Fate - 29
Taylor.
Aku tahu hal ini sudah harus kulakukan sejak aku mengingat tragedi itu, tapi aku terlalu takut respon apa yang akan diberikan Mami begitu aku mengatakannya. Marah kah? Sedih kah? Tapi semuanya terlambat, karena sore itu sehabis pulang sekolah aku terlanjur masuk ke dalam ruang kerja Mami yang ada di rumah. Mami seperti biasa, bajunya asal-asalan. Dia memakai piyama saat bekerja! Astaga, Mamiii. Sudah kubilang, Mami rempongku ini benar-benar ajaib.
"Taylor? Tumben kamu dateng ke sini," sapa Mami sambil menutup layar laptopnya, senyuman manis tersungging di wajahnya.
Aku duduk di hadapannya, berusaha untuk tidak gugup, tapi setelah melihat Mami tersenyum penuh damai, aku tetap tidak bisa tenang. Sinar matahari yang berada di belakang Mami, membuat wajah Mami lebih bercahaya. Aku semakin gugup tak terkendali.
"M-Mi..."
Mami terlihat khawatir mendengar suara kambing sekaratku, dia melepaskan kacamata bacanya dan menangkup wajahku dengan kedua tangan.
"Ada yang salah, Taylor?"
Aku menggeleng. Lihat mataku saja, Mi. Aku tidak sanggup berbicara. Tepatnya, aku tidak sanggup jika Mami membenciku. Lebih baik aku mati saja.
"Kenapa... kenapa kau menangis? Ya tuhan, Taylor. Apa kamu punya masalah?"
Dengan cepat, Mami keluar dari mejanya dan berlutut di hadapanku, senyuman manisnya sirna begitu melihat air mataku menetes satu persatu tanpa henti. Dia memelukku dan mengusap punggungku, mengatakan semuanya baik-baik aja.
Aku tidak baik, Mi. Kugigit bibir bawahku perlahan, aku kotor. Aku kejam, jahat, egois, tidak pernah menuruti kata orang tua. Aku...
"Maafkan aku, Mi. Aku benar-benar minta maaf. Aku egois, aku..."
"Taylor, ada apa?" Mami bertanya cepat.
"Papi meninggal bukan karena yang Mami bilang dulu... Papi meninggal karena aku, Mi! Karena aku..." aku terisak kecil, menunduk, sama sekali tidak ingin tahu reaksi apa yang akan diberikan Mami.
Mami mengangkat wajahku dengan tangan lembutnya, dia tersenyum sedih. Dengan perlahan, dia mengusap air mataku sementara matanya sendiri pun berkaca-kaca. Aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya, karena aku sibuk mengatur isakanku supaya berhenti.
"Mami tanya, Taylor mengetahuinya dari siapa?"
"Aku bermimpi..."
"Sudah kuduga," Mami mendesah.
Lalu Mami menyuruh salah satu pelayan untuk membuatkan teh hangat, dia menghelaku menuju taman belakang. Aku memandang tanaman yang mulai berbunga dengan pandangan kosong, Mami di sebelahku, memandang lurus ke depan. Tak lama, teh pun datang. Aku berterima kasih singkat pada pelayan tersebut dan mulai menyesap tehku.
"Suatu hari... keluarga Anderson dikaruniai sepasang anak kembar cantik bernama-"
"Tunggu! Kembar?!" Aku menolehkan kepalaku ke arah Mami dengan pandangan shock.
Mami menjentikkan jarinya dengan anggun, "peraturan pertama, tidak boleh memotong pembicaraan orang lain di rumah ini."
"Maaf, lanjutkan."
"Dia bernama Taylor dan Maddie. Mereka sangat dekat dan selalu bermain bersama. Keluarga Anderson sangat senang dengan kehadiran buah hati mereka. Untuk itu mereka mengajak kembar identik tersebut ke sebuah taman kota di London. Sebelumnya... mereka pernah ke Indonesia beberapa kali. Papi mereka, Jeff, menggiring kedua anak kembar iti ke penjual gulali. Di sana, tanpa Jeff sadari, kedua anak tersebut menyelinap di antara kerumunan pembeli gulali tersebut. Sementara Maminya sendiri... dia sedang berbicara dengan musisi yang membuatnya tertarik di ujung taman." Di situ raut wajah Mami terlihat menyesal.
"Mami mereka tidak sadar bahwa anak-anak mereka hilang, dia juga tidak begitu mendengar teriakan Jeff yang memanggil nama anak mereka. Saat itulah, Jeff melihat Maddie yang sedang memanjat pohon sementara Taylor melihat kembarannya dari bawah. Jeff datang, dia berusaha menyelamatkan Maddie begitu dahan yang Maddie injak ternyata rapuh. Tapi..."
"Tapi apa?" tanyaku ngeri.
"Maddie dan Jeff tidak bisa diselamatkan..."
Aku menahan nafas.
"Cerita ini belum berakhir. Kembaran Maddie... yaitu Taylor, mengalami trauma atas tragedi itu. Mami mereka yang harus melanjutkan hidup pun pindah ke Indonesia lima tahun kemudian, tanah kelahirannya, berusaha memulai hidup barunya, juga berusaha menyembuhkan Taylor dari trauma itu dengan..."
"Dengan apa?"
Mami menatapku menyesal, "dengan menghapus semua memorimu, Taylor. Maafkan aku."
"La-lalu semua hal yang aku mimpikan?" tanyaku shock, teganya!
"Semua itu, mungkin sebagian benar dan sebagian lagi usaha di dirimu yang tidak bisa menerima kenyataan itu. Itu reaksi alaminya, Tay. Kamu tidak bisa menerima kenyataannya saat itu... Maafkan Mami, kamu harus menanggung beban seberat ini di usiamu yang masih belia. Seharusnya Mami memperhatikan kalian saat itu... Seharusnya Mami menjagamu dengan benar... Seharusnya-"
Bisa gak sih, lo berdamai dengan masa lalu lo?
"Mi," aku menyeka air mata yang kembali keluar.
"Apa, sayang?" tanya Mami dengan senyum sedihnya yang membuat hatiku semakin hancur.
"Kita bisa kan, berdamai dengan masa lalu? Kita bisa kan, mulai semuanya dari awal lagi? Kita bisa kan-" aku menghembuskan nafas, air mataku kembali berjatuhan, "kita bisa kan, hadapin semuanya berdua?"
Mami terlihat terkejut, matanya memancarkan aura bangga dan kebahagiaan yang melimpah. Dia memelukku erat, "kita bisa, sayang... kita bisa... Mami gak nyangka kamu punya pemikiran yang dewasa."
"Aku cengeng kok, Mi, gak dewasa sama sekali. Kerjaannya nangis mulu," aku tertawa sengau.
"Mami juga dulu cengeng..."
"Wooo berarti aku ketularan sifat Mami dong."
"Kamu kan, anak Mamiiiiii."
"Iiiihhh, Mamiiiiiii."
"Oh iya," Mami melepaskan pelukanku, lalu membuka dompetnya dengan antusias.
Aku menyeka air mataku, mengamati aksi Mami yang mengambil sesuatu dari dompetnya. Dia menyerahkanku sebuah foto usang. Aku mengernyit bingung.
Mami tersenyum, "ini foto Maddie, kakakmu."
Aku mengambil foto tersebut dengan tangan bergetar. Kutelusuri wajah yang seperti refleksi diriku versi kecil sedang tersenyum lebar di sana. Giginya baru menumbuh dua. Jadi, dia Maddie, kakakku, kembaranku yang terlupakan.
-The Overweight Princess-
Aku harus berterima kasih, pikirku. Kata-kata Axel malam itu terngiang di otakku, itu juga yang membuatku akhirnya bisa berdamai dengan masa lalu. Entah kenapa saat aku melihat Mami menyalahkan dirinya sendiri, aku menjadi ingat diriku sendiri. Aku tahu, memang seharusnya kami berdamai dengan masa lalu, kan?
Untuk itu, sore ini aku membuatkan Axel makanan kesukaannya. Kata guruku, dia sakit, jadi tadi saat di sekolah aku tidak bertemu dengannya. Lagipula...
Aku benar-benar tidak siap bertemu dengannya sejak kejadian itu.
Saat dia... astaga, dia mencium bibirku! Yang benar saja! Kenapa juga aku memberikan ciuman pertamaku untuknya? Uhhh, Taylor kau bodoh sekali. Tapi saat dia menekannya lembut, lalu... lalu... ASTAGA TAYLOR APA YANG KAU PIKIRKAN! Lupakan kejadian memalukan itu dan hadapi Axel dengan gagah berani seperti pejuang kemerdekaan.
Astaga-astaga-astaga aku sama sekali tidak siap.
Lagipula kemarin setelah kejadian 'itu', dia langsung meninggalkanku tanpa sepatah katapun. Dia menundukkan kepalanya. Aku semakin tidak bisa melihat ekspresi yang dia tunjukkan.
Itu cukup membuatku sangat depresi.
Bukankah seorang teman tidak boleh berciuman? (Kapan aku mendeklarasikan pada dunia bahwa aku berteman dengannya?)
Hembuskan nafas... Tenang... Keluarkan. Kau pasti bisa, Tay.
Aku mengetuk pelan pintu rumah Axel, tapi yang membukakan pintu adalah Abel. Dia terkejut melihatku, lalu menutup pintunya lagi dengan debuman keras.
"Abel! Ada apa?" teriakku, menggedor pintunya.
"Pergilah, Tay."
"Hey, kamu gak sopan banget sih!"
Abel membukakan pintu dengan wajah jengkel, "Kalo lo ingin menambah jam tutor lo, gue-"
"Aku mencari Axel," selorohku cepat dengan nada sebal.
"Oh." Wajah Abel memucat, dia mengusap tengkuknya salah tingkah, pandangan matanya menuju kesekeliling kecuali mataku.
Aku rasa ada sesuatu yang tidak beres di sini.
"Kemana Axel?"
"Di-dia..."
"Abel, katakan padaku!"
"Dia..."
"Ck!" Aku tidak perduli ini rumah orang, sangat amat tidak sopan menerobos masuk, tapi aku benar-benar ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.
"AXEL!!! KAMU DIMANA?!" teriakku begitu berada di ruangan bernuansa putih yang terasa kaku dan tidak berpenghuni.
Perabotannya tertata rapi, sangat rapi seolah belum disentuh pemiliknya.
"Tay, tenang..." Abel menyentuh kedua pundakku.
Aku mencarinya di segala penjuru ruangan, berusaha untuk bertemu dengan si rambut cokelat itu. Berusaha mendendengar tawa mengejeknya. Aku takut jika tidak melihat senyum jahilnya.
Nihil, dia tidak ada, seperti tertelan bumi.
Perasaanku mengatakan terjadi sesuatu yang buruk pada Axel.
"Taylor! Tenang!" teriak Abel, mencengkram kedua bahuku.
"Bagaimana aku bisa tenang?!" Kubalas teriakan Abel, meninju dadanya berkali-kali, "katakan dimana dia, bodoh!"
Abel menangkap pergelangan tanganku, lalu matanya mengunci tatapanku yang liar tidak terkendali, "dia pergi untuk waktu yang lama."
Semuanya tidak baik-baik saja.
*TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top