Heartbreaker : (23) I Don't Like That

"Pete bunuh diri, Flo. Dia ngelakuin itu karena gak mau ngebuat lo tambah sakit. Dia ngerasa gagal buat ngejaga lo."

Aku terus memutar perkataan Kalva tadi sore, dan selalu kuakhiri dengan menghembuskan nafas. Sedari tadi aku terus menahan air mata yang hampir tumpah karena jawaban Kalva.

Pandanganku menyapu sekeliling food court yang sepi, lalu kembali menunduk untuk melihat ponsel, punya Kalva sebenarnya. Aku membuka kunci ponsel dan menuju rekaman. Tanganku kembali menyentuh tombol play tersebut tanpa bosan.

"Tell her that I miss our little talks. My nightmare usually is about losing her. Jaga dia, Kal. Gue udah gagal. Gue worthless. Bye. Tut ... tut ... tut ..."

Itu suara Pete. Sebelum ia meninggal, Kalva meneleponnya dan Kakakku tersebut memang sering merekam percakapan di telepon. Saat aku mendengar suara Pete, detik itu juga aku menangis. Aku terisak sambil memukul lututku. Ngilu di hatiku, rasa pusing, dan beberapa saat aku tak tahu siapa aku.

Aku shock.

Setelah itu, mungkin kau tahu. Aku menyambar kunci mobil, pergi dari rumah dengan mengendarai picanto milikku. Entah kenapa, tempat food court yang biasa aku dan Pete datangi dulu, menjadi tempatku untuk menenangkan diri.

Aku masih ingat tiap kali Pete memulai dialog untuk membujukku ke sini.

"Lapar, Ra. Lapar. Ini perut udah protes dari tadi," dan selalu kujawab dengan, "enggak."

Waktu itu, Pete cemberut lucu dan menarik-narik tanganku. Aku menoleh padanya dengan kesal. Dia lalu menunjuk perutnya seperti anak kecil.

"Peyut udah laper ya peyut?" tanyanya pada perut, lalu dia kembali bersuara dengan nada nyaring, "iya, Kakaaak."

Aku tertawa saat itu juga dengan leluconnya. Pete pun kembali melihat ke arahku sambil nyengir.

Kita pasti berakhir dengan bergandengan tangan menuju food court. Pasti.

Dengan malu aku mengusap air mata karena tersadar beberapa orang melihatku. Aku berdiri terburu-buru dan membereskan barang-barang. Tak ada gunanya memikirkan Pete, dia sudah tenang dan hidup tetap berjalan.

Kenyataannya seperti itu, tapi, untuk rela pun aku tak sanggup.

Aku bermaksud berbalik badan untuk pergi dari food court. Namun, baru saja melakukan satu gerakan, aku sudah tertabrak bahu seseorang.

Ringisanku membuat si penabrak gila tak punya otak melihatku. Aku juga menatapnya. Sedetik kemudian, aku menyesal kenapa harus pergi ke food court ini, kalau ujungnya bertemu Andi.

"Hei, udah lama gak ketemu," sapanya canggung, aku menyapu isi ruangan dan mendapati beberapa cewek sekarang melihat Andi.

Mataku memutar saat tahu bagaimana cara cewek-cewek itu menatap Andi. Aku tahu Andi-Andi gak jelas ini bermetamorfosa jadi cowok ganteng. Tapi, Ya Tuhan, dimana harga diri kalian, Hei, Kaum Cewek?!

"Kiera," panggil Andi pelan, aku menatap pada mata hitam belo yang bening itu. Setelah tahu aku memberinya perhatian, Andi mulai berbicara. "Gue minta maaf soal yang study tour kemaren. Gue harusnya tau, lo bakal berubah jadi orang laen, kalo ada cowok yang macem-macem ke lo. Tapi, gue malah sengaja ngebuat semuanya jadi susah. Gue nyesel."

Aku mengernyitkan dahi. Aku berubah? Maksudnya apa? "tunggu, emangnya gue berubah jadi apa dan kenapa? Ngebuat susah gimana? Kok gue gak ngerti."

Mata Andi melebar. Dia mengusap tengkuknya sambil menghindar dari kontak mata denganku. Aku mencengkram bahunya, merasa jengkel.

"Lo tau sesuatu 'kan?" tanyaku.

"Gue--" dia melirikku, lalu mengangkat tangan tanda menyerah, "oke, gue tau sesuatu. Saat gue, oh, bukan. Saat Rafadinata nyium lo, lo mulai berubah jadi Kiera yang gak kita kenal. Lo ngamuk ke Nata dan hampir ngebunuhnya kalo aja gue gak dateng tepat waktu."

"Gue ngebunuh Nata?" tanyaku, tiba-tiba merasa was-was.

Selama ini, Nata tidak pernah mau memberitahuku apa yang terjadi waktu itu. Dia selalu mengubah topik dan bilang ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya.

Jadi, aku menurut dan perlahan lupa.

"Hampir ngebunu, Ra. Pribadi ganda lo itu ..." sekarang, Andi berjengit sambil memeluk dirinya, "serem."

"Lo tau gue punya kepribadian ganda?" aku kembali bertanya, mengernyitkan dahi.

"Tau," Andi tersenyum misterius, dia lalu mengambil sesuatu dari tas selempangnya. Sebuah buku. "Nih, tugas Nata yang gue pinjem tadi. Niatnya sore ini gue pengen ke apartemennya, tapi berhubung ketemu lo di sini--" senyum tadi mulai berubah menjadi jahil, "tolong, dong."

Aku mengambil buku Andi dengan kekesalan meningkat. Rasanya, dulu dia orang paling kikuk dan gugup yang pernah kutemui. Kenapa sekarang jadi tipe seperti ini? "Lo sekelas sama dia, lagi?"

"Yo'a," jawab Andi sambil nyengir, sedetik kemudian wajahnya berubah sebal, "dan saat lo sama dia udah pacaran, Si Kampret dateng."

"Si Kampret?" tanyaku, melongo karena perkataan Andi.

Andi lagi-lagi nyengir, "gue seneng lo sama Nata udah pacaran. Tapi, gue gak seneng pas ngeliat Si Kampret tiba-tiba dateng."

"Maksud lo, Elle?" tembakku langsung.

Senyum Andi mengembang, tapi dia tidak berkata apa-apa selain mengacak rambutku.

Sok akrab ni anak, mantan doang padahal.

"Ati-ati, Ra. I don't like that b*tch." Kata Andi tiba-tiba.

Sebelum aku ingin bertanya lebih lanjut, Andi sudah menjauh sambil melambaikan tangannya. Berbagai pertanyaan berputar di otakku saat ini juga.

Memangnya, Elle itu monster atau apa?

*

"Eh."

Sahut kami bersamaan dengan rasa terkejut yang sama. Aku tak menyangka Axel akan menepuk bahuku ketika aku sedang berjalan menuju pintu apartemen Nata. Dan, aku yakin, dia juga tidak menduga bakal menemukanku sendirian di sini.

"Lo mau ke mana?" tanya Axel sambil tersenyum kikuk, yang kubalas dengan menggaruk kepala sendiri.

Aku jarang mengobrol dengan cowok ini karena, yeah, kami hanya saling kenal.

"Ke apartemen Nata," jawabku polos, Axel hanya mengerutkan dahinya sambil mengangguk.

Aku kembali menyusuri pintu-pintu bernomor ketika tak ada satupun dari kami yang mengobrol. Saat sampai di pintu 601, Axel berhenti berjalan.

"Gue kira Nata lagi pergi," celetuk Axel.

Aku menaikkan satu alis, "kok lo tau?" tanganku yang nyaris memencet bel perlahan kembali ke posisi semula.

Bahu Axel mengedik. "Apartemen tante gue sebelahan sama doi. Tadi sore, gue ngeliat dia keluar dari apartemennya. Buru-buru banget. Gak tau mau ngapain."

"Oh," aku mencoba tersenyum meski sulit. Mungkin Nata memang sibuk. Mungkin, hanya mungkin, sebagian dari diriku merasa tak dianggap. Maksudku, Nata bisa mengabariku 'kan?

Lo juga gak mau ngejawab pertanyaan dia tadi pagi, sama aja. Sesuatu di dalam diriku berbisik.

Aku menghembuskan nafas lelah. Benar juga. Itu hak Nata untuk tidak mengabariku, lagipula, mungkin baginya hubungan kami hanyalah permainan.

Awalnya memang itu mau lo kan? Let's face it. Lo heartbreaker. Dia player. Hubungan lo sama dia gak bakal bertahan lama. Ha. Aku hampir mengumpat karena perkataan alam bawah sadar, jika saja tak ada Axel.

Ngomong-ngomong aku baru sadar cowok itu masih ada di hadapanku sambil mengerutkan dahi.

"Lo gak apa-apa?" tanya Axel cemas.

Aku mengedikkan kedua bahu seolah tak ada masalah, "gak apa-apa. Lo sama Tay gimana?"

Saat pertanyaan itu kuucapkan, demi Samudera Hindia, wajah Axel melembut. "Baik. Dia makin cerewet gara-gara gugup soal pemilihan model." tawa Axel mengalun, "temen lo itu, bener-bener."

Senyumku mengembang, "bener-bener apa?"

"Bener-bener segalanya bagi gue," jawab Axel tanpa ragu. Dia menepuk bahuku, lalu melambaikan tangan seraya membuka pintu apartemen yang kupikir milik tantenya. "Gue masuk, ya."

"Iya," kataku sambil tersenyum.

"Eh, iya," kepala Axel kembali berbalik, "seinget gue tadi Nata bareng cewek pirang."

Sebelum aku sempat menjawab, suara teriakan yang memanggil Axel membuat cowok itu meringis. "Udah ya, tante gue lagi stress sama deadline dan gue harus bantuin. Dah!"

Saat pintu apartemen Axel tertutup, aku mengepalkan kedua tangan. Jadi, mereka bersama?

Siapa peduli?

*

[A/N]

Yeay! udah gak WB lagi. Akhirnya gue dapet inspirasi. Ini semua karena komen-komen kalian yang ... :')

Teruskan ya♥

Eiya, yang mau nanya tentang cerita ini silahkan. Gue suka ga ngeh sama yang dikepoin Pembaca soalnya

See you

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: