Heartbreaker : (12) Isn't Wrong, But ...
"Rasa penasaran? Penasaran bisa berubah jadi suka yang berlebihan. Karena kadang, sisi baik dari dia buat kita cinta, kalau udah cinta? Sisi buruk itu diubah jadi sisi paling berharga."
- zfra_7
*
Kata-kata mutiara yang pertama di cerita ini, dan... WOW BANGEDH! Thank you komennya, bikin semangat buat lanjutin!
*
"Ini semua gara-gara lo, Nyet," keluhku sambil menggeplak bahu Nata saat kami melakukan salah satu kewajiban di game.
'Let's take walk together.'
Dia, manusia biadab yang menyatroni rumahku pagi-pagi buta disaat Kalva ada di rumah. Nata, sumber masalah yang membuat Papa, Mama, dan Kalva menginterogasiku ketika pulang sekolah. Karena Kunyuk itu juga, keluargaku ingin bertemu dengannya malam ini.
"Apaan si?" tanya Nata, melemparkan senyum sok kece pada junior cewek yang lewat.
Sialan emang.
"Lo pokoknya harus dateng nanti malem. Gamau tau," aku cemberut dan mulai mencubiti pinggang Nata karena dia tidak memperhatikan.
Dia mengaduh, menyumpah keras-keras sambil menghindar dari cubitanku, "SAKIT ELAH."
"MAKANYA DENGERIN."
"Oke, apa?" tanya Nata sambil mengusir jauh-jauh capitan tanganku dari pinggangnya.
Aku langsung menceritakan tentang keluargaku yang ingin bertemu Nata nanti malam dengan menggebu-gebu. Kukira dia akan ciut dan berkata ada acara atau apa, tapi Nata malah ...
"Yaudah, jam berapa?" tanyanya santai sambil merangkul bahuku.
Kok ...
'Don't let anyone mess you up,' kata-kata Kalva terngiang di otakku. Refleks, aku menyingkirkan lengan Nata yang tadi merangkul bahuku. Aku menengok pada Nata sambil mengambil jarak, menelan ludah untuk tidak terlihat gugup.
"Jam 7, saat makan malam," jawabku mencoba menunjukkan cengiran pada Nata.
Nata menaikkan alisnya, ia seperti bingung karena tingkah defensifku tadi, tapi tak berkata apa-apa. Dia hanya mengangguk dan kami kembali berjalan dalam suasana canggung.
"Hey," begitu kami sampai di tikungan menuju rooftop (seperti kemarin, kami makan di sana lagi. Aku sudah ijin pada Taylor dkk kalau beberapa bulan ini gak makan siang bareng), seorang cowok tak dikenal menyapa kami sambil tersenyum pongah.
"Siapa?" tanyaku sambil mengernyit, aku tak pernah melihat wajahnya di manapun.
Cowok itu berkulit putih, matanya belo dan berwarna hitam legam. Bibir merah cowok di hadapanku melengkung ke atas. Rambutnya yang model spike sangat cocok dengan bentuk wajah ovalnya. Atasan seragamnya dikeluarkan, kusam, dan terlihat seperti berandalan.
Lagi-lagi senyum sinis terukir di wajah oriental campur pakistannya, "siapa?"
"Iya, siapa?" tanyaku dengan menekankan setiap kata.
Ganteng tapi budek, y a h.
"Siapa lo bilang?"
"IYA SIAPA?!" bentakku kali ini, sewot sendiri sementara di sampingku Nata hanya menahan tawa.
"Lo gak kenal mantan terakhir lo sendiri?" tanyanya sarkatik.
Mantan.
Terakhir.
Siapa?
Aku tertawa terbahak-bahak saat tahu apa jawabannya. Andi, si Cupu yang berubah jadi Cogan hanya mengerutkan dahinya sementara Nata ikut tertawa bersamaku. Aku dan Nata berhigh-five, masih dengan sisa tawa yang hampir habis.
Cupu jadi Cogan? Bahkan kedengarannya sangat konyol.
"Kok lo ketawa?" tanya Andi, masih dengan kerutan di dahinya.
Menggeleng kepala takjub, aku menepuk-nepuk bahu Andi penuh rasa simpatik, "lo ngapain sampe ngerubah penampilan lo? Ha?"
Andi menepis tanganku, "lo bener-bener beda sama Kiera yang gue kenal."
"Baru tau? Ini gue yang asli. Wow, jangan nangis kalo lo ketipu sama wajah gue," kataku, tersenyum penuh kemenangan pada Andi.
"Gue berubah buat lo, Ra."
Saat Andi berkata seperti itu, senyumku memudar. Nata yang tadi masih tertawa perlahan berhenti dan menatap fokus pada mata belo Andi.
Kami berdua melihat mata penuh tekad itu.
"Gue berubah jadi gini supaya lo ngeliat gue, apa gue salah?" kata Andi pelan.
Aku mengepalkan kedua tangan penuh rasa bersalah. Meski membenci cowok, tapi aku merasa resah jika ada yang putus asa begitu dalam karena aku.
"Nggak ada yang salah dengan berubah jadi lebih baik. Yang salah cuma alasan lo untuk berubah."
Kepala tertunduk Andi mulai terangkat, tapi begitu senyumnya mengembang aku menambahkan. "Karena kalo lo pengen buat gue suka sama lo dengan cara kayak gitu," aku menyeringai, "gak ada kata 'kita' di antara gue sama lo. Selamanya. Titik."
Andi terpaku lama di tempat, aku dan Nata sudah nyaris melewatinya saat dia dengan cepat menarik tangan dan tengkuk kepalaku.
Mataku melebar karena tahu apa yang mau Andi lakukan. Saat nyaris saja itu terjadi, Nata mendorongnya keras hingga Andi jatuh terjengkang.
"JANGAN MANCING!" bentak Nata, menerjang Andi hingga mereka saling baku hantam di lantai.
Aku mundur beberapa langkah, bibirku bergetar dan entah kenapa aku takut melihat mereka memukul satu sama lain. Punggungku menyentuh dinding yang terasa dingin, keringat bermunculan di seluruh pori-pori tubuhku tanpa terkendali.
'Pst. Here,' seseorang dalam diriku berbisik.
Refleks aku menengok ke arah suara, ternyata cermin di dinding dekat pintu Lab IPA dengan bayangan diriku.
Sekarang wajahku pucat dan ketakutan, tapi kenapa bayangan itu berekspresi lain?
Dia tersenyum, lalu berjalan mendekat.
Mendekatiku.
Aku berteriak ketakutan saat bayangan itu semakin mendekat dan kedua tangannya seolah ingin menggapaiku. Kedua tangan menutupi telinga, aku mulai meringkuk seperti janin di tepi dinding. Aku tak peduli apa-apa lagi karena bisikannya terus menghantui pikiranku.
'Kiera, aku Rara. Pelindungmu. Pelindung dari memori yang tidak ingin kau ingat. Aku-'
"STOOOP PLEASE," teriakku, menangis penuh derita sambil menepis jauh-jauh bayanganku. "Lo gak ada. Lo cuman bayangan gue. PERGI!"
'Aku memang bayanganmu, tapi kau tidak akan ada disini jika aku tak ada.'
"BACOT," aku melempar apapun pada cermin tersebut. Suara pecahan kaca yang terdengar membuat Nata dan Andi yang ada di sekitarku menengok.
Aku tahu bayangan tadi tak benar-benar ada. Buktinya dia tidak bisa menggapaiku. Faktanya dia hanya ada pada cermin tanpa bisa menyentuhku sedikitpun. Yang dapat ia lakukan hanya membisiki kata sialan di pikiranku.
Tapi, bagaimana jika dia menguasai tubuhku? Bagaimana jika nanti aku bukan 'aku' yang sebenarnya? Bagaimana--
"KIERA!"
Tangan Nata membuat kepalaku menengok padanya. Dia sengaja mempertemukan mata kami berdua sehingga pikiranku kembali fokus. Dia sengaja mengusap bahuku bermaksud menenangkan.
Saat nafasku kembali teratur, Nata melepas rangkulannya di pundakku. Koridor lengang ini semakin sepi karena kami berdua saling terdiam.
Oh, bertiga dengan Andi yang sudah pingsan dengan wajah babak belur.
Setelah kehebohan tadi, aku masih tidak ingin berbicara. Bahkan saat kami makan siang di rooftop, hingga Nata mengantarku pulang, aku masih bungkam.
Pikiranku pusing. Aku bertanya-tanya tanpa bisa mengucapkannya.
"Hati-hati ya," pesan Nata saat aku ingin membuka pintu mobilnya.
Aku mengangguk, meski hatiku berkata lain.
Karena aku ingin menemui Rara dengan membuka lakban yang tertempel kuat di cermin kamarku.
Semoga saja aku masih hidup.
*
[A/N]
nahlo.......
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top