Heartbreaker : (13) First Meet

Aku menghirup oksigen di dalam kamar sebanyak mungkin. Aku harus berani menerima konsekuensi dengan membuka lakban hitam yang ditempel di cermin oleh Kalva. Meski tanganku bergetar dan kupu-kupu berterbangan dalam perutku, aku tak boleh mundur.

1...2...3...

"Tenang, Kiera. Lo bisa," rapalku pelan, tenggorokanku tersekat sementara aku membasahi bibir. Mencoba tidak gugup disaat semua hal membuatmu gila benar-benar sulit dilakukan.

Aku mulai membuka lakban dari bawah, tengah lalu atas. Ternyata Kalva benar-benar merekatkan lakban pada cermin sangat kuat. Butuh waktu setengah jam untuk melepas seluruh lakban.

Setelah semuanya terbuka, aku bisa melihat bayanganku di cermin. Awalnya semua terlihat sangat normal. Tapi lama kelamaan, bayangan tersebut tersenyum dan melambaikan tangannya.

Padahal aku sama sekali tidak melakukan hal gila itu.

"Lo siapa?" tanyaku dingin, bersedekap dan mencoba tidak takut sedikitpun dengan bayanganku sendiri.

"Aku? Rara," jawabnya singkat sambil mengibaskan rambut, lalu memilin rambutnya menjadi kepangan, kemudian tertawa halus.

Kayaknya aku tak secentil itu.

"Jangan ganggu hidup gue lagi. Titik," tandasku.

Aku ingin dia mengerti bahwa aku menjadi gila kalau dia tetap saja berada di sekitarku. Aku mencoba membuat Rara tahu kalau aku tidak nyaman jika dia ada.

Tapi aku yakin dia tidak ingin membuat hidupku tenang karena ekspresi wajahnya berubah drastis.

"Kau pikir, sekarang kau ada di sini karena bantuan siapa?" tanyanya dingin.

"Maksud lo apaan?" aku balik bertanya seraya mengirimkan tatapan tajam padanya.

Rasanya aku sama sekali tak berhutang budi padanya, terlebih, dia bayanganku!

Rara mundur beberapa langkah untuk menghempaskan tubuhnya di tepi ranjang. Aku menengok ke belakang tempat kasurku berada, seperti yang kuduga Rara tak ada di sana.

Semakin lama ini semakin tidak normal.

"Aku yang membantumu melupakan memori itu. Aku juga yang menemanimu di masa kecil. AKU, shadow yang nyaris bisa menguasai tubuhmu."

"Jangan gila," selorohku cepat-cepat sambil memegang tengkukku.

Perkataannya tadi persis seperti orang yang putus asa, tak memiliki tujuan hidup dan benar-benar menyedihkan. Setahuku, aku tidak pernah memintanya bantuan apalagi menemaniku di waktu kecil.

Bahkan, aku tak tahu dia ingin menguasai tubuhku.

Tiba-tiba, Rara terduduk tegak sehingga mata kami bertemu. Senyumnya benar-benar membuat bulu kudukku merinding. Meski wajahnya adalah aku, tapi aura yang ia keluarkan sangat berbeda.

"Aku tidak gila. Aku bagian dari dirimu. Tepatnya, aku tong sampah bagimu untuk membuang memori masa lalu yang tak sanggup kau terima. Aku jugalah yang akan mengeluarkan isinya dengan perlahan-lahan ..., hingga kau tak akan bisa menerimanya kemudian mati. Bye."

Tepat pada saat itu, bayangan Rara terganti sosokku di cermin yang berwajah pucat dan ketakutan. Aku menghirup oksigen kuat-kuat, rasanya kepalaku pusing mendengar ultimatum dari Rara. Mataku melirik bayangan di cermin, menelitinya dengan sempurna.

Aku mengumpat, memukul cermin itu hingga buku-buku jariku berdarah. Tapi aku tak peduli karena sekarang yang aku pertanyakan adalah;

'Kenapa dia ada untuk membuang memori yang tidak kuinginkan? Lebih baik aku tahu meski tak bisa menerimanya.'

*

Rafadinata berjanji malam ini akan datang ke acara makam malam. Dia bertanya, harus memakai baju apa. Kukira dia tak akan bertanya, jadi gelagapan aku menjawab, yang biasa saja. 5 menit lalu, Nata bilang di BBM akan datang tak lama lagi jadi aku menunggunya di teras.

Saat mobil berwarna silver yang baru kukenal beberapa hari itu mendekati gerbang rumah, aku menghampirinya dan membuka gerbang agar mobilnya bisa masuk ke parkiran.

Malam ini aku memakai baju biasa, celana chino pants tiga per empat dan T-shirt. Tapi begitu melihat penampilan Nata, rahangku jatuh ke bawah dengan drastis.

Dia hanya memakai celana dan kaos putih tapi entah kenapa begitu menarik dan terlihat--

Jangan coba-coba nilai penampilan cowok. Kata orang, dari mata bisa turun ke hati. Aku merapal itu dalam hati dan mencoba tersenyum. Nata menaikkan satu alisnya lalu menutup gerbang.

"Gue ganteng ga?" tanya Nata membuka percakapan.

"Biasa," kibasan tanganku di dekat wajah Nata membuatnya mundur sesaat dengan mengernyitkan dahi.

Nata menangkup tangan yang kukibas tadi lalu menggenggamnya, "tangan lo dingin kayak es, gugup ya?" tanya Nata sambil tersenyum separuh.

Aku menelan ludah, "biasa aja. Masuk yuk udah pada nungguin."

Kami berdua berjalan ke dalam rumah sambil berpegangan tangan tanpa ada suara yang keluar dari mulut.

Sebenarnya aku gugup. Sangat amat gugup. Bagaimana jika Kalva mengacaukan makan malam ini? Bagaimana jika Nata tidak diterima oleh keluargaku?

Pertanyaan terakhir tadi sih, gak penting tapi kalo terjadi, kan malu-maluin.

"Tunggu sebentar."

Aku hampir terlonjak ke depan saat Kalva tiba-tiba muncul dari tikungan dan mencegat kami.Dahinya mengernyit saat melihat tangan kami terjalin. Mata hitamnya beralih pada Nata, "negara maju di Afrika?" tanyanya to the point.

Lagi-lagi aku melihat kejadian ini. Saat Kalva mencoba mengetest Pete. Bahkan, Kalva tidak peduli pada kenyataan Pete adalah temannya sendiri. Dia tetap bertanya dengan wajah tidak suka.

Kalva memang tidak suka adiknya mulai berpacaran dengan sahabatnya sendiri.

Sekarang, dia melontarkan suatu pertanyaan pada orang yang berbeda.

Ironis.

"Kiera atau beasiswa?" tanya Kalva pada Pete saat itu.

Kedalaman mata Pete membuatku tenggelam. Saat itu, ia merangkul pundakku dengan sayang. "Gue milih Kiera. Tapi, kalau bisa dapet dua-duanya, kenapa enggak? Lagian jika gue dapet beasiswa dan selanjutnya gue dapet pekerjaan bagus, gue bisa cepet-cepet membuat Kiera resmi jadi pasangan gue."

Rona merah di pipi tak bisa dihindari, senyum tak luput dari wajahku, kerlingan mata Pete juga tak dapat dilupakan. Semua tentangnya, aku ingat. Aku selalu mengingat segala hal dengan teliti, agar, jika sebuah jurang memisahkan kami, aku bisa mengingatnya.

Meski yang dapat kulakukan hanyalah menyembunyikan tubuhku dalam selimut sambil menangis tanpa suara.

Alis Nata menaik, saat itu juga aku kembali dari alam bawah sadar, "Afrika? Bukannya belom ada negara maju ya?"

Wajah Kalva berubah jadi seperti orang yang ditinju palu. Mungkin dia mengira Nata menjawab asal pertanyaannya, karena memang di benua Afrika belum ada negara maju. Tapi beberapa saat Kalva berusaha mengontrol emosi di wajahnya, ia kembali bertanya.

"Lo milih cewek berotak tapi biasa saja atau cewek otak udang tapi cantik?"

Nata melirikku, "buat apa gue menjawab pertanyaan itu di saat gue tau, dalam jarak lima senti ada perempuan pintar dan cantik?"

Lagi-lagi Kalva berwajah kalah, dia menggerutu sesaat dan memperbolehkan kami masuk lebih dalam ke rumah.

Saat sampai di ruang makan, Mama dan Papa yang tadi duduk di ujung meja makan mulai berdiri. Mereka tersenyum ramah pada Nata. Dengan sopan pula, Nata menyalimi tangan mereka.

Kemudian kami bertiga duduk, Nata di sebelahku dan Kalva di pojok sambil memperhatikan kami. Makanan sudah tersedia di meja, kami berlima mulai makan dengan santai setelah membaca doa.

Acara makan malam ini berlangsung sangat lancar, bahkan Nata bisa mengimbangi obrolan Papa tentang politik. Dia juga memberi tips memasak untuk Mama. Bahkan, dari mataku aku tahu Kalva mulai menyukai pribadi Nata.

Mungkin tidak se lancar yang kuduga, karena saat sendok dan garpu di meja makan masih beradu, aku merasa ada yang aneh. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling sebelum mataku menatap tepat pada cermin yang baru Papa bawa dari Kalimantan sore harinya.

Aku tahu bayanganku di cermin itu Rara karena ekspresinya berbeda.

Aku tersenyum dan dia tampak sangat murka.

"Aku. Benci. Nata," bisik Rara penuh kekesalan.

"Lalu?" aku balas berbisik.

"Lalu, kau bilang?!" gelegar Rara, aku yakin hanya akulah orang yang mendengarnya karena semua masih sibuk melahap makan malam. "DIA MENDEKATIMU!!"

"Trus?" sahutku tenang.

"KAU HARUS MENOLAKNYA!" Rara masih emosi, tapi aku berpikir dia tampak konyol dan menyedihkan dengan menarik-narik rambutnya.

"Tau ah," kata Rara dingin, lalu cermin itu berubah menjadi bayangan wajah bingungku.

"Kenapa?" tanya Nata tiba-tiba, ia menoleh saat aku ikut menengok ke arahnya sehingga jarak kami menipis. Tapi, rasanya Nata juga tak peduli pada posisi ini karena tidak ada yang mundur di antara kami.

"Gak apa-apa," jawabku, tersenyum pada Nata, "nanti gue mau bicara."

Nata menaikkan satu alisnya tapi tetap mengangguk. Setelah sesi makan malam selesai, Nata berpamitan sambil meminta maaf karena ingin menjemput kedua orangtuanya yang baru pulang dari luar negeri. Aku mengekor di belakangnya ketika ia ingin pulang, tepat saat sampai di teras, ia berbalik tiba-tiba.

"Mau ngomong apa?" tanyanya.

Aku menghembuskan nafas, ini pertanyaan mudah tapi aku harus mendapatkan jawabannya.

Harus.

"Apa ada sesuatu yang lo rahasia in waktu gue pingsan dua kali kemaren?"

*

[A/N]

dikit lagi weekend. gakerasa

vomeeent!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: