Heartbreaker : (17) Kring
"Maksud lo?" tanyaku dingin, menatap kedua manik mata Andi.
Seringai Andi semakin lebar ketika aku memakan umpan yang ia berikan, "liat aja nanti."
Ketika Andi ingin berlalu melewati kami, aku tak tahu apa yang terjadi. Karena, sepersekian detik, terdengar rintihannya. Mataku mengerjap, lalu melihat Nata yang menyilangkan kedua tangannya, sementara Andi terkapar di lantai sambil memegang perut.
"Lo apain dia?" tanyaku kepo, untung saja lobby hotel sedang sepi. Jika orang-orang melihat kelakuan kami, sudah pasti aku akan dikirim ke Jakarta lagi.
"Gue tinju," jawab Nata singkat sambil melenggang pergi, seolah hal itu sudah biasa ia lakukan.
Oke, dia memang bad boy. Ini bukanlah perkara sulit bagi Nata untuk menjatuhkan lawan.
"Eh, tunggu!" Aku mengekor di belakang Nata, tidak mau ditinggal sendirian dengan Andi yang terkapar di lobby.
Nata menengok, tersenyum sekilas, lalu mengedikkan bahunya ke arah lift. "Ke roof top, yuk. Kayak biasa."
Kayak biasa.
Sejak hari dimana aku menantangnya bermain game, aku memang selalu makan siang bersama Nata di rooftop sekolah. Tapi, ini bukan sekolah, apa harus ...
"Gue lagi pengen ke atas, gak mau gak ada lo. Udah, ayo," Nata menyeret tanganku ketika aku masih mematung. "Lama-lama lo telmi."
Mataku melotot, memangnya siapa dia, berani-beraninya menilaiku! "Lama-lama lo kek ee."
"Eh, anak cewek ngomongnya."
"Lo duluan."
Nata berhenti berjalan, menatap mataku sesaat. Ketika aku bersikukuh pada pendirianku, dia menghela nafas panjang. Sepersekian detik, aku tak sadar apa yang ia lakukan karena tiba-tiba pandanganku hanya dipenuh oleh kemeja birunya.
"Sori, oke? Gak usah ngambek kayak anak cewek."
Tapi, aku baru sadar, dahiku hangat.
Dan sekarang, dari dahi menjalar ke pipi.
Damn.
"Kenapa jadi patung?" tanya Nata, menahan tawanya.
Rasanya pipiku memanas karena Nata terus-terusan melihat pipi dan dahiku. "LO NGAPAIN SI MAIN NYOSOR AJA."
Tawa Nata menyembur dengan indahnya, --pakai nafa sarkastik kalau mau--. Dia menyeret tanganku lagi, kali ini tak berbicara apapun.
Aku melihat profil Nata dari samping.
Dia ganteng, kulitnya putih, dari samping hidungnya mancung, pandangan matanya tegas dan bibirnya terkatup rapat. Jika dilihat lebih jeli, kedalaman mata cokelat Nata, samar-samar terdapat warna hijau terang.
Oke, aku menilai penampilannya bukan berarti suka pada Rafadinata.
Kami sampai di rooftop, karena aku dan Nata diam, rasanya lama sekali sampai ke sini. Aku memikirkan beberapa hal yang akan dilakukan Nata, tapi pikiranku terputus ketika tiba-tiba ia berbalik.
"Balik badan," suruhnya, mataku mengernyit.
"Ogah."
"Buru," ketika Nata memutar bola matanya, aku memutar juga.
Dia mendengus kesal, "jangan ngikut."
"Bodo."
"Yaudah," Nata mengeluarkan sesuatu dari saku belakang celananya. Tangannya terkepal sehingga aku tak tahu apa yang ia keluarkan. Saat Nata mendekat, dengan waspada aku mundur beberapa langkah.
Dia berdecak.
"LU MAU GUE APAIN SI. Balik badan gak mau. Diem gak mau." Nata menggerutu dan menarikku mendekat.
Aku ikut menggerutu. Lagian, apa pun dapat terjadi jika aku dekat-dekat dengannya 'kan? Aku hanya mencoba bertingkah defensif sejak kejadian kami berpelukan. Aku takut dia akan ... oke, aku percaya dia tidak akan seperti itu tapi tetap saja aku takut.
Takut? Ha-ha, aku bercanda. Tidak ada satupun heartbreaker yang takut karena sikap berandal cowok.
Nata sekarang berada tepat di hadapanku. Aku tak tahu apa yang ia lakukan karena tinggi kami yang berbeda jauh. Bahkan, puncak kepalaku hanya sebatas bahunya. Dalam posisi sedekat ini, meski sudah menolak, tetap saja aku masih bisa mencium bau sabun dari tubuh Nata.
Bau sabunnya sama dengan sabun yang selalu kupakai ketika TK, namanya dee-dee.
DEE-DEE.
Aku tidak bisa melakukan apapun selain tersenyum. Ternyata, ada sisi seperti itu dari seorang Rafadinata. Maksudku, kupikir ini lucu jika ada player yang memakai sabun dee-dee ketika mandi. Itu terkesan ... manis.
"Nah, selesai," Nata menjauh, tepat ketika aku mengantuk karena bau sabun darinya terasa menenangkan. Dia melirik leherku, tersenyum, "yes, sesuai dugaan gue. Cocok."
"Ap--" kata-kataku terhenti ketika Nata menghadapkan ponselnya ke leherku. Ponselnya memakai kamera depan, jadi, dengan jelas aku bisa melihat apa yang ada di leherku.
Pita merah, dengan bel sedang yang tampak indah di tengah-tengahnya. Pita itu terpasang di leherku, di belakangnya dibuat simpul pita yang benar-benar rapi. Saat pertama melihat, aku sudah menyukai pita tersebut ada di leherku.
"Keren 'kan?" tanya Nata, mataku mengerjap ketika ia menurunkan ponselnya. Melihat tampangku, dia tertawa. "Kalo gak gue udahin, nanti lo keterusan ngaca."
Aku menelan ludah. Pasti, Nata hanya modus. Aku yakin, dia tidak melibatkan perasaan ketika memakaikan pita ini di leherku. Ya, tidak ada yang istimewa.
Aku tak boleh menggunakan perasaanku, ini hanya sebuah permainan sementara. Pada akhirnya, semua akan selesai dan tidak ada kata 'kita' di antara kami berdua.
"Maksud lo beli ini, buat apa?" tanyaku datar, mataku melihat ke arah lain karena tak ingin terjadi kontak mata antara Nata.
Aku takut mengetahui ternyata aku jatuh.
Tidak, aku tidak jatuh, begitupun Nata.
"Agar ketika lo dalam bahaya," ujung jari Nata menggoyangkan bel pita di leherku, ia tersenyum mendengar suara 'kring' pelan yang lembut. "Ketuk bel ini, gue akan datang secepatnya."
"Secepatnya itu berapa lama?" tanyaku, kemudian tersenyum. Dewasa ini, sudah banyak teknologi, kenapa Nata menggunakan cara tradisional seperti ini? Kan aku bisa meneleponnya lewat ponsel jika memang aku dalam bahaya.
"Secepatnya," kata Nata, lalu mengangguk. "Gue gak bakal menjanjikan satu detik gue udah datang. Karena gue adalah Nata. Gue bukan pujangga dan lagi, ini bukan novel. Ini bukan teenlit. Apalagi drama. Ini real-life, antara Nata dengan Kiera."
Aku tersenyum mendengar perkataannya. Dia memang apa adanya, tapi menurutku, itu manis. Meski sifatnya yang terkadang pemarah, Rafadinata tahu membuatku senang.
Tapi, tetap saja, dia tidak pernah menjadi milikku dan aku bukanlah punya Nata.
Kami tidak terikat dalam suatu hubungan rumit. Ini hanya kesenangan sesaat, ketika salah satu di antara kami kalah dan jatuh, yeah, semua berakhir.
Eh, tunggu.
Kalau kami berdua jatuh?
"Kiera," aku mendongak, sedikit meringis karena ternyata Rafadinata melihatku.
Jadi, aku melamun dan dia melihatnya.
Memalukan!
"Kenapa?" tanyaku, menelan ludah.
"Ekspresi lo waktu ngelamun, kayak ... Lo ngelamun jorok yak?"
Semua keindahan fairy-tale yang baru kubangun runtuh seketika, aku meninju berkali-kali bahu Nata dengan sekuat tenaga. Bukan jenis tinjuan kecil sok unyu perempuan pada pacarnya.
"NAJIS LU," bentakku emosi.
Nata berlari dengan cepat sehingga aku tidak bisa mengejarnya. Ketika dia sampai di pintu untuk kembali ke lantai bawah, ia berbalik. Bibirnya melengkung ke atas dengan manis.
"Gue becanda, ekspresi lo imut kok. GOOD NIGHT!"
Sialan.
*
[A/N]
Haiii, gue gak nyangka bisa dapet 800 vote secepat ini.-. makasih banyak yang udah ngevote hehehe, becanda doang padahal...
Tapi kalo nanti dapet 900 vote, besok bakalan semangat nulis lanjutannya, HAHAHA
Eh iya, HARI INI UNBELIEVABLE (gini kan katanya?) gue gak nyangka bisa dapet whats hot indo 2 di fiksi remaja! Dan yang lebih bikin hari ini worth it, @sashiikrn, jadi whats hot indo 1 buat karyanya This Is Not A Bet yeaaay kita bawahan atas SAAA!!
Eh iya (lagi), novelis itu jurusannya apa? (since gue ogah masuk IPS jurusan sastra, karena gue gak suka pelajarannya demi apapun)
Pilihan lain, gue masuk SMKK since gue suka ngerancang sesuatu. Bedanya, kali ini gue ngerancang baju
Help me! :))
yang kepo real life gue follow aje twitternya wakakkaka @wulanff
udah ah kebanyakan ngomong, byeeeee
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top