Heartbreaker : (18) Disaster
Kalau ada orang yang tidak ingin hari ini cepat berlalu, jawabannya adalah ... aku. Yang lebih parah, aku juga membujuk seorang Rafadinata untuk melakukan misi gila ku yaitu ... tour malam.
"Ini udah malem, Bego. Kalo ketauan, leher gue taruhannya," reaksi pertama Nata di lift setelah acara 'pengalungan pita berlonceng', saat aku mengajaknya kabur.
Aku ikut mengernyit ketika tampangnya berkata seolah aku orang gila yang datang dari bulan. Tapi, aku menghentakkan kedua kakiku seperti anak kecil yang ingin permen. "AYOLAH AYO."
"Anjrit," dia menutup telinga dengan kedua telapak tangannya saat aku bersuara di dekat daun telinga Nata. "Sumpah, berurusan sama lo itu--"
"Nata," aku memberinya tampang paling memelas yang kupunya.
Dia menelan ludah. "Oke, lo pinter dalam ngebujuk seseorang. Tapi, bukan berarti gue--"
"Sekali ini, aja," kataku lagi, berpose memohon dan menginginkan belas kasihan.
"Kiera, bukannya gue gak mau. Tapi ini berbahaya--"
"Pleaseee," aku menarik-narik ujung bahu kemeja biru Nata, sekali lagi ia menelan ludah dan melihat ke arah lain.
"Oke. Tapi jangan--"
"YEAAAY. I LAFYUUU!!" dengan kekuatan gajah aku menepuk kedua pipi Nata, lalu berlari-larian di sekitarnya. Untung saja, ruangan lift hanya kami berdua. Aku bisa bertingkah gila sepuasnya.
"Tunggu, I love you?" pertanyaan Nata membuat segala aktivitas gilaku terhenti, aku menoleh padanya.
Seringai Nata mengembang, "I love you?"
Meski aku tahu apa maksudnya, tetap saja aku berpura-pura dengan mengernyitkan dahi. "Love you too?"
"Eh," dengan jengkel Nata menarik tanganku, "lo sadar gak, sih, tadi lo bilang apa?"
Kugelengkan kepalaku dengn perlahan. Dia melepas tanganku lalu mengernyit. Punggungku mundur ke belakang ketika kepalanya mendekat. Matanya berkilat, mencari tahu apa yang ada di kedalaman mataku lalu tersenyum.
"Lo inget. Lo inget lo bilang I love you ke gue."
Aku menyerah. Aku lupa dia punya cara untuk mengetahui apa yang ada di mataku. Hanya dia, bahkan Pete pun tidak.
"Itu cuman bercanda," kilahku.
"Trus kenapa lo tutup-tutupin tadi?" tanya Nata.
Aku memainkan ujung rambut dengan gugup, "refleks."
"Mungkin itu yang ada di hati lo, dan lo gak sadar udah ngungkapin itu ke gue." Senyum soknya berkembang, "jadi, kalo gitu gue yang men--"
"Ya, gue suka sama lo, tapi sebagai temen," ucapku langsung.
Dan yang tidak terduga, senyum itu berubah menjadi raut wajah kehilangan. Seperti saat aku tahu Pete sudah tiada. Semua dunia, yang aku berikan untuknya, hilang. Semua cerita kami, yang tersimpan rapat di time capsule, sudah tak ada gunanya karena jika kubuka sekarang hanya akan mengundang tangis pedih. Semua hal itu, sekarang terlihat di raut wajah seorang Rafadinata.
"Oh, oke," tepat ketika pintu lift terbuka, dia keluar dengan cepat tanpa mau melakukan kontak mata padaku.
Aku terkesiap. Dia marah?
"Tunggu, kita harusnya--"
"Jangan sekarang," Nata berbalik sesaat, lalu berjalan lagi. "Gue butuh waktu buat sendiri," tambahnya.
Sekarang yang hanya bisa kulihat adalah punggung tegapnya. Yang makin lama makin mengecil karena langkahnya terlalu cepat. Pintu lift perlahan menutup, otomatis aku tidak melihat bayangan Nata lagi.
Aku harus turun satu lantai untuk mencapai kamarku.
Sesampainya di sana, semua orang sudah tertidur pulas. Hanya aku yang masih menatap nyalang langit ketika sudah merebahkan diri di kasur.
Aku memikirkan reaksi Nata yang tak biasa.
Jujur, aku bukan orang yang begitu peka selain jika mereka mengatakan yang sebenarnya. Aku tak bisa menebak apa yang ada di pikiran Nata. Hanya saja, raut wajah itu mirip sepertiku dulu. Bukan 'sama', itu berbeda.
Jadi, aku harus bagaimana?
*
Meski aku memperlambat laju gerak, tetap saja hari ini tiba. Hari yang kukira akan berlangsung biasa-biasa saja kini tak biasa karena perkataan Andi tadi malam. Sialan, Kunyuk itu. Andai saja membunuh dibolehkan, sudah kupastikan dia mati terkapar di lantai.
Oke, aku tak mungkin sekejam itu.
Acara penutupan kali ini, aku lebih banyak terdiam. Carmen hanya mengerutkan dahinya, tahu aku tak mau banyak bicara. Aku melihat Rafadinata di sudut ruangan, tapi karena dia tak menghampiriku, aku sangsi untuk melakukan first move.
Pembawa acara, Gina dan Joe mulai maju ke depan panggung. Senyuman simpul menghiasi wajah mereka seraya melihat ruangan yang padat oleh anak seangkatan. "SELAMAT PAGI SEMUANYAAA!!"
"PAGIII," balas anak kelas 11 heboh, terkecuali aku dan Nata.
"Hari yang cerah, dengan semangat yang baru! Iya kan?" Gina tertawa dan Joe melanjutkan, "harus iya! Karena, untuk mengenang momen ini meskipun udah sering study tour, kita harus bermain game."
Aku menelan ludah. Game. Ini bagian paling buruk. Setiap tahun selalu ada game ini. Sepuluh orang disuruh maju, cewek dan cowok. Mereka mau tak mau harus mengambil bola untuk mengundi siapa pasangan mereka. Jika mendapat bola hijau, harus berpasangan dengan orang yang juga mendapat bola hijau. Setelah itu, sang cowok dipaksa mengambil tantangan yang ada di kotak hitam.
Sebelum kelas 11, tantangannya paling hanya disuruh pelukan, saling modus, paling parah cium pipi.
Tapi setelah kelas 11, harus mau dicium di bagian lain aka bibir.
ANJIR.
Gina dan Joe sudah memanggil beberapa orang untuk maju ke depan. Wajah mereka seperti orang yang dijadikan tumbal sementara kami yang masih di bawah panggung berharap cemas agar tak terpanggil.
"Oke, Andi, maju ke depan," seru Gina, kampret.
Aku sudah berkeringat dingin ketika Andi melayangkan senyum culas padaku seraya naik ke atas panggung. Dia pasti akan mengacaukan semuanya, dan aku yakin aku akan terpanggil.
"Lalu, Rafadinata," Jo mengernyit, "apa ada yang bernama Rafadinata di sini?" aku tahu Nata tak terkenal, tapi apa sampai seperti ini?
Omong-omong aku terkejut mendengar namanya disebut.
Nata mengangkat satu tangan, semua mata tertuju padanya tapi seolah tak peduli dia mulai berjalan menuju panggung. Dia sempat melirikku sesaat, tapi tak lama.
"Setelah Nata... wow, Queen Bee kita termasuk juga," Joe tersenyum mesum, anjrit. "Ayo naik, Kiera Flockheart!"
Sialan, double sial.
Aku maju dengan langkah payah, berdiri di samping Nata. Aku benci mengakui ini, tapi sekarang aku ingin mengetuk bel yang ada di leher sehingga Nata membawaku lari menjauh dari situasi ini.
Tapi jika kulakukan, tak ada bedanya aku dan pecundang.
Nata mengambil undian bola, dia dapat warna pink. Sementara tak jauh darinya, Andi memegang bola warna hitam.
Mulutku berkomat-kamit supaya mendapatkan warna pink. Setidaknya, Nata adalah temanku sementara bisa saja Andi melakukan yang tidak-tidak.
Belum kubilang, tapi, tantangan yang mencium bibir itu tak sebenarnya terjadi. Sudah rahasia umum kalau ciuman itu sebenarnya hanya terjadi di pipi, tak lebih.
Tapi aku sangsi Andi tidak akan melakukan hal yang lebih.
Aku mengambil undian yang disorongkan Gina, warnanya ... hitam.
ANJRIT.
"Gue dapet lo," bisik Andi dalam bahasa isyarat.
Menyipitkan mata, aku menoleh ke arah lain. Sedari tadi, kulihat Nata mengerjapkan matanya. Dia terus menggigit bibir, melihat bola hitamku dengan bola pinknya.
Yeah, sepertinya Nata puasa berbicara denganku sejak kejadian tadi malam.
Satu persatu pasangan sudah keluar dari panggung ketika tantangannya selesai. Sekarang, tinggal aku, Andi, Nata dan pasangannya.
"Andi, maju ke depan ambil tantangannya," seru Joe, diiringi sorakan tak sabar yang ada di bawah panggung.
Aku berdiri gugup di samping Andi ketika dia merogoh undian. Ini seperti berada diantara pilihan hidup atau mati.
"Tantangan nomer 1. Ciuman di bibir." Kata Andi.
DEMI APA.
Andi tersenyum culas, Gina dan Joe bersorak diikuti yang lain sementara mereka mulai membawaku ke tengah panggung. Kulirik Nata sekilas, tapi dia malah terdiam.
Bisakah dia bergerak untuk menolongku?
"Jangan beneran dicium," pesan Joe pada Andi dengan berbisik.
Ironis sekali saat tahu, mantan terakhirmu membalaskan dendam seperti ini. Kukira, Andi bukanlah masalah. Tapi sekarang, dia masalahku.
Aku yakin dia tidak akan melewatkan kesempatan ini.
"Gue tau dan lo juga, apa yang ada di pikiran gue," sahut Andi seraya mengembangkan senyumnya. "Dan gue gak sabar liat reaksi lo," kepala Andi mendekat, perlahan tapi pasti.
"Gue benci lo, dengan lo lakuin ini, lo gak mungkin bisa dapetin gue," ancamku.
"Oh ya? Wow, gue sangsi."
Saat jarak kami menipis, ketika itulah Nata berlari dan ingin menerjang Andi.
Tapi terlambat.
Ciuman itu terjadi.
Dan aku tak mengingat apa-apa lagi.
*
[A/N]
covernya ganti, makin geje huahahaha
jadi... tulis pikiran yang terlintas di otak lo setelah baca chap ini di kolom komen (gue orang kepo, emang). Bisa nulis gini:
a. jelek, alasannya...
b. bagus, alasannya...
c. tak terduga, alasannya...
d. membingungkan, alasannya...
e. ..., alasannya...
gue gak maksa kalian buat jawab, gue cuman kepo apa pendapat kalian tentang cerita gue, supaya gue bisa memperbaiki kesalahan. Pertama kenal wattpad, gue share cerita-cerita gue, ya, buat ngoreksi apa yang salah lewat pikiran para pembaca.
Makasih:))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top