Heartbreaker : (2) His Kiera's Rival

'Berpikir apa? Aku sama sekali gak mau menggugurkannya, dia anak kita. Kau ayahnya!'

Aku menutup telinga rapat-rapat supaya teriakan sialan dalam diriku tidak terdengar. Tapi meski aku memejamkan mata kuat-kuat bayangan-bayangan sekilas itu lagi-lagi membuatku takut.

Siapa orang yang hamil? Apa ada pertengkaran di sana?

'Aku belum siap untuk menjadi ... ayah. Maaf.'

Berhenti! Sebenarnya suara apa itu?

'Maaf? KAU AYAHNYA DAN KAU ADA DI SANA!'

"Shit!" aku membuka kedua mata dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ini kamarku. Jam sudah menunjukkan pukul satu pagi, tapi aku tidak bisa tidur lagi. Sialan.

Dengan perlahan aku turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Setelah lama-lama berjalan di sekeliling rumah, aku melihat bayangan kakakku, Kalva, sedang duduk di sofa sembari menonton bola. Aku menghampiri Kalva dan mengalungkan kedua lengan di lehernya dari belakang.

"Gak bisa tidur, mimpi buruk nih, Kaaak."

Kalva terkaget dan menyumpah-nyumpah sebelum menengok padaku dengan tampang kesal maksimal. Yah, dia memang selalu kesal kalau berurusan denganku.

"Bisa gak sih, Ra, jangan ngaggetin gue?"

"Kak, kalo mamah papah denger kamu ngomongnya pake gue-lo nanti uang jajan kamu dikurangin loh."

"Bodo mereka lagi tidur kali jem segini. Nah lo kenapa gak tidur dan nemplok seenaknya di leher gue?"

"Ih Kakak, Kiera tuh gak bisa bobo," aku manyun dan mencubit bahu Kalva keras-keras.

Kalva lagi-lagu menyumpah karena cubitanku tadi terlalu keras. Dia berusaha melepaskan pelukanku di lehernya dan setelah berhasil dia melompat. Berhadapan denganku secepat kilat.

"Itu sakit tau ga?" semprot Kalva.

Aku nyengir, "nyanyiin dong, Kaaak. Kiera kan bisa tidurnya kalo dinyanyiin sama Kakak."

Kalva memang bisa menyanyi dan karena malu, hanya keluargaku yang tahu. Sekarang dia sudah kuliah dan semakin lama makin menyebalkan karena waktu main kami jadi menipis karena tugas kuliahnya. Aku taruhan dia habis pulang dari rumah temannya untuk mengerjakan tugas bersama lalu pulang tengah malam.

Kalva menghela nafas, "mau lagu apa?"

"Apaan ajah."

"Lah malah gitu."

"Ah pokoknya apaan ajah pake h."

Kalva menatapku lama, "dasar cewek banyak maunya."

"Biarin. Yang penting Kiera kan adeknya Kak Kalva."

"Terserah lo deh, Ra. Sini duduk di sofa, gue nyanyiin lullaby aja ye."

"Makasih Kalva ganteeeng."

"Pake Kak, Ra. PAKE KAK."

Aku hanya tertawa. Tak berapa lama kemudian kami sudah berada di posisi paling nyaman. Kepalaku dipundak Kalva sementara tangan Kalva mengelus punggung tanganku. Kami memang pasangan Kakak Adek paling klop.

Kalva baru saja bernyanyi beberapa bait, tapi mataku sudah mengantuk.

"Kak Kalva. Percaya gak kalo tadi Kiera denger suara-suara orang yang berantem? Kayaknya masalah hamil di luar nikah gituuu," tukasku sambil meringkuk di samping Kalva.

"Hah?" nyanyian Kalva berhenti sesaat, "itu gak mungkin lah. Ngapain juga lo mimpi kayak gitu."

"Berarti khayalan Kiera doang dong?"

"Iya udah ah lo tidur biar cepet."

Kalva kembali bernyanyi. Nyanyiannya memang bagus. Aku seperti berada di atas awan saat suara indah Kalva mengalun. Bahkan aku lupa pembicaraan kami tadi. Ketika aku sudah berada diambang kesadaran, Kalva mendengus keras-keras.

"Bagus. Sekarang gue harus gendong Snow White jadi-jadian. Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini?"

Tapi meski berkata begitu Kalva tetap menggendongku ke kamar di lantai dua. Sebelum aku terlelap, aku masih bisa mendengar bisikan Kalva.

"Cepat sembuh, putri Flockheart."

Dan dia mencium dahiku lalu mematikan lampu dan keluar dari kamar.

*

Acara di sekolah kali ini bersih-bersih massal (kerja bakti maksudnya). Aku sudah membawa peralatan tempur andalanku. Tak lupa aku memakai masker bergambar teddy bear berwarna cokelat yang biasa kupakai saat acara kerja bakti diadakan tiap bulan sekali.

"Kiera!"

Sesuatu yang tak tampak menguasai diriku dan aku sedikit ling-lung ketika sesuatu itu menguasaiku sepenuhnya.

"Kiera!"

Mataku menatap Carmen sambil tersenyum. Sesuatu yang ada di diriku membuat kepalaku sedikit pusing sehingga tanganku menyangga pada bahu Carmen yang sekarang sudah di hadapanku. Carmen mengernyit sesaat dan dia meneliti wajahku.

"Sialan Kiera, gue rasa sekarang dia mau menguasai diri lo seutuhnya," Carmen menggertakan gigi, matanya menatap mataku tapi kurasa dia melihat 'orang lain' atau apa. Aku tak mengerti karena pusing ini terus menderaku.

"Siapa dia?" tanyaku susah payah.

Sesuatu di diriku sudah menghilang dan aku bisa bernafas lega dalam artian yang sesungguhnya.

Kenapa bahasaku jadi berbelit-belit begini? Ah, pokoknya begitu lah.

Carmen menatapku sedikit lebih lama, lalu menggeleng pelan, "bukan apa-apa," matanya melirik ke atas dan kembali padaku, "lebih baik kita kerja bakti."

Kami berpencar karena kelompok kami berbeda. Tapi karena aku tidak begitu suka keramaian, aku menyelinap dan malah membersihkan lab seorang diri. Lab ada di lantai atas, dan semua orang masih di lantai satu. Jika mereka protes, mulut mereka akan membungkam jika melihat lab yang bersih. Yah, tak masalah juga.

Aku mulai membersihkan kerangka tengkorak, dan blablabla yang pasti tidak ingin kau dengar. Aku baru ingin membersihkan kolong meja dengan sapu ketika mataku menangkap hal ganjil di sana.

Oh, Men. Siang nanti baru saja aku berpikir akan bertemu secara "kebetulan" dengannya, tapi ternyata kami bertemu kebetulan yang sesungguhnya.

Rafadinata ada di sana, tertidur dengan tenang, kedua tangannya ia jadikan bantalan tidur dan rambut cokelat acak-acakannya benar-benar ingin kubenahi.

Dan aku tanpa sadar melakukan hal itu, membenahi rambutnya.

Tapi ketika baru saja jariku menyentuh ujung rambutnya, dia bersuara, "jangan mencuri start dengan memata-matai lawan lo di sini. Kiera Flockheart."

Matanya mulai terbuka sepenuhnya. Nata keluar dari kolong meja dengan seringan bulu. Aku berdiri dan mengamati Nata yang mengacak rambutnya. Mungkin dia berusaha membenahi tapi kurasa rambutnya makin acak-acakan.

Dan itu sangat amat menyebalkan meski seluuh dunia akan setuju jika aku bilang dia cute.

"Gue gak sengaja liat lo tiduran di kolong meja, kok," kataku ketus.

Nata melirikku, mengelilingi tubuhku dengan kedua tangannya, menyangga tepian meja.

Shit.

"Kalo gue gak percaya?"

"It's not my bussines, Sir," aku mendorong Nata menjauh dan bersedekap.

Orang ini berbahaya. Dia punya aura yang anak umur 17 lainnya tidak memilikinya. Meski aku tak tahu pasti apa itu. Tapi menurutku dia juga tahu ada yang berbeda dariku.

"Kiera Flockheart," suaranya terdengar dalam dan mematikan, "now you are my rival," katanya setelah sekian lama terdiam.

"Maksud lo?" tanyaku pura-pura polos dengan memiringkan kepala. Tapi mungkin dia tahu aku tak sepolos wajahku. Jadi percuma saja, apalagi saat dia menyeringai.

"Gue tau lo jadiin gue target selanjutnya. Dan gue dengan senang hati menjadikan lo target baru gue," kata Nata enteng.

Wajahku memucat.

Tadi dia bilang apa??

"Darimana lo tau?"

Nata mendekat dan jarinya menyentuh ujung mataku. "I looked into your eyes and automatically I know everything about you."

Shit. Ada Carmen versi cowok.

Sekarang aku mulai waspada karena targetku kali ini sepertinya bukan masalah kecil.

*

[A/N]

makasih yang udah baca, vote, dan komen. Its mean alot for me, no kidding<3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: