Heartbreaker : (10) Terror

Tepukan seseorang di bahu Kiera berkali-kali cukup untuk membuat sang mata terbuka malas. Padahal ia mendapat mimpi indah hari ini, kenapa harus dibangunkan? Sebal.

"Ra, udah sore."

Kiera tak peduli ini masih sore atau malam atau siang sekalipun. Yang ingin ia lakukan hanyalah tidur! Dengan gerakan malas Kiera mencoba membuka mata secara perlahan. Jantungnya hampir merosot saat melihat Rafadinata ada di depan wajahnya. Kiera mendorongnya dan melihat ke sekeliling. Siapa tahu Rafa mau menculiknya atau Kiera akan dimutilasi.

Panggil Kiera si korban film, ha.

"Tadi siang lo pingsan lagi," mata Nata yang jernih cukup membuat Kiera tenang dan tidak menebak yang aneh-aneh.

"Kenapa?" tanya cewek itu sambil mengucek mata.

Rafa mengedikkan kedua bahunya, "mungkin makanan buatan gue gak cocok buat lo."

Oke, Kiera benci berandai-andai.

"Never say maybe, rule 8 for player," cibirku sinis.

"I don't say maybe. I said 'mungkin'. Jangan salah," dia memberiku senyum iblisnya, membuktikan bahwa aku kalah 'bacot'.

Aku menggeram.

"Terserah lo," aku melirik jok belakang, bisa saja ada tas milikku meski rasanya itu tidak akan terjadi. Ngomong-ngomong kita berdua ada di mobil yang kuyakini milik Nata.

Tapi, tasku ada di sana, persis seperti saat aku menaruhnya di kursi kelasku.

Aku mengambil tas ku. Melirik Nata sekilas sebelum membuka pintu mobil. Saat sang sepatu converse nyaris menginjak tanah, Nata menahan tanganku.

"Besok gak usah bawa mobil," katanya pelan.

Kepalaku menengok cepat hingga rasanya leherku patah, "kenapa?"

"Gue yang anter."

Setelah mengatakan hal menakjubkan itu, Nata mendorongku hingga keluar dari mobil. Dia menutup pintu mobilnya yang terbuka dan secepat kilat keluar dari lapangan parkir sekolah.

Hei, Rafadinata meninggalkan putri cantik bernama Kiera Flockheart di sini seorang diri.

Seorang diri.

"Pst. Here."

Aku melangkah cepat-cepat ke arah mobilku yang ternyata tadi bersebelahan dengan milik Nata. Tak tahu apa yang terjadi di sekitar, aku mengendarai mobil gila-gilaan. Suara aneh itu terus menghantui pikiranku, setiap kata-kata yang terlontarkannya, kala itu juga aku menginjak pedal gas mobil dengan kencang.

Hari ini aku merasa dihantui setiap saat jika sedang sendirian.

Sesampainya di rumah, aku tak bisa bernafas lega karena seluruh penghuninya sedang pergi. Dengan cepat aku masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamarku, menanggalkan seluruh baju seragam sambil meyakini dalam hati tak akan ada apa-apa.

Belum beberapa menit berada di bath-up, suara aneh itu kembali mengalun layaknya lagu dari mainan anak kecil yang tuasnya diputar. Aku seperti berada di film horror, segala hal yang kulakukan seperti membuka tutup shampoo entah kenapa terdengar jelas.

Sampai saat aku berdiri untuk membasuh seluruh badan, tanpa sengaja menoleh ke kaca wastafel, aku berteriak. Seharusnya bayangan diriku tak tersenyum penuh arti seperti itu. Harusnya sekarang bibirku bergetar dengan wajah pucat.

Seseorang menggedor pintu kamar mandi, membuat teriakanku semakin keras. Dengan cepat aku mengambil handuk dan berdiri di pojok ruangan. Menangis.

Aku takut, takut, takut ...

Pintu kamar mandi menjeblak terbuka, tubuhku merosot ke bawah dengan kedua tangan menutup telinga. Teriakanku semakin histeris saat sebuah lengan memelukku.

"Ini Kalva. Flo tenang ya? Ini Kalva. Aku Kalva. Jangan menangis. Tak ada apa-apa," selembar handuk menyelimuti bahuku yang terbuka. Tangan yang kuyakini milik Kalva mengusap punggungku menenangkan, sementara kepalaku berada di bahunya. Isakan tak ada henti-hentinya terlontar dari mulutku.

Aku benar-benar takut jika hari ini dan kedepan tak sama seperti sebelumnya.

"Kak, tadi ada orang laen selaen Kiera di--," aku mencoba menjelaskan pada Kalva, tapi dia malah menggendongku keluar kamar mandi.

Seolah Kalva tidak ingin aku menjelaskan.

Kalva menaruhku di tempat tidur, mengambil piyama dari lemari setelah membungkusku dengan selimut. Bahkan ia tak segan mengambil pakaian dalam milikku dan menaruhnya di tepi tempat tidur.

"Pakai baju. Aku gak mau kamu sakit," Kalva mencium dahiku, "kubuat minuman hangat."

Saat Kalva beranjak pergi, aku menahan tangannya. "Jangan tinggalin Kiera sendiri," kataku pelan dengan suara bergetar.

Kalva menghembuskan nafas berat, dia berbalik badan sehingga aku hanya bisa melihat punggungnya. "Pakai bajunya."

Sesuai perintah aku memakai baju. Meski Kalva memerintah dan berbuat sesuatu tanpa memberi alasan jelas, aku yakin itu semua terbaik untukku.

Seperti saat Kalva yang tidak pernah memberitahuku alasan mengapa Pete meninggal.

Setelah memakai piyama, aku menggamit lengan Kalva yang merespon dengan mengedikkan bahunya.

"Turun yuk, buat minuman hangat."

Sesuai permintaan Kalva, kami berdua turun dari lantai dua dalam diam. Pikiranku terus berputar tiap satu anak tangga kami lewati. Meski pusing, aku berusaha fokus dan mengangguk saat Kalva bertanya ingin teh hangat. Tak berapa lama kami berdua sudah duduk di meja bar yang langsung menghadap ke ruang keluarga.

"Kak, aku mau cerita," kataku serius di sela-sela kesibukan kami menyesap teh hangat masing-masing.

"Cerita apa?" tanya Kalva tampak tegang.

Aku mulai bercerita. "Hari ini ada yang aneh. Aku pingsan dua kali dan aku mendengar seseorang membisikkan pikiranku," aku menelan ludah, "dia hanya bilang 'Pst. Here.' Aku tak tahu itu hantu atau makhluk aneh lain. Yang jelas aku takut."

Kalva meletakkan cangkir tehnya di meja bar dengan pelan, menimbulkan suara nyaring yang menggema di ruangan senyap ini. Dia turun dari kursi tinggi, membuat kepala kami sejajar. Telapak tangan Kalva menyentuh kedda pipi tirusku, mata hitamnya bersinar serius.

"Apapun yang terjadi, jangan pernah melihat kaca. Jangan terfokus pada suara itu. Cari keramaian. Terlebih, Flo," Kalva bergerak ke kiri untuk berbisik di telingaku, "sekarang kamu sudah besar dan harus mencari jati diri sendiri. Don't let anyone mess you up."

Kepalaku mundur untuk melihat kedalaman mata hitam Kalva.

Aku tahu, meski aku bertanya mengapa, Kalva tidak akan pernah menjawab.

Seperti yang kubilang, aku percaya ini jalan terbaik dari Kalva untuk mengatasi persoalanku ini.

Setelah beberapa detik, aku mengangguk pada Kalva dan dia langsung memelukku.

"I love ya, Sist."

"Sayang Kakak juga."

*

Sesuai saran Kalva, aku mencoba tak peduli pada suara itu dan menjalankan aktivitas pagi seperti biasa. Aku tak melihat bayangan diriku lagi karena seluruh cermin di rumah, dilakban oleh Kalva. Pagi ini, Mama dan Papa tidak bisa hadir untuk sarapan, jadi aku hanya berdua dengan Kalva membicarakan random shit.

Kami berdua sudah siap pergi saat Kalva memakai sepatu nikenya di teras. Tapi suara klakson mengejutkan kami berdua tak berapa lama Kalva berkutat pada sepatunya. Suara itu berasal dari luar gerbang rumah. Setelah pikiranku mencerna siapa yang datang pagi-pagi seperti ini, jantungku merosot ke bawah dengan cepat.

Sial.

Kalva menatapku tajam setelah dia tahu siapa yang keluar dari mobil. Dia berdiri tanpa peduli sebelah kakinya belum terbungkus sepatu. Kedua tangannya yang mengepal langsung bersedekap ketika orang itu membuka gerbang dan tanpa dosa menghampiri kami.

"Good morning," tangannya membuka kacamata hitam yang tadi bertengger di hidungnya dengan gaya.

Rafadinata tidak tahu dia melakukan hal yang benar-benar fatal, karena sampai sekarang Kalva tidak tahu aku seorang player.

Bahkan, Kalva hanya tahu mantan pacarku adalah Pete Danison.

Unlucky, I hate ya so much.

[A/N]

Thankyou buat supportnya, yaampun jadi semangat banget:')

<3

Buat @sashiikrn, moga powerbank lo diisi lagi baterenya. hahahahihuheho

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: