2. Lingkaran Setan dan Sebuah Pelarian.
Standing With The Star
Part 2
Leah menelan ludah begitu melihat kerumunan orang yang berdesak-desakan di depan pintu gerbang yang belum terbuka, di sampingnya, Nana melipat lengan di depan dada sambil tersenyum simpul. Mereka berdua berdiri lima meter dari antrean yang sudah tidak terlihat seperti antrean itu.
Kacau banget, dah.
"Kita nyampe sebelum open gate," ucap Nana sambil melirik jam tangan. "Udah gue bilang kan, percaya aja sama gue, GPS handphone lu juga gak mungkin bohong, 'kan!"
Leah sama sekali tidak menatap Nana dan malah memerhatikan orang-orang yang bergumul di depan pintu gerbang masuk, keringat Leah kembali bercucuran, mereka seperti gila, gerbang kokoh itu terlihat akan segera mereka robohkan.
Kerumunan itu dominan perempuan, ada yang membawa poster bertuliskan nama Leonardo—siapalah itu, Leah lupa. Ada yang memakai bando, kaos, dan jaket bertuliskan bahkan bergambarkan wajah cowok itu. Kebanyakan anak baru gede yang penuh dengan hormon dan itu semakin membuat Leah meringis.
Anak-anak bego ini bakal nyesel kalau tua nanti, ck ck ck.
"Leon!"
"AAAAA!"
"Buka! Buka! Buka!"
Lalu mereka semua kompak mendorong pagar sambil meneriakkan nama cowok yang tidak pernah bisa Leah hapal namanya itu. Satu hal yang terlintas di kepala Leah begitu melihat mereka: Zombie.
Leah bergidik ngeri, cepat-cepat ia mengalihkan pandangan dari pemandangan tidak enak itu, pura-pura mengecek ponsel.
"Cih, emang yang mau nyanyi cuma Leonardi Abian doang, apa?" ucap Nana akhirnya. "Lo bener, ini emang udah mirip kayak konser tunggalnya dia, bahkan staff sama keamanannya udah gak bisa ngatur barisan lagi."
Leah kembali memandang kerumunan orang di depan gerbang, jarak antara mereka nyaris tidak ada, mereka seperti menyatu dan itu membuat Leah kembali menelan ludah gugup. Spontan, ia membayangkan dirinya di tengah-tengah. Hal yang paling menakutkan dari ketakutannya adalah, ia rasa bahwa segala hal yang hanya berputar di pikirannya mampu memengeruhi fisik—karena begitu ia membayangkan berdiri di tengah kerumunan orang, perutnya seperti ditendang dan ia merasa agak mual.
"Ya gimanapun juga, anak-anak alay ini gak bakal ngehalangin Friction City gue tampil, yekan?" ucap Nana.
Melihat wajah Nana yang berbinar-binar senang, Leah berusaha mengatur napasnya yang tersengal. Ia perlu tenang, mau tidak mau, mereka sudah ada di sini.
Oke, oke gue bisa, ini waktu yang tempat untuk ngebiasain diri.
Lalu teriakan histeris orang-orang di depan gerbang semakin keras, membuat Leah menoleh.
"Eh kayaknya gerbangnya udah mau dibuka, deh!" seru Nana. "Gue gak mau tahu, Leah, kita mesti di depan, oke?"
Sial, tamat gue.
"Tiga!" Orang-orang di depan gerbang berteriak seperti kesetanan, mulai menghitung mundur.
Leah mengepalkan tangan kuat.
"Dua!" Terlihat staff sudah mulai membuka gerbang.
Leah memejamkan mata kuat, berusaha mengabaikan hal-hal buruk yang sudah sedari tadi ia tumpuk di kepala.
"SATU!"
Leah terkejut setengah mati begitu Nana langsung meraih tangannya dan menariknya. Lalu mereka berdua berlari ke arah gerbang yang sudah mirip pintu neraka itu dan Leah tidak pernah merasa sekagum ini dengan Nana.
Larinya kencang sekali hingga Leah yang memiliki kaki yang kecil agak sulit menyamainya, padahal yang juara lari marathon sewaktu SMA itu adalah Leah, namun ia seratus persen yakin bahwa sekarang ini Nana sudah selevel dengan pelari nasional.
Yang lebih mengerikan lagi, mereka masih saja ketinggalan dari orang-orang lain dan situasi ini mengingatkan Leah pada Hunger Games kedua, di mana Katniss Everdeen dan kawan-kawan berlari di arena demi sebuah senjata untuk melindungi hidup mereka.
Semua orang berlari seperti hidup mereka bergantung pada kecepatan kaki mereka.
Demi Leonardo Albian atau siapalah namanya itu, ABIS NGAPAIN SIH DIA SAMPAI SEMUA ORANG TIBA-TIBA PUNYA SKILL LARI KUDA KAYAK BEGINI, HAH?!
Leah sampai tidak bisa melihat dengan jelas situasi di dalam taman wahana karena saking cepatnya ia lari, pemandangan di sekitarnya terlihat seperti bayangan, seolah-olah ia sedang melihat ke arah jendela mobil yang sedang mengebut.
Hal terakhir yang menangkap fokus Leah saat sedang berlari hanyalah om-om dengan perut besar yang mengenakan kaos putih bertuliskan "I LOVE Leonardi Abian." dan seorang anak remaja yang menangis histeris sambil membawa tongkat kayu kecil yang di atasnya terdapat gambar besar kepala si idola yang sepertinya akan menjadikan acara grand opening taman wahana ini menjadi konser tunggalnya.
Kalau aja si leonardo-leonardoan itu ngeliat kepalanya tiba-tiba nongol di tengah-tengah penonton, bakal kaget gak ya?
Leah sibuk berlari menyamai kecepatan Nana sampai lupa untuk merasa takut akan....
Kecepatan Nana berkurang, Leah pun juga ikut memelankan langkah dan akhirnya melihat jelas apa yang ada di depannya.
Oh, shit.
Di depannya, ribuan orang telah berdiri di dalam sebuah lingkaran yang dibuat dengan tali pembatas, membentuk lautan manusia bebentuk lingkaran, siap untuk menerimanya di tengah-tengah.
Sekujur tubuh Leah seperti bergetar.
Seburuk-buruknya sebuah kerumunan, yang terburuk baginya adalah ketika gerombolan manusia itu berdesakan dan diatur menjadi sebuah bentuk yang sempurna, entahlah, rasanya seperti semakin janggal dan mengerikan.
Di depan area yang dibentuk lingkaran itu, terdepat sebuah panggung besar, tentu saja, dan di belakang panggung itu berdiri kokoh biang lala raksasa yang super tinggi ditambah langit bersemburat jingga, sebentar lagi matahari akan terbenam.
Bila Leah tidak gemetaran setengah mati, ia pasti akan terkesima dengan tata panggung yang memesona itu.
"Waktunya menyerobot!" Seru Nana sembari menarik tangan Leah.
Lalu sebelum ia sadari, Leah telah menunduk menghindari tali pembatas, lalu kakinya yang kecil masuk ke dalam lautan manusia. Spontan Leah menutup mata, ia bahkan tidak sadar bahwa sedari tadi telah menahan napas.
Oke, here we go.
Sambil mengucap nama Tuhan Yang Maha Esa, Leah melangkah memasuki kerumunan, mengikuti Nana. Walau tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup kencang, ia selalu berharap suatu saat ia akan mengatasi ketakutan berlebihan yang menghalangi segala aspek dalam kehidupannya ini.
Oke, oke, gue bisa, gue bisa.
Ia melangkah, memasuki lautan manusia, tidak peduli dan berusaha mengabaikan khayalan di kepalanya tentang metafora yang sureal bahwa lautan manusia itu akan menelannya perlahan.
Leah terus menunduk, menatap kaki-kaki tak berjarak. Hal buruk itu pun tetap lebih baik daripada harus menatap kepala-kepala ribuan manusia yang berdekatan di sekitarnya.
Santai, santai, kalem Leah, ini cuma masalah jarak aja.
Tak lama kemudian, suara MC yang entah sedari kapan sudah berdiri di tengah panggung, terdengar dari sound system yang super duper besar, "Apa kabar semuanya welcome to Wonderplace! Mana suaranya nih yang udah gak sabar ketemu sama bintang tamu kita malam ini?!"
"AAAAA!" gabungan jeritan semua orang melebur, beberapa dari mereka memekik di ujung suara.
Saat itulah, Leah seperti kehilangan keseimbangan.
Saat hampir ribuan orang yang berjarak kurang dari sejengkal dari satu sama lain berteriak sekencang-kencangnya.
Telinganya berdengung.
Dan itu membuat fokusnya terbagi-bagi, kaki-kaki orang asing yang memenuhi pandangannya sejak tadi mulai terlihat berbayang-bayang.
Ia tidak menyangka akan merasakan efeknya secepat ini.
Leah menutup mata sejenak, ia berusaha mengatur napasnya pelan-pelan, lehernya sudah mulai pegal karena terlalu lama menunduk dalam.
Suara MC kembali terdengar "Oke, gue harap kalian udah siap untuk nari dan nyanyi bersama..."
Saat ia rasa dirinya sudah cukup stabil, Leah memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya dan melihat lurus ke depan.
"... Friction City!" lanjut si MC.
Saat itu Leah sadar akan sesuatu.
Nana tidak memegang tangannya, atau berdiri dekat dengannya, atau terlihat oleh matanya.
Dan itu bukan pemandangan terbaik yang ingin ia lihat setelah bersusah payah memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan memandang lurus ke depan.
Leah menoleh ke kiri dan ke kanan, keringat mengucur di dahinya, namun percuma saja. Leah tetap tidak melihat cewek tinggi yang rambutnya dicat merah itu.
Sendirian di tengah lautan manusia bagi Leah akan tiga kali lipat lebih menyeramkan daripada sendirian di dalam sebuah ruangan kosong yang gelap sekali pun.
Nana bangsat lu di mana?
Orang-orang di sekelilingnya saling bertabrakan, berdesakan, bahu mereka bersentuhan, berbenturan, tidak menyisakan celah bahkan baginya untuk melihat ruang kosong yang bisa digunakannya sebagai penenang.
Jantung Leah berdegup semakin kencang, ia gemetaran bahkan sampai ke ujung-ujung jari, poninya mulai basah oleh keringat.
Flashback
Gadis kecil itu menoleh ke kiri dan ke kanan, orang-orang asing yang dulu hanya ia lihat di stasiun televisi internasional kini berlalu-lalang di depannya, mengungkungnya di dalam rute mereka.
Jalan itu ramai, terlalu ramai hingga ia tidak bisa berjalan dengan leluasa.
Leah memegang boneka beruang kecil di tangan, hadiah dari ayah di ulang tahunnya yang keenam tahun lalu.
Leah berusaha meminta tolong. "Eh-uhm, Help," ucapnya terbata-bata, tidak tahu harus apa.
Ia bahkan tidak yakin apakah tempat yang ia tuju dengan pesawat ini menggunakan bahasa inggris atau bukan. Leah berusaha ingat, tapi ia tidak bisa, tadi ia terlalu sibuk main dengan Gio sampai tidak memerhatikan ucapan ayah dengan orang-orang asing di restoran tadi, ia tidak tahu bahasanya.
Tubuhnya yang tidak lebih tinggi dari pinggang orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya tidak tahu harus berjalan ke mana, matanya tidak melihat apa pun yang bisa membantu.
Sudah berjam-jam sejak terakhir kali ia tidak melihat Ayah, Ibu, Gio, serta Ayah dan Ibu Gio yang menghilang ketika ia berusaha mengambil boneka beruangnya yang terjatuh.
Leah hanya berjalan, begitu lama hingga kedua kakinya terasa panas, telapak kakinya pegal karena sol sepatunya begitu keras.
Tidak ada apa-apa, orang-orang di sekitarnya seperti tidak habis. Terus berputar-putar, Leah mengecek setiap orang, ia terus mendongak, mencari wajah Ayah, ibu, atau orang tua Gio.
Belasan, Puluhan, Ratusan wajah di matanya terus berganti, berputar-putar di pikirannya, berbeda-beda dan berlalu lalang. Di antara mereka tidak pernah ada wajah Ayah, wajah Ibu atau wajah orang tua Gio.
Langit mulai gelap.
Ia melakukan hal yang sama hingga lampu kota dinyalakan, lalu orang-orang menjadi semakin banyak, mereka bersuara, mengatakan sesuatu yang tidak bisa ia mengerti dan itu membuatnya semakin tidak terkendali.
Wajah-wajah asing, hanya terus melewatinya, berjalan searah dengannya, atau memutarinya.
Lalu gadis kecil itu mulai merasa seperti terperangkap di tengah-tengah, kerumunan orang-orang yang berjalan itu seperti mengurungnya.
Dengan sendirinya, perasaan was-was dan lelahnya menyatu, membentuk sesuatu yang baru.
Membentuk sebuah ketakutan.
Terus menumpuk hingga berulang dan membentuk sebuah siklus yang berkelanjutan, yang tidak bisa hilang.
Hari itu tubuh leah terus gemetaran, pandangannya buram karena air mata, ia mencengkram erat boneka beruang di tangan kirinya.
Flashback End
Rasanya sama.
Leah seperti masih memegang boneka beruang itu di tangannya, masih merasa orang-orang di sekitarnya mengatakan sesuatu dalam bahasa yang tidak ia mengerti, masih melihat suasana negara yang tidak pernah ia datangi sebelumnya.
Rasanya sama.
Oleh karena itu Leah terus menunduk dan butuh waktu baginya untuk berani mendongak. Wajah-wajah asing itu, Leah muak.
Rasanya sama.
Persis dengan hari itu--sewaktu ia berjalan mencari ayah dan ibunya, lalu persis dengan seminggu setelahnya, ketika ia masuk ke sekolah lagi dan diharuskan berdiri di tengah barisan ketika upacara bendera. Persis juga sewaktu ia harus berdiri bersama ribuan calon siswa baru ketika MOS masuk SMP, SMA, hingga tahun lalu sekalipun, saat ospek kuliah.
Leah rasa umurnya sudah cukup untuk mulai mempraktekkannya sendiri, untuk keluar dari ketakuan bodoh yang membatasinya melakukan banyak hal yang ingin ia lakukan.
Tapi panik yang memuncak di dalam dirinya menyangkal mentah-mentah persepsi itu.
Friction City di atas panggung, menyanyikan lagu adalan mereka dan sial sekali, lagu mereka up-beat, membuat orang-orang di sekitar Leah melompat.
Leah melihat ke kiri dan ke kanan dengan susah payah, masih mencari Nana, tapi hasilnya nihil.
Semua orang melompat, saling menyerobot, tidak ada celah di antara mereka. Setiap kali Leah ingin menemukan ruang kosong untuk dipandang, ia hanya akan menemukan kepala orang lain, terus-menerus seperti tidak ada habisnya.
Leah tahu betul situasinya akan berubah menjadi sangat buruk begitu pandangannya mulai kabur, degup jantungnya semakin cepat dan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk meredamkan paniknya adalah dengan mengepalkan kedua telapak tangannya erat.
Ribuan orang ini, terlalu banyak, terlalu padat, terlalu sempit. Pakaian mereka mulai terlihat seperti bayang-bayang warna yang memburam di mata Leah, pandangannya kabur. Mata Leah mulai setengah terpejam, keringat bercucuran di keningnya.
Ribuan orang berbicara dan berteriak bersamaan, suara-suara mereka melebur menjadi bunyi yang tidak bermakna, bersamaan dengan suara vokalis Friction City yang menggelegar dari sound system. Di telinga Leah, suara-suara yang saling lebur itu tidak disangka olehnya akan jadi sebising ini, rasanya menyakitkan, tidak sadar tangannya yang tadi terkepal kini berada di kedua telinganya yang mulai berdengung.
Perkataan Gio waktu itu memang benar, mental akan pelan-pelan memengaruhi fisiknya.
Leah mulai oleng dan orang-orang menyambarnya, mendorong bahunya, melompat di sampingnya.
Leah tidak ingin mencari Nana, ia juga sudah melupakan keinginannya untuk melawan ketakutannya, sepertinya memang sudah tidak bisa lagi.
Leah menyerah.
Gue harus keluar.
Dari pandangannya yang kabur, ia berusaha mencari arah terdekat menuju tali pembatas, menuju ruang kosong di luar area penonton.
Karena tidak bisa melihat celah di antara padatnya lautan manusia itu, Leah akan mencoba cara terakhir yang tersisa, yaitu terus berjalan ke samping hingga mencapai ujung area penonton.
Di tengah rasa pusing dan mualnya, panik dan gemetar tubuhnya, serta pandangannya yang memburam, Leah susah payah berjalan ke kiri, tidak lagi memedulikan siapa atau berapa orang yang ia tabrak, masa bodolah.
"Oi, apa-apaan?!"
"Woi mata lu di mana?"
"Eh aduh kaki gue!"
"Aduh!"
"Kalau jalan liat-liat, dek!"
Leah terus berjalan, sadar bahwa ia menginjak, menyenggol, bahkan menabrak orang lain berulang kali tapi fokusnya hanya satu: Keluar dari kerumunan penonton.
Begitu melihat sedikit celah, Leah menyipitkan matanya, jantungnya berdegup kencang begitu sadar bahwa sekilas ia bisa melihat tali pembatas itu, beserta staff keamanan berbaju serba hitam yang berdiri di luarnya.
Leah sudah nyaris terseok-seok begitu tangannya akhirnya berhasil menyentuh tali pembatas itu. Ia mengangkatnya, memberikan ruang bagi tubuhnya untuk melewati tali itu tanpa harus menunduk.
Satu langkah.
Dua langkah.
Hingga lima langkah ia ambil keluar dari lautan manusia itu.
Angin langsung menerpa wajahnya, memberikan sensasi dingin di keningnya yang basah karena keringat. Leah baru sadar bahwa napasnya ternyata sangat terengah-engah, ia mengusap dahinya sendiri, lalu langsung jongkok begitu saja, napasnya masih memburu, pundaknya naik turun.
Degup jantungnya mulai stabil, dadanya yang tadi terasa berat dan sesak kini perlahan terasa ringan karena lega.
Walau masih sangat ramai diluar area penonton, tapi setidaknya sudah tidak sepadat tadi.
Leah pun berdiri, sekarang sudah lebih baik, tetapi kepalanya masih sedikit nyut-nyutan dan ia tidak pernah merasa sehaus ini sebelumnya, ia butuh air.
Leah akhirnya melihat sebuah stan minuman, tanpa menunggu lagi, ia segera berjalan ke sana sembari mengeluarkan ponselnya dari saku jaket, berniat untuk menelepon Nana setelah ia minum nanti.
Sial banget si Nana kok tiba-tiba ilang, awas aja nanti kalau ketemu gue ba—
BRUK!
Leah nyaris terjungkal ke belakang, nyeri langsung berkelebat di sekujur lengannya. Seseorang menabraknya hingga ponselnya jatuh ke tanah, menimbulkan bunyi yang khas, lalu bunyi yang sama terulang untuk kedua kalinya, mungkin orang itu juga menjatuhkan barangnya.
Leah benar-benar tidak tahu kata apa lagi yang harus digunakannya untuk mendeskripsikan hari ini, semua kejadian buruk telah terjadi.
Bahkan jika nanti ia tiba-tiba diculik alien, mungkin Leah tidak akan kaget.
Sambil mendengus, ia membungkuk dan memungut ponselnya yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Begitu benda berwarna jet black itu digenggamnya, ia segera memasukkannya ke dalam saku jaket lagi.
Orang yang menabrak Leah juga membungkuk bersamaan dengannya, mengambil barangnya yang juga terjatuh tadi.
"Sori, sori, gue buru-buru," ucapnya, suara cowok.
Tidak bicara pun, Leah sudah tahu dari posturnya yang tinggi tegap serta bahunya yang lebar.
Karena tidak punya energi untuk marah-marah, Leah cuma mengangguk sambil mendongak karena cowok itu tinggi sekali. ia mengenakan masker, topi, dan tudung jaketnya juga dinaikkan. Semuanya serba hitam.
Sama seperti perkataannya, cowok itu langsung buru-buru pergi.
Leah tidak ambil pusing, ia juga ikut melengos dan segera bergegas ke stan minuman tadi dan membeli sebotol air.
Ia menghela napas lega begitu kerongkongannya kini tak lagi kering, ketakutannya mulai pudar, dan Leah sangat bersyukur karena berhasil keluar dari neraka tadi tanpa muntah atau terjatuh. Sekarang ia duduk di sebuah bangku dekat stan minuman.
Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, akhirnya menyadari betapa bagusnya dekorasi taman wahana baru itu. Lampu-lampu di mana-mana, kontras dengan langit malam. Karena terletak di tengah lahan kosong, bintang-bintang di langit terlihat jelas.
Tenda makanan yang berkonsep sirkus 90-an berjejer mengelilingi area penonton dan panggung, Leah serasa sedang berada di dalam latar tempat serial netflix terkenal, Stranger Things.
Wahana di mana-mana, di belakang panggung yang megah berdiri sebuah biang lala raksasa yang sangat tinggi, langit malam yang gelap membuat biang lala itu terlihat seperti cahaya yang berputar lambat. Musik mengalun keras, kini bukan lagi Friction City yang tampil, entah sejak kapan telah berganti.
Warna-warna lampu itu membuat mata Leah berbinar-binar, akhirnya untuk pertama kalinya selama sehari itu, Leah merasa sedikit ... lebih baik? Entahlah.
Setelah berhasil keluar dari waktu-waktu kritis tadi, ia baru menyadari segala hal yang terjadi di sekitarnya, dan tempat ini ternyata tidak begitu buruk.
Leah menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi lalu ia mengeluarkan ponselnya dari saku jaket, berniat menelepon Nana dulu.
Leah membersihkan debu yang menempel di layar ponselnya, syukurlah tidak retak.
Ia menyalakan ponsel itu, tetapi saat melihat layarnya, Leah langsung mengerutkan dahi bingung.
"Loh? Sejak kapan gue ganti wallpaper?"
Leah ingat betul, wallpaper ponselnya adalah fotonya bersama Gio, orang tua Gio, serta Ayah dan Ibunya sewaktu kelulusan SMA, bukannya gambar pegunungan.
1 detik
2 detik
3 detik
Leah langsung berdiri dari duduknya.
Sambil mendengus, ia membungkuk dan memungut ponselnya yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Begitu benda berwarna jet black itu digenggamnya, ia segera memasukkannya ke dalam saku jaket lagi.
Orang yang menabrak Leah juga membungkuk bersamaan dengannya, mengambil barangnya yang juga terjatuh tadi.
"Sori, sori, gue buru-buru," ucapnya, suara cowok.
Leah menepuk dahinya, degup jantungnya yang tadi sudah stabil kini kembali berdegup gila-gilaan.
Ia membalik ponsel di tangannya, matanya melebar begitu melihat di sudut kiri bawah ponsel itu terdapat sebuah stiker super duper kecil bertuliskan 'The 1975'
Melihat itu, sekujur tubuhnya langsung lemas. Bila semua malam minggu yang pernah ia alami selama hidup diumpamakan sebagai film, maka malam ini pasti mewakili The Conjuring.
Ia menatap sudut kiri bawah ponsel itu dengan tatapan putus asa.
Leah tidak pernah menempelkan stiker apa pun pada ponselnya.
***
Leah berlari ke tempat ia dan cowok tadi bertabrakan, ia menoleh ke kiri dan kanan, tapi ia tidak menemukan sosok yang dicari.
"Shit shit shit." Leah mengutuk sambil berjalan tanpa arah, berusaha mencari cowok tinggi berbaju hitam yang mengenakan masker dan topi berwarna senada. Hasilnya nihil, Leah juga agak kesulitan karena semakin malam, semakin ramai taman wahana itu. Belum lagi suara musik yang menggelegar terus memecah fokusnya.
"Aduh habis gue!" serunya, tidak memedulikan pasangan yang mentapnya dengan pandangan aneh karena suaranya terlalu keras.
Leah terus berjalan, sebisa mungkin menjauhi tali pembatas area penonton.
Bisa gawat kalau cowok itu ternyata sudah tidak ada di taman wahana mengingat betapa buru-burunya ia tadi. Tidak sadar, Leah sudah berjalan cukup jauh, ia semakin dekat ke area panggung karena suara musik terdengar semakin lama semakin keras.
Leah berusaha berpikir jernih walaupun ia sudah panik setengah mati, gadis berambut pendek itu berlari menghampiri seorang pria dewasa berbadan besar yang mengenakan seragam hitam bertuliskan 'staff.'
"Misi, pak," ucapnya sekeras mungkin agar suaranya bisa kedengaran di tengah ingar bingar keramaian.
"Tes, tes, dia masih nolak tampil?! Cepat carikan sound system yang baru! Kalau bos sampai tahu, kita semua mati!" serunya, membuat Leah terkejut karena ternyata suara pria itu lima kali lebih besar dari teriakannya. Ia berbicara dengan seseorang menggunakan walkie-talkie.
"Misi, pak?" serunya, berusaha lebih keras lagi, namun pria itu tidak memedulikannya, wajahnya juga terlihat berkali-kali lipat lebih panik dari Leah sendiri.
Leah semakin gugup dan bingung, ia terus celingak-celinguk meski tahu hasilnya tetap nihil.
Area di dekat panggung ini dipenuhi staff-staff lain yang sibuk mondar-mandir, ekspresi wajah mereka hanya satu macam, yaitu panik. Setiap kali Leah ingin meminta bantuan, respons mereka tidak ada yang berguna karena mereka telihat begitu gugup, marah, dan sibuk.
Sepertinya ada masalah internal yang lumayan besar.
Tapi masalah internal milik Leah juga tidak kalah besar, ponselnya itu masih sangat terawat, keluaran terbaru, dan isinya juga sangat berharga.
"Ah, anjir! kemana sih tuh orang?!" Leah seperti ingin meledak, hari ini betul-betul membuatnya menyerah.
Ia sudah menelepon ke nomornya berkali-kali, tetapi tidak diangkat, padahal ia yakin sekali bahwa dering ponselnya itu selalu ia atur ke volume paling besar. Ponsel di tangannya itu sama persis dengan miliknya, dari merek, tipe, hingga warna. Namun, ia tidak bisa memeroleh informasi apa pun karena mesikipun cowok berpakaian hitam itu tidak menggunakan sandi pada lockscreen, ia mengunci semua aplikasi yang ada di dalamnya: Memo, galeri, media sosial, semuanya.
Siapa coba yang mau repot-repot nyetel handphone-nya sampai kayak gini?
Leah memutar arah dan memutuskan untuk mencari di area lain, ia memutari area penonton, terus berlari ke arah gerbang masuk taman wahana sambil mengucapkan kata "Permisi." Tiga detik sekali.
Leah sudah sampai di depan gerbang, namun cowok itu juga tidak ada di area situ. Sudah lewat jam delapan malam, tapi masih banyak orang yang masuk dengan wajah antusias.
Kontras dengan Leah yang seperti mau mati, malam dan suasana taman wahana itu terasa begitu hidup.
Pikiran Leah kembali melayang ke ponselnya yang mungkin tidak akan pernah lagi ia dapatkan lagi.
Apa perlu gue diemin aja? Nanti juga dia ngehubungin kalau dia udah sadar, 'kan?
Mana handphone gue ada passwordnya lagi!
Dan gimana kalau ia gak sadar-sadar bahkan sampai larut malam, atau sampai besok berhubung tadi ia buru-buru dan terlihat sibuk?
"Haish!" Leah mengacak-ngacak rambutnya frustrasi.
Leah hanya berdiri di sana, mematung. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi, napasnya ngos-ngosan, ia sudah sangat sangat sangat lelah.
Ia hanya berdiri dan terdiam, benar-benar blank.
Lalu beberapa detik kemudian, mata Leah melebar, ia teringat sesuatu.
---
"Enggak gue yakin, nih dari tadi gue ngikutin GPS handphone lo, bener kok," ucap Nana optimis.
---
"Gue udah ngikutin GPS handphone lu nih, kalau kita tersesat berarti handphone lu ya yang rusak," ucap Nana.
---
"Kita nyampe sebelum open gate," ucap Nana sambil melirik jam tangan. "Udah gue bilang kan, percaya aja sama gue, GPS handphone lu juga gak mungkin bohong, 'kan!"
---
Leah menjentikkan jarinya
"GPS handphone gue masih nyala!" serunya, jantungnya berdegup semakin kencang karena antusias.
Leah mengeluarkan ponsel milik cowok itu, lalu ia berdoa dalam hati semoga cowok berpostur sempurna itu tidak benar-benar mengunci semua aplikasi yang ter-download di ponselnya.
Leah mengacak-ngacak menu, berusaha menemukan logo aplikasi yang dicarinya.
Plis, plis, plis, jangan kunci aplikasi yang ini plis....
Aplikasi find my iPhone yang tadi Leah buka kini menampilkan mode beranda. Tidak dikunci.
Yes! Oke, oke, kalem Kaleah, everythings going to be alright.
Dengan jari yang gemetar, Leah mengetikkan ID ponselnya di kolom yang telah ditentukan, lalu loading.
Leah menahan napas.
Mata Leah membola begitu ponsel itu menunjukkan peta yang berisi rute detail, di peta tersebut terdapat sebuah titik penanda berwarna merah, menunjukkan lokasi ponselnya sekarang.
Yes! Terlacak!
Dan ponselnya tidak bergerak, seperti tergeletak di satu tempat.
Loh gak gerak? Bukannya tadi dia bilang lagi buru-buru?
Meskipun heran karena lokasi ponselnya ternyata berlawanan dengan arah jalan cowok itu setelah menabrak Leah, ia tetap tidak punya pilihan kecuali mendatangi lokasi yang ditunjukkan GPS ponselnya.
Ia langsung menge-zoom peta digital tersebut. Ia benar-benar seperti ingin meloncat bahagia begitu melihat lokasi ponselnya ternyata masih berada di dalam taman wahana yang rute detailnya ternyata sudah tercantum di peta, lengkap dengan nama-nama kios kecil yang berjejeran di dalamnya.
Oke, sekarang yang harus dilakukannya hanyalah berjalan mengikuti lokasi ponselnya pada peta digital dan semuanya akan sejahtera seperti sedia kala.
Bukan berjalan, tepatnya berlari.
Jangan sampai cowok itu keburu pergi dan permasalahannya jadi tambah ribet.
Nana juga pasti sudah kebingungan mencarinya.
"Sorry ya, Na," ucap Leah dalam hati. "Lo bingung dulu aja sebentar."
***
Nana berteriak hingga tenggorokannya sakit, kakinya seperti tidak kenal lelah karena ikut melompat bersama dengan orang-orang asing di sekitarnya.
Jadi gini ya rasanya nonton idola secara langsung.
Di depannya, band andalan keduanya setelah Friction City sedang main, suasananya benar-benar beda dan Nana merasa sangat bebas.
"Seru banget ya, Leah!" teriak Nana, matanya masih berbinar-binar karena lampu biang lala yang berdiri kokoh tepat di belakang panggung. "Gak nyesel gue bela-belain ke sini!"
Leah tidak menjawab.
"Leah lu denger gue?"
Tetap tidak ada jawaban.
Nana menoleh, dan Leah sudah tidak ada di samping kirinya, atau di kanannya, atau di belakangnya.
"Loh?" ucapnya heran.
Kemana dia?
"Yaudahlah nanti juga bakal ketemu." Nana lalu kembali menghadap ke depan, ia lanjut menonton dan bergoyang.
"Penonton, mana suaranya! Make some noise!" seru sang vokalis.
"WAAAAAAA!" teriak Nana sekuat tenaga.
***
Kaki Leah berhenti berjalan.
Ia lalu mengangkat kepalanya, mengalihkan perhatian dari maps ponsel ke arah pemandangan di depannya.
Berdasarkan peta dari find my iPhone, lokasi ponselnya berjarak tak lebih dari beberapa meter, sudah sangat dekat.
Leah menoleh ke kiri dan kanan, ia tidak percaya ke mana GPS ponsel membawanya.
Tempat yang tadi, area yang dekat dengan panggung, yang begitu bising karena dekat dengan sound system, serta dipenuhi puluhan staff berapaikaian hitam seragam yang masih mondar-mandir dengan panik.
Sepertinya masalah yang tadi belum selesai-selesai juga.
Leah menunduk lagi.
Eh ini gak salah, 'kan?
Ponselnya ada di sana, di ruangan belakang panggung yang dijaga ketat oleh seorang staff berbadan besar dan bermuka garang yang sekilas membuat Leah bergidik ngeri.
Area belakang panggung itu seperti tenda raksasa, pintu masuknya lebar tapi Leah tidak melihat apa-apa di dalam karena tenda raksasa itu berwarna hitam, belum lagi sekarang sudah lewat jam delapan malam. Leah lihat hanya staff yang keluar-masuk dari sana, mereka semua mengenakan kaus hitam yang sama beserta ID card yang menggantung di leher.
Mungkin di sanalah ruang ganti untuk setiap bintang tamu dan hal-hal penting yang bersangkutan dengan acara berada.
Leah sangat yakin, berulang kali ia menunduk untuk melihat ponsel, lalu melihat pintu masuk area belakang panggung. Menunduk, melihat, menunduk, melihat.
Tidak salah lagi, ponselnya ada di sana, tergeletak di suatu tempat.
Leah memandang pria besar berseragam hitam itu, bajunya sih sama dengan baju staff lain—hitam polos. Tapi di badannya terlihat berbeda, seperti baju gym super ketat karena ototnya lengannya sangat besar.
Ck, ngeri amat.
Tapi Leah tetap ke sana, ia ingin cepat-cepat menelepon Nana dan menyuruhnya untuk pulang saja, Leah sudah sangat capek luar dalam.
"Ehm." Leah berdeham. "Misi mas, eh bang—maksud saya Kak," ucap Leah agak terbata-bata, ia yang sudah kecil malah terlihat lebih kecil lagi di depan pria itu. Leah membaca tulisan pada ID card orang itu, tertulis 'Ucok, staff.'
"Hm?" Pria itu harus menunduk untuk menatap Leah, yang ditatap langsung menelan ludah.
"Anu, Kak, handphone saya ada di dalam, di bagi—"
"Mundur, dek, selain staff tidak bisa masuk." Ucapan Leah langsung dipotong begitu saja. Suara pria itu mirip seperti Papa Zola, tokoh serial Boboiboy yang sering dinonton Gio diam-diam setiap sabtu pagi.
Leah mengerutkan kening. "Loh, Kak, handphone saya beneran di dalam, lihat nih saya tunjukkin kalau tidak perca—"
"Dek kecil, begini ya," Pria bernama itu Ucok tiba-tiba maju satu langkah, membuat Leah spontan juga mundur selangkah. "Yang bilang begitu ke saya hari ini udah ada sekitar dua belas orang."
"Loh, kak, tapi saya gak bohong," tegas Leah masih keuh-keuh.
"Dua belas orang tadi juga bilang begitu ke saya," ucap ucok.
Leah menganga, tidak percaya akan situasi yang sedang dihadapinya sekarang.
"Kalau mau ketemu Leonardi Abian sampai segitunya, beli tiket gold dek sono, bisa plus meet and greet tuh." Ucok agak meledek. "Ngapain juga anak SMP datang ke sini sendiri, ckckck anak jaman sekarang bener-bener."
Wajah Leah rasanya panas, ia memutar mata malas.
Dasar om-om tukang stereotipe-in orang.
"Kak, pertama, saya bukan fans leonardo albi—leonardo aldi—entah siapalah itu namanya saya bahkan gak bisa inget. Kedua, saya udah kuliah. Ku-li-ah," ucap Leah jengkel. "Yaudah saya masuk sendiri aja."
Ucok langsung menghalangi pintu masuk, badannya sampai bisa menutup hampir semua celah saking besarnya. "Mundur sana atau saya panggilin keamanan."
---
Leah berakhir menendang kerikil yang tergeletak di tanah.
Ia kembali berdiri di tempat semula sebelum ia memutuskan untuk bicara dengan Ucok.
Leah mengepalkan tangan geram. Ia jengkel bukan cuma karena tidak bisa masuk, tapi karena si ucok belagu itu mengatakan seenaknya kalau ia ingin ketemu sama si Leonardo-leonardoan itu, juga memanggilnya anak SMP.
Hellow? Emang kalau gue ketemu dia gue dikasih duit gitu? Cih.
Leah kembali menatap layar ponsel di tangan, syukurlah lokasi ponselnya itu masih tidak bergerak.
Leah menyingkirkan poninya ke atas, frustrasi. Ia harus cepat sebelum lokasi ponselnya berpindah.
"Sialan." Sudah lebih sepuluh kali Leah mengumpat hari ini.
Leah memperhatikan pintu masuk ke area belakang panggung yang masih dijaga oleh ucok itu. Yang keluar-masuk dari sana memang hanya staff saja, kaus mereka seragam.
Namun sesuatu menangkap pandangan Leah. Seoarang pria yang berjalan menuju pintu masuk ruangan belakang panggung yang dijaga ucok, ia jelas bukan staff. Pria itu tidak mengenakan kaus hitam dan ID card, melainkan celana jeans biru, jas, dan syal berwarna neon mencolok yang melilit lehernya.
Pria itu membawa sesuatu di tangan.
Leah menyipitkan mata untuk melihat dengan jelas benda apa yang oleh orang itu.
Eh?
Pria itu memegang sebungkus makanan di kantong plastik bening, sepertinya batagor. Ia juga memegang sekotak susu stroberi.
Pria berpakaian eksentrik itu berjalan mengantre di antara staff yang juga menuju ke arah yang sama, mata Leah terbelalak begitu melihat ucok mengizinkannya masuk bersama staff yang lain.
Dengan beranggapan bahwa mungkin pria itu adalah manajer bintang tamu atau orang penting, Leah mengalihkan fokus begitu mendengar sebuah suara deru mobil. Benar saja, sebuah truk tiba-tiba datang dari pintu masuk belakang taman wahana dan berhenti tidak jauh dari area belakang panggung.
Beberapa staff segera berdiri di belakang truk itu begitu mesinnya mati. Saat sopir membuka muatannya, mereka naik ke atas dan beramai-ramai mengangkat kardus yang menumpuk di dalam situ, jumlahnya ada banyak sekali, mereka lalu membawanya ke area belakang panggung.
Lalu sebuah ide terlintas di pikirannya.
Leah memang terkenal nekat dan berani, tapi ia tidak menyangka bahwa ide seberesiko itu tiba-tiba terpikirkan olehnya, ia bahkan punya sedikit keinginan untuk mencoba karena sudah sangat putus asa.
Leah mengepalkan tangan, ia melompat-lompat kecil karena gregetan. Ia terus mengalihkan pandangannya dari ucok ke truk, ucok-truk-ucok-truk, Leah sampai pusing.
Lalu Leah menunduk, dibalik jaket denim oversize yang bagian belakangnya ia lukis sendiri, Leah memakai kaus hitam polos.
Ia lalu memejamkan mata sambil menggigit bibir bawahnya.
Okelah, gue bakal coba, now or never.
Leah langsung berlari ke arah stan makanan terdekat lalu membuka jaket dan menitipkannya bersama totebag kanvasnya ke penjaga stan kebab itu.
Sebelum kembali ke tempat tadi, Leah menghela napas terlebih dulu, dibanding harus masuk ke kerumunan penonton, ini tidak ada apa-apanya.
Gue bisa, gue bisa, gue bisa.
Lalu kaki kecil Leah berjalan ke arah truk, semakin ia mendekat, semakin keras musik energetik yang dibawakan grup band indie bernama Arizona, band kesukaan Nana setelah Friction City, lagu mereka seperti menjadi soundtrack untuk aksi yang akan dilakukan Leah, membuatnya mereka adegan seolah ia sedang berjalan dengan slow motion di antara keramaian, rambutnya diterpa angin malam dengan cara yang sangat dramatis.
Lo bisa Kaleah, kalem, kalem.
Karena badannya ringan, ia dengan mudah memanjati truk itu dan berdiri di atas tempat muatannya.
Leah menelan ludah gugup, sejauh ini tidak ada yang sadar bahwa bajunya hitam polos, tidak ada tulisan 'staff' di bagian depan, juga tidak menggunakan ID card.
Leah mengambil satu kardus seperti orang lain, di sampingnya ada dua cowok dan satu cewek melakukan hal yang sama, Leah berusaha memalingkan wajah agar rambutnya menutupi wajah.
Ia bersyukur sekali karena kardus yang ia bawa sama sekali tidak berat, sepertinya isinya hanya kain-kain saja.
Mengikuti staff lain, Leah segera turun, kakinya kini memijak tanah, jantungnya masih berdegup tak karuan. Leah melihat ke depan, ke arah Ucok yang masih berdiri di depan pintu masuk area belakang panggung.
Lalu mulailah jantungnya kembali bergedup seperti sedang lari marathon.
Tetapi sudah terlanjur, Leah tidak boleh langsung mundur begitu saja, toh kalau kedapatan, memangnya apa hal terburuk yang bisa terjadi? Ucok tidak mungkin memukulnya atau semacamnya, 'kan?
Maka Leah berlari kecil, menunduk sedalam-dalamnya, mengangkat kardus ke dada agar tidak ada yang melihat bagian depan bajunya yang polos dan ID card yang goib.
Leah benar-benar tidak percaya dengan apa yang sedang ia lakukan sekarang, pulang nanti ia akan menceritakan semua ini ke Gio. Respons cowok itu pasti akan sangat priceless
Leah berbaris teratur, semakin dekat dengan pintu masuk yang dijaga Ucok, mereka harus mengantre agar tidak bertabrakan dengan staff yang ingin keluar.
Leah mengangkat kepala, melihat ke depan, lalu matanya menyipit ke arah punggung cowok yang mengantre tepat di depannya.
Lalu sesuatu menangkap perhatiannya.
Cowok itu tidak mengenakan ID Card, tidak ada tali yang melilit leher belakangnya.
Masa bodolah.
Leah langsung mengalihkan pandangan ke kanan, Ucok belagu berdiri di sana, terlihat lima kali lebih seram dari sebelumnya.
Satu langkah.
Dua langkah.
Leah semakin dekat, ia mengintip ucok dari helaian rambutnya yang ia usahakan sebisa mungkin agar menutup separuh wajahnya. Baru kali ini Leah nyesal punya rambut pendek.
Aduh plis lah cok, jangan liat ke sini.
Jantung Leah serasa berhenti ketika Ucok tiba-tiba menoleh ke arahnya. Dengan lengan yang bergetar di bawah kardus yang ia pegang, Leah langsung menunduk sedalam-dalamnya.
Sialan, shit, anj, bangsul, dia lihat ke sini?!
Sedetik kemudian, suara teriakan yang begitu keras hingga memekakkan telinga terdengar dari dalam area belakang panggung.
"LEEEOOON!" Teriak suara itu dari dalam, suara seorang pria.
Semua orang terkejut, tak terkecuali Leah, bahkan laki-laki di depannya juga terkejut, terlihat dari bahunya yang tiba-tiba bergerak.
Fakta yang paling Leah syukuri adalah, Ucok juga terkejut. Saat Leah melirik ke arahnya, Ucok terlihat berbalik, lalu mengintip ke dalam pintu masuk.
Satu langkah.
Dua langkah.
Leah gregetan sendiri, jari-jarinya ia mainkan karena gugup. Ia semakin dekat dengan Ucok yang masih mengintip ke arah pintu masuk. Kalau sampai laki-laki itu berbalik kembali, matilah Leah.
Aduh tolong cepetan jalan! Kenapa lamban banget sih, ah!
Saat ia sudah nyaris sekali bersampingan dengan Ucok, seorang wanita yang sepertinya merupakan staff tiba-tiba datang dari dalam area belakang panggung dan membisikkan sesuatu ke telinga Ucok.
Deg, deg, deg.
Dikit lagi ... dikit lagi....
Kaki kecil Leah berhasil melewati pintu masuk bersamaan dengan Ucok yang membungkukkan badan untuk mendengar bisikan staff wanita tadi.
Lalu cahaya remang-remang menyambutnya.
Wtf gue berhasil?!
Siapa pun wanita yang tadi membisikkan sesuatu ke Ucok, Leah benar-benar berterima kasih dari lubuk hati terdalam, nyawanya diselamatkan.
Leah meredam gugup dan antusiasmenya sendiri dengan segera berjalan mengikuti staff lain, lalu mengikuti mereka meletakkan kardus di tempat yang telah disedikan.
Gila, gue benar-benar ada bakat jadi penyusup.
Leah mengatur napas pelan-pelan.
Area belakang panggung itu tidak begitu ramai, mungkin karena semuanya sedang di luar, staff berlarian ke mana-mana, sepertinya masalah internal mereka bertambah berhubung tadi ada suara teriakan yang terdengar dari sini, entah apa masalahnya.
Cahayanya remang-remang, area belakang panggung itu lebih luas dari perkiraannya, di sisi kiri banyak ruangan yang masing-masing tertempel kertas di pintunya, mungkin disitulah tempat para bintang tamu menunggu.
Leah memandang pintu-pintu yang berjejer di sisi kanan sambil membaca setiap tulisan pada kertas yang menempel di permukaannya.
"Arizona."
"Friction City."
"Brigitta Jean."
Leah membaca beberapa nama di pintu-pintu itu, nama yang dengan yang tertara di description box special performance tiket konser.
Lalu di ujung ruangan, ia bisa melihat celah antara area tempatnya berdiri dan panggung besar itu, hanya dibatasi oleh kain hitam yang tebal.
Leah bergidik ngeri begitu mengintip ke celah tipis tadi dan melihat lautan manusia di sana, mengangkat ponsel mereka sambil menyalakan flashlight.
Tanpa membuang waktu lagi, Leah segera menyalakan ponsel, ia menghadap dinding membelakangi para staff yang sibuk agar ia tidak ketahuan. Walau sekarang situasinya agak mudah karena di sini lumayan gelap dan sepertinya semua orang sedang panik, Leah tetap was-was.
"Lu dengar teriakan asisten dia?"
"Anjir kacau banget malam ini, ada masalah apa lagi?"
"Gak tahu, eh kamu yang di sana!"
Mata Leah melebar, ia menoleh sedikit, mendapati dua staff cewek menatapnya sinis. "Cepat selesaikan itu! Lo gak denger dari walkie talkie?! Semua staff disuruh kumpul buat rapat mendadak di luar!"
Leah menelan ludah gugup, tanpa berbalik sepenuhnya, ia langsung pura-pura merapikan kardus di depannya. "I-iya saya segera ke sana," ucapnya dengan suara gemetaran.
Leah baru bisa menghela napas lega begitu dua cewek itu akhirnya keluar, menyisakan ia sendiri di ruangan itu. Benar-benar hanya dia, semua staff sepertinya sudah ada di luar.
Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, Leah langsung menatap lekat layar ponsel yang entah milik siapa itu dan mendapati titik lokasi ponselnya sendiri ternyata masih di tempat yang sama, tidak bergerak.
Dan jaraknya tiga meter di belakangnya.
Tiga meter!
Leah langsung berbalik, kakinya mengambil langkah pelan-pelan menuju ruangan yang ditujukan, tempat di mana ponselnya tergeletak.
Suara derap sepatunya yang beradu dengan lantai berusaha ia redam agar tidak ada yang sadar bahwa ia masih di sini.
Sampai akhirnya ia tiba di depan salah satu ruangan, di pintunya terdapat tulisan "Ruangan Peralatan." Ada sekitar dua puluh pintu yang terbagi di sisi kiri dan kanan ruangan, Leah berdiri di depan salah satunya.
Leah menatap bilik di depannya itu, dilihat dari celah di bawah pintu, lampu ruangan itu tidak menyala.
Walau tidak bisa memberikan alasan yang jelas mengapa ponselnya bisa tergeletak di dalam sana, Leah tetap meraih gagang pintu itu.
Akhirnya, setelah ini, semuanya selesai.
Akhirnya, sebentar lagi Leah terbebas dari situasi mengerikan ini.
Leah mendorong pintu itu, ia langsung membeku begitu menyadari apa yang terjadi.
Terkunci?!
Ia kembali mengumpat dalam hati.
"Misi, ada orang di dalam?" ucapnya. "Hei, ingat tadi lo nabrak orang kan, itu gue! Handphone kita ketuker."
Tentu saja tidak ada suara, lampu bilik itu bahkan tidak menyala.
Leah memejamkan mata erat-erat, tangannya ia kepal kuat-kuat, ia benar-benar ingin sekali berteriak sekencang mungkin.
Leah menatap layar ponsel dan sudah benar, lokasinya tepat berada di dalam bilik ini.
Satu pikiran terburuk muncul di pikirannya.
Bagaimana kalau lokasinya salah dan aplikasi ini—walau resmi, ternyata hasilnya gak selalu akurat?
Leah menelan ludah, sekujur tubuhnya langsung kaku memikirkan kemungkinan yang bisa saja terjadi itu. Jantungnya yang berdegup kencang seolah bisa ia dengar bersamaan dengan bisingnya suara penonton di luar area tempatnya berdiri.
"AH DASAR KURANG AJAR!"
Suara teriakan kemudian menggelegar dan sumbernya tidak jauh.
Leah terkejut setengah mati, bahkan terperanjat. Sepertinya teriakan itu bersumber dari ruangan yang berada tepat di sebelah kiri ruangan peralatan.
Suaranya sama dengan yang berteriak sewaktu ia masih mengantre di depan ucok.
Tapi siapa sih yang berteriak? Leah penasaran. Kalau ternyata staff, habislah riwayatnya, dia akan dituding sebagai fangirl gila yang nekad menyusup ke belakang panggung.
Leah menoleh, membaca tulisan pada pintu ruangan tempat teriakan itu berasal.
Mata Leah terbelalak begitu membaca tulisan pada kertas yang menempel di pintu itu.
"Leonardi Abian."
Leah benar-benar speechless, jika nanti ia kedapatan berdiri sedekat ini dengan ruang ganti si Leonardo-leonardoan itu, ia seratus persen akan dicap sebagai pengungkit atau fans gila yang rela bertemu seorang cowok yang bahkan lagunya tidak ada yang sesuai dengan seleranya.
"Tenang, Kak, coba hubungi nomor dia dulu, mungkin dia belum pergi terlalu jauh!" kali ini suara perempuan. Pria tadi ternyata tidak sendirian.
"Percuma, gak bakal diangkat!" seru si pria yang tadi berteriak. "Gimana sih? Kamu sebagai kepala staff kok gak tahu kalau dia menyelinap keluar?"
Eh? Kepala staff?!
KEPALA STAFF?!
Leah benar-benar hilang akal, tubuhnya sudah bergetar sampai ujung-ujung jari. Ia menarik kalimatnya bahwa pengalaman ini tidak ada apa-apanya dibanding masuk ke tengah-tengah lautan manusia.
Rasanya bahkan lebih buruk.
Leah membeku. Di tengah paniknya, sesuatu terlintas di pikirannya, ia teringat satu hal.
Cewek berambut pendek itu langsung menghadap ke depan, memandang lurus pintu bertuliskan "Ruangan Peralatan" yang cuma berjarak sejengkal dari tempatnya berdiri.
Anjir iya ya! Kok gue bego banget!
Dengan tangan yang bergetar, ia segera mengetik nomornya sendiri di menu panggilan ponsel milik laki-laki yang tadi menabraknya itu.
Leah tinggal menelfon nomornya sendiri, jika bunyi, apabila tertangkap pun, orang-orang tidak bakal mengira ia bohong, kan? Ia tidak akan dikira penyusup, ia punya bukti yang kuat selain aplikasi yang bahkan tidak ia yakini akurat atau tidaknya.
Jika memang ponselnya ada di dalam dan berbunyi, Leah aman.
"Coba dulu aja, Kak, telfon dan bilang kalau panita udah bawain apa yang dia mau. Abis ini giliran dia yang tampil." Suara perempuan alias si kepala staff tadi kembali terdengar.
"Yaudah, saya coba, tapi seratus persen gak bakal dia angkat, liat aja ya." Itu respons si pria.
Ucapan mereka entah kenapa membuat Leah grogi dan terganggu, belum lagi suara penonton di luar, berkali-kali ia menyentuh tombol 'hapus' karena terus memasukkan nomor yang salah.
"...890652, oke," ucap Leah di dalam hati, membaca kembali enam digit terakhir dari nomor ponselnya sendiri.
Tapi sebelum ia menyentuh tombol panggil berwarna hijau, ponsel di tangannya itu tiba-tiba berbunyi dengan suara yang super duper keras.
EH?
Leah melotot, saking gugupnya, ia dapat merasakan giginya yang sedang bergemeletuk.
"A-a-apa-apaan...," ucapnya, ponsel di tangannya itu menerima panggilan dari kontak bernama 'Om Jo Cerdekiawan.'
"Eh itu handphone-nya bunyi! Bener! Ini ringtone handphone-nya!" suara si Pria tadi terdengar lagi, Leah langsung menoleh ke arah ruangan sebelah.
B-b-berarti handphone ini punyanya...
Dengan napas yang memburu, Leah kembali menunduk memandangi ponsel yang berbunyi begitu keras di tangannya, ia bahkan tidak bisa mengangkat atau me-reject karena ternyata mode panggilannya juga diberi password.
Anjir kenapa dipakein password segala, sih!
Leah sudah siap bertemu ajal ketika matanya melihat gagang pintu yang ditempeli kertas bertuliskan 'Leonardi Abian' itu.
Gagang pintunya bergerak ke bawah.
Mati gue.
Namun sebelum pintu itu terbuka dan memperlihatkan sosok pria dan kepala staff yang seperinya mencari pemilik ponsel yang sekarang ada padanya, sebelum Leah sempat merasa pasrah, sebelum Leah sempat memikirkan alasan yang bagus....
Yang terbuka lebih dulu malah pintu ruangan yang berada tepat di depan Leah.
Sangat cepat, mengelabui pintu di sebelahnya, bahkan mengelabui otak Leah yang masih berusaha mencerna semua yang terjadi.
Ya, pintu ruang peralatan yang tadi terkunci itu tiba-tiba langsung terbuka dengan gerakan yang kencang nyaris seperti dibanting.
Dan Leah tidak pernah merasa sekaget itu seumur hidupnya.
Gadis bertubuh kecil itu seperti membeku begitu seseorang yang entah sejak kapan berada di dalam sana itu menarik tangannya tiba-tiba hingga Leah masuk ke dalam ruangan gelap itu bersamanya.
Seorang cowok, super tinggi, memakai kaos hitam.
Ia dengan cepat meraih ponsel dari tangan Leah, memasukkan password dengan gerakan sigap, me-reject panggilan tadi hingga ringtone-nya yang berisik berhenti berbunyi, lalu kemudian menutup pintu, semua dilakukan sekaligus hanya dalam tiga detik.
Cowok itu membuat Leah bersandar di dinding. Leah masih mematung, syok.
Sosok asing itu berdiri dengan jarak kurang dari satu jengkal di depannya. Pergelangan tangan Leah masih dipegang erat olehnya. Mereka diselimuti gelap dan hening.
"EH LO SIA—"
Mata Leah terbelalak kaget begitu telapak tangan cowok itu menempel di bibirnya.
"Ssh!" bisik cowok itu.
Dunia Leah seperti berhenti berputar.
Suara ribuan manusia di luar sana, suara si pria dan kepala staff yang kebingungan mencari sumber ringtone ponsel yang tiba-tiba lenyap tanpa jejak, serta suara musik yang menggelegar begitu keras hanya terdengar seperti dengungan tak bermakna di telinga Leah.
Ia mematung, tidak bergerak, keterkejutannya menendang telak dan Leah sama sekali tidak siap untuk hal setidaknyata ini.
Saat cahaya menyelusup masuk dari celah-celah pintu, hal yang pertama Leah lihat ada rambut cokelat yang berantakan.
Saat pandangan Leah perlahan turun ke bawah, ia melihat sepasang mata, serta kening yang basah karena keringat.
Di depannya, berdiri cowok yang dikenali oleh sekitar tiga perempat populasi manusia di negara ini, yang wajahnya tertera di bando, poster, serta tiket konser, yang namanya tertulis di kaus orang-orang, yang pertemuan dengannya dibayar berjuta-juta, yang suaranya diputar jutaan kali di segala platform musik dalam negeri.
"Leonardi Abian."
Untuk pertama kalinya, Leah mampu menyebutkan namanya dengan benar.
---
Dua orang manusia yang tidak pernah bertemu sebelumnya kini berdiri berhadapan di dalam sebuah ruangan gelap yang tidak lebih besar dari sebuah lemari.
Mereka sama-sama tahu bahwa setelah berdiri berhadapan di dalam rungan gelap, semua akan kembali normal dan ini adalah akhir dari hari yang buruk.
Yang tidak mereka tahu adalah setelah mereka berdiri berhadapan di dalam ruangan gelap, semuanya tidak akan kembali seperti normal dan ini baru permulaan.
Mereka sama-sama tahu bahwa pertemuan kedua ini mengikutsertakan sebuah kesempatan kedua pula. Oleh karena itu, keduanya terdiam meski batin mereka ingin teriak sekencang mungkin. Satu karena terkejut, dan satu karena kekurangan oksigen.
Yang tidak mereka tahu adalah bersamaan dengan pintu yang terbuka dan tangan mereka yang saling bertautan, tersembunyi di balik tirai, sebuah kamera membidik mereka disertai dengan cahaya dan bunyi yang khas, menghasilkan sebuah foto yang muncul bersamaan dengan terjadinya sebuah pertemuan kedua.
Malam yang ramai, ruangan yang gelap, tangan yang bertautan, sebuah tarikan, dan bidikan kamera.
Wajah Leonardi Abian dan Kaleah Andira akan terpampang di segala penjuru negeri keesokan harinya.
***
A/n
Wow thats a really long chapter i admit, if you have been known me since Sketcher's Secret, this is how i usually write everything at once and i already kind of get used to it. Jari gw ampe pegel ngetik dari kemarin. Jadi yah, begitulah pertemuan si Kalean dan Leonardi Abian. Sekarang klik tombol bintang di bawah, cepetan! (maksa) ohiya jangan lupa rekomendasiin cerita ini ke temen-temen kalian yah! I really need your full support to keep going. Stay tune temen-temen, i'll see you soon!
Sincerely,
Lycha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top