliki banyak alasan mengapa ia memilihmu," tukasnya lembut. Benar-benar lembut. Bahkan wajahnya yang biasanya tegas berubah menjadi lembut.

Elsa masih tak bisa berkata.

"Harusnya Tante menyadari ini sejak awal ya jadi hubungan kita bisa lebih baik. Maafkan Tante yang selalu berpandangan negatif seperti pada umumnya orang-orang terhadap status uhm..."

Elsa agak syok tapi ia berusaha untuk bersikap biasa. Toh, ia memang janda, kenapa semua orang seolah tabu menyebutkan kata itu?

"Janda. Ya, Tante. Bukan hanya itu saja. Saya juga lebih tua dan punya dua anak remaja. Saya tidak bisa menyalahkan orang-orang mungkin sinis menerima hubungan kami."

Ibu Tristan mengangguk.

"Tapi sudahlah, Tante. Toh sekarang kami sudah tidak saling berhubungan lagi. Tante tak perlu kuatir lagi. Putra Tante pasti akan menemukan wanita yang baik sebab pria baik itu pasti jodohnya juga baik," tukas Elsa dengan tulus walaupun sebenarnya hatinya hancur. Hancur dalam arti hancur total, nggak bisa diperbaiki lagi.

"Kau benar-benar yakin akan melepaskan putraku, Nak?"

Mengapa suara ibunya Tristan terdengar sangat putus asa? Atau ini hanya sekedar perasaan Elsa?

Elsa mencoba memaksakan seulas senyum yang tulus meski kerongkongannya serasa tercekat.

"Ya, Tante."

Ibunya Tristan menghelas nafas. Lalu menepuk-nepuk jemari Elsa yang sedang digenggamnya. Terlihat seolah ia ingin menyampaikan sesuatu tapi ragu.

"Ma, katakan saja," pinta Vega tak sabar.

Elsa merasa ada sesuatu. Diliriknya Vega.

"Adikku pindah tugas ke Hong Kong. Kalau kau masih peduli padanya, cegah dia. Pesawatnya jam 11 siang."

Elsa termangu. Tristan akan pergi, meninggalkan kota ini, meninggalkan Indonesia, meninggalkan dirinya sendiri. Ia bahkan tidak pamit pada Elsa. Elsa benar-benar merasa tak berharga di matanya.

Selamat tinggal, Elsa. Semoga hidupmu lebih bahagia tanpa aku.

"Dan soal pemikiranmu tentang melepaskannya untuk kebahagiaannya, aku hanya bisa bilang itu, bullshit!" tukas Vega sebal.

"Apa kau bisa bahagia kalau ia pergi? Coba pikirkan kata-kataku!"

Ibu Tristan melotot, ia tidak suka Vega berkata kasar pada Elsa. Elsa satu-satunya harapannya untuk menahan kepergian anaknya. Elsa juga yang bisa mengembalikan sosok Tristan yang dulu. Biarlah ia mengalah demi kebahagiaan Tristan daripada ia melihat anaknya sudah seperti mayat hidup setelah berpisah dengan Elsa.

"Tante tidak peduli dengan statusmu, Nak. Kalau kau memang dipilih anakku, maka aku harus berjiwa besar untuk menerimamu. Jangan menilai statusmu sebagai kekurangan karena bagi putraku, itu adalah kelebihanmu."

Elsa masih terus berusaha mencerna kalimat yang dilontarkan ibunya Tristan pelan-pelan.

"Maafkan Tante. Tante tidak akan peduli soal kegagalan pernikahanmu dulu. Yang penting kau bisa membahagiakan Ben kami."

Tiga puluh menit kemudian.

Ibu Tristan dan Vega sudah pulang, Elsa berlari ke luar rumah dan bertemu dengan Ayla yang tetap melanjutkan rencana jogingnya tanpa Elsa ketika ibunya Tristan dan Vega datang tadi.

"Kak, mau ke mana?"

Elsa tidak menjawab tapi terus berlari, Donny menyusul di belakangnya sambil terengah-engah mengejarnya.

"Els, bukannya kau harus mengejar si Magnum? Ini kuncinya!"

"Ada apa dengannya, Bang?" tanya Ayla ikut menyusul Donny.

"Magnum mau pindah ke Hong Kong. Tapi aku nggak tahu tuh Elsa maunya apa. Hush hush! Dia ngak bilang apa-apa hanya lari ke luar."

"Aku balik ke rumah, ambil mobilmu, Bang. Kau kejar dia. Kita bertemu di depan pos satpam. Kalau Elsa ngak mau mempertahankan si Vampir, biar saja si Vampir kusimpan di kulkas, siapa tahu pacarku nggak setia bisa kujadikan cadangan. Lumayan kan, sekarang di tv banyak yang tergila-gila sama muka tipe gitu."

"Anjirrr lo!"

♥ Star Lover ♥

Donny dan Ayla cukup sebal sebenarnya setelah ngebut dari Medan menuju Kuala Namu. Empat puluh lima menit perjalanan jadi tiga puluh lima menit dan terasa sia-sia setelah mereka bertiga malah menemukan Tristan duduk di gerai Coffee Beans di sebelah Bakso Lapangan Tembak. Tristan duduk santai di non smoking area bersama seorang cewek berwajah manis yang mengenakan seragam salah satu maskapai penerbangan berupa batik panjang berwarna biru.

Yep! Pria memang tidak peka, ya. Seperti perumpamaan yang pernah diungkapkan oleh Elsa beberapa waktu lalu. Pria itu adalah makhluk paling tidak peka. Sapi lebih peka daripada pria. Coba saja perah susunya pasti keluar.

Donny menghela nafas sambil berkacak pinggang. Dirinya tak menduga kalau cowok jangkung ini masih bisa saja berkencan dengan cewek lain sementara Elsa lari-lari kayak orang gila buat mengejarnya. Hanya untuk bertemu dengannya sebelum ia berangkat ke Hong Kong.

Farewell.

Donny sempat memancing sewaktu di mobil, apa yang akan dilakukan Elsa jika bertemu dengan cowok itu. Elsa bingung dan pada akhirnya ia hanya mengatakan ingin bertemu Tristan.

Benarkah Elsa akan rela melepaskan pria itu? Sementara ibunya Tristan yang selama ini menjadi batu penghalangnya saja sudah menerima Elsa. Donny nguping pembicaraan itu. Ia terlalu kuatir kalau Elsa tidak bisa menghadapi ibu Tristan, ia takut kakak Tristan menyerang Elsa. Namun kenyataannya tidak. Mereka datang karena ingin Elsa mencegah kepergian Tristan.

Sekarang, Donny nyesal kenapa datang bersama Elsa. Apalagi melihat senyum menghiasi wajah Vampir itu, rasanya Donny ingin merobek-robeknya.

"Pulang, Els?" tanya Donny dengan suara lantang. Kedua orang yang sedang cekikikan itu langsung menoleh. Donny sengaja membuat Tristan menyadari kehadiran mereka. Tapi Tristan juga tidak juga menunjukkan rasa menyesal. Ia melambai pada Elsa.

"Mau mengantar kepergianku?" tanyanya dengan nada biasa saja seperti mereka berdua hanya teman biasa. Meskipun dalam hati ia bersorak. Setan apa yang merasuki pikiran Elsa sampai cewek itu muncul di depannya.

Elsa mengangguk. Ketika ia maju selangkah, Donny menahan tangannya. Elsa menatapnya.

Are you sure, Missy?

Elsa tersenyum dan mengangguk.

Dengan terpaksa Donny melepaskan tangan Elsa. Sebagai sahabat sekalipun ia tak berhak menghalangi kebahagiaan Elsa. Kalau kebahagiaan Elsa itu berbentuk Magnum, maka Donny hanya bisa mengantarkan Elsa menuju kulkas penyimpanan es krim itu. Dan bila akhirnya rasa es krim itu sama sekali tak sesuai harapan Elsa atau dengan kata lain mengecewakan, Donny hanya bisa menemani sahabatnya menangis.

Elsa melangkah mendekati meja Tristan dan mengabaikan gadis di sisinya pria itu. Matanya fokus menatap Tristan yang saat itu mengenakan kemeja warna abu-abu gelap, dengan jas hitam, ia tampak kehilangan berat badannya sejak terakhir mereka bertemu.

"Yuk, Bang, kita cari es krim Magnum," ajak Ayla sambil menggandeng lengan Donny meninggalkan gerai itu.

"Aku nggak demen Magnum. Mengecewakan. Yang lain aja," dengus Donny sebal.

"Apa pun maumu, Bang. Kak Els, telepon saja kalau sudah selesai," pesan Ayla sambil menarik Donny. Donny nggak rela ditarik pergi. Mengepalkan tinju sebagai ancaman kepada Tristan kalau ia berani macam-macam pada Elsa.

Tristan meringis sambil membayangkan kepalan tangan itu mendarat di wajahnya.

"Bisa kita bicara?" tanya Elsa.

Pramugari yang bersama Tristan itu tampak tidak enak. Ia menatap Tristan tapi cowok itu sama sekali tak memintanya pergi. Bahkan tatapan Tristan menyiratkan kalau ia ingin Diandra tetap di sana. Ia goyah hanya karena kehadiran Elsa.

Persetan!

Kau kira kau bisa sesukamu? Kau mengusirku, aku pergi. Lalu kau ingin aku kembali?

Elsa bukan wanita yang canggung dan tidak percaya diri menghadapi situasi seperti ini. Ia menatap wanita itu dan berkata, "Oh, tidak perlu pergi, pembicaraan kami nggak sepribadi itu, kok."

Tristan tersenyum sambil menyisir rambutnya ke belakang.

Poin penting mengapa ia menyukai Elsa, adalah ini. Ia tenang. Seperti saat ia diserang Megan lalu saat ia membawa kedua anaknya dari rumah David. Seperti film yang dulu pernah tayang di tv swasta, pahlawan wanita yang namanya Xena.

Sekarang bila dibandingkan dengan penampilan Diandra, Elsa tampak lusuh. Ia datang dengan hanya mengenakan jaket olah raga dengan celana yang biasa ia kenakan waktu joging dan yoga. Rambutnya diikat ekor kuda namun anak rambutnya berjatuhan karena rambutnya masih tergolong pendek. Ia pasti sedang olah raga ketika memutuskan untuk menyusul Tristan. Dengan penampilan seadanya, tetap saja Tristan ingin merengkuh tubuhnya dan melumat bibirnya.

Tapi siapa yang mengabarkan kalau dirinya akan meninggalkan Indonesia? Bintang? Jasper? Atau ibunya?

Ibunya menangis berhari-hari ketika ia mengabarkan hal itu dan memintanya untuk tidak pergi tapi Tristan bilang ia sudah menandatangani surat perjanjian jadi ia harus pergi.

Lalu Kak Vega juga berusaha membujuknya tapi sia-sia. Hanya ayahnya yang mendukungnya. Bintang bahkan tidak mau bicara padanya selama beberapa hari. Tadi pagi baru ia menyapa pamannya ketika ia pamit pada seluruh keluarga. Ia meminta agar seluruh anggota keluarga tak perlu mengantarnya ke bandara untuk menghindari acara tangis-tangisan dari ibu, kakak, dan Bintang.

"Kudengar dari Tante, kau akan tinggal di Hong Kong."

Tristan mengangguk. Sungguh canggung rasanya bila Elsa masih terus berdiri sementara ia dan Diandra duduk bersama.

"Duduklah. Kau mau minum?"

Elsa menggeleng. Bibirnya tersenyum. Lalu ia duduk di depan Tristan di sebelah Diandra.

Dammit! Ia masih bisa tersenyum di saat seperti ini? Dan mengapa senyummu itu terasa sangat seksi?

"Mama menemuimu?" tanya Tristan cukup terkejut. Diandra si pramugari itu mulai tak enak. Ia melakukan kegiatan seperti mengaduk-aduk cup kopinya yang sebenarnya sudah habis.

Elsa mengangguk.

"Dengan kakakmu."

Tristan menatap mata wanita itu fokus. Matanya melembut padahal seharusnya ia marah pada Elsa tapi mengapa tidak bisa membenci wanita ini?

Diandra mendehem. Ia bisa menebak kalau Tristan memiliki hubungan yang mendalam dengan wanita ini. Ia juga bukan pengemis cinta, ia tak ingin berada di sini sementara Tristan dan wanita ini bernostalgia sebelum Tristan berangkat ke Hong Kong.

Diandra bangkit dari duduknya.

"Aku mau ke toilet dulu ya."

Gadis itu bahkan tidak menunggu jawaban Tristan, ia langsung menyambar tasnya dan pergi ke toilet, dicarinya toilet yang letaknya paling ujung supaya ia tak perlu kembali lagi ke meja itu.

Sangat memalukan duduk di tengah dua orang yang saling menatap seperti mereka tak akan dapat dipisahkan lagi, seolah seluruh sistem tata surya berhenti bergerak hanya karena tatapan mata mereka.

"Terus, kau datang hanya untuk mengatakan itu padaku?" tanya Tristan lamban, terdengar seperti bisikan.

Elsa mengerjapkan matanya, ragu, haruskah ia mengatakan apa yang telah dikatakan ibunya Tristan kepada Tristan atau mengucapkan sampai jumpa kepada pria ini. Lalu segalanya berakhir.

"Apa Mama dan Kak Vega menyakitimu?"

Elsa menggeleng cepat.

"Tidak, kok. Tante..."

"Ya?"

Suara Tristan begitu lembut dan lambat di telinga Elsa. Elsa sampai tidak harus menjawab apa, ia hanya menatap wajah Tristan. Kenapa rasanya ia sangat ingin memeluk pria ini? Apa ia benar-benar sudah ketagihan dengan rasa Magnum?

"Katakan padaku apa yang dikatakan Mama," pinta Tristan pelan. Elsa menggeleng pelan.

"Tidak penting. Aku datang bukan ingin membicarakan itu," jawabnya. Tristan masih menatapnya dan tersenyum. Ia sadar ia sudah banyak tersenyum sejak Elsa ada di sini. Ternyata gampang benar membuatnya tersenyum, cukup hanya ada Elsa di sisinya.

"Lalu mengapa kau datang?"

Elsa menelan ludah, mendongak, membalas tatapan pria yang duduk di sisinya. Hatinya berdegup kencang. Ia benar-benar tak rela melepas pria ini sekarang atau nanti. Ia bisa hidup tanpa pria ini tapi ia sadar kalau tanpa Tristan maka ia tidak tahu makna bahagia. Hanya Tristan yang bisa membuatnya tertawa.

"Bukankah kau janji kau akan menghadapi semua masalah bersamaku? Lalu sekarang mengapa kau pergi?"

Tristan tersenyum lembut. Ia menjawab tapi bukan ingin menghakimi.

"Kau yang memintaku pergi."

"Aku pikir kalau aku melepaskanmu maka kau akan lebih bahagia."

"Terus?"

Elsa melirik cangkir kosong yang ditinggalkan Diandra dan meringis. Kenyataannya Tristan memang tak kehilangan dirinya.

"Nyatanya aku yang lebih tidak bahagia," akunya jujur. Ia tak ingin menyembunyikan perasaannya dari Tristan. Tristan mengusap-usap rahangnya dan menyembunyikan senyumnya.

"Bukankah aku pernah bilang kalau tidak kau maka siapa lagi yang bisa?"

"Kau tidak akan kekurangan apa pun tanpaku. Mengertikah kau mengapa aku melepaskan tanganmu?"

Suara Elsa terdengar sedih sampai Tristan menyentuh jemari Elsa dan meremasnya.

"Jangan lepaskan aku. Jangan pernah menyerah soal diriku, Els. Kau tahu hanya kau yang bisa membuatku lengkap. Aku tahu kau tertekan soal Mama, kakakku, juga soal Jasper dan Bintang. Tolong fokus padaku, Sayang. Kita akan menghadapi ini bersama. Apa yang tidak bisa kita hadapi kalau kau menggenggam tanganku?"

Elsa hampir menangis mendengar kata-kata yang dibisikkan Tristan di telinganya. Tidak peduli dengan orang-orang di gerai kopi itu yang mulai berbisik-bisik membicarakan dirinya dan Tristan.

"Tante bilang..."

"Jangan dengarkan itu."

"Tidak, kau dengarkan saja. Mamamu bilang ia tidak peduli lagi soal statusku. Beliau bilang..."

"Mamaku mengatakan itu? Maksudku Mamaku kan?" pekik Tristan seolah tak percaya apa yang barusan didengarnya dari bibir Elsa.

Elsa mengangguk-angguk. Tristan tampak bingung. Ia mengusap-usap tengkuknya sambil terus berpikir apa yang membuat ibunya berubah pikiran. Apakah ayahnya, atau Bintang, atau Elsa sendiri?

"Terus, kau belum bilang alasanmu ke sini," desah Tristan terdengar mesra. Elsa gugup. Ia menyapukan rambutnya ke samping.

Tristan menunggu jawabannya sambil menopangkan wajahnya pada tangan kanannya.

"Itu... uhm itu..."

"Ya?"

"Kau akan lama di sana?" tanya Elsa. Pertanyaan yang dibalas pertanyaan, cukup cerdik kan?

Tristan mengangguk-angguk. Elsa tampak lemas. Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, atau...

"Mau nggak, tunangan dulu sama aku sebelum pergi?"

"Hah?!"

Tristan tertawa sementara Elsa tampak syok. Pria itu mengacak-acak rambut Elsa.

"Aku bercanda. Nggak sempat lagi. Tiga jam lagi pesawatku berangkat," tukasnya. Elsa menyeringai. Ngak lucu sih Tristan bercanda soal pertunangan di saat seperti ini.

Jadi?

Jadi ia hanya bisa bertemu dengan Tristan setahun sekali dong. Itu pun kalau di saat cuti, Tristan kembali ke Indonesia. Bagaimana kalau di Hong Kong ia berkenalan dengan pramugari cantik seperti yang tadi? Bisa-bisa Tristan nggak akan pulang-pulang lagi.

Percuma saja kan kalau ibunya Tristan sudah memberi ijin. Seperti kata Vega kalau semua itu sia-sia, bullshit!

"Kalau aku pergi lama, terus kamu bagaimana?" tanya Tristan.

Ya, pertanyaan bagus.

Aku bagaimana?

Jawaban kekanak-kanakan seperti aku akan menunggu atau aku akan setia rasa terlalu berlebihan. Wake up! Dia bukan remaja lagi. Memang kalau ia menunggu, apa Tristan berjanji akan kembali untuknya? Coba saja hitung persentase kesempatan Tristan bertemu dengan pramugari cantik dibanding dengan dirinya. Kalau setahun itu ada 365 hari, Tristan hanya bisa cuti 12 hari ditambah dengan cuti akhir tahun mungkin 4 hari. 12 tambah 4 sama dengan 16. Jadi enam belas per tiga ratus enam puluh lima hari dikali seratus persen, hasilnya untuk Elsa adalah 4,3 persen. Anggap 5 persen. Jadi 95 persen adalah kesempatan Tristan menemukan wanita lain.

Kepala Elsa kontan berdenyut.

"Kalau kau pergi, aku bagaimana, ya?" ulang Elsa bingung.

Tristan terkekeh geli. Sudah cukup baginya menggoda Elsa. Ia puas dengan raut wajah yang ditunjukkan cewek itu yang seperti tidak rela ditinggal olehnya.

"Jawab dong, aku akan menunggumu. Kan biasanya di film-film gitu, kan, Say? Masa bengong?"

Masa aku harus bilang itu?

"Toh, aku perginya nggak lama, kok. Hanya tiga bulan. Aku kan nggak bisa lama-lama jauh dari my cutest lady teddy."

"Apa?! Tiga bulan? Mamamu bilang...."

Tristan tersenyum jail.

"Aku bohong. Bahkan Mama sendiri nggak tahu kalau surat tugasku hanya tiga bulan," tukas Tristan sambil mengedipkan sebelah matanya dengan nakal. Elsa meringis, merasa dikibulin.

Sial!

Sudah jauh-jauh datang dari Medan ke bandara, sudah siap dipermalukan Tristan, eh, ternyata hanya bohongan. Perginya hanya tiga bulan, bukan selamanya.

Dipukulnya kuat-kuat lengan Tristan sampai Tristan menjerit kesakitan. Lalu ia bangkit dan berniat meninggalkan cowok jahil itu. Tapi lengan kokoh Tristan menahan lengannya hingga ia duduk kembali ke kursinya.

"Mau ke mana, Say?"

"Pulang!" jawabnya ketus.

"Kan aku masih kangen. Sebentar lagi kita bakal nggak ketemuan tiga bulan, lho," goda Tristan dengan nada rendah. Elsa merinding. Setiap Tristan berkata dengan nada menggoda seperti itu rasanya seperti terbang ke langit ketujuh. Lebay, kata Donny.

"Kata Bintang, Double J mau tinggal bersamamu, ya?"

Elsa mengangguk. Anak-anak sudah memutuskan begitu, ayah mereka mungkin akan bereaksi keras tapi Elsa yakin ia dapat melalui semua itu.

"Bagus dong. Nanti Jasper dan Jordy bisa latihan wushu bersamaku. Kami bisa pergi melakukan banyak kegiatan bersama."

Elsa menatap Tristan tanpa berkedip. Tristan mengacak rambutnya sendiri.

"Masa nggak ngerti?"

Elsa cemberut dan menggeleng.

"Aku baru saja melamarmu. Tolong jangan minta kata-kata yang aneh. Aku tidak bisa!"

Tawa Elsa meledak. Ia sering menonton film, Barat, Korea, India, baca novel, tapi baru kali ini ada pria yang melamar dengan kata-kata yang tidak jelas seperti ini.

Elsa sampai harus menutup mulutnya dengan kedua tangannya agar suaranya tidak sampai mengganggu orang-orang yang berada di sekitarnya.

"Jawab, dong, Say!"

"Menurutmu aku harus jawab apa? Ada cowok yang jatuh cinta pada fotoku di kantor guru, terus dua belas tahun kemudian ia baru bertemu langsung denganku, sekarang ia melamarku. Tentu saja, ya."

Meskipun begitu, mata Elsa berkaca-kaca dan mengabur.

"Maaf, aku tak bisa menciummu sekarang," bisik Tristan dengan nada rendah. Bagi Elsa terdengar seperti tunggu sampai tiga bulan lagi, ya.

"Els, sudah selesai, lum? Aku belikan es krim Cornetto, nih. Mungkin kau sudah bosan icip-icip Magnum-nya."

Elsa dan Tristan sama-sama menoleh. Donny dan Ayla ada di sana sambil membawa es krim di tangannya. Ayla menikmati es krim cup. Donny membawa dua es krim Cornetto, satu rasa cokelat, satu lagi strawberry.

Tristan bangkit dan berpesan pada Elsa, "Sebentar ya, aku belikan Magnum."

Agak tergesa-gesa dan sengaja menyenggol bahu Donny sampai Donny terhuyung mundur.

"Elsa sukanya Magnum. Ngapain ditawarin es krim lain?"

Lalu Tristan berlari menuju ke Indomaret terdekat dan membeli es krim Magnum.

"Dia baru saja melamarku," tukas Elsa pada Donny dan Ayla. Donny bengong, begitu juga Ayla.

♥ Star Lover ♥

Tiga bulan kemudian.

Tristan turun dari pesawat milik maskapai tempatnya bekerja. Ia memperbaiki letak kacamata aviator yang nangkring di hidungnya yang mancung. Ia juga menyisir rambutnya dengan jemarinya sebelum melangkahkan kakinya menuruni tangga. Sebenarnya ini bukan penerbangan langsung dari Hong Kong, ia terbang dari Hong Kong ke KL kemarin malam, baru tadi pagi ia terbang dari KL ke Medan sebab tidak ada penerbangan direct HK ke Medan. Tapi biar sempat tidur di hotel tetap saja punggungnya pegal. Bahkan senyuman dari sang pamugari, Diandra Kusuma tidak bisa membuatnya melupakan rasa pegalnya.

"Terima kasih karena terbang bersama kami."

Tristan mengangguk sambil tersenyum.

Ah, hanya dengan bertemu cutest lady teddy bisa membuatnya mengisi ulang tenaganya. Tiga bulan ini ia terus insomnia, tak bisa tidur karena tidak bisa mengucapkan ucapan selamat malam secara langsung pada Elsa. Setiap ada waktu, ia hanya chatting, telepon, biaya teleponnya bahkan lebih mahal daripada biaya makannya di HK.

Dari Bintang, Tristan tahu kalau ibunya sering mengajak Elsa makan malam di rumahnya. Dan menurutnya, ibunya curang. Weisttttt! Mengapa sih harus menunggu dirinya berada di Hong Kong baru mengundang Elsa ke rumah? Kan Tristan nggak ada kesempatan buat nganterin Elsa kan?

Orang tua Elsa juga sering mengundang keluarga Tristan makan malam di rumah makan yang dikelola mereka. Tristan protes juga karena merasa tak pernah diundang.

Ibunya ngomel.

Apa kau juga bilang cemburu pada seluruh keluargamu hanya karena Elsa sekarang dekat dengan kami?

Kak Vega juga ikut ngomel.

Childish!

Ah, Lily Gayatri, sahabatnya itu pernah bilang cowok kalau lagi jatuh cinta pasti childish.

Correct!

Itulah yang terjadi padanya sekarang. Ibunya dan Kak Vega kayak nggak pernah muda saja. Kakak iparnya Marco mungkin lebih lebay lagi. Dulu, waktu mau ngejar Kak Vega karena Kak Vega sukanya sama David Beckham, mantan pemain MU dan kapten tim nasional Inggris itu, Marco pasang tattoo tempel. Marco kan mahasiswa kedokteran jadi rada-rada gimana gitu kalau pasang tattoo permanen. Waktu Marco pamer tattoonya itu, Tristan ngakak guling-guling di lantai sampai Kak Vega ngambek dan menendang lututnya.

Jadi nggak ada yang bisa salahin Tristan dong, kalau sekarang ia jadi agak lebay. Apalagi ia sudah tak bertemu Elsa selama tiga bulan. Beberapa kali sih, Tristan meminta Elsa liburan ke HK sambil menemaninya tapi Elsa nggak mau. Ngabisin duit, katanya.

Ih, kayak Tristan miskin saja. Terus dia bilang biar tiketnya dia yang urus dan Elsa bisa belanja saja di sini kayak si Megan. Elsa langsung menutup teleponnya saking kesalnya karena Tristan menyamakan dirinya dengan Megan.

Kadang ketika malam menyelimuti kota HK, Tristan bersumpah kalau tidak akan lagi menerima tugas seperti ini. Ia tak kuat berjauhan dengan Elsa. Kalau memang harus bertugas di luar Indonesia, Elsa harus ikut dengannya.

Tit tit tit.

Donny : Pesawatnya sudah mendarat?

Tristan : Yep. Kau bawa motorku?

Donny : Yep. Gara-gara keinginan gilamu, Leo harus panas-panasan naik motor!!! Awas kalau ngak bawa oleh-oleh. Elsa bakal kusodorin es krim Cornetto.

Tristan : Bangkee, minta dihajar!

Donny : :p

Tristan melangkah dengan mantap menuju bagian bea cukai dan mengeluarkan paspornya. Tidak sampai setengah jam kemudian ia keluar dari pengecapan paspor, lalu mengambil bagasi dan berjalan keluar sambil mencari sosok yang sangat dirindukannya.

"Tristan Benedict Lie!"

Suara itu dari belakangnya. Tristan sudah tersenyum sebelum membalikkan badannya. Ia bahkan belum sempat membalikkan badannya ketika Elsa memeluknya dari belakang.

Jangan kuatir, Kak. Kalau kau memelukku erat-erat, kau tak akan jatuh.

Tiba-tiba Tristan ingat kata-katanya ketika dulu membonceng Elsa pertama kali. Kata-kata itu seperti janji Tristan kepadanya yang akan tetap dijaganya sampai esok atau lusa. Cowok jangkung itu membalikkan badannya dan memeluk Elsa erat-erat.

Miss you.

"Mana oleh-olehku?" todong Neymar jadi-jadian.

"Diam dan pura-pura saja sebagai patung," tukas Tristan. Ia masih memejamkan matanya dan enggan melepaskan pelukannya. Tangannya terangkat menyodorkan bungkusan berisi cokelat dan wine.

"Bawa pergi dan jangan ganggu aku."

Si Neymar menyambarnya lalu menyodorkan kunci motornya ke tangan Tristan.

"Kopernya juga, Don!"

Donny menyipitkan matanya, menatap Tristan dengan sebal.

"Memangnya aku pembantumu!" omel Donny sebal tapi tetap juga dibawanya koper Tristan. Tristan mengajak Elsa mengendarai motornya mengelilingi kota itu. Rasanya sudah bertahun-tahun saja ia tidak mengendarai motornya padahal baru genap tiga bulan. Kepada Elsa, ia mengatakan alasan kalau ia hanya ingin jalan-jalan padahal ia menyukai sensasi tangan Elsa memeluk pinggangnya.

Ibunya berkali-kali menelepon, tapi terus diabaikannya. Nanti juga ia akan kembali ke rumah. Atau besok saja. Malam ini ia sudah punya rencana lain. Ia membeli wine sewaktu di KLIA, nanti ia akan singgah di minimart untuk membeli Magnum. Tapi hanya segelas untuk Elsa sebab ia tak boleh mabuk malam ini. Tristan sudah berjanji sebelumnya jika ia menginap Elsa harus penuh kesadaran

Ia tersenyum licik. Donny sudah ia sogok dengan cokelat dan wine, pasti ia tidak akan pulang.

Selanjutnya hanya ada wine, magnum, kiss and....

Tapi rencananya tinggal rencana, setelah mengelilingi kota sepanjang malam, makan nasi goreng Semalam Suntuk di Jalan Pandu, beli es krim, kembali ke rumah Elsa, dia lupa detil menarik kalau Double J sekarang sudah tinggal bersama ibunya.

"Hai, Oom, sudah balik, ya. Bisa dong, latihan wushu bareng," seru Jordy senang.

Tristan kontan lemas. Gairahnya yang memuncak langsung turun sampai ke titik nol.

Ini masih Double J, belum juga ibunya sendiri yang masih juga sering mencampuri urusannya. Tambahan Kak Vega, Marco, Bintang. Kalau boleh Donny dan Ayla sekalian dimasukkan. Ah, mantan suaminya juga.

Dua bulan setelah kepergiannya ke HK, Neymar keceplosan cerita via chatting bbm kalau di Davy Jones minta rujuk. Alasannya demi anak-anak. Terus Tristan nanya dong, lho istrinya si Tante Irsha Karmila alias Asih gimana? Donny malah ngirim emoji *ROTFL 5 kali.

Davy Jones kan emang masih cinta berat sama Elsa. Dulu nikah karena cinta. Eh, pernikahan kedua sama si tante penuaan dini kan karena nepsong, jadi siluman gurita ini bersedia meracun si Tante Asih. (Jangan percaya, gaya Donny chatting memang suka gitu).

Nggak mungkin kan, siluman gurita ini meracun istrinya sendiri, ibu dari putrinya. Lalu Tristan penasaran, eh, bukan sama si Tante Asih tapi sama reaksi cutest lady teddynya. Dia nanya dong ke Donny. Donny balas, kan Elsa bilang sekali icip Magnum maka akan terus ketagihan. Elsa ogah icip es lilin, banyak pewarna.

Makanya jangan lirik-lirik pramugari sono, cepat balik, pesan Donny.

Tristan ngirim emoji *ROTFL 10 kali. Jaga baik-baik pacarku, sering-sering beliin Magnum. Pokoknya hanya boleh icip Magnum. Titik!

Soal mantan suami nggak bikin pusing lagi, kini Tristan ingat kalau ibunya minta setelah menikah Tristan dan Elsa harus tinggal dengannya tapi Tristan menolak. Kan nggak mungkin Jasper tinggal bersebelahan dengan Bintang kan? Ada pintu tembus juga di ruang makan. Nggak baik kan? Apalagi mereka berdua masih muda.

Kalau pun mereka sampai pacaran, terus bagaimana? Jasper itu mirip ibunya, punya daya tarik. Bintang juga mirip Tristan kayak magnet gitu.

Kalau iya, apa kata orang nanti?

Kita kan hidup dalam lingkungan orang-orang sinis, kata Elsa.

Kalau pun terjadi, emangnya kenapa. Jasper dan Bintang nggak ada hubungan darah. Jalan mereka masih panjang, masih harus sekolah, kuliah, dan mungkin saja sewaktu kuliah, mereka berdua bertemu dengan jodoh mereka masing-masing.

Itu hanya sebagian kecil masalahnya jika ia bersama Elsa.

Terus, apakah ia akan mundur untuk memperistri Elsa?

Jawabannya adalah tidak!

Ia janji akan menghadapi semua masalah bersama-sama dan bila Elsa menggenggam tangannya, ia yakin mereka pasti bisa melewatinya.

Reuni adalah suatu tempat di mana kau sadar bahwa kau tak bisa melupakan cinta pertamamu, suatu tempat di mana segala sesuatu dimulai, seperti sebuah perjuangan untuk membuktikan pernyataan bahwa memang tidak gampang menjadi pria yang baik apalagi aku adalah makhluk yang paling tidak peka, sapi saja bisa lebih peka, namun aku bisa menjadi menjadi pria yang berkilauan untukmu yang bisa meminjamkan punggungku untukmu, yang menemanimu menikmati wine dan Magnum (kiss and sex) kalau kau memelukku erat-erat. Kalau kau mengganggap ini adalah akhir kisah kami, kau salah! Ini baru awal.

Now, you can call me Star Lover. Because I'm her man.

The End.

♥ Star Lover ♥

♥ Farewell. Tiada pesta yang tak usai.

♥ Tamat juga! *teriak bareng Donny. Curhat dikit ya. Fiksi yang kutulis dalam waktu pendek. Ide lama. Bahkan sebelum nulis Leon. Tapi dulu ide awalnya ketemu di reuni gitu. Ceweknya memang janda, cowoknya nggak lebih muda. Terus pas abis nulis Kakak Lily, eh, nemu ide begini. Di antara semua fiksi non ff ya, paling suka ini dan Leon. Kena gitu! Lebih hot Leon tapi lebih nakal Tristan. Beda tipe juga cuma sama-sama playboy. (Kapan sih kamu nggak nulis playboy? tanya Ayla). Hihihi iya, kapan? Nggak pernah kaleeee. Selanjutnya saya akan nulis fiksi lain dengan gaya yang nakal juga. Don't miss it, kay! Ngak maksa tapi kamu bisa jadi temanku dengan mengfollow akunku.

♥ Thankies buat semua partisipasinya. Semua komen dan voted, semuanya sangat berarti. Buat para sahabat dan teman-teman, thankies semuanya.

Versi cetak oleh Karos, ada extra partnya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top