08: praha
"NIICHAN, PERNAH KETEMU EYANG?"
Ditanyakan Chairil dengan nada penasaran di suatu malam. Tadi siang, Eyang mengirimkan surel untuknya. Mayoritas menanyakan kabar dan bagaimana kehidupan baru Chairil di Tanah Ibu. Dalam surel, Chairil menceritakan semuanya, tentang Yusuf, tentang Mahesa dan Corina, tentang sekolah dan kehidupan barunya. Tentang berbagai kisah yang terjadi di sekolah. Tentang segala hal yang menyenangkan. Setelah ia mengirimkan surel kepada Eyang, barulah ia terpikir akan suatu hal. Apakah Yusuf juga mengenal Eyang? Mengingat Eyang berada jauh di daratan Eropa sana dan Yusuf tidak pernah keluar dari Palembang. Ayah Yusuf entah di mana berada dan Ibu Yusuf telah lama meninggal. Andai, andai saja Chairil tidak pindah ke Indonesia, mungkin Yusuf benar-benar sendirian di rumah ini.
Seperti Eyang di Praha. Eyang di Praha juga sendirian. Eyang tidak punya istri. Anak-anaknya pun hanya kucing-kucing liar di sekitar rumahnya. Bukan karena Eyang tidak mau, tetapi karena Eyang tidak bisa. Ketika Chairil kecil bertanya dulu kala, Eyang hanya menjawab dengan sebuah senyuman.
Senyuman dengan sejuta duka.
Senyuman yang entah mengapa mengingatkan Chairil kepada senyuman dan sorot mata Yusuf.
"Eyang?"
Yusuf balas bertanya, dengan kerut-kerut samar di keningnya. Mungkin berusaha mengingat akan sosok yang disebut-sebut sebagai 'Eyang' dalam keluarga mereka.
"Iya. Eyang Andi di Praha."
"Enggak pernah." Yusuf menjawab, nada suaranya begitu lirih. "Niichan kan enggak pernah keluar dari Palembang. Eyang juga enggak pernah mampir."
Mendengarnya membuat Chairil tersenyum sedih. Teringat akan realita yang mereka semua hadapi. Tentang stigma dan ketakutan, tentang kampung halaman yang direnggut begitu saja. Tentang Eyang Andi—yang terus mengingatkannya kepada Yusuf. Bukan karena mereka berwajah atau berwatak mirip, melainkan karena mereka sama-sama dicekik rantai nasib. Ia menunduk, menghindari pandangan Yusuf, berusaha agar tak terlihat sedih.
"Eyang bilang, Eyang enggak pernah bisa pulang ke Indonesia."
Serindu apapun Eyang Andi dengan Tanah Ibu atau seberapa banyak uang yang telah beliau kumpulkan di Praha sana, Eyang Andi tidak akan bisa pulang.
Ingatan Chairil samar-samar akan Praha. Yang ia ingat betul ialah wajah Eyang, adik dari sang kakek yang telah tiada. Yang ia ingat adalah Eyang dan kesendiriannya. Berada di negeri orang, jauh dari Tanah Ibu terkadang bukanlah hal yang menyenangkan. Eyang pernah bercerita pada Chairil, tentang kenangan lamanya di ibukota dulu kala sebelum ia menerima tawaran beasiswa, tentang Praha dan pendidikannya yang menyenangkan, tentang ia yang tak akan pernah bisa kembali ke Tanah Ibu. Yang Eyang lakukan hanyalah menuntut ilmu di negeri orang, mengejar impiannya, dan ia tak pernah tahu jika tebusannya ialah kehilangan tempat berpulang. Eyang bercerita dengan mata berkaca-kaca, berkata bahwa beliau tak pernah punya rumah. Pulang ke Tanah Ibu berarti harus hidup dengan stigma sebuah paham yang telah lama mati. Kau bisa hidup dalam pengawasan, atau pada beberapa kasus, berakhir menjadi tahanan. Dibandingkan kebebasannya ditawan, Eyang lebih memilih tidak punya rumah.
Chairil masih belia. Dan ia baru paham bahwa ketakutan orang lain dapat membuatmu ditendang dari kampung halaman tempatmu dilahirkan.
Ia memberanikan diri untuk mengangkat kepala. Dilihatnya Yusuf tak mengatakan apapun lagi. Dilihatnya mata Yusuf yang berkaca-kaca, kedua tangannya yang mengepal. Hanya dengan membaca gestur kecil pun Chairil sudah paham, Yusuf sebenarnya sedih dan ketakutan.
"Chairil, Niichan mau ngomong sebentar."
Hanya dengan kata-kata itu, lidah Chairil kelu. Tatap matanya mengarah lurus kepada Yusuf. Yusuf yang bimbang. Yusuf yang tampah patah. Yusuf yang terluka.
"Andai—andai Niichan enggak pulang lagi ke negeri ini kayak Eyang Andi—kamu enggak apa, kan?" Suara Yusuf serak tatkala berkata. "Mungkin nanti, kalau Niichan enggak tahan lagi, Niichan akan pergi dari sini. Mau cari tempat yang bisa nerima Niichan yang kayak gini. M-maaf kalau kesannya Niichan egois banget. Tapi—Niichan—cuma mau hidup tanpa perlu takut—salah ya?"
Ah.
Pantas saja Chairil tak tega.
Baik Yusuf dan Eyang memiliki kesamaan. Mereka tidak dapat diterima karena orang-orang yang selalu berprasangka. Yusuf, Yusuf tidak diterima di Tanah Ibu karena orientasi seksualnya dianggap menyalahi kodrat. Yusuf dikutuk dulu kala karena ia menyukai sesama lelaki (dan tidak tahu harus melakukan apa untuk menghentikannya). Mungkin saat ini, kebencian itu agak reda. Tapi bagaimana bertahun-tahun nanti? Tapi bagaimana di masa depan nanti? Bagaimana dengan mental kakaknya? Yusuf tidaklah sekuat itu, pun kewarasan seseorang ada ambang batasnnya untuk mendengarkan segala macam kebencian di dunia nyata, di keramaian, di spanduk-spanduk jalanan, pun di dunia maya. Begitu mudahnya manusia berprasangka buruk dan membenci. Begitu mudahnya manusia mencelakakan manusia lain hanya karena perspektif.
Seingat Chairil, Tuhan tidak mengajarkannya untuk membenci.
Tapi—Chairil siapa? Sekuat apapun ia membela Yusuf, orang-orang tetap akan melabeli Yusuf sebagai penyakit masyarakat. Padahal bukankah yang Yusuf lakukan hanya jatuh cinta? Yusuf tidak pernah menyakiti siapapun, tapi mengapa mereka bisa sebenci itu?
"Enggak ada yang salah dari mementingkan kebahagiaan sendiri kok, Niichan."
Dan pada akhirnya, seperih apapun, Chairil belajar untuk merelakan. Termasuk merelakan sang kakak untuk bahagia.
"Kak, stop!"
Di jam istirahat, ia tak pernah menyangka bahwa ia akan menemukan perundungan di depan matanya, di Tanah Ibu. Selama ini pikirnya, perundungan hanya terbatas pada kisah-kisah fiksi hiperbolis di layar kaca, bukan di realita, bukan pula di sekolahnya saat ini. Yang ada di hadapannya sungguh pemandangan yang tidak adil. Seorang adik kelas bertubuh kecil dan berkulit legam dikepung oleh gerombolan kakak kelas yang tidak Chairil kenal. Dari gelagat, anak tersebut tampak ketakutan. Jelas itu bukan dalam okasi yang baik. Apakah anak tersebut ditindas? Diancam?
Apa yang harus ia lakukan? Apa yang seharusnya dapat ia lakukan? Langsung membela? Nyali Chairil tidaklah sebesar itu. Lagipula bukankah lebih baik jika dilaporkan ke guru sebelum korban jatuh? Tapi lorong lantai tiga sepi. Tidak ada guru di sini. Jadi harus bagaimana?
Sebelum Chairil sempat bereaksi, Mahesa sudah maju lebih dulu, berdiri di antara adik kelasnya dan para kakak yang menindas. Tatapannya begitu tajam, begitu marah.
Ia tidak pernah melihat Mahesa seberang ini.
"Apa urusan lo,hah?"
Salah satu dari mereka bertanya dengan nada intimidatif. Mahesa tidak mundur barang sedikit.
"Kak, lepasin dia. Atau aku laporin ke Pak Zul."
Alih-alih gentar, mereka justru terbahak. Satu orang melangkah mendekat, memelototi Mahesa yang geram dengan pandangan angkuh.
"Lo berani sama gua? LO BERANI?"
Sebelum seorang dari mereka sempat menghajar Mahesa, kepalan tinju Mahesa mendarat keras di rahang salah satu dari mereka lebih dulu. Reaksinya jelas buruk. Ada tiga orang kakak kelas dan mereka jelas bukan tipikal yang bisa diajak bicara baik-baik. Terbukti dengan setelah pukulan pertama yang dilayangkan Mahesa, beberapa orang lain membalas dengan pukulan dan tendangan lainnya. Mahesa tak berhenti sekalipun dihantam. Masih berang. Masih melayangkan pukulan.
Chairil terkesiap. Jantungnya berdebar kencang. Selama ini, ia tak pernah melihat Mahesa seperti ini. Tatapannya tajam. Wajahnya merah padam. Raut mukanya menyeramkan. Tinjuannya pun tampak seperti orang kesetanan. Seumur hidup, Chairil tidak pernah berpikir bahwa Mahesa dapat menjadi setega dan semenyeramkan itu. Mahesa yang baik, Mahesa yang lembut hati. Mahesa yang telah menghilang entah ke mana kini. Karena terlalu terkejut, sekitarnya terasa membeku. Chairil berdiri kaku, menatap nanar kejadian di hadapannya seakan mereka semua hanyalah sebuah bagian adegan rekayasa dari sebuah film di layar kaca.
"Mahesa! Mahesa!" Ada yang berteriak. Chairil tidak tahu siapa. Ada tangan-tangan yang berusaha menghentikan Mahesa, Chairil tidak tahu tangan siapa. "MAHESA, BERHENTI!"
Dan semuanya berhenti seakan rekamannya telah selesai. Mahesa telah berhenti, napasnya terengah, buku-buku tangannya merah lebam akibat banyak menghantam. Sementara kakak kelas itu—entahlah. Rupanya jelas penuh lebam, ada jejak darah di pelipis dan hidungnya berkat terlalu banyak hantaman. Chairil terkesiap. Tidak pernah terbayang di benaknya jika Mahesa dapat menjadi kesetanan seperti itu.
Tubuhnya masih beku karena terkejut.
Seharusnya tadi ia bergerak. Seharusnya ia turut membantu melerai. Atau seharusnya, ia membantu Mahesa berdiri, atau membantu membawa korban menuju ke ruang UKS. Melakukan apapun, selama bukan terdiam membeku seperti ini berkat efek kejut. Dengan kekerasa seperti ini—bagaiman keadaan Mahesa nanti? Tidak mungkin ia terbebas dari hukuman sekalipun itu dilakukan karena Mahesa membela seseorang yang tertindas. Pelanggaran peraturan tetaplah pelanggaran peraturan. Sekalipun Chairil tidak tahu bagaimana kebijakan sekolah untuk hal ini, ia tetap saja tidak bisa tidak memikirkan kemungkinan terburuk, seperti skorsing atau dikeluarkan.
Tahu bahwa Chairil menatapnya khawatir, Mahesa tersenyum. Tanpa peduli wajahnya yang juga lebam. Tanpa peduli sudut bibirnya yang robek dan berdarah.
"Enggak usah pikirin aku. Kamu jagain adeknya aja."
Bahkan di saat seperti ini pun, Mahesa masih sempat memikirkan orang lain. Di saat ia seharusnya lebih memikirkan keselamatan dirinya sendiri. Kenapa? Kenapa Mahesa hatinya bisa sebesar itu? Kenapa Mahesa dapat menjadi sebodoh itu? Bukankah—seharusnya insting pertama manusia itu ialah melindungi dirinya sendiri, mengutamakan dirinya sendiri sebelum orang lain?
Sebenarnya—lingkungan dan didikan di rumah Mahesa itu seperti apa?
Pertanyaan itu hanya menggaung di dalam kepala Chairil. Hingga Mahesa dibawa oleh Ketua Kelas menuju ruangan konseling pun, ia tetap tak bisa mengatakannya.
halo. maaf ya telat banget apdetnya, sayanya keasikan ngegame sama lagi sibuk rw juga :"D jadi book ini sisa 3 chapter lagi. stay tune ya buat apdetan berikutnya :"D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top