03: unexpected friend
"AYO, CACA!"
Adalah Mahesa yang langsung menyambutnya di pagi hari dengan senyum lebar, sebelum menarik tangannya keluar kelas. Masih belum banyak orang yang datang ke kelas-kelas di lantai dua kecuali mereka yang kebagian piket kelas dan mereka yang terlalu rajin (kecuali Chairil karena alasan dirinya sudah datang sepagi ini ialah karena Yusuf sedang piket dan ajakan Mahesa semalam). Mahesa menawarkan diri untuk memperkenalkan Chairil pada teman-temannya dan Chairil (yang tidak bisa dan tidak tahu caranya menolak) mengiyakan.
"Eca—harus sekarang, ya?"
"Iya! Mumpung belum masuk!" Mahesa menjawab dengan senyuman lebar. Bahaya, pikir Chairil, Mahesa terlalu bersemangat, pemuda itu tidak akan mendengarnya, "Temen-temen Eca baik semua, kok! Mereka juga pasti baik ke Caca!"
Untuk ukuran orang yang terlalu baik seperti Mahesa, ia tidak pernah membayangkan jika Mahesa berteman dengan orang jahat.
Ada begitu banyak orang yang diperkenalkan padanya. Mahesa benar-benar menarik tangannya, menyeretnya masuk ke dalam tiap kelas dimulai dari kelas XI IPA 3 (katanya, kelas XI IPS untuk esok hari dan tiba-tiba pundak Chairil terasa begitu berat). Tidak hanya itu saja, Mahesa akan memperkenalkannya di depan kelas dengan suara lantang, kemudian mendorong-dorong Chairil berkeliling kelas, memperkenalkan diri dengan penghuni kelas lain. Wajah Chairil merah padam, menahan malu yang teramat, kedua telapak tangannya begitu dingin karena beberapa orang menatap mereka berdua dengan tatapan tajam. Bagaimana ini? Apa yang mereka lakukan salah? Apakah mereka akan berlaku jahat pada dirinya dan Mahesa? Ia tidak bisa berhenti cemas, membuat dingin di telapak tangan semakin menjadi-jadi.
Dari sekian banyak orang yang diperkenalkan kepadanya, ada beberapa yang langsung ia ingat. Seperti Delvin dan Chandra dari eskul tari, ia ingat karena kedua pemuda itu langsung mengenalinya sebagai adik sepupu Yusuf yang berasal dari Jepang. Juga Praditya dari kelas XI IPA 2 (ia ingat karena hanya Didit yang berani berkata, "Hei, Esa! Kalau dia enggak mau, jangan dipaksa!" Berani sekali, padahal tubuhnya kecil dan wajahnya lucu begitu) dan Harsa dari kelas yang sama (kalau yang ini, hanya dia yang berkata sambil tersenyum ramah, "Hidup di negeri baru pasti berat, ya? Kalau ada apa-apa, aku selalu ada di UKS kok, Chairil boleh ke sana kapanpun."). Juga ada Mahawira dari kelas XI IPA 1 (diingat karena embel-embel juara umum angkatan tahun ajaran lalu dan juga karena dari semua orang yang berkenalan dengannya, hanya Mahawira yang berbicara seperlunya dengan bahasa baku dan gesturnya begitu kaku, seperti robot).
Dan juga orang terakhir yang diperkenalkan Mahesa kepadanya.
"Nah, ini yang terakhir! Namanya Mahardika tapi panggil aja Dika!"
Mahardika memperkenalkan dirinya dengan senyum lebar dan mata berkilat-kilat. Jadi ini pemuda yang disukai kakaknya? Deskripsi mengenai Dika tidaklah jauh berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Gerhana waktu itu: tinggi, kurus, matanya berkilat-kilat, wajahnya cerah. Tubuhnya lebih tinggi dibandingkan dengan Chairil dan Mahesa. Lalu entah mengapa, kilat-kilat mata itu mengingatkan Chairil pada mata Mahesa, mata yang berbinar-binar dalam melihat dunia, mata yang terlalu riang (dan terlalu baik). Dari pandangan saja, Chairil dapat menebak bahwa Dika dan Mahesa adalah tipe orang yang sama.
Tipe orang yang kelak akan membuat Chairil sakit kepala.
Akan tetapi, tidaklah sopan jika ia tidak turut memperkenalkan diri, bukan? Sudut-sudut bibinya naik sedikit, membentuk senyum tipis. Setidaknya di hadapan teman-teman baru yang diperkenalkan Mahesa (dan juga di depan pemuda yang disukai kakaknya), Chairil harus bersikap santun dan bersahabat.
"Namaku Chairil. Sa—"
"'Haridra' itu—kamu siapanya Kak Yusuf?"
Tiba-tiba disela seperti itu membuat lidah Chairil kelu. Tiba-tiba tak bisa merespon, pertanyaannya terlalu mendadak dan tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Ia pikir, selain Imam dari eskul tari, tidak ada yang tahu jika dirinya dan Yusuf itu keluarga dekat (sekalipun mungkin saja, Dika dapat membaca nama pada seragamnya). Chairil tidak pernah mengatakannya pada siapapun—tidak ada yang bertanya juga. Dan melihat dari reaksinya, Mahesa tidak kenal dengan Yusuf, atau mungkin hanya tahu nama atau wajah tapi siapa tahu?
"Aku—um, adik sepupu. Tapi aku tinggal di rumah Niichan se—"
"Waaa! Beneran?!" Nada suara Dika naik sekian oktaf, riang, telinga Chairil berdengung sejenak, "Ssst, jangan bilang-bilang ya, tapi aku sukaaa banget sama Kak Yusuf! Kak Yusuf keren banget sumpah pas nari!"
Matanya mengerjap. Terperangah. Di satu sisi, kelegaan itu muncul di dalam benak. Ketertarikan antara kakaknya dan Dika terlihat mutual dan Chairil pikir—ia tidak perlu khawatir berlebih. Mata Dika terlihat begitu jujur, begitu terus terang. Terlebih antusiasme dalam raut wajah dan nada bicaranya itu tidaklah dibuat-buat. Namun, di sisi lain, Chairil baru ingat bahwa ia tidak pernah melihat Yusuf menari. Pemuda itu tidak pernah menari di rumah, pun nyali Chairil terlalu ciut untuk mampir ke ruangan eskul tari di lantai tiga. Terlalu banyak orang asing. Lagipula selain adik sepupu Yusuf—Chairil itu siapa?
Untuk ukuran orang yang baru mulai menari saat masuk SMA, ia tidak pernah berpikir jika Yusuf sehebat itu.
"... beneran?"
Alis Dika terangkat, kebingungan, "Loh? Emang kamu enggak lihat Kak Yusuf nari?"
Chairil menggeleng pelan, "Niichan enggak pernah cerita sebelumnya kalau suka nari—aku baru tahu pas udah di Palembang."
Dilihatnya kilat di kedua mata Dika meredup—entah karena alasan apa, Chairil kurang tahu. Kemungkinan karena sebuah alasan yang berhubungan dengan Yusuf. Tidak bertanya, pun tidak berani untuk menanyakan hal-hal yang menyangkut privasi orang lain. Sesi perkenalan mereka terpaksa berakhir ketika bel masuk berbunyi. Dilihatnya Dika melambaikan tangan kepadanya dan Mahesa sebelum masuk ke dalam kelasnya. Ada begitu banyak orang baru, yang perlahan harus ia hapalkan nama dan wajahnya. Tetapi sejak sedari tadi berkenalan dengan teman-teman Mahesa, ada satu hal yang tidak Chairil pahami.
"Kenapa Eca kayak gini?"
Tidak ada jawaban apapun dari Mahesa selain sebuah senyuman. Senyum yang tidak dapat Chairil baca.
Di lapangan sekolah pukul tiga sore, ia kembali menyaksikan Corina membawa bendera. Bukan bendera merah putih, melainkan sebuah bendera putih dengan tulisan huruf besar LATIHAN yang terbit tatkala dikibarkan. Untuk persiapan upacara menyambut hari kemerdekaan, Chairil mencuri dengar dari anggota paskibra yang lain, kita perlu latihan yang keras. Hari kemerdekaan itu hari besar!
Ia mengerti. Perayaan kemerdekaan Indonesia di kedutaan besar sana pun tidaklah sebesar ini, tetapi selalu meninggalkan jejak sendiri di dalam hati. Selama ini ia hanya menonton siaran ulang upacara kemerdekaan di istana melalui Youtube. Menyaksikannya langsung (sekalipun dalam bentuk lingkungan yang lebih kecil seperti lingkungan sekolah) membuatnya antusias juga di dalam hati. Penasaran.
Latihan mereka berakhir. Corina tersenyum lebar, mengatakan, "Hai!" seraya melambaikan tangan begitu menyadari keberadaan Chairil di pinggir lapangan. Masih dalam balutan seragam olahraganya, gadis itu duduk tepat di sebelah Chairil. Tidak ada kata-kata yang terucap karena, satu, Chairil tak tahu apa yang harus ia lakukan ataupun ia ucapkan dan dua, karena sedari tadi baik teman-teman dan junior-junior Corina berlalu lalang, menyapa Corina dan mengajak gadis itu dalam sebuah perbincangan yang tidak Chairil mengerti (dunia mereka di luar kelas XI IPA 4 saja sudah berbeda—wajar saja). Anak-anak paskibra lain telah mengambil tas mereka, kecuali para senior yang berada di sisi lain lapangan, tengah membicarakan hal-hal yang tidak dapat mereka dengar.
"Enggak ikut eskul juga?"
Adalah Corina yang membuka percakapan, dengan raut wajah kebingungan tatkala menatapnya. Wajar saja. Sudah lebih dari dua minggu Chairil berada di sini dan ia masih belum menentukan ekstrakulikuler manapun. Ia tak mungkin bergabung dengan Yusuf, tubuhnya terlalu kaku untuk menari dan pada akhirnya, ia hanya akan menyusahkan anggota yang lain. Pun tidak pintar olahraga untuk mengiyakan ajakan Mahesa untuk bergabung dalam tim basket sekolah (terlebih, Chairil takut terkena bola—nanti ia hanya akan menyusahkan). Tidak tahu. Tidak ada gambaran apapun.
"Enggak—kayaknya? Aku bingung."
Mendengar jawaban Chairil yang begitu ambigu membuat kening Corina berkerut.
"Chairil—emang enggak punya hobi?"
"Aku—suka nyanyi." Chairil menjawab, nadanya begitu pelan, begitu penuh keraguan. "Tapi cuma suka aja."
Chairil tahu bahwa ia suka menyanyi, pun tahu bahwa suaranya bagus. Guru-guru keseniannya sejak dahulu kala menyarankannya untuk serius menekuni musik, entah dalam bentuk mengikuti lomba, tampil di sekolah, ataupun dalam bentuk serius seperti bergabung di agensi di Korea Selatan sana, negeri yang paling sesuai jika kau ingin menekuni dunia tari dan dunia musik. Semua saran itu Chairil tolak. Nyalinya tak sebesar itu untuk tampil seorang diri, pun ia bukanlah orang bertekad baja yang senang bekerja keras. Tubuhnya selalu gemetaran tiap kali atensi publik mengarah padanya dan di saat yang sama, suaranya akan menghilang. Pun dari yang Chairil dengar melalui berbagai sumber, menjadi seorang idola di Korea sana perjuangannya sampai mempertaruhkan nyawa, membuatnya bergidik ngeri.
Chairil memang bisa menyanyi, tetapi ia tidak ingin berjuang hingga separah itu. Pun tidak begitu mengerti, apa yang membuat orang-orang merelakan kesehatannya dan nyawanya untuk melakukan hal-hal yang mereka mau? Bukankah—lebih baik melewati daerah yang aman? Melewati jalan yang aman, menjaga jarak agar tidak terluka? Kalau terluka, semua orang akan merasakan sakit, kan? Sakit itu tidak enak, tapi kenapa orang-orang tidak peduli terhadapnya?
Terdapat perbedaan yang jelas antara dapat melakukan sesuatu dan ingin melakukan sesuatu. Dapat belum tentu ingin. Dan jika kau sudah ingin, apapun yang terjadi, kau akan mengusahakan apapun agar dapat melakukannya. Akan lebih bagus jika kau memiliki keduanya, usahamu akan lebih melejit prosesnya. Chairil ialah orang yang masuk ke dalam kategori 'dapat' tanpa 'ingin'. Hanya pisau yang dibiarkan begitu saja tanpa ada niat untuk digunakan memotong makanan. Pisau yang akan tumpul dan berkarat seiring waktu berjalan, tanpa ada keinginan untuk diasah.
Pisau yang tidak digunakan tidaklah pantas disebut sebagai pisau.
"Kenapa kamu enggak coba gabung padus?"
Kening Chairil berkerut bingung, "Padus?"
"Sori, maksudku eskul paduan suara." Corina menjelaskannya dengan riang, "Latihannya tiap hari jumat pulang sekolah. Tapi berhubung sebentar lagi kita mau tujuh belasan, hari minggu kita juga latihan. Kalau mau, besok aku bisa kenalin ke Kak Tari dan yang lainnya."
Gadis itu kemudian mengerling, sebelum menatap Chairil dengan senyum lebar. Dilihatnya angin semilir berembus, mempermainkan helai-helai legam rambut Corina selagi ia tersenyum, mengingatkan Chairil akan potongan adegan komik, saat seorang karakter baru saja mengucapkan sesuatu yang dapat mengubah jalan hidup karakter lain.
"Kali aja, apa yang Chairil mau ada di sana."
Dan yang diucapkan Corina pun tak jauh berbeda.
Chairil berpikir. Memang, paduan suara tidak mengharuskannya untuk berdiri seorang diri di depan semua orang. Tidak tahu apakah paduan suara di Indonesia akan sama dengan paduan-paduan suara yang sempat ia lihat pertunjukannya di negeri-negeri orang—ia rasa tak akan jauh berbeda. Ia masih akan bernyanyi. Ia masih akan melakukan hal yang (secara teknis) ia sukai.
Tapi, apakah itu yang benar Chairil butuhkan? Apakah itu yang benar Chairil inginkan?
"Aku—butuh waktu buat mikir dulu, enggak apa?"
Diucapkannya ragu. Ia tak ingin mengecewakan Corina—tetapi Chairil masih belum punya keberanian untuk menolak. Mungkin bercerita dengan kakaknya atau Gerhana di rumah nanti dapat menentukan pilihannya. Pun melihat binar di kedua mata sang gadis, ia semakin tak kuasa untuk menolak.
"Santai, santai! Kabarin aja pokoknya."
Tidak mampu menjawab, Chairil hanya mampu mengangguk sebagai respon. Di bawah langit pukul tiga sore, kepalanya mengembara tanpa arah di dalam sebuah labirin pikir.
Sebenarnya apa yang ia inginkan? Apa yang ia suka? Apa yang benar-benar ingin ia lakukan?
Ia pun masih belum menemukannya.
sebagian besar tokoh dapat dilihat di katalog. untuk segmen siswa, ada banyak yang belum saya masukkan dan tengah dirombak sana sini.
ps; ada dua chandra di sma widyadharma 1) chandra anak kelas xii ipa, ketua osis; 2) chandra anak kelas xi ipa, anak eskul tari. sengaja dibuat mereka bernama depan sama karena di realita pun di satu sekolah pasti ada satu dua pasang anak yang namanya sama :"Dd
halo! selama november hingga pertengahan desember, aku bakal fokus buat namatin book ini karena book ini enggak sepanjang book yang lain. stay tune ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top