Heartbreaker : (14) Love On The Line

Nata termangu beberapa saat setelah pertanyaanku barusan. Dia mengusap tengkuknya dengan salah tingkah. "Gue--"

"Lo gak mungkin boong sama player laen 'kan?" tanyaku seraya menekankan setiap kata.

Hembusan nafas yang terdengar pasrah milik Nata membuat senyumku mengembang. Aku yakin dia tak mungkin bungkam terhadap pertanyaanku tadi. Sekarang aku hanya perlu menunggu apa yang akan Nata jawab.

"Jangan di sini, oke? Masalahnya panjang. Ketemu di Secret Cafe besok sore bagaimana?" tanya Nata serius.

Agak kaget juga saat aku tahu Nata mengenal Secret Cafe, tempat aku biasa berkumpul dengan semua temanku. Tapi, kenapa aku tak pernah melihatnya, ya?

Aku akhirnya mengangguk, berkata "terserah" meski pertanyaan tadi ada di ujung lidahku.

Nata tersenyum, menarik tengkukku sehingga kepalaku terdorong ke depan. Aku tak mengerti apa yang ada di pikirannya saat Nata mencium dahiku. Lalu, dia mencubit pipiku, melayangkan satu senyum lagi lalu masuk ke dalam mobilnya.

"Good night, Heart!" Kata Nata seraya menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangannya.

Aku hanya mengangguk pada Nata. Bahkan aku tak sadar sudah membukakan pintu gerbang untuknya. Saat mobil silver itu melaju membelah jalan di malam yang temaram, aku mengetahui satu hal.

Dahiku menghangat.

Pipiku juga.

*

"Jadi lo mulai deket sama Nata-Nata itu?" tanya Carmen saat ia berkunjung di kelasku pada jam istirahat pertama.

Aku meneguk ludah susah payah. Ini benar-benar menggelikan jika aku mengingat kejadian tadi malam. Maksudku, Demi Tuhan, kenapa rasanya sangat amat familiar di ingatanku? Aku tak pernah bertemu Nata sebelumnya, tapi kenapa ada sesuatu yang berbeda saat pertama kali kita bertemu?

Tidak, aku bukan manusia yang sedang jatuh cinta dan mulai berandai-andai tentang kemungkinan ternyata kami berjodoh.

Aku hanya ... penasaran, itu saja. Tak lebih dari rasa ingin tahu.

"Woi, ngelamun," sahut Carmen gondok karena aku masih bengong ayam.

Kalau kalian bertanya bengong ayam itu apa, aku juga tak tahu.

Mataku mengerjap, "gue gak deket. Ya kali, kayak lo gak tau gue aja," sergahku langsung.

Matanya menyipit, ia mengangguk setelah beberapa lama. Carmen mengucapkan kata yang membuatku bungkam.

"Pete udah gak ada. Kalo lo tetep gak mau buka hati lo, kapan lo mau ngelupain masa lalu itu? Kapan lo berhenti berpura-pura dalam topeng senyuman sementara lo pengen nangis? Kapan lo berhenti merasa gelisah setiap saat? Kapan lo berhenti nyembunyiin tangis lo di dalam selimut? Kapan lo, relain Pete dan melangkah maju ke depan? Lagipula, Pete bakal sedih kalo lo tetep batu."

Setelah berkata seperti itu, Carmen berdiri dari posisi duduknya di hadapanku lalu mulai berjalan keluar kelas. Aku tertegun di tempat, sadar semua yang ia katakan adalah kebenaran. Banyak sekali rasa kagumku pada Carmen, karena pasalnya aku tak pernah memberitahu itu semua.

Kecuali soal Pete yang sudah tiada.

Selama sisa jam pelajaran, aku tidak bisa menangkap apa yang diucapkan para guru. Mereka semua seolah boneka yang bergerak ke sana ke mari, tanpa berbicara meski mulut komat-kamit. Aku memikirkan perkataan Carmen, dari awal sampai akhir. Meski kuputar ulang perkataannya di benakku, sampai sekarang aku tak bisa mendapat titik temu.

Darimana dia tahu?

Kenapa sampai sekarang aku tak bisa merelakan Pete?

Apa yang ada di pikiranku sebenarnya?

Bagaimana kalau aku tak bisa melangkah ke depan untuk menggapai mimpiku?

Kapan aku berhenti menjadi heartbreaker?

Semuanya rumit.

Saat jam istirahat kedua dimulai, aku masih tidak bergerak di tempat. Tetap menatap bangku kayu cokelat dengan pandangan kosong.

"Ki."

Aku menengadah karena tahu itu suara Nata yang memanggilku. Dia mengerutkan dahinya seraya menaruh tas tupperware di sebelah mejaku.

"Makan?" tanya Nata, mengedarkan pandangan ke sekeliling sebelum melihatku lagi.

"Gue kenyang," tolakku halus.

"Dari pagi perut lo kosong," balas Nata tak mau kalah.

Kenapa Nata tahu? "gue udah makan."

"Nanti lambung lo komplikasi," sahut Nata lagi seperti ia tahu segalanya tentangku.

"Bodo."

"Kiera. Makan."

"Kayak emak gue aja, lu."

Karena Nata tidak menyahut lagi, aku yang tadi membuang muka perlahan menengok ke arahnya. Mataku mengerjap saat sebuah sendok berisi nasi dan potongan lauk ayam disorongkan Nata ke mulutku. Terpaksa aku menerimanya, mengunyah makanan dengan setengah hati sambil memberi tatapan tajam pada Nata.

"Pinteeer," kata Nata ngocol sambil menepuk-nepuk kepalaku sekencangnya.

"GILA LU, GUE LAGI MAKAN," aku tersedak beberapa kali dan mulai meminum air yang telah Nata sediakan.

"Eh, yang itu punya gue," protes Nata ketika aku meminum gelas berwarna kuning miliknya.

"BODO," timpalku, memeletkan lidah padanya saat tenggorokanku lega.

"Sial," Nata cemberut, tapi saat aku tertawa karena merasa menang, ia menyorongkan sendok berisi nasi berkapasitas raksasa masuk ke dalam mulutku.

"Hanjhiiir," aku mengumpat sambil menonjok bahu Nata keras-keras.

Astaga, dia gila.

Akhirnya Nata menyuapiku berkali-kali saat aku lengah. Dia tertawa ketika aku cemberut sambil mengunyah makan. Aku balas tertawa setelah menggigit ujung sendok dan membuat Nata kesusahan mengambilnya.

"Ehem," kami berdua mulai berhenti tertawa saat dehaman seseorang membuat kepalaku dan Nata menoleh. Ternyata, Andi.

Dia menatapku lama, lalu beralih pada Nata.

"Nih, barang-barang yang harus lo bawa pas study tour." kata Andi.

Mulutku menganga saat melihat sebuah kertas berisi daftar barang-barang untuk Study Tour diberi Andi oleh Nata. Bahkan, saat Andi pergi aku masih menganga.

Nata menyenggol bahuku, "kenapa?"

"Lo sekelompok sama dia? Kok gak bilang?!"

Bahu Nata menaik dengan tak acuh, "buat apaan?"

"Jadi lo sekelas sama dia?" tanyaku lagi.

Jadi, begini. Besok, satu angkatan kelas 11 akan menjalani Study Tour ke Jerman dan menetap di sana selama tiga hari. Tiap kelas dibagi beberapa kelompok belajar (meski aku yakin di sana hanya bermain), berarti, Nata dan Andi sekelas. Ya, kan? Kenapa aku tidak tahu Nata ada, sementara beberapa bulan lalu aku sering mengunjungi kelas Andi?

Nata mengangkat bahu lagi, "gue emang gak keliatan di mana-mana. Semua orang anggep gue shadow kok, tenang aja." Dia berdiri dan berjalan ke arah belakang kelas.

Saat itu aku tahu kenapa Nata ingin menjadi awan.

Karena awan tak pernah diperhatikan oleh semua orang, awan hanya melihat dari jauh dan berarak pergi. Tak ada yang peduli pada awan.

Dan semua itu terjadi pada Rafadinata.

Tapi, begitu aku melihat Nata sedang berdiri di depan kelasku yang lengang sambil bermain bola sepak (selalu ada bola di pojok lemari kelas, entah kenapa Nata menemukannya), aku mengerutkan dahi.

Nata di sana, sedang menjenggel bola seolah di depannya terdapat lawan, lalu melangkah gesit ke kiri sebelum menendang bola itu ke depan pintu. Dia berlari, menepuk satu tangan ke udara seperti tahu di depannya ada yang ingin diajak ber high five.

Seolah dia memiliki teman yang membantunya mencetak gol.

Pemandangan ini salah.

*

"Pulang bareng?" tanya Mikayla ketika jam pulang berdentang tiga kali.

Aku menggeleng, menggendong tas dan tersenyum padanya, "aku sedang menjalankan misi serius," kataku

"Misi apa?" Binaran mata Mikayla langsung membuatku lari keluar kelas. Pasalnya tak ada yang bisa menghindar dari pertanyaan dengan binaran tadi.

Aku mengetukkan jari ke dagu, lebih baik aku pergi ke toilet dulu daripada ke kelas Nata. Pasti dia lama keluar kelas karena aku tahu, dia baru akan bergerak saat semua orang sudah tak ada di ruangan.

Yah, dia memang aneh.

Saat sampai di toilet dan mulai mencari bilik kosong, tanpa sengaja aku melihat cermin di dinding. Aku menoleh karena sekilas melihat siluet aneh.

Damned, bayanganku di cermin sedang mencoba gantung diri.

"RARA, LO GILA."

*

[A/N]

makin lama makin bosenin hehe

thankyou 530+ votenya. gilsss ganyangkaaaa. bikin cemungudh nichh

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: