Side Chapter - 02
Kenya.
Menurutku, cowok bernama Rayan Putra Dirgantara, masalah dari semua kesialan yang sering banget menimpaku. Bukannya lebay, atau alay, tapi ini fakta. Fak ... ta.
Dia anak dari sahabat Mama, dan kau akan tersedak biji duren begitu tahu sahabat Mamaku semuanya seperti bidadari.
Ditambah, ada enam.
Aku tak hafal namanya, tapi aku inget banget kelakuan aneh mereka saat datang ke rumah. Contohnya Tante Carmen, dia bisa gila bersama Tante Kiera, tapi beberapa menit kemudian tatapan matanya setajam singa. Aku berharap Om Alvin bertahan dengan kelakuan Tante Carmen.
Meskipun Om Alvin dan Tante Carmen dua-duanya bener-bener baik padaku, tapi jangan samakan dengan Rayan alias anak mereka. Dia bencana.
Dia cowok sok cool yang sering gila bersama keenam sohibnya.
Astaga, kenapa harus ada enam lagi.
Rayan juga sering ngoceh di kelas, maksudnya sih, ngejawab semua pertanyaan guru. Tapi, kan, aku ngiri ngeliat dia bisa MTK sementara aku satu tambah satu mikir lima menit.
Karena guruku yang terkasih dan tersayang liat nilai MTK ku menurun tiap bulannya, dia membawa bencana lain.
Dia meminta Rayan untuk mementoriku pelajaran MTK yang asik dan menyenangkan. Menghibur sekali!
Dan di sini aku, duduk berhadapan Rayan hanya dibatasi sebuah meja.
"Lo egob atau gimana, sih?" Rayan mencoret-coret buku tulisku. Entah mencoret apa.
"Gue gak bego. Cuman, mau segimanapun gue belajar, gak akan bisa." Ucapku gak peduli.
Rayan melirikku sesaat. Aku hanya menunduk. Males liat wajah soknya. "Lo bisa. Cuman setengah hati."
"Gue gak setengah hati," kataku sambil bersedekap, "gue cuman gak tau kenapa kita harus belajar hal gak jelas kayak gitu sementara gue pengen jadi seniman! Apa lo bisa jawabnya?"
"Kenya-Kenya ... otak lo terbuat dari apaan sih," Rayan menggelengkan kepalanya. Dia mencodongkan tubuhnya ke arahku, "gini ya. Semuanya musti punya dasar. Lo juga harus belajar MTK. IPA, Bahasa, meskipun lo cuman suka sama Seni."
"Kenapa?" tanyaku, cemberut.
"Karena," kata Rayan sok pinter, "gak mungkin dong ribuan sekolah harus nyesuain sama jutaan pelajar di bumi? Karena minat semua orang beda-beda, jadi semua pelajaran di sekolah harus ada buat jadi dasar dari minat para pelajar. Jurusannya nanti pas kuliah, makanya belajar yang bener biar lulus SMA dan bisa jadi seniman." tutup Rayan sambil menepok kepalaku.
Aku mencibir, "sok pinter."
"Ayo, cepet kerjain soal yang ini. Jangan lama-lama," diktaktorisme Rayan dateng lagi, dia menyorongkan buku tulisku lagi.
Hah ... Benar-benar cowok menyebalkan.
*
"Ma," kataku sambil menghampiri Mama yang sedang duduk di teras bersama Papa. Keduanya menengok dan tersenyum.
"Kenapa?" tanya Mama.
Aku cemberut, menyelip di tengah-tengah dan menggelayuti lengan keduanya. Mumpung keduanya berada di rumah. Biasanya Papa keluar rumah, naik pesawat. Eh. Mengendarai pesawat. Di rumah 'kan aku sering diganggu oleh Om Abel dan Tante Lista bersama si kecil Vio.
"Maaa, Paaa, aku gak mau tunangan sama Rayan." Rengekku.
Udah dua minggu ini, Mama dan Tante Carmen menjodoh-jodohin aku dan Rayan. Emangnya aku mau sama Rayan, si cowok pembawa bencana yang sering mengejekku! Enak aja. Lebih baik bersama Sule daripada Rayan.
"Jalanin dulu aja," kata Papa, tersenyum dikulum sambil melirik Mama. Mereka seperti berbicara bahasa isyarat yang aku tidak mengerti. Dan itu membuatku jengkel!
"Ihhh Papa Mama kok nyengir?"
"Abisan kamu lucu," Mama menjawil telingaku, "Raya kan ganteng. Masa kamu gak suka."
"Taylor," geram Papa di sebelah.
"Ups," Mama menutup mulutnya, tertawa, "wah ada yang cemburu."
"TAYLOR HANA ANDERSON!" Gelegar Papa dengan wajah memerah.
Jika bertanya apakah aku kaget dengan teriakan Papa, jawabannya enggak. Karena Mama sering menggodanya dan otomatis, biasanya aku langsung memasang headset.
Kadang, karena gak ada kerjaan apa-apa, mereka selalu berantem. Meskipun ujung-ujungnya damai.
"Alvin juga ganteng, ya 'kan, Nya?" tanya Mama lagi.
"Astaga, Taylor. Aku akan membunuh Vino sekarang juga." Papa bersedekap.
"Iya, Ma. Lebih ganteng dari Papa." Kataku memanas-manasi.
"Iyaa wahh ganteng ya. Apalagi Kak Michael. Matanya biru loooh. Gak kayak yang di pojok itu," kata Mama sebelum tertawa bersamaku lagi.
"Aku bersumpah akan membunuh dua orang itu jika kamu masih mengungkit mereka," kata Papa dingin.
Mama menutup mulutnya lagi, "cieee ngambek beneran."
"Misi, Kenya. Mamamu ini mulai bertindak kurang ajar," kata Papa masam sambil menyelip dariku. Aku berdiri, duduk di sofa lain dan sesekali melirik mereka.
"Serangan kelitik!" teriak Papa, jemarinya mulai menggelitiki perut Mama. Tawa lembut Mama membuatku termenung. Wajah Papa yang terlihat sangat bahagia juga membuatku berpikir.
Apa aku nanti seperti mereka? Bercanda dan tertawa dengan orang yang kucintai? Dari cerita Mama tentang pertemuannya dengan Papa...
Aku jadi ingin seperti mereka.
*
Seseorang menggetok kepalaku. Setengah meringis, aku melirik ke atas. Tampak Rayan dengan wajah galaknya sedang bersedekap.
"Lo ini tuli atau galau atau suka ngelamun atau apa?" tanya Rayan heran.
Aku memegang pulpenku kencang-kencang. Menunduk. Berusaha menormalkan nafasku yang pendek-pendek.
"Ujian semester dikit lagi. Lo baru bisa kayak gini? Ulangan lo mau kayak gimana?"
Aku memalingkan wajahku, di dalam sana ada yang panas dan bersiap keluar. Jangan mengedip ... jangan mengedip.
"Woi, lo denger gue gak sih? Mau jadi apa lo, soal yang kayak gini salah semua."
Cukup.
"RAY, GUE EMANG GAK PINTER. Gue goblok. Tapi please, jangan ngejudge. Kalopun gue gak naek kelas. Gak lulus. Atau gue mati sekalipun, ITU SAMA SEKALI BUKAN URUSAN LO!" Aku berteriak, tanpa bisa mencegah cairan panas di pelupuk mataku untuk gak keluar. Dia terlihat kaget karena responku. Aku gak ingin Rayan melihatku seperti ini! Enggak saat dia sudah menghinaku habis-habisan.
Aku berlari keluar kelas setelah selesai merapikan semua peralatan sekolah ke dalam tas. Tidak perduli hujan turun dengan deras, aku tetap berlari menembusnya.
Hingga sehelai kain hitam hangat menyentuh kepalaku, aku berhenti berlari. Ternyata Rayan. Dia melindungi kepalaku dengan jaketnya. Nafasnya terengah-engah. Wajahnya terlihat bersalah. Dan sepertinya, dengan kecepatan kilat dia bisa merapikan peralatan sekolah ke dalam tas.
Hebat.
"Sori. Sori, Kenya. Gue kelepasan. Gue gak mau lo gak naik kelas. Cuman itu," katanya gusar.
Aku mendesis, "kenapa lo care?"
Rayan mengerjap, "care? Gue ... Gue gak care sama lo! Dih GR."
"Yaudah sana! Jangan peduliin gue lagi!" aku menjerit, menyingkirkan tudung jaket di kepalaku.
"Demi Tuhan, jangan lebay gitu. Ayo, pulang." Kata Rayan sambil menyeret tanganku.
Aku menepisnya, "gak mau!"
Rayan berbalik, "demi tu-" dan perkatannya tertelan saat melihat wajahku.
"Kenapa?" aku mengerutkan dahi, heran.
Lalu, aku ikut terdiam. Wajah Rayan dari dekat ternyata ... ganteng. Coret saat aku bilang lebih baik bersama Sule. Jauh lebih baik sama Rayan. Dia mempunyai wajah oval yang sempurna, hidung mancung, mata bulat, dan alis tebal.
Hal yang tidak kusangka, Rayan mendekat dan mencium dahiku. Astaga! Cowok menyebalkan yang baru ini dijodoh-jodohkan oleh Tante Carmen dan Mama sekarang mencium dahiku!!! Ini kasus! Aku harus melapor ke Kak Seto sekarang juga.
Tapi, hati kecilku berkata lain.
Dia sedang berjoget-ria dan meminta-minta sambil berteriak pada Rayan untuk tidak melepaskan ciumannya. Dasar pengkhianat!
Setelah Rayan melepaskannya dan hati kecilku langsung loyo, dia menepok bahuku.
"Yuk. Pulang." Kata Rayan sambil memakaikan jaketnya pada tubuhku.
Semudah itu.
Bahkan jaketnya masih ada padaku walaupun sudah sampai di rumah.
Ridicoulous.
*
Seperti kata Rayan, aku gak boleh setengah hati saat belajar. Untuk itu sekarang aku sedang membuka buku pelajaran di rumah buat pertama kalinya. Ya, aku harus belajar supaya bisa.
Aku mulai membuka buku dari semester pertama lagi, tapi, lima menit kemudian semangatku langsung merosot. Semua soalnya sulit banget! Aku gak yakin bisa ngerjainnya tanpa bantuan Rayan ....
"Lo bisa. Cuman setengah hati."
GAK! Aku pasti bisa! Aku harus nunjukkin pada Rayan kalo aku gak bego-bego amat.
Dan aku mulai menulis soal.
Mengerjakannya.
*
Author.
Taylor baru saja ingin berjalan menuju kamarnya bersama Axel, saat dia tak sengaja melihat pintu kamar Kenya terbuka. Langkahnya terhenti. Axel di sampingnya mengerutkan dahi.
"Kenapa?" tanya Axel, ikut mengintip seperti yang dilakukan Taylor.
"Kenya belajar," kata Taylor setelah masuk ke kamar Kenya dan memastikan putrinya tertidur.
"Wah, pengalaman baru," Axel tertawa kecil sementara Taylor sibuk mengambil selimut untuk Kenya yang tertidur di depan meja belajar.
Tapi Taylor mengerutkan dahi memandang cara tidur Kenya yang tidak bisa dikatakan nyaman. Dia melirik Axel.
"Gendong Kenya dong, Xel. Kasian dia."
Axel cemberut. "Aku kan cuman gendong kamu dari dulu."
"Geli," kata Taylor, bergidik. "Sana, kasian Kenya. Nanti besok lehernya bisa patah. Anak sendiri juga."
"Iya-iya," Axel mulai menggendong putrinya. Dia menaruh Kenya perlahan dan hati-hati di tempat tidur. Tersenyum menatap wajah Kenya yang seperti dirinya. Dia mencium dahinya sayang dan membiarkan Taylor menyelimuti Kenya.
"Aku rasa dia berubah karena Raya," kata Taylor setelah mengusap dahi Kenya.
"Oh ayolah, jangan omongin gebetan anak kita di dalam rumah ini," Axel memutar bola matanya.
Mereka keluar dari kamar, tapi Taylor tetap saja bersikeras.
"Bener lho, Xel. Kenya kan jarang banget belajar. Tapi sekarang dia belajar sampe ketiduran gitu."
"Iya-iya. Yuk bobo. Ngantuk," Axel menarik Taylor menuju kamar mereka.
Dan pria tersebut tertawa mendengar Taylor masih mendumal.
Keras kepala.
*
Kenya
Aku meremas ujung kemejaku, keringat dingin terus mengucur di sekujur tubuh, sementara mataku bergerak gelisah.
Hari ini pengumuman kenaikan kelas dan pembagian rapor. Aku sudah berusaha sebaik mungkin, tapi masih tidak yakin. Bagaimana kalau aku tidak naik kelas? Bagaimana jika pelajaran dari Rayan tidak ada yang benar saat aku mengerjakan soal UKK?
ARGH.
"Jangan gila kayak gitu," Seseorang menepuk bahuku, Rayan.
"Gue gak gila. Cuman tegang. Lo gak bisa bedain apa?"
Tapi dia malah duduk di sebelahku tanpa berbicara apa-apa lagi. Aku juga ikut terdiam. Keteganganku mulai berangsur-angsur.berkurang. Mungkin karena ada Rayan di sebelahku. Oh tidak! Bukan, bukan wangi tubuh Rayan yang membuat keteganganku berangsur. Tapi karena ... ehm ... entah kenapa.
"Kenya!" Mama memanggil, aku berdiri dari balkon kelas dan menghampirinya.
Mama langsung memelukku, "kamu naik! Ranking 1! Mama bangga sama kamu, Nya."
Aku naik. Naik kelas.
Aku tidak percaya ini!!!
Papa lalu datang dan memelukku juga. "Hari ini kayaknya akan ada perayaan," katanya sambil tersenyum.
Aku hanya melongo menatap keduanya. Aku benar-benar tidak percaya aku naik kelas! Bonusnya, aku ranking 1! Ini seperti kejutan tengah tahun. Aku harus memberi tahu Ray--
"Raya," Tante Carmen memanggil Rayan, wajahnya tampak sedih. Kami bertiga terdiam dan melihat mereka mengobrol. Kekhawatiranku semakin menjadi saat Tante Carmen menepuk pundak Rayan yang merosot.
Tepat setelah Tante Carmen melepas pelukan yang ia berikan pada Rayan, aku menghampirinya.
"Kamu naik kelas 'kan?" tanyaku khawatir.
Rayan melihatku beberapa saat lebih lama, lalu baru berkata, "naik tapi masuk IPS."
Rayan selalu bilang padaku, dia bercita-cita menjadi seorang professor. Tapi dengan jurusan IPS yang sekarang apa dia bisa--
"Sudahlah, jangan dipikirin. Ikut gue, yuk." Rayan meraup tanganku dan menyeretnya keluar dari lingkungan sekolah.
Masih bisa kulihat ekspresi aneh dari Mama dan Papa saat aku menengok untuk melihat mereka.
"Kenapa ke sini?" tanyaku saat melihat Rayan membawaku ke halaman parkir sekolah.
Dia berhenti berjalan untuk melihat wajahku beberapa saat, "karena kita pertama kali bertemu di sini."
Dia ingat.
Waktu itu, aku yang sedang memarkirkan sepeda tepat di sebelah motornya terkagum karena wajah Rayan. Sebelum mengenal sifat aslinya yang menyebalkan, aku menyukainya. Hanya suka.
"Waktu itu lo ngeliatin gue beberapa detik. Tepat di mata. Gue berharap lo sekelas sama gue waktu itu. Ternyata doa gue terkabul.
Tapi waktu kenal sifat asli lo, gue langsung males. Gue kira lo ganjen kayak anak cewek kebanyakan. Gue kira setelah kita ketemu di sini, lo bakal pamer ke anak cewek yang laen. Gue kira lo bakal ngumumin kalo kita dijodohin sama nyokap kita.
Perkiraan gue semuanya salah, Key. Apalagi saat gue ngementorin lo. Lo gak ganjen. Lo sebel sama gue. Lo peduli gue naik kelas atau enggak. Lo beda dari yang lain.
Gue emang bukan orang yang romantis, yang bisa nyanyiin lo atau ngebuat kejutan buat lo. Gue juga bukan tokoh novel yang sempurna. Gue bukan orang yang bisa ngebuat lo melting. Tapi gue tau satu hal.
Gue, suka sama lo."
Tepat pada saat Rayan tersenyum dan memeluk aku, Kenya Tania Damaryan, hati kecilku langsung meleleh saking senangnya.
*END:)*
[A/N]
Sebenernya suka banget sama tokoh Kenya Rayan...tapi...biarlah jadi side chapter aja:)
Menurut kalian sifat mereka berdua gimana?
Another-Project :
a. How Can I Move On? (Roman & Teen Fiction)-Completed
Hatinya seperti layangan, ditarik ulur olehmu. Nina Olivia mulai mencoba melupakanmu. Tapi kamu kembali datang dengan sejuta kenangan.
b. Royal Academy (Roman & Mystery)-Compeleted
Pertama kalinya, Teressa Aure Meryl mengerti arti kehidupan lewat selembar kertas lusuh bertuliskan 'Ramalan 13'
c. Eddenick (Roman & Fantasy)-On Going
Apa Peri Penjaga itu ada? Deni Lynn Nicole sering bertanya di dalam setiap mimpi buruknya. Hingga dia menemukan Edden, sang Peri berumur 170 tahun yang menawan hatinya saat itu juga. Ini petualangan .... Ini misteri .... Ini fantasi .... Ini cinta.
d. Never Too Young (Roman & Humor)-Completed
Cinta karena terbiasa. Terbiasa dengan sosoknya. Terbiasa melihat senyumnya. Terbiasa merasakan tatapannya. Disaat Carmen Heartnet mempercayai semua itu. Sosok tersebut hilang. Apa cinta itu bullshit seperti yang dulu dirasakannya?
e. Three Words (Roman & Teen Fiction)-Ending Session
—Dia tidak bisa memilih siapa yang akan menawan hatinya. Jika panah cinta dilepaskan, kau tidak bisa lari lagi—
Selama 14 tahun hidupnya, Mikayla yang terkenal dengan sifat polos dan mudah tersenyum itu menyukai kakaknya, Michael. Disaat dia mulai berani untuk mencoba menyatakan, Michael terlanjur mengumumkan hubungannya dengan Bernadette. Perempuan culas dan licik yang selalu mengganggu MIkayla. Hidup Mikayla yang tenang, menjadi tidak stabil. Hingga suatu rahasia membuat dunianya berputar cepat ke bawah ....
f. ABCD Love (Roman & Teen Fiction)-Ending Session
Temui (A)mber, populer, ceria, keras kepala, polos dan anggota OSIS teladan yang dikagumi para cowok ini menyukai (B)illy, Ketua OSIS bijaksana dan pemain basket sejati. Tanpa Amber sadari, sahabatnya, (C)lara juga memendam perasaan pada Billy. Juga perkenalkan (D)ustin, penyuka warna hijau, flamboyan, malas-malasan dan kebetulan tetangga Amber sejak dulu hingga mereka remaja, spesies satu ini juga memiliki dark secret, dia suka pada Clara.
Suatu hari, Amber dan Dustin patah hati secara bersamaan. Apa yang terjadi jika Amber mengiyakan ajakan Dustin untuk berpacaran sebulan tanpa tahu sesuatu yang membuat mereka patah hati ternyata hanya miss-conection?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top