02: rendang


"INI-APA?"

Siang hari sebelum pulang sekolah, Mahesa mencegatnya di depan pintu kelas dengan senyum cerah dan tangan menyodorkan sebuah rantang. Keempat kalinya dalam satu minggu belakangan (dan ia sudah bisa menduga-pasti isinya sama, serantang rendang). Dari pengakuan pemuda itu, ia mengetahui beberapa hal. Keluarga Mahesa orang Padang. Mereka punya usaha rumah makan Padang yang nyaris selalu ramai di daerah simpang lima Lebong Siarang. Dan Mahesa anak tertua. Saudaranya banyak. Mungkin itu salah satu faktor penyebab mengapa anak itu semudah itu berbagi dengan orang yang baru dikenal. Sebenarnya, Chairil senang karena Mahesa begitu memperhatikannya. Pemuda itu ramah, baik hatinya, tidak segan menolong tiap kali Chairil membutuhkan bantuan. Mereka telah berbagi banyak cerita (atau tepatnya, Mahesa bercerita, Chairil yang masih canggung terpaksa mendengarkan), Belum satu hari dan Mahesa menempelinya secara literal, tidak membiarkan Chairil sendirian barang sejenak. Sebenarnya tak apa, lagipula Mahesa tipikal teman yang menyenangkan.

Tetapi ada saat di mana Chairil benar-benar ingin sendiri. Dan di saat itu, Mahesa tampak seperti orang yang tidak tahu situasi kondisi.

"Rendang, ayam goreng, sambel ijo, sayur nangka. Untuk Caca sama orang rumah!"

Kening Chairil berkerut dalam kebingungan, "'Caca'?"

"Kan nama kamu Chairil. Aku panggil Caca aja, ya, biar lucu! Caca panggil aja aku Eca, biar kita berasa kembaraaan!"

Mendengarnya membuat kepala Chairil pening mendadak. Belum genap satu bulan dan Mahesa benar benar-sedekat ini. Chairil kebingungan. Ia tidak pernah punya teman, atau minimal teman yang tahan dan rela menempel seperti ini dengannya. Mungkin karena pada beberapa belahan bumi yang pernah ia tinggali, yang tersisa untuknya adalah tempat bersama orang-orang individualis. Kepalanya kebingungan. Apa yang harus ia lakukan? Apa yang harus Chairil lakukan? Mungkin Mahesa menerjemahkan proses berpikir Chairil sebagai keraguan, membuatnya menyodorkan rantang itu semakin dekat.

"Ini, ambil aja. Kan ini buat Caca."

Tersentak, ia. Benar juga. Apapun yang Chairil lakukan, ia tidak seharusnya membuat Mahesa menunggu lama seperti ini, bukan?

"Terima-kasih."

Pada akhirnya, serantang rendang itu pun Chairil terima jua. Ayah dan ibunya mengajarkan Chairil untuk selalu menerima pemberian orang lain-selama pemberian itu adalah pemberian yang baik (dan Chairil tidak melihat ada yang buruk dari makanan). Apapun yang terjadi, tetaplah hargai orang lain. Dan tampaknya berhasil karena lihatlah, wajah Mahesa yang tersenyum cerah. Hati Chairil menghangat. Ia berhasil membuat teman barunya senang.

"Kembali kasih!" Setelahnya, Mahesa terkikik geli. "Ca, Eca duluan, ya? Hari ini giliran Eca jaga kasir. Dadaaah!"

Lambaian tangan riang Mahesa dibalas dengan canggung oleh Chairil. Matanya hanya menyaksikan bagaimana Mahesa menjauh, bagaimana punggung dan tas hitam Mahesa semakin menjauh dan ditelan tangga. Rantang yang ada di tangannya sejenak terlupakan hingga seorang anak menyenggol sisi kanannya. Mengingatkan Chairil bahwa serantang rendang di tangan itu nyata.

Dan kembali bingung harus ia apakan (lagi) serantang rendang pemberian Mahesa mengingat masih ada sisa rendang kemarin (mau bagaimana ... penghuni rumah hanya Yusuf dan Chairil saja...) di dalam kulkas dan sudah ada janji untuk masak nasi goreng bersama Yusuf dan Gerhana. Mungkin sebelum pulang ini, Yusuf tidak akan keberatan jika mereka mampir sejenak ke rumah Sehan, memberikan serantang rendang ini padanya.

Karena tidak punya cukup uang untuk memesan ojek online, Chairil menunggu sang kakak sepupu.

Tidak bisa memaksa juga. Paham bahwa Yusuf saat ini sedang sibuk mempersiapkan diri untuk perlombaan (yang mana mengejutkan karena-sebelumnya Chairil tidak tahu jika Yusuf suka menari, kakak sepupunya itu terkadang sesekretif itu) dan ia tidak boleh mengganggu. Jadilah Chairil, dengan tas di punggung dan serantang rendang di tangan, duduk menunggu di sisi lapangan. Lantai tiga memiliki aura tak mengenakkan sendiri (dan teramat sepi-hanya ada ruang eskul tari yang masih diisi sang kakak dan ruang medkom di ujung sana yang selalu terkunci, selalu hening dengan sepatu-sepatu berjejer rapi di depan pintu, entah apa yang penghuninya lakukan di dalam sana). Lapangan bisa dibilang ramai. Jika di sudut depan UKS ada beberapa anak-anak PMR yang sibuk latihan mengikat tandu, di lapangan tepat di depan tiang bendera ada anak-anak eskul paskib yang tengah berlatih baris berbaris. Chairil kagum, selalu kagum pada pasukan pengibar bendera. Hingga matanya terpaku pada satu sosok familiar yang tengah berdiri di sisi pembawa baki.

Chairil kenal gadis itu. Corina. Teman sekelasnya.

Chairil mengenal Corina sebatas gadis yang senantiasa dikerubungi gadis-gadis lain. Tidak ada benci, seluruh sorot mata mereka menyiratkan puja dan puji. Sesekali ia mendengar para pemuda di kelas memandangi Corina seraya berkasak-kusuk, memuji dalam kekaguman. Dari mereka Chairil mengetahui hal yang penting: Corina anggota paskibraka dan pernah turut mengibarkan sang saka di Istana Negara. Corina cantik-tetapi ada hal lain yang membuatnya tampak begitu berbeda dibandingkan yang lain-sesuatu yang baru disaksikan Chairil di lapangan, tepat di hadapan bendera pusaka yang berkibar. Gadis itu tampak anggun dalam keteguhannya, indah dalam sorot karangnya. Mata Chairil masih awam akan pengibaran bendera, tetapi bahkan orang awam pun akan merinding melihat langkah-langkah tegas nan berderap Corina. Membuatnya bertanya-apakah para pengibar bendera itu semuanya teguh dan indah dalam saat yang sama seperti Corina?

Kalau iya, pantas saja Corina dan yang lainnya dielu-elukan.

"Chairil-kan?"

Sampai suara halus itu membuatnya tersentak, tersadar dari lamunan. Matanya mengerjap berulang tatkala mendapati bahwa yang menegurnya adalah Imam, salah satu teman sekelasnya, salah satu anak yang bergabung dengan kakaknya di eskul tari-atau bukan? Atau Chairil salah orang?

"Ini-Imam bukan?" Kebingungan, matanya menatap. Anggukan dari Imam membuat napasnya terhela lega. "Niichan udah selesai?"

"Belum. Bang Yusuf serius dan niat banget soal nari, sih." Setelah berkata demikian, Imam meringis, "Makanya, kalau yang mandu latihan Abang, kami pulangnya suka lama. Orangnya totalitas banget."

Chairil mengangguk mengerti. Dapat membayangkan. Pun Imam mungkin sama seperti dirinya, tidak dapat seserius itu mengimbangi keseriusan orang-orang seperti sang kakak. Chairil hidup seperti air-mengalir, mengikuti arus, mengikuti apa yang mereka mau. Satu hal yang tidak bisa Chairil ikuti dan itu adalah menjadi makhluk sosial dengan banyak teman.

Bagaimana juga. Berteman dengan orang lain adalah kemampuan terbawah yang ia punya.

"Eh! Tapi gitu-gitu, Bang Yusuf lucu, loh, sama gebetannya! Suka malu-malu gitu-enggak paham deh. Gemes."

Chairil mengerjap kebingungan, "Gebetan?"

"Itu, maksudnya orang yang disuka. Gebetannya anak kelas lain, sih. Tapi seangkatan sama kita." Imam berujar, "Cowok. Ganteng, kurus, tinggi. Terus dia pinter banget, juara kelas terus. Aku kurang tahu dia kayak gimana, tapi kayaknya anaknya baik-baik."

Di dalam kepalanya, Chairil memetakan seorang sosok pemuda. Sejenak ia terpana akan bayangan yang ia gambarkan sendiri.

"Jadi mau ketemu."

Menggumam ia seraya meraba-raba seperti apa rupa pemuda yang berhasil mencuri hati kakaknya. Jika kakaknya saja sampai tergila-gila dan teman kakaknya sampai memuja-muja begitu-bukankah berarti pemuda itu pemuda yang luar biasa? Pemuda berotak cerdas yang kelakukannya bak emas? Tidak mudah untuk menggapai prestasi setinggi itu, dan itu wajib Chairil berikan applaus. Keingintahuannya semakin membuncah. Ingin berjumpa. Ingin menjabat kedua tangan orang yang disukai kakaknya sekalian berkata, "Kamu keren banget, aku salut. Tolong jaga Niichan, ya, buat aku?"

Mungkin, mungkin kelak mereka berdua akan bersua. Entah sebagai orang asing di lorong sekolah atau sebagai rekan yang telah saling nyaman.

"Niichan-punya gebetan cowok?"

Adalah pertanyaan refleks Chairil di atas meja makan (yang membuat Yusuf nyaris tersedak air minumnya sendiri). Pertanyaan yang dimunculkan tepat di depan sepiring nasi goreng dan sepotong rendang kiriman Mahesa kemarin (serantang rendang hari ini telah dikirimkan ke rumah Sehan-yang disambut dengan senyum lebar dan wajah cerah oleh yang bersangkutan), pertanyaan yang ditanyakannya tanpa pikir panjang. Tiba-tiba teringat perkataan Imam mengenai orang yang disukai kakak sepupunya dan Chairil tidak bisa tidak penasaran. Siapa? Siapa pemuda yang disukai sang kakak? Apakah pemuda itu juga suka dengan kakaknya? Orangnya seperti apa? Sebaik dan setampan apa?

Chairil penasaran, sangat. Dan tentu saja, Chairil selalu mendukung kebahagiaan kakak sepupunya apapun bentuknya, termasuk dalam bentuk mencintai sesama pemuda.

Berbeda dengan Yusuf, Chairil tidak mengenal orang tua kakak sepupunya. Ia hanya tahu Bibi Haridra sebagai wanita dengan senyum lembut, wanita yang dulu selalu menawarinya bolu kojo tiap kali berkunjung. Sementara Paman Haridra-Chairil hanya tahu sebatas foto tua berdebu di sisi televisi. Pamannya orang yang mencintai negara, lebih dari mendiang istri dan anak semata wayang. Terlalu cinta kepada negeri hingga menjual nyawanya, hingga lupa bertahun-tahun anaknya dibiarkan sendiri di rumah. Chairil yang mengetahui Tanah Ibu sebatas obrolan-obrolan masalah di meja makan tidak mengerti mengapa bisa ada orang seperti Paman Haridra. Ingin bertanya pun, tidak ada yang bisa menghubungi sang paman.

Karena itulah saat mendengar bahwa Chairil akan tinggal permanen di Palembang, wajah kakak sepupunya secerah itu. Tentu saja senang, setelah sekian lama, ia tak lagi kesepian di rumah. Segitu senangnya sampai segitu memperhatikan, apakah Chairil nyaman atau tidak di Palembang, apakah Chairil mengalami kesulitan di sekolah, apakah Chairil bisa makan rendang, dan seterusnya hingga Chairil berpikir, ia ingin membalas budi baik ini. Saat mendengar soal pemuda yang disukai oleh sang kakak, Chairil pikir, ini dapat dimanfaatkannya suatu hari nanti.

"I-ya?"

"Siapa?"

Yusuf menggigit bibir. Gerhana yang menjawab sebagai ganti.

"Namanya Dika. Temen sebangkuku, Ril."

"Ger!"

"Apa, Bang?" Kali ini nada suara Gerhana meninggi. Chairil terkejut karena-Gerhana yang Chairil ingat tidak akan pernah meninggikan suaranya. Kesal, gemas, dan geram campur aduk, "Kan udah dibilangin. Abang deketin aja Dika mumpung Abang masih di sini. Anaknya juga bucin sama Abang. Tunggu apa lagi? Pas Abang lulus?"

"... Abang tetep di sini, kok.... Rencananya mau ambil FH Unsri."

"Tapi tetep aja, Indralaya sama Palembang itu hampir dua jam, Abaaaang!"

Gerhana mengacak rambutnya, frustrasi pada sang kakak yang kini menciut, menunduk dengan telinga memerah. Chairil tidak dapat menebak, Yusuf seakan sengaja menyembunyikan wajahnya dari dirinya dan dunia. Satu yang Chairil tahu, Gerhana itu tidak pernah berniat jahat kepada siapapun. Orang yang dapat menerima sang kakak apa adanya bukanlah orang jahat, sama sekali. Melalui perbincangan tiap malam mereka di meja makan, ia dapat menyimpulkan bahwa Gerhana hanya ingin yang terbaik. Tapi dari obrolan di rumah dulu, Chairil menangkap bahwa orientasi seksual masih merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan di Tanah Ibu (mengingat kata Toucchan, obrolan tersebut selalu berakhir buntu dengan membawa alasan agama, menurut Chairil pribadi, Tuhan tidak mungkin sekeji itu melaknat mereka yang jatuh cinta tanpa paksaan dan tanpa maksud jahat, kan?). Wajar saja kakaknya malu. Wajar saja kakaknya takut, termasuk pada reaksi Chairil.

Sekalipun Yusuf pasti tahu, Chairil tidak bisa melaknat orang semudah itu.

Terlebih, melaknat hal yang dapat menjadi kebahagiaan orang lain.

Karena itulah, yang Chairil lakukan sekarang adalah bangkit dari kursinya, melangkah menuju Yusuf yang masih menunduk. Tangannya terulur sebelum tubuhnya condong, mendekap Yusuf singkat seraya menepuk-nepuk pelan bahunya. Tidak ada kata yang terucap, tetapi dari gestur tubuh, Chairil pastikan bahwa Yusuf paham apa yang ingin ia sampaikan. Napas Yusuf sempat tercekat.

"Chairil-"

"Aku suka Niichan bahagia. Jadi aku dukung selama Niichan bahagia."

Pelukan itu dilepas sejenak, mata mereka bersua. Dilihatnya Yusuf tertegun-cukup lama sebelum dilihatnya pemuda itu tersenyum. Senyum yang-penuh kelegaan? Seakan Chairil baru saja menyelamatkan nyawanya. Barulah ia mengerti, penerimaan ternyata sepenting itu bagi orang seperti kakaknya, biarpun sesederhana, 'aku mendukungmu'. Mungkin karena di lingkungan ini mereka terlalu letih memikul cap 'tidak normal' oleh sekitar. Padahal seperti kata Kaacchan, definisi normal itu sebenarnya-apa? Bagaimana? Dalam pemikirannya, Chairil menduga alasan mengapa Yusuf begitu lega adalah karena dengan penerimaan, dengan pengakuan, Yusuf tidak perlu berpura-pura. Pura-pura mengakui sesuatu yang bukan dirimu sesungguhnya membuat lelah batin.

Dilihatnya di seberang sana, Gerhana turut tersenyum senang. Matanya berbinar.

"Nanti, kalau Chairil main ke kelasku, nanti aku kenalin sama Dika. Kalian harus saling kenal."

Ajakan itu dijawabnya dengan anggukan.

Tentu saja. Chairil ingin bertemu dengan orang yang dapat membuat kakaknya bahagia.

Karakter Tambahan:

Han Chowon

sebagai

Corina Hermawati

Kim Minseo
sebagai

Imam Budiman

Keum Donghyun

sebagai

Gerhana 'Geri' Malam

Kang Minhee
sebagai
Mahardika 'Dika' Senja Kencana (karakter utama buku #1)

Lee Sungjun (W Project 4)
sebagai
Senandika 'Sehan' Yudhistira

Kisah Mahardika dan Yusuf dapat dibaca di buku #1.

//

halo! terima kasih sudah membaca! :"D untuk beberapa chapter depan mungkin bakal fokus ke pengenalan beberapa orang dulu deh--stay tune!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top